Bab 41Aku mengintip lagi dari pintu belakang, sudah sepi. Pasti Dhifa sudah pergi."Ngapain kamu ngintip disitu Ren!" tanya mertuaku.Yaelah ni nenek sihir ngagetin aja. Untung aja aku gak punya penyakit jantung."Mbak Dhifa kemana Ma?" tanyaku penasaran."Mulai kepo kamu? Terusin kerjamu sana. Setrikaan dah banyak tuh!" Ngikut ajalah, dari pada panjang urusannya. Eh tapi tunggu dulu, kenapa tadi aku gak tanya soal Mas Diki-Diki tadi sih.Tapi mana mungkin nenek sihir itu mau menjawab. Aku meneruskan pekerjaanku kembali. Hah, gak salah ni pakaian yang harus disetrika sebanyak ini. Apa mereka habis pesta kemarin, masa ditinggal sehari aja sudah sebanyak ini. Lagian siapa yang mencuci pakaian ini kemarin, hmm pasti nenek sihir yang mencucinya. Sambil menunggu setrikaannya panas, aku memeriksa ponselku sebentar. Aku tertawa membaca postingan temanku di KBM. "Kamu mau nunggu itu setrikaan bergerak sendiri Ren!" "Ng-nggak Ma, ini baru mau mulai kok," jawabku.Ini nenek sihir suka ba
Bab 42Part Riko.Aku memperhatikan Dhifa yang sedang menjawab beberapa pertanyaan dari polisi.Wajahnya kelihatan serius, tetapi hal itu tak mengurangi kemanisan wajahnya.Wanita cantik itu sudah biasa, tetapi memandang Dhifa aku melihat selain cantik dia juga manis. Senyumnya tulus dan bila aku menatap bola matanya yang polos aku harus menunduk atau memalingkan wajahku ke tempat lain. Jika tidak, aku yakin tak lama kemudian aku akan salah tingkah. Jantungku berdebar dan keringat dingin akan menetes di balik pakaianku. Sejak pertama bertemu di Cafe bersama Dera sahabatku, aku sudah tertarik pada sosok Dhifa.Sosok wanita mandiri dan tidak neko-neko. Tak ada kesan genit saat pertama kami berkenalan. Padahal sebelumnya banyak wanita yang berubah kecentilan saat bersamaku. Apalagi dengan para wanita yang sedang mengurus proses perceraian mereka. Banyak yang berusaha menarik perhatianku, namun tak sedikit pun bisa menggetarkan hatiku. Dhifa berbeda, sikap cueknya saat pertama kali b
Bab 43"Iya Ma," jawabku mewakili Dhifa."Oala, ternyata aslinya cantik banget, bukan-bukan cuma cantik tapi manis," puji mamaku.Nah benarkan, Mama juga sama penilaiannya denganku."Ah Tante bisa aja, kenyataannya aku malah ditinggal kok Tante," tukas Dhifa dengan wajah menunduk malu. "Itu mantan suami kamu aja yang gak bersyukur, oh iya kok malah ngobrol terus. Sebentar ya, Tante buatin minuman dulu!" "Iya Tante."Aku masih tersenyum melihat Dhifa yang kelihatan duduk santai di depanku."Adik kamu mana, Mas?" tanya Dhifa."Di kamar, mau ketemu sekarang?" Dhifa mengangguk, aku membawanya ke kamar adikku. Rupanya adikku sedang mengganti popok bayinya."Rini, ini teman Mas datang menjenguk kamu. Fa ini adikku, Rini!" Mereka saling berjabat tangan berkenalan. "Jadi ini Mbak Dhifa, terima kasih lho Mbak mau datang kemari," ucap Rini senang.Mama dan Rini adikku memang pernah mendengar nama Dhifa disebut-sebut sebagai salah seorang klienku."Kamu suka nggosipin aku di rumah sini ya
Bab 44Sambil tetap berusaha fokus mengemudi, aku bercerita masa lalu hidupku. Tentang Kumala istriku yang sudah meninggal saat melahirkan anakku. Tentang anakku yang akhirnya juga menyusul Kumala karena jantungnya gagal berfungsi. Lalu tentang orang tua Kumala yang ngotot menjodohkan aku dengan Vanessa adiknya Kumala. "Kenapa Mas gak mau dijodohkan dengan Vanessa. Bukannya dia cantik Mas?" "Mas merasa dia gak baik Fa, Mas gak suka dengan cara berpakaiannya dan pergaulan dengan teman-temannya.""Kalau saja Mas Fatan punya pandangan seperti Mas Riko!" keluhnya."Kamu masih mengharapkan Fatan kembali padamu Fa!" tanyaku sedikit cemburu.Dihh, sadar Riko. Kamu belum ada ikatan dengannya."Aku gak mengharapkan dia lagi Mas, sudah berulangkali dia mengecewakanku dan anak-anaknya. Alea dan Axel bahkan tak pernah merasa sedih karena kehilangan papinya."Aku tersenyum tipis mendengarnya, kamu masih punya harapan Riko. Sabar ya, bujukku pada hatiku.🔥🔥🔥🔥🔥Pov Irene."Mas, sudah mulai b
Bab 45Pov Irene."Ciapa-ciapa sok imut lo ya. Gue istrinya!" teriakku marah."Mas, akyu takut. Dia beneran istrimu?" Wanita itu bertanya dengan nada manja kepada Mas Fatan.Aku makin geram mendengar pertanyaannya. Aku maju mendekati wanita sok imut di depanku. Kutarik rambutnya yang panjang itu, kucakar wajahnya yang sangat lembut bak sutera. Garis panjang tiga jadi bukti keganasanku di wajahnya.Dia berteriak kesakitan, tapi anehnya dia tak membalasku.Mas Fatan berusaha menenangkanku. Dia menahan tanganku agar tidak bisa bergerak dengan leluasa."Sudah Ren, sudah. Tenangkan dirimu, malu dilihat banyak orang!" bujuk Mas Fatan.Aku tak perduli, aku sudah kalap. Belum puas kalau aku belum mencincang wanita sundel itu.Kudorong Mas Fatan ke samping, mas Fatan oleng dan jatuh ke lantai. Aku tak perduli, kutarik lagi rambut wanita itu. Kujambak lalu kutampar pipinya beberapa kali sampai sudut bibirnya mengeluarkan darah."Jangan coba-coba kau merayu suamiku ya pelakor. Rasakan nih kemara
Bab 46Sampai di warung mie ayam aku masuk ke dalam."Mas mie ayamnya satu ya sama es teh manis!" pesanku. "Siap Mbak, silahkan tunggu di dalam!" Aku memilih bangku yang kosong di dekat jendela. Dan seperti tadi, orang-orang di sekelilingku melihat dengan tatapan aneh. "Masa dia orangnya?" kata wanita yang duduk di bangku di depanku pelan.“Iya, pakaiannya aja sama,” bisik teman di sampingnya. Kedengaran woy, kalian bicaranya terlalu kuat."Kalian ngomongin gue ya?" tanyaku langsung. Biasa, dengan gaya ngegas ala Irena. Aku tak takut dengan apapun. Kalau sedang emosi aku sering berganti-ganti menyebutkan diriku. Bisa aku, saya, gue, suka-suka aku sebut saja. "Wah iya Mbak, penasaran soalnya. Mbak ada di video, sedang viral lho Mbak. Keren, Mbak menghajar pelakor!" pujiannya.Widih, masa sih aku viral. Bisa jadi artis nanti aku, terus diundang ke acara Hitam Belang. Aihh senangnya aku kalau itu terjadi."Masa sih Mbak, gue boleh lihat?" Si Mbak memberikan ponselnya. Aku tersenyu
Bab 47Pov Mira."Masih lama lagi gak Pak?" tanyaku pada petugas polisi yang berjaga."Mungkin sebentar lagi Mbak. Mbak istirahat saja dulu di bangku itu!" sarannya. Perkenalkan aku Mira Angelia. Umurku sebenarnya sih sudah 25 tahun, tetapi sering dianggap orang masih 19 tahun Dan hari ini aku sungguh sial. Aku dilabrak istrinya Mas Fatan. Dia sudah membohongiku, ternyata dia masih punya istri. Jangan-jangan dia bohong juga soal pekerjaannya. Ngakunya CEO perusahaan xx. Aku mengelus pipiku yang membengkak, karena cakaran dan tamparan Irene tadi.Aku memang sengaja tak melawan, karena saat mulai ribut aku sempat melihat ada pengunjung yang merekam kejadian tadi. Aku yakin sekarang video itu sedang viral. Dan siapa yang akan disalahkan, tentu saja wanita gila tadi. Awas kamu ya, kamu menyerang orang yang salah. Mira tidak selemah dan sebodoh itu hingga tak membalas seranganmu tadi.Sebentar lagi kamu akan masuk dan merasakan dinginnya tinggal di dalam penjara. "Itu mereka sudah dat
Bab 48Pov Nadhifa.Kuregangkan pinggang yang terasa sedikit pegal. Pundak ini juga terasa kaku, akibat menunduk terus dari tadi. Kulihat jam di tanganku, ternyata sudah sore. Sebentar lagi waktu pulang kantor, kubereskan barang-barang yang masih berserakan di atas meja. Wita, sekretaris ku datang mendekat. "Bu, sudah nonton video yang sedang viral hari ini?" tanya Wita."Video apa?" balasku cuek sambil terus merapikan mejaku sendiri. Aku memang kurang tertarik dengan video-video unfaedah yang berseliweran di dumay. "Coba deh Ibu tonton!" Wita menyodorkan ponselnya."Apa itu, Wit? Ibu malas kalau video gak ada gunanya," kataku seraya menggeleng. "Tonton aja, Bu. Ini tentang Pak Fatan dan istrinya," jawab Wita kemudian.Dengan malas aku menerima ponsel Wita, dan aku melotot tak percaya melihat video yang sedang diputar Irene sedang ribut dengan seorang wanita. Dan Mas Fatan juga ada di situ, aku menggeleng kesal. Tak habis-habisnya mereka membuat sensasi yang memalukan.Aku ters
Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar
Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama
Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t
Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa
Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k
Bab 80"Argh, sial. Sia-sia aku kepanasan pakai hijab ini. Mas Riko nya malah lembur. Huh!"Vanessa melampiaskan kekesalannya di dalam mobil. Dia sudah agak jauh dari kediaman Dhifa. Dia mengemudikan mobil dengan kecewa karena rencananya lagi-lagi berantakan. Padahal dia masih berada di dalam komplek perumahan kediaman Dhifa. Cit!Vanessa mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Karena asyik melamun dia pun menabrak seorang wanita yang akan menyeberang jalan. Ups! Hampir saja. Batin Vanessa kesal. Wanita yang tak lain adalah Irena itu meringis karena terbentur mobil Vanessa. Untung saja Vanessa bisa mengerem tepat waktu sehingga dia tidak terlindas mobilnya. Dengan gugup Vanessa keluar dari dalam mobil untuk melihat keadaan korban Dia menoleh ke sekitar. Untung masih ada di dalam komplek, jadi tidak ada pengendara lain yang lewat, pikirnya senang. "Aduh, kakiku," erang Irena. "Maafkan saya, Mbak. Saya gak sengaja, ayo kita ke rumah sakit saja!" kata Vanessa dengan gugup. "Gak usah,
Bab 79"Mami, ada tamu!" Alea mengetuk pintu kamar mamanya. Dhifa yang baru selesai mandi pun segera membuka pintu kamar lalu bertanya kepada Alea. "Siap, Le?" "Gak tahu, Mi. Katanya teman Papa," jawab Alea. "Ya, sudah suruh tunggu sebentar. Bilangin kalau Papa belum pulang," kata Dhifa. Alea pun mengangguk kemudian menemui kembali tamu yang sedang menunggu di teras. Alea memang tidak menyuruh tamu itu masuk karena dia tidak mengenalnya. "Sebentar, ya, Tante. Mami masih berpakaian, kalau Papa belum pulang," beritahunya pada sang tamu. "Iya, Sayang. Gak apa-apa, Tante tunggu di sini saja," sahut Vanessa, sang tamu yang dimaksud tadi. Vanessa merapikan hijab yang dipakainya. Sebenarnya dia merasa gerah dan tidak nyaman dengan pakaian tertutup seperti itu. Namun, demi berhasilnya rencana bersama mamanya, terpaksa Vanessa menjalaninya. Karena penampilannya yang sudah berubah, maka Alea pun tidak mengenali Vanessa. Orang yang sudah menghina mama dan adiknya dahulu. Tak lama menung
Bab 78"Kurang ajar! Aku terlambat lagi! Ke apa sih Mas Riko gak sabar menunggu aku! Sebal!"Vanessa melemparkan apa saja yang bisa digapainya di dalam kamar. Suara benda pecah dan dibanting bergantian terdengar dari dalam kamarnya membuat para pembantu ketakutan. Mereka tahu bagaimana kelakuan Vanessa jika sedang marah begitu, dia bisa bersikap kasar dan brutal. Jadi mereka tidak ada yang berani mendekat. Prang!Vanessa melempar cermin di meja riasnya dengan botol parfum. Dia sangat kesal dan marah karena baru tahu kalau Riko, mantan suami kakaknya itu sudah menikah lagi. Sementara itu, Vero, mamanya Vanessa baru saja kembali dari arisan bersama geng sosialitanya merasa heran melihat para pembantu berkumpul di depan kamar Vanessa. "Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?" "Eh, Nyonya sudah pulang? Itu, Neng Vanessa ngamuk di dalam kamarnya," jawab pembagi paling senior di rumah itu. "Vanessa mengamuk? Kenapa lagi itu anak?" gerutu Vero lalu mengetuk pintu kamar anaknya.