Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
"Mami, boleh tambah?" tanya Axel seraya mengangsurkan piringnya yang sudah kosong ke depanku. "Boleh dong Sayang," jawabku senang.Aku mengambilkan Axel sesendok lagi nasi goreng kesukaannya. Si bungsu ini suka sekali dengan nasi goreng."Papi mana sih, ke toilet aja lama banget. Nanti aku telat lho!" keluh Alea. Aku pun melihat ke kamarku di mana Mas Fatan sudah masuk sejak tadi."Bentar, biar Mami lihat ke dalam!" "Biar Mama aja Fa, kamu siapin anak-anak biar gak telat!" usul Mama mertuaku. "Iya, Ma!" jawabku singkat.Mama berlalu dan aku membereskan sisa makanannya di meja. "Ayo anak-anak buruan, Papi bentar lagi datang!" buruku pada anak-anak.Alea dan Axel bergegas menyelesaikan sarapannya, pakai sepatu dan menunggu Papinya datang."Anak-anak Papi sudah siap!" tanya suamiku dengan semangat."Siap Pi!" jawab anak-anak kompak."Oke, kita let's go!" Anak-anak menyalamiku dan Mama bergantian."Hati-hati ya Pi!" pesanku setengah berteriak.Mobil yang membawa keluarga kecilku suda
Pov Fatan.Huhhh, aku memukul setir dengan kesal. Berani sekali Dhifa menolak keinginanku. Seharusnya dia bersyukur aku minta ijin padanya. Kalau aku menikah diam-diam bagaimana? Aku gak mau berbuat dosa dengan kekasihku. Irene gadis cantik yang bekerja sebagai asisten sekretarisku di kantor.Dia itu cantik, baik dan juga perhatian denganku. Kuakui kalau Nadhifa istriku itu adalah wanita yang cantik dan mandiri. Dia bisa mengurus anak-anak dan aku dengan baik. Tapi aku tak hanya butuh itu, aku butuh perhatian lebih darinya. Perhatian selayaknya dari kekasih. Dulu saat masih pacaran dia selalu siap kapanpun aku mengajaknya keluar. Walau hanya sekedar berjalan-jalan di taman. Berbincang segala macam hal yang penting hanya ada kami berdua saja. Tapi sekarang dia tak lagi perhatian padaku. Selalu anak-anak yang jadi alasan, padahal kan di rumah sudah ada Mamaku.Masa meninggalkan anak sebentar saja tak bisa. Aku jadi ingat kejadian tiga minggu lalu. "Fa, kamu masih di salon?" tanyaku
Pov NadhifaSudah seminggu Mas Fatan tak pulang ke rumah. Sejak malam itu aku kehilangan jejaknya. Di kantor juga dia tak ada, kata Wita sekretarisnya Mas Fatan pergi ke daerah urusan kantor. Kucoba cek ke daerah melalui orang kepercayaanku, namun keberadaan Mas Fatan tak ada di sana juga. "Kemana kamu Mas, apa kamu jadi menikah dengan perempuan itu dan tengah berbulan madu sekarang!" desisku geram. Kuhubungi nomor seseorang di ponselku."Assalamualaikum Ibu," salam Wita diseberang sana."Waalaikumsalam, Wita kamu tahu siapa perempuan yang dekat dengan Bapak akhir-akhir ini?" tanyaku langsung."Ehm maksud Ibu gimana?" jawab Wita dengan gugup. "Kamu tahu Wit, Mas Fatan minta ijin ingin menikah lagi. Kira-kira kamu tahu dengan siapa?" "Astaghfirullah, beneran Bu. Berani sekali dia. Saya tahu Bu. Namanya Irene, dia asisten saya yang baru. Dia baru dua bulan ini bekerja disini!" jawab Wita dengan sedikit emosi.Aku tahu kalau dia juga pasti emosi mendengarnya. "Kita ketemuan ya Wit,
Pov Fatan."Mas bangun! Sudah siang!" teriak Irene dari dapur. Aku membuka mata, kulirik jam didinding. Aku bangkit, mengucek mataku sebentar lalu keluar dari kamar."Kok malah keluar sih Mas, mandi gih," suruh Irene kesal."Iya Sayang, cium dulu dong!" Aku mendekati Irene yang sedang sibuk memasak."Ihhh jorok kamu Mas, masih bau jigong main nyosor aja!" elak Irene. Aku tertawa lalu masuk ke kamar kembali."Ada apa sih Ren, dari tadi berisik aja!" Ibunya muncul sambil bersungut-sungut."Biasa Bu, mantu Ibu itu kalau gak dikerasin gak bergerak. Lelet banget jadi kesal!" "Jangan terlalu keras kamu, nanti dia bosan terus balek ke Bini tuanya nyesal kamu!" "Gak akan Bu, tenang aja!" sahut Irene dengan sombongnya."Oh ya hari ini jadi kalian mulai ngantor?" "Jadilah Bu, sudah hampir sebulan kami libur. Untung dari sana gak ada protes, Mas Fatan juga heran kenapa sekretarisnya gak pernah laporan atau minta tandatangan dia. Makanya hari ini kami masuk kantor.""Yah Ibu sendirian dong
Pov Irene."Bu, Ibuuuuu!" teriakku kesal. Kuhempaskan tubuhku ke kursi teras. Ibuku tergopoh-gopoh keluar rumah."Ada apa sih Ren, ngagetin Ibu aja?" tanya Ibuku."Mas Fatan Bu, aku kesal. Ternyata perusahaan itu punya istrinya. Dia cuma menjalankan aja!" "Ya ampun, jadi gimana sekarang. Dia gak dipecat kan?" "Aku yang dipecat Bu, aku malu. Mana karyawannya pada mengejek aku Bu!" "Kita ngobrol didalam aja, disini nanti ada yang dengar!" ajak Ibu. Aku mengikuti Ibuku masuk kedalam. Kami memilih duduk di teras samping, disini udaranya sejuk."Terus gimana tadi kalian, sempat berantem gak. Kamu sempat nyakar mukanya gak?" tanya Ibuku gak sabaran."Boro-boro Bu, yang ada aku diusir. Dia main cantik Bu, gak pakai emosi kayak anaknya Ceu Mumun waktu dilabrak istri muda lakinya itu," jawabku."Yah, kok gak cakar-cakaran sih. Padahal kamu pasti menang. Kamu kan jago kelahi Ren!" sesal Ibuku.Aku tersenyum mendengar perkataan Ibuku. Kalau soal kelahi aku paling jago. Si Zaenab anak Pak RT
Bab 6Pov Nadhifa.Bukan aku tak sayang anak-anakku saat aku memilih menitipkan mereka di rumah Papinya. Justru aku ingin anak-anakku itu bisa membuka mata hati suamiku yang sudah tertutup agar sadar dan kembali pada kami keluarganya.Aku tahu dia telah berbuat kesalahan, tapi bukankah manusia itu memang tempatnya salah dan dosa. Aku juga merasa bersalah, semenjak ada anak-anak aku kurang memperhatikannya. Jika Mas Fatan mau bertobat dan menyadari kesalahannya, aku akan mencoba memaafkannya dan menerima dia kembali.Tanpa si ulet bulu Irene pastinya. Jika dia masih bersama ulet bulu itu takkan pernah kuterima dirinya kembali.Ah sudah pukul enam lewat sedikit, saatnya menjemput anak-anak dirumah Mas Fatan untuk kuantar kesekolah.Soalnya mobil Mas Fatan sudah aku sita, biar dia rasakan pergi ke kantor naik angkot atau ojol. Gajinya di kantor juga sudah kupangkas habis. Dari gaji 50 juta sekarang hanya 15 juta yang kuberi, dan dia menerimanya. Aku tahu dia malas untuk mencari kerja d
"Selamat datang Pak Fatan dam Bu Dhifa. Terima kasih sudah mau hadir di acara kami!" sambut Pak Subroto dan istrinya.Aku mengucapkan selamat dan terima kasih pada pasangan suami istri itu. Selesai berbasa-basi aku memilih mengambil minuman disudut ruangan. Lalu aku memilih duduk di sofa yang ada di dekat dinding yang terbuat dari kaca.Lalu lalang kenderaan terlihat dari sini. Hotel ini memang terletak di tepi jalan yang selalu ramai."Dhifa, angin apa yang membawamu kemari. Mana suamimu, masih indehoy dengan istri barunya kah?" Suara seseorang mengagetkanku."Eh Mas Dera, apa kabar. Wah rupanya kabar Mas Fatan jadi trending topik ya!" jawabku sedikit gugup.Gila, aku gak nyangka sudah banyak yang tau kelakuan Mas Fatan."Dia sering mengunggah beritanya di grup PPM. Foto-fotonya dengan istri barunya juga di pamerkan setiap hari," terang Mas Dera."PPM, Perkumpulan Pengusaha Muda itu. Luar biasa.""Kami juga kaget Fa, yah sebejat-bejatnya kami. Gak akan sampai kebablasan kayak suamim
Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar
Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama
Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t
Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa
Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k
Bab 80"Argh, sial. Sia-sia aku kepanasan pakai hijab ini. Mas Riko nya malah lembur. Huh!"Vanessa melampiaskan kekesalannya di dalam mobil. Dia sudah agak jauh dari kediaman Dhifa. Dia mengemudikan mobil dengan kecewa karena rencananya lagi-lagi berantakan. Padahal dia masih berada di dalam komplek perumahan kediaman Dhifa. Cit!Vanessa mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Karena asyik melamun dia pun menabrak seorang wanita yang akan menyeberang jalan. Ups! Hampir saja. Batin Vanessa kesal. Wanita yang tak lain adalah Irena itu meringis karena terbentur mobil Vanessa. Untung saja Vanessa bisa mengerem tepat waktu sehingga dia tidak terlindas mobilnya. Dengan gugup Vanessa keluar dari dalam mobil untuk melihat keadaan korban Dia menoleh ke sekitar. Untung masih ada di dalam komplek, jadi tidak ada pengendara lain yang lewat, pikirnya senang. "Aduh, kakiku," erang Irena. "Maafkan saya, Mbak. Saya gak sengaja, ayo kita ke rumah sakit saja!" kata Vanessa dengan gugup. "Gak usah,
Bab 79"Mami, ada tamu!" Alea mengetuk pintu kamar mamanya. Dhifa yang baru selesai mandi pun segera membuka pintu kamar lalu bertanya kepada Alea. "Siap, Le?" "Gak tahu, Mi. Katanya teman Papa," jawab Alea. "Ya, sudah suruh tunggu sebentar. Bilangin kalau Papa belum pulang," kata Dhifa. Alea pun mengangguk kemudian menemui kembali tamu yang sedang menunggu di teras. Alea memang tidak menyuruh tamu itu masuk karena dia tidak mengenalnya. "Sebentar, ya, Tante. Mami masih berpakaian, kalau Papa belum pulang," beritahunya pada sang tamu. "Iya, Sayang. Gak apa-apa, Tante tunggu di sini saja," sahut Vanessa, sang tamu yang dimaksud tadi. Vanessa merapikan hijab yang dipakainya. Sebenarnya dia merasa gerah dan tidak nyaman dengan pakaian tertutup seperti itu. Namun, demi berhasilnya rencana bersama mamanya, terpaksa Vanessa menjalaninya. Karena penampilannya yang sudah berubah, maka Alea pun tidak mengenali Vanessa. Orang yang sudah menghina mama dan adiknya dahulu. Tak lama menung
Bab 78"Kurang ajar! Aku terlambat lagi! Ke apa sih Mas Riko gak sabar menunggu aku! Sebal!"Vanessa melemparkan apa saja yang bisa digapainya di dalam kamar. Suara benda pecah dan dibanting bergantian terdengar dari dalam kamarnya membuat para pembantu ketakutan. Mereka tahu bagaimana kelakuan Vanessa jika sedang marah begitu, dia bisa bersikap kasar dan brutal. Jadi mereka tidak ada yang berani mendekat. Prang!Vanessa melempar cermin di meja riasnya dengan botol parfum. Dia sangat kesal dan marah karena baru tahu kalau Riko, mantan suami kakaknya itu sudah menikah lagi. Sementara itu, Vero, mamanya Vanessa baru saja kembali dari arisan bersama geng sosialitanya merasa heran melihat para pembantu berkumpul di depan kamar Vanessa. "Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?" "Eh, Nyonya sudah pulang? Itu, Neng Vanessa ngamuk di dalam kamarnya," jawab pembagi paling senior di rumah itu. "Vanessa mengamuk? Kenapa lagi itu anak?" gerutu Vero lalu mengetuk pintu kamar anaknya.