Bab 6Pov Nadhifa.Bukan aku tak sayang anak-anakku saat aku memilih menitipkan mereka di rumah Papinya. Justru aku ingin anak-anakku itu bisa membuka mata hati suamiku yang sudah tertutup agar sadar dan kembali pada kami keluarganya.Aku tahu dia telah berbuat kesalahan, tapi bukankah manusia itu memang tempatnya salah dan dosa. Aku juga merasa bersalah, semenjak ada anak-anak aku kurang memperhatikannya. Jika Mas Fatan mau bertobat dan menyadari kesalahannya, aku akan mencoba memaafkannya dan menerima dia kembali.Tanpa si ulet bulu Irene pastinya. Jika dia masih bersama ulet bulu itu takkan pernah kuterima dirinya kembali.Ah sudah pukul enam lewat sedikit, saatnya menjemput anak-anak dirumah Mas Fatan untuk kuantar kesekolah.Soalnya mobil Mas Fatan sudah aku sita, biar dia rasakan pergi ke kantor naik angkot atau ojol. Gajinya di kantor juga sudah kupangkas habis. Dari gaji 50 juta sekarang hanya 15 juta yang kuberi, dan dia menerimanya. Aku tahu dia malas untuk mencari kerja d
"Selamat datang Pak Fatan dam Bu Dhifa. Terima kasih sudah mau hadir di acara kami!" sambut Pak Subroto dan istrinya.Aku mengucapkan selamat dan terima kasih pada pasangan suami istri itu. Selesai berbasa-basi aku memilih mengambil minuman disudut ruangan. Lalu aku memilih duduk di sofa yang ada di dekat dinding yang terbuat dari kaca.Lalu lalang kenderaan terlihat dari sini. Hotel ini memang terletak di tepi jalan yang selalu ramai."Dhifa, angin apa yang membawamu kemari. Mana suamimu, masih indehoy dengan istri barunya kah?" Suara seseorang mengagetkanku."Eh Mas Dera, apa kabar. Wah rupanya kabar Mas Fatan jadi trending topik ya!" jawabku sedikit gugup.Gila, aku gak nyangka sudah banyak yang tau kelakuan Mas Fatan."Dia sering mengunggah beritanya di grup PPM. Foto-fotonya dengan istri barunya juga di pamerkan setiap hari," terang Mas Dera."PPM, Perkumpulan Pengusaha Muda itu. Luar biasa.""Kami juga kaget Fa, yah sebejat-bejatnya kami. Gak akan sampai kebablasan kayak suamim
Bab 8Pov Fatan"Sial, kenapa aku ikut tadi ya. Kan begini jadinya. Malu sekali aku," gerutuku sepanjang perjalanan."Bapak gak apa-apa kan?" tanya supir ojol yang kutumpangi."Eh gak apa Mas, jalan aja terus!" jawabku malu.Aku kembali mengumpat dalam hati. Aku gak nyangka kalau Dera dan teman-temannya juga hadir disana. Ternyata calon menantu Pak Subroto juga anggota grup PPM. Aku baru tahu saat bersalaman dengan anak dan calon menantu Pak Subroto tadi."Ya pinggir disini Pak!" Motor berhenti dan aku langsung turun, kubayar ongkos ojol dan akupun masuk kedalam rumah.Suara teriakan dan tangisan menyambutku didalam.Ya ampun, apalagi ini. Axel sedang menangis dilantai. Dan Mama kulihat sedang berteriak marah pada Irene."Papiiiii," teriak Axel menyambutku.Kupeluk Axel yang masih menangis. "Syukur kamu pulang Tan, lihat ini kelakuan istrimu. Berani sekali dia menjewer telinga Axel. Maminya saja gak pernah sekejam itu pada anak-anaknya!" lapor Ibuku."Terlalu dimanja, makanya anakm
Bab 9"Papi mau kemana?" tanya Alea saat melihatku turun bersama Irene dengan pakaian rapi.Kutoleh anakku, rupanya mereka sedang menonton TV dengan Mamaku."Papi mau ke Mall sama Tante, kalian sa---""Ke Mall, ikut Pi!" teriak Axel."Iya, kami ikut!" sambung Alea."Sudah malam, kalian kan besok sekolah!" jawabku beralasan."Gak perduli, pokoknya ikut!" ucap Alea."Sudah bawa aja Tan, kasihan mereka sudah lama gak jalan-jalan!" Mama ikut berbicara membuat Irene kembali cemberut. Aku mengelus tangannya yang kugenggam mencoba menenangkannya."Ya sudah boleh ikut, tapi jangan minta macam-macam ya!" ingatku. "Asyikkkk, Oma ikut juga yuk!" teriak anak-anakku.Akhirnya kami berlima pergi ke Mall, naik Taksi yang mendadak sempit. Aku duduk di depan bersama Axel, Mama dan Alea duduk di belakang beserta Irene yang makin cemberut.Aku kasihan padanya, sebagai penebus kekecewaanya. Nanti aku suruh dia belanja sepuasnya. Kalau perlu sampai jebol Credit Cardku. Biar saja, toh bukan aku yang me
Bab 10Pov Mama Fatan.Senyummu mengembang saat melihat Irena datang dengan wajah cemberut. Di belakangnya Fatan mengikuti dengan tak bersemangat. "Kamu kenapa, Irena? Mana belanjaan kamu?" tanyaku pura-pura tak tahu. "Belanja apaan, anak Mama duh, bohong aja kerjanya," sahut Irena. Dia melirik kepada Fatan dengan wajah sedih dan kecewa. Puas hatiku melihat wajah Irene yang kecewa dan malu karena barang yang sudah dipilihnya batal dibeli. Tak akan kubiarkan Irena leluasa menikmati hasil kerja keras Fatan dan Dhifa selama ini. Aku bersyukur Dhifa bertindak cepat memblokir kartu kredit yang dipegang Fatan setelah kutelepon tadi. . Kalau tidak uang lebih dari 35 juta melayang dibuat wanita tak tahu diri itu.Heran aku, beli pakaian dan barang lain sampai begitu banyak. Belinya di Butik ternama lagi yang harga satu potong baju aja bisa sampai 5 juta.Gak habis pikir aku, kok bisa baju begitu aja sampai semahal itu. Syukurlah keinginan Irene untuk beli pakaian mahal tak kesampaian."Ma
Bab 11"Alea sudah siap belum?" "Axel, kamu juga sudah siap belum?" Kuketuk pintu kamar cucuku satu per satu, mereka pun keluar kamar sudah berpakaian rapi.Aku mengajak mereka untuk sarapan. Kuambil masing-masing satu mangkok sup untuk kedua cucuku. Mereka makan dengan lahap. Aku pun ikut sarapan dengan mereka berdua. "Lho Mama sama anak-anak kok sudah makan supnya. Itu belum aku kasih garam lho." Suara lembut tapi terdengar cempreng bagiku, siapa lagi kalau bukan suara Irene."Gak papa, ini sudah enak kok!" jawabku ketus."Ihh Mama, lidahnya sudah mati rasa ya. Masakan masih anyep begitu dibilang enak." gerutunya.Lalu dengan pedenya dia menambahkan dua sendok makan garam tanpa mengetes rasanya terlebih dahulu.Aku tersenyum geli melihatnya. Kedua cucuku saling memandang heran, lalu ikut tersenyum melihat Irene.Aku menyuruh Alea dan Axel untuk menghabiskan sup di dalam mangkok masing-masing tanpa sisa. "Biar gak ada barang bukti," bisikku disambut tawa geli kedua cucuku."Wah
Bab 12Pov Alea."Nanti pulangnya dijemput sama Pak Tarjo ya Sayang, seperti biasa!" ucap Mami padaku."Iya Mi, Mami hati-hati ya!" balasku sambil mengecup pipi Mami.Aku masuk kedalam sekolah dengan hati riang. Karena melihat wajah Papi dan Tante Irene saat sarapan tadi. Aku terkikik geli kalau ingat ekspresi mereka."Senang banget Le!" sapa Cindy teman sebangkuku."Hihi kamu tau Cin, hari ini aku senang sekali!" ucapku sambil tertawa."Emangnya kenapa? Cerita dong!" Tawa Cindy pecah kala kuceritakan kejadian tadi. Cindy memang tahu keadaan keluargaku. Aku dan Cindy selalu berbagi cerita susah maupun senang."Haha hebat banget Oma ya, bisa kepikiran gitu lho ngerjain Tante Irene." Tawa Cindy sambil memegangi perutnya."Oma bilang dia gak sengaja kok, mulanya niatnya baik. Gak tau malah jadi begitu."Kami pun tak habis-habisnya tertawa. Sayang harus terhenti karena bel berbunyi."Selamat pagi anak-anak!" salam Pak Satria wali kelasku."Selamat pagi, Pak!" sahut murid-murid kompak."
Bab 13"Alea!" panggil Cindy.Aku membalas lambaian tangannya. Aku baru turun dari Taksi bersama Tante Irene.Aku melirik pada Tante Irene. Dandanannya wah banget, memakai pakaian mini dress berwarna merah. Dengan lipstik yang juga berwarna merah menyala. Sungguh menyilaukan dilihat apalagi saat hari panas begini. Padahal masih jam 9 lho ya. Gimana kalau sudah tengah hari nanti. Aku terkikik geli sambil berjalan disamping Tante Irene. Semua pandangan mata mengarah pada kami.Pada Tante Irene sih sebenarnya. Dia dengan pede berjalan menuju kekumpulan Ibu-Ibu temanku yang sedang ngerumpi.Para Ibu yang melihat Tante Irene langsung menghentikan obrolannya. Mereka memandang Tante Irene sambil saling berbisik. "Itu siapa Le?" tanya Mamanya Cindy."Tante Irene, istri barunya Papi Tante," jawabku sopan. "Istri baru, jadi benar gosip yang Tante dengar itu. Papi kamu kawin lagi. Jadi dia ini pelakor!" sambung Mamanya Heni teman sekelasku.Wajah Tante Irene memerah. Entah marah atau malu ak
Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar
Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama
Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t
Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa
Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k
Bab 80"Argh, sial. Sia-sia aku kepanasan pakai hijab ini. Mas Riko nya malah lembur. Huh!"Vanessa melampiaskan kekesalannya di dalam mobil. Dia sudah agak jauh dari kediaman Dhifa. Dia mengemudikan mobil dengan kecewa karena rencananya lagi-lagi berantakan. Padahal dia masih berada di dalam komplek perumahan kediaman Dhifa. Cit!Vanessa mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Karena asyik melamun dia pun menabrak seorang wanita yang akan menyeberang jalan. Ups! Hampir saja. Batin Vanessa kesal. Wanita yang tak lain adalah Irena itu meringis karena terbentur mobil Vanessa. Untung saja Vanessa bisa mengerem tepat waktu sehingga dia tidak terlindas mobilnya. Dengan gugup Vanessa keluar dari dalam mobil untuk melihat keadaan korban Dia menoleh ke sekitar. Untung masih ada di dalam komplek, jadi tidak ada pengendara lain yang lewat, pikirnya senang. "Aduh, kakiku," erang Irena. "Maafkan saya, Mbak. Saya gak sengaja, ayo kita ke rumah sakit saja!" kata Vanessa dengan gugup. "Gak usah,
Bab 79"Mami, ada tamu!" Alea mengetuk pintu kamar mamanya. Dhifa yang baru selesai mandi pun segera membuka pintu kamar lalu bertanya kepada Alea. "Siap, Le?" "Gak tahu, Mi. Katanya teman Papa," jawab Alea. "Ya, sudah suruh tunggu sebentar. Bilangin kalau Papa belum pulang," kata Dhifa. Alea pun mengangguk kemudian menemui kembali tamu yang sedang menunggu di teras. Alea memang tidak menyuruh tamu itu masuk karena dia tidak mengenalnya. "Sebentar, ya, Tante. Mami masih berpakaian, kalau Papa belum pulang," beritahunya pada sang tamu. "Iya, Sayang. Gak apa-apa, Tante tunggu di sini saja," sahut Vanessa, sang tamu yang dimaksud tadi. Vanessa merapikan hijab yang dipakainya. Sebenarnya dia merasa gerah dan tidak nyaman dengan pakaian tertutup seperti itu. Namun, demi berhasilnya rencana bersama mamanya, terpaksa Vanessa menjalaninya. Karena penampilannya yang sudah berubah, maka Alea pun tidak mengenali Vanessa. Orang yang sudah menghina mama dan adiknya dahulu. Tak lama menung
Bab 78"Kurang ajar! Aku terlambat lagi! Ke apa sih Mas Riko gak sabar menunggu aku! Sebal!"Vanessa melemparkan apa saja yang bisa digapainya di dalam kamar. Suara benda pecah dan dibanting bergantian terdengar dari dalam kamarnya membuat para pembantu ketakutan. Mereka tahu bagaimana kelakuan Vanessa jika sedang marah begitu, dia bisa bersikap kasar dan brutal. Jadi mereka tidak ada yang berani mendekat. Prang!Vanessa melempar cermin di meja riasnya dengan botol parfum. Dia sangat kesal dan marah karena baru tahu kalau Riko, mantan suami kakaknya itu sudah menikah lagi. Sementara itu, Vero, mamanya Vanessa baru saja kembali dari arisan bersama geng sosialitanya merasa heran melihat para pembantu berkumpul di depan kamar Vanessa. "Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?" "Eh, Nyonya sudah pulang? Itu, Neng Vanessa ngamuk di dalam kamarnya," jawab pembagi paling senior di rumah itu. "Vanessa mengamuk? Kenapa lagi itu anak?" gerutu Vero lalu mengetuk pintu kamar anaknya.