Bab 14Pov Nadhifa.Aku merasa lega saat tiba di sekolah Alea. Masoh banyak waktu sebelum rapat dimulai. Alea pasti senang melihat kedatanganku. Setelah turun dari mobil, aku pun melangkah memasuki gedung sekolah. "Mami!" teriak Alea sambil menyongsongku."Rapatnya belum mulai kan Sayang?" tanyaku."Belum Mi, tapi kok Mami datang. Kan Alea dah bilang Tante Irene bisa ikut.""Mana Tante Irene nya?" tanyaku lagi."Sudah pulang Mi, hihihi," jawab Alea sambil tertawa."Kok malah ketawa, ada apa sih?" tanyaku penasaran."Sini, Ma. Duduk di sini!" Alea mengajakku duduk di bawah pohon di halaman sekolahnya."Kamu kenapa, sih, Lea. Ketawa terus dari tadi?" tanyaku setelah kami duduk Alea masih terus tertawa geli. Wajahnya sampai memerah, kelihatan sangat menggemaskan. "Habis lucu, Ma. Tadi Tante Irena ...."Alea menceritakan kejadian yang dialami Irene tadi. Aku tertawa geli sekaligus kasihan. "Sudah ah Sayang, gak boleh tertawa di atas penderitaan orang. Kita masuk yuk!" ajakku sambil men
Bab 15"Dengar ya Mas, sampai saat ini aku masih berbaik hati membiarkan kalian tinggal di rumah itu. Dan Mas masih aku ijinkan kerja disini, bukan karena aku takut kehilangan kamu. Tapi karena aku masih ingat pesan kedua orang tuaku!" Aku menarik nafas mencoba melonggarkan paru-paruku yang terasa sesak karena emosi.Mas Fatan hanya menunduk tanpa bicara. "Maafkan Mas ya Fa, tapi Mas akui sampai sekarang Mas gak bisa benar-benar mencintai kamu," ucap Mas Fatan."Kalau begitu lepaskan aku!" geramku.Mas Fatan menatapku lalu menggeleng."Kenapa, takut hidup miskin lagi. Tenang aja Mas, kamu gak akan kudepak dari kantor ini. Aku masih punya hati nurani dan masih mengingat semua pesan orangtuaku!" sambungku lagi."Kamu urus sendiri saja kalau begitu Fa, tapi ingat harta gono gini juga jangan kamu lupakan ya!" ucap Mas Fatan dengan liciknya.Dia meninggalkan aku sambil tersenyum puas.Oke Mas, sekarang kamu boleh tersenyum. Aku gak akan tinggal diam, aku akan membuatmu menyesal mengkhiana
Bab 16Pov FatanAku pulang dengan hati gembira. Puas rasanya bisa melihat wajah bingung Nadhifa tadi. Fatan mau dilawan, huh mana mungkin dia berani menggugat cerai aku. Dia itu cinta mati padaku. Tapi kalau dia melakukan hal itu, aku lebih senang. Aku akan menuntut harta gono gini padanya. Walau selama pernikahan kami, aku tak pernah memberi dia nafkah. Buat apa, hartanya kan banyak. Warisan dari papanya gak akan habis untuk tujuh turunan. Kita-kira aku dapat berapa ya nanti. Coba aku hitung, rumah ada dua, mobil dua. Terus tanah dan perkebunan warisan papanya di daerah entah berapa luasnya, nanti coba aku cek. Terus perusahaan, hmm berapa nilainya sekarang ya. Hahaha, aku bakal jadi orang kaya. Ya, orang akan menghormati aku sebagai orang kaya tanpa embel-embel Nadhifa di belakangku.Kenapa gak dari kemarin ya panas-panasin dia biar cemburu terus menuntut cerai dariku.Ah bodohnya aku. Hmm oke, aku akan melakukan sesuatu yang akan mempercepat keputusan dia untuk menuntut cerai
Bab 17Satu jam kemudian aku turun bersama Irene. Mama dan anak-anakku sedang menonton televisi.Mereka tertawa-tawa menonton acara lawakan yang menurutku gak ada lucunya itu."Lho, kenapa kalian masih bersantai. Sebentar lagi Dhifa datang kemari!"Aku kesal karena mereka tak mengindahkan perintahku tadi. Kumatikan televisi dengan gemas. "Papi lupa ya?" tanya Alea sambil tersenyum."Lupa apa?" tanyaku kesal."Lupa dengan syaratku kalau kalian tak mau mengurus Mama dan anak-anak, maka kalian harus angkat kaki dari sini!" Suara dingin Nadhifa mengejutkanku. Dia masuk tanpa suara dan langsung mengatakan hal yang aku lupakan selama ini.Aduh, kenapa aku bisa lupa. Ya ampun, gawat ini. Langsung aku pasang wajah manis pada mereka. Bisa-bisa aku yang diusir malam ini."Aku gak lupa kok Fa. Aku hanya bercanda tadi." "Mas!" sela Irene dengan kesal. "Sstt sudah kamu diam dulu!" bisikku."Sebaiknya kamu dan Irene segera mengemasi pakaian kalian Mas. Aku mau malam ini juga kalian pergi dari r
Bab 18Pov Fatan lagi.Aku dan Irene tiba di kontrakan ayahnya Irene saat hujan semakin deras. Setelah turun dari taksi, aku berlari sambil membawa dua buah koper besar. Irena menyusul beberapa langkah di belakang. "Assalamualaikum," salamku begitu berada di depan pintu. Hari mulai larut, ditambah lagi sedang hujan. Mungkin kedua mertuaku sudah tidur, pikirku. "Ayah, Ibu kami datang!" teriak Irene sambil mengetuk pintu tak sabaran. "Pelan-pelan saja, Ren. Mungkin mereka sudah tidur," ukarku mengingatkan Irena. "Aku sudah kedinginan, Mas," keluh Irena. Memang sebagian pakaiannya basah terkena hujan saat kami menunggu taksi datang tadi. Pintu terbuka, wajah kusut mertuaku muncul dari balik pintu. Kami pun masuk ke dalam, mertuaku hanya diam melihat kami."Ada apa kalian datang malam-malam begini?" tanyanya seraya melirik koper yang ada di Samling kakiku. "Kami diusir, Bu," jawabku malu dan kesal. "Bu, mulai malam ini kami tinggal di sini!" ucap Irene. "Masuklah!" Ibu mertuaku m
Bab 19"Saat hari terakhir di kota, Mas masih berusaha menawarkan diri pada orang yang membutuhkan tenaga Mas. Tapi mungkin nasib lagi apes, sampai sore tak ada satupun yang mau menerima Mas. Mas putus asa, mau pulang ke rumah Budhe, uang buat ongkos sudah habis. Mas terpaksa pulang jalan kaki, saat itu sudah pukul 7 malam. Mas memilih jalan memotong biar cepat sampai.""Terus?" "Jalan yang Mas pilih sangat sepi, sangat jarang orang atau kenderaan yang lewat. Mas berjalan kadang berlari biar cepat sampai. Tetapi saat Mas mendekati areal pemakaman Mas melihat sebuah mobil yang berhenti dengan lampu menyala. Mas dekati ternyata mobil itu habis kerampokan. Pengemudi dan istrinya pingsan." Mataku mnerawang, seolah semua kejadian itu tergambar jelas di depan mataku. "Terus Mas lapor polisi?" tanya Irene penasaran."Gak, Mas pernah belajar bawa mobil waktu di kampung. Mas bawa korban ke rumah sakit. Saat mereka sadar dan sudah sembuh, mereka sangat berterima kasih dan merasa berhutang bud
Bab 20Seminggu kemudian, saat aku baru pulang dari kantor. Irene menyambutku di depan pintu lalu menyerahkan sebuah amplop coklat padaku.Hm, surat dari Pengadilan Agama, jadwal sidang sepuluh hari lagi. Oke, waktunya kamu menangis semakin dekat Dhifa."Mas gak pakai jasa pengacara untuk mendampingi Mas. Soalnya kan harta yang Mas tuntut gak sedikit," usul Irene.Iya juga ya, aku bakal kerepotan menghadapi pengacaranya Dhifa nanti."Nanti Mas coba hubungi teman Mas yang pengacara," sahutku."Jangan kelamaan Mas, biar Mas dan Pengacara itu nanti bisa membuat persiapan yang matang!" "Iya, sekarang Mas lapar. Kamu masak apa?" "Gak masak Mas, aku beliin baso aja ya atau gado-gado buat teman nasi?" Yah Ren, semenjak tinggal disini kamu jadi malas masak. Bosan Mas makan baso lagi."Terserah deh!" ucapku akhirnya.Kalau gak nanti Irene ngambek, bisa runyam lagi nanti. Bakalan tidur di ruang tamu lagi aku."Ya sudah Mas mandi dulu, biar aku beliin gado-gadonya!" Aku masuk ke rumah sambil
Bab 21Pov Nadhifa.Aku tersenyum geli membayangkan wajah bingung Mas Fatan saat tahu mobil dan rumahnya sudah dijual. Enak saja dia mau menuntut harta gono gini. Kerja saja gak becus, kalau tidak dibantu staf-staf khusus yang aku tugaskan mengawasi dan menjalankan Perusahaan mungkin perusahaan itu sudah bangkrut sekarang.Ah, bodoh sekali aku dulu. Mudah luluh dan termakan rayuan manis Mas Fatan. Kamu memang playboy cap Musang Mas. Aku cinta mati dan menutup mata dan telinga dari nasehat teman-temanku. Padahal mereka telah mengingatkan aku kalau Mas Fatan itu suka melirik cewek lain saat bersamaku.Cinta memang telah membutakan mata dan hatiku. Kukira setelah menikah Mas Fatan akan merubah sifatnya. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin melayaninya di rumah. Tapi ternyata dia masih merasa kurang. Batas kesabaran ini telah habis, oke Mas kita lihat sampai mana kamu bisa bertahan hidup dalam keterbatasan finansial."Apa kamu sudah siap, Fa?" tanya Mas Riko. Mas Riko menjadi Pengaca
Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar
Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama
Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t
Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa
Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k
Bab 80"Argh, sial. Sia-sia aku kepanasan pakai hijab ini. Mas Riko nya malah lembur. Huh!"Vanessa melampiaskan kekesalannya di dalam mobil. Dia sudah agak jauh dari kediaman Dhifa. Dia mengemudikan mobil dengan kecewa karena rencananya lagi-lagi berantakan. Padahal dia masih berada di dalam komplek perumahan kediaman Dhifa. Cit!Vanessa mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Karena asyik melamun dia pun menabrak seorang wanita yang akan menyeberang jalan. Ups! Hampir saja. Batin Vanessa kesal. Wanita yang tak lain adalah Irena itu meringis karena terbentur mobil Vanessa. Untung saja Vanessa bisa mengerem tepat waktu sehingga dia tidak terlindas mobilnya. Dengan gugup Vanessa keluar dari dalam mobil untuk melihat keadaan korban Dia menoleh ke sekitar. Untung masih ada di dalam komplek, jadi tidak ada pengendara lain yang lewat, pikirnya senang. "Aduh, kakiku," erang Irena. "Maafkan saya, Mbak. Saya gak sengaja, ayo kita ke rumah sakit saja!" kata Vanessa dengan gugup. "Gak usah,
Bab 79"Mami, ada tamu!" Alea mengetuk pintu kamar mamanya. Dhifa yang baru selesai mandi pun segera membuka pintu kamar lalu bertanya kepada Alea. "Siap, Le?" "Gak tahu, Mi. Katanya teman Papa," jawab Alea. "Ya, sudah suruh tunggu sebentar. Bilangin kalau Papa belum pulang," kata Dhifa. Alea pun mengangguk kemudian menemui kembali tamu yang sedang menunggu di teras. Alea memang tidak menyuruh tamu itu masuk karena dia tidak mengenalnya. "Sebentar, ya, Tante. Mami masih berpakaian, kalau Papa belum pulang," beritahunya pada sang tamu. "Iya, Sayang. Gak apa-apa, Tante tunggu di sini saja," sahut Vanessa, sang tamu yang dimaksud tadi. Vanessa merapikan hijab yang dipakainya. Sebenarnya dia merasa gerah dan tidak nyaman dengan pakaian tertutup seperti itu. Namun, demi berhasilnya rencana bersama mamanya, terpaksa Vanessa menjalaninya. Karena penampilannya yang sudah berubah, maka Alea pun tidak mengenali Vanessa. Orang yang sudah menghina mama dan adiknya dahulu. Tak lama menung
Bab 78"Kurang ajar! Aku terlambat lagi! Ke apa sih Mas Riko gak sabar menunggu aku! Sebal!"Vanessa melemparkan apa saja yang bisa digapainya di dalam kamar. Suara benda pecah dan dibanting bergantian terdengar dari dalam kamarnya membuat para pembantu ketakutan. Mereka tahu bagaimana kelakuan Vanessa jika sedang marah begitu, dia bisa bersikap kasar dan brutal. Jadi mereka tidak ada yang berani mendekat. Prang!Vanessa melempar cermin di meja riasnya dengan botol parfum. Dia sangat kesal dan marah karena baru tahu kalau Riko, mantan suami kakaknya itu sudah menikah lagi. Sementara itu, Vero, mamanya Vanessa baru saja kembali dari arisan bersama geng sosialitanya merasa heran melihat para pembantu berkumpul di depan kamar Vanessa. "Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?" "Eh, Nyonya sudah pulang? Itu, Neng Vanessa ngamuk di dalam kamarnya," jawab pembagi paling senior di rumah itu. "Vanessa mengamuk? Kenapa lagi itu anak?" gerutu Vero lalu mengetuk pintu kamar anaknya.