Pov Fatan.
Huhhh, aku memukul setir dengan kesal. Berani sekali Dhifa menolak keinginanku. Seharusnya dia bersyukur aku minta ijin padanya.
Kalau aku menikah diam-diam bagaimana? Aku gak mau berbuat dosa dengan kekasihku. Irene gadis cantik yang bekerja sebagai asisten sekretarisku di kantor.
Dia itu cantik, baik dan juga perhatian denganku.
Kuakui kalau Nadhifa istriku itu adalah wanita yang cantik dan mandiri. Dia bisa mengurus anak-anak dan aku dengan baik. Tapi aku tak hanya butuh itu, aku butuh perhatian lebih darinya.
Perhatian selayaknya dari kekasih. Dulu saat masih pacaran dia selalu siap kapanpun aku mengajaknya keluar. Walau hanya sekedar berjalan-jalan di taman.
Berbincang segala macam hal yang penting hanya ada kami berdua saja. Tapi sekarang dia tak lagi perhatian padaku. Selalu anak-anak yang jadi alasan, padahal kan di rumah sudah ada Mamaku.
Masa meninggalkan anak sebentar saja tak bisa. Aku jadi ingat kejadian tiga minggu lalu.
"Fa, kamu masih di salon?" tanyaku di telpon.
"Gak Mas, aku sudah pulang. Tadi ke salon hanya mengecek pembukuan aja. Ada apa Mas?"
"Ehm Mas dapat tiket nonton buat dua orang sore ini. Tapi waktunya mepet kalau Mas jemput kamu lagi. Jadi kamu pergi sendiri aja ya. Nanti kita ketemu di bioskopnya aja!"
"Oh iya Mas, nanti Dhifa kesana!" janjinya.
Aku tersenyum senang, aku sudah membayangkan kalau nanti kami akan mengulang lagi masa-masa saat kami pacaran dulu.
Nonton film berdua, makan popcorn dengan minuman soda. Ah aku jadi tertawa sendiri di kantorku.
Aku kembali fokus dengan pekerjaanku. Hingga ketika aku tersadar waktu film diputar hampir tiba.
Bergegas aku keluar kantor dan memacu kenderaanku ke Bioskop yang ada di dalam Mall di kotaku.
Pasti Dhifa sudah tiba di sana, soalnya 10 menit lagi filmnya bakal dimulai.
Setelah memarkirkan mobil aku naik ke lantai 5 dan langsung menuju ke gedung bioskop.
Aku celingukan mencari sosok Dhifa istriku, tapi tak kutemukan. Dimana dia, apa dia gak jadi datang.
Dengan kesal aku menghubungi nomornya.
"Hallo Mas, ada apa?" tanyanya dengan santainya.
"Dhifa, kok malah nanya. Kamu di mana? Filmnya udah mau mulai nih!" teriakku kesal.
"Lho Mas belum buka pesanku di Wa ya Mas. Aku gak bisa datang Mas, Axel agak panas jadi—"
Kesal kumatikan telponku. Selalu begini, anak selalu jadi alasan. Hanya demam sedikit saja sudah dibawa khawatir. Padahal minum obat pereda panas juga nanti bisa sembuh. Juga ada Mama yang bisa menjaga Axel sebentar.
Aku mengomel sendiri didepan Bioskop.
"Lho Pak Fatan, sedang apa disini?" tanya seseorang disampingku.
Aku menoleh ternyata Irene asisten Sekretarisku yang baru.
"Oh saya mau nonton tapi sepertinya batal. Istri saya tidak jadi datang!" jawabku masih dengan rasa kesal.
"Sayang sekali Pak, ehm bagaimana kalau tiketnya buat saya aja Pak. Saya juga mau nonton tapi gak ada temannya!" usul Irene.
Hmm boleh juga, dari pada mubazir tiket ini, pikirku.
Aku pun menyetujui usul Irene dan kami pun akhirnya menonton berdua. Sepanjang film diputar Irene berulang kali berteriak histeris dan refleks memeluk lenganku.
Aku memang membeli tiket film horor, maksudnya agar bisa bermesraan dengan Dhifa karena dia paling takut nonton film begituan.
Tapi ternyata yang memeluk lenganku malah Irene karyawanku. Ada desir-desir halus dihatiku saat dia memeluk lenganku tadi. Irene pun tampaknya tak canggung untuk memelukku.
Bahkan saat kami keluar dari gedung bioskop tangannya masih memeluk lenganku dengan erat.
Aku tak berusaha mencegahnya, aku menikmati desiran dihatiku.
"Terimakasih ya Pak, sudah mengijinkan Irene menonton sama Bapak!" ucapnya manja.
"Hmm ya, ayo kita pulang. Saya antar sampai kerumahmu!" ajakku dan langsung disambut Irene dengan antusias.
Sampai dirumahnya aku tak diperbolehkannya langsung pulang. Dia mengajakku singgah dan orang tuanya juga memaksaku.
Terpaksalah aku mengalah dan mampir sejenak dirumahnya.
Keluarga Irene termasuk kedlam keluarga sederhana. Rumah mereka hanya berupa rumah petak yang mereka sewa perbulannya 500 ribu. Itu kata Bapaknya Irene saat mengobrol denganku.
Hari hampir larut malam saat aku pamit pulang. Irene mengantarku kedalam mobil dan berulangkali mengucapkan terimakasih.
Semenjak itu sikapnya berubah jadi manja dan perhatian padaku di kantor. Aku merasa senang saja karena ada yang memperhatikanku selain Dhifa di rumah.
Sekretatisku mulai curiga dengan gelagat Irene padaku.
"Pak, apa Bapak gak risih dengan kelakuan Irene di kantor. Nanti bisa jadi gosip lho Pak!" Wita sekretarisku mengingatkanku.
"Gosip apaan Ta, kamu jangan mengada-ada. Irene itu kan memperhatikanku masih dalam batas kewajaran. Dia asisten kamu otomatis asistenku juga. Sudah kamu urus pekerjaan saja gak usah kepo sama urusan saya!" bentakku pada Wita.
Irene tersenyum manis melihat hal itu dan mendekatiku.
"Pak, sudah siang nih. Kita makan siang yuk!" ajaknya manja.
"Hey Irene pekerjaanmu belum selesai kan!" sela Wita.
"Pakkkk!" rengek Irene sambil memeluk lenganku.
"Kamu selesaikan pekerjaan dia Ta, saya mau makan siang dengannya!" tandasku.
Wita menggelengkan kepalanya tapi tak kuperdulikan. Aku menarik tangan Irene dan keluar dari kantor.
***
"Fa, besok Mas mau kontrol cabang kita di daerah. Mungkin sekitar tiga hari. Kamu bisa ikut kan?" tanyaku pada Dhifa.
"Kayaknya gak bisa deh Mas, aku harus menemani anak-anak Mas. Mereka ada Fieldtrip dari sekolah. Orangtua harus ikut!" jawab Dhifa.
Ah lagi-lagi Dhifa menolak ajakanku. Padahal aku sudah memesan sebuah resort di daerah.
Perusahaanku di daerah memang terletak didaerah yang dekat dengan pantai. Sia-sia khayalanku untuk berbulan madu kembali dengan Dhifa istriku.
Dengan kesal aku keluar dan duduk melamun di teras.
Ting!
Pesan dari Irene masuk ke ponselku.
[Malam Bapak, sedang apa?]
[Hah aku sedang kesal Ren!] balasku.
Aku mulai ber kamu aku saat bicara dengan Irene sekarang.
[Kesal kenapa sih Bapak sayang?]
Irene mengirimkan emot kiss padaku. Hatiku bergejolak kembali.
Apa aku ajak dia saja untuk menemaniku ke daerah ya, pikirku.
[Ren, siapkan pakaianmu. Besok kita berangkat ke daerah tiga hari!]
[Beneran nih Bapak sayang? Siap Pak, Irene senang sekali. Irene sayang Bapak. Muachhh!]
Kembali emot kiss dikirim padaku. Maaf Fa, ini bukan salah Mas. Kamu yang salah menolak ajakan Mas, bisikku dalam hati.
Jadilah tiga hari kemudian aku bersenang-senang bersama Irene. Siang hari dia mendampingiku mengecek perusahaan. Malam hati giliran aku yang mengecek tubuh Irene.
Walau ada sedikit kekecewaan saat pertama mengetahui kalau Irene sudah tak pe****n tapi tak apalah. Lagipula alasan Irene masuk akal, dia kehilangan hartanya itu karena jatuh dari sepeda.
Itu kan kecelakaan saat kecil, gak boleh disalahkan. Iya kan?
Tiga hari terasa sangat singkat, dan yang tak aku sangka adalah usai mengantar Irene pulang kerumahnya aku diminta bertanggung jawab karena sudah membawa anak gadisnya oleh orangtuanya.
"Kamu harus menikahi Irene Fatan, harus!" ucap Ayahnya.
"Tapi Pak, saya sudah punya istri," elakku.
Aku memang tak berniat untuk menambah istri lagi.
"Tidak bisa, Irene bilang kalian telah tidur bersama. Dan saya tidak mau tahu kamu harus menikahinya. Jika istrimu belum setuju, kalian menikah siri dulu!"
Aku terdiam mendengar ultimatum Ayahnya Irene. Bagaimana aku bisa meminta ijin pada Dhifa. Aku kalut tapi akhirnya aku nekat meminta ijin pada Dhifa. Lagi pula aku sudah nyaman dengan Irene. Dia lebih perhatian padaku.
Seperti dugaanku, Dhifa menolak. Aku meninggalkannya karena malas menjawab pertanyaanya.
***
"Assalamualaikum," salamku.
"Waalaikumsalam, eh Nak Fatan mari masuk!" ajak Ayah Irene ramah.
"Bagaimana Nak Fatan, kapan kamu akan menikahi anak kami?" tanya Ibunya.
"Secepatnya Bu, tapi saya akan menikahinya secara siri dulu," jawabku.
"Gak apa Mas, tapi aku minta Mas kawinnya rumah seperti rumah Mas yang sekarang ya!" sahut Irene mengejutkanku.
See u next part.
Pov NadhifaSudah seminggu Mas Fatan tak pulang ke rumah. Sejak malam itu aku kehilangan jejaknya. Di kantor juga dia tak ada, kata Wita sekretarisnya Mas Fatan pergi ke daerah urusan kantor. Kucoba cek ke daerah melalui orang kepercayaanku, namun keberadaan Mas Fatan tak ada di sana juga. "Kemana kamu Mas, apa kamu jadi menikah dengan perempuan itu dan tengah berbulan madu sekarang!" desisku geram. Kuhubungi nomor seseorang di ponselku."Assalamualaikum Ibu," salam Wita diseberang sana."Waalaikumsalam, Wita kamu tahu siapa perempuan yang dekat dengan Bapak akhir-akhir ini?" tanyaku langsung."Ehm maksud Ibu gimana?" jawab Wita dengan gugup. "Kamu tahu Wit, Mas Fatan minta ijin ingin menikah lagi. Kira-kira kamu tahu dengan siapa?" "Astaghfirullah, beneran Bu. Berani sekali dia. Saya tahu Bu. Namanya Irene, dia asisten saya yang baru. Dia baru dua bulan ini bekerja disini!" jawab Wita dengan sedikit emosi.Aku tahu kalau dia juga pasti emosi mendengarnya. "Kita ketemuan ya Wit,
Pov Fatan."Mas bangun! Sudah siang!" teriak Irene dari dapur. Aku membuka mata, kulirik jam didinding. Aku bangkit, mengucek mataku sebentar lalu keluar dari kamar."Kok malah keluar sih Mas, mandi gih," suruh Irene kesal."Iya Sayang, cium dulu dong!" Aku mendekati Irene yang sedang sibuk memasak."Ihhh jorok kamu Mas, masih bau jigong main nyosor aja!" elak Irene. Aku tertawa lalu masuk ke kamar kembali."Ada apa sih Ren, dari tadi berisik aja!" Ibunya muncul sambil bersungut-sungut."Biasa Bu, mantu Ibu itu kalau gak dikerasin gak bergerak. Lelet banget jadi kesal!" "Jangan terlalu keras kamu, nanti dia bosan terus balek ke Bini tuanya nyesal kamu!" "Gak akan Bu, tenang aja!" sahut Irene dengan sombongnya."Oh ya hari ini jadi kalian mulai ngantor?" "Jadilah Bu, sudah hampir sebulan kami libur. Untung dari sana gak ada protes, Mas Fatan juga heran kenapa sekretarisnya gak pernah laporan atau minta tandatangan dia. Makanya hari ini kami masuk kantor.""Yah Ibu sendirian dong
Pov Irene."Bu, Ibuuuuu!" teriakku kesal. Kuhempaskan tubuhku ke kursi teras. Ibuku tergopoh-gopoh keluar rumah."Ada apa sih Ren, ngagetin Ibu aja?" tanya Ibuku."Mas Fatan Bu, aku kesal. Ternyata perusahaan itu punya istrinya. Dia cuma menjalankan aja!" "Ya ampun, jadi gimana sekarang. Dia gak dipecat kan?" "Aku yang dipecat Bu, aku malu. Mana karyawannya pada mengejek aku Bu!" "Kita ngobrol didalam aja, disini nanti ada yang dengar!" ajak Ibu. Aku mengikuti Ibuku masuk kedalam. Kami memilih duduk di teras samping, disini udaranya sejuk."Terus gimana tadi kalian, sempat berantem gak. Kamu sempat nyakar mukanya gak?" tanya Ibuku gak sabaran."Boro-boro Bu, yang ada aku diusir. Dia main cantik Bu, gak pakai emosi kayak anaknya Ceu Mumun waktu dilabrak istri muda lakinya itu," jawabku."Yah, kok gak cakar-cakaran sih. Padahal kamu pasti menang. Kamu kan jago kelahi Ren!" sesal Ibuku.Aku tersenyum mendengar perkataan Ibuku. Kalau soal kelahi aku paling jago. Si Zaenab anak Pak RT
Bab 6Pov Nadhifa.Bukan aku tak sayang anak-anakku saat aku memilih menitipkan mereka di rumah Papinya. Justru aku ingin anak-anakku itu bisa membuka mata hati suamiku yang sudah tertutup agar sadar dan kembali pada kami keluarganya.Aku tahu dia telah berbuat kesalahan, tapi bukankah manusia itu memang tempatnya salah dan dosa. Aku juga merasa bersalah, semenjak ada anak-anak aku kurang memperhatikannya. Jika Mas Fatan mau bertobat dan menyadari kesalahannya, aku akan mencoba memaafkannya dan menerima dia kembali.Tanpa si ulet bulu Irene pastinya. Jika dia masih bersama ulet bulu itu takkan pernah kuterima dirinya kembali.Ah sudah pukul enam lewat sedikit, saatnya menjemput anak-anak dirumah Mas Fatan untuk kuantar kesekolah.Soalnya mobil Mas Fatan sudah aku sita, biar dia rasakan pergi ke kantor naik angkot atau ojol. Gajinya di kantor juga sudah kupangkas habis. Dari gaji 50 juta sekarang hanya 15 juta yang kuberi, dan dia menerimanya. Aku tahu dia malas untuk mencari kerja d
"Selamat datang Pak Fatan dam Bu Dhifa. Terima kasih sudah mau hadir di acara kami!" sambut Pak Subroto dan istrinya.Aku mengucapkan selamat dan terima kasih pada pasangan suami istri itu. Selesai berbasa-basi aku memilih mengambil minuman disudut ruangan. Lalu aku memilih duduk di sofa yang ada di dekat dinding yang terbuat dari kaca.Lalu lalang kenderaan terlihat dari sini. Hotel ini memang terletak di tepi jalan yang selalu ramai."Dhifa, angin apa yang membawamu kemari. Mana suamimu, masih indehoy dengan istri barunya kah?" Suara seseorang mengagetkanku."Eh Mas Dera, apa kabar. Wah rupanya kabar Mas Fatan jadi trending topik ya!" jawabku sedikit gugup.Gila, aku gak nyangka sudah banyak yang tau kelakuan Mas Fatan."Dia sering mengunggah beritanya di grup PPM. Foto-fotonya dengan istri barunya juga di pamerkan setiap hari," terang Mas Dera."PPM, Perkumpulan Pengusaha Muda itu. Luar biasa.""Kami juga kaget Fa, yah sebejat-bejatnya kami. Gak akan sampai kebablasan kayak suamim
Bab 8Pov Fatan"Sial, kenapa aku ikut tadi ya. Kan begini jadinya. Malu sekali aku," gerutuku sepanjang perjalanan."Bapak gak apa-apa kan?" tanya supir ojol yang kutumpangi."Eh gak apa Mas, jalan aja terus!" jawabku malu.Aku kembali mengumpat dalam hati. Aku gak nyangka kalau Dera dan teman-temannya juga hadir disana. Ternyata calon menantu Pak Subroto juga anggota grup PPM. Aku baru tahu saat bersalaman dengan anak dan calon menantu Pak Subroto tadi."Ya pinggir disini Pak!" Motor berhenti dan aku langsung turun, kubayar ongkos ojol dan akupun masuk kedalam rumah.Suara teriakan dan tangisan menyambutku didalam.Ya ampun, apalagi ini. Axel sedang menangis dilantai. Dan Mama kulihat sedang berteriak marah pada Irene."Papiiiii," teriak Axel menyambutku.Kupeluk Axel yang masih menangis. "Syukur kamu pulang Tan, lihat ini kelakuan istrimu. Berani sekali dia menjewer telinga Axel. Maminya saja gak pernah sekejam itu pada anak-anaknya!" lapor Ibuku."Terlalu dimanja, makanya anakm
Bab 9"Papi mau kemana?" tanya Alea saat melihatku turun bersama Irene dengan pakaian rapi.Kutoleh anakku, rupanya mereka sedang menonton TV dengan Mamaku."Papi mau ke Mall sama Tante, kalian sa---""Ke Mall, ikut Pi!" teriak Axel."Iya, kami ikut!" sambung Alea."Sudah malam, kalian kan besok sekolah!" jawabku beralasan."Gak perduli, pokoknya ikut!" ucap Alea."Sudah bawa aja Tan, kasihan mereka sudah lama gak jalan-jalan!" Mama ikut berbicara membuat Irene kembali cemberut. Aku mengelus tangannya yang kugenggam mencoba menenangkannya."Ya sudah boleh ikut, tapi jangan minta macam-macam ya!" ingatku. "Asyikkkk, Oma ikut juga yuk!" teriak anak-anakku.Akhirnya kami berlima pergi ke Mall, naik Taksi yang mendadak sempit. Aku duduk di depan bersama Axel, Mama dan Alea duduk di belakang beserta Irene yang makin cemberut.Aku kasihan padanya, sebagai penebus kekecewaanya. Nanti aku suruh dia belanja sepuasnya. Kalau perlu sampai jebol Credit Cardku. Biar saja, toh bukan aku yang me
Bab 10Pov Mama Fatan.Senyummu mengembang saat melihat Irena datang dengan wajah cemberut. Di belakangnya Fatan mengikuti dengan tak bersemangat. "Kamu kenapa, Irena? Mana belanjaan kamu?" tanyaku pura-pura tak tahu. "Belanja apaan, anak Mama duh, bohong aja kerjanya," sahut Irena. Dia melirik kepada Fatan dengan wajah sedih dan kecewa. Puas hatiku melihat wajah Irene yang kecewa dan malu karena barang yang sudah dipilihnya batal dibeli. Tak akan kubiarkan Irena leluasa menikmati hasil kerja keras Fatan dan Dhifa selama ini. Aku bersyukur Dhifa bertindak cepat memblokir kartu kredit yang dipegang Fatan setelah kutelepon tadi. . Kalau tidak uang lebih dari 35 juta melayang dibuat wanita tak tahu diri itu.Heran aku, beli pakaian dan barang lain sampai begitu banyak. Belinya di Butik ternama lagi yang harga satu potong baju aja bisa sampai 5 juta.Gak habis pikir aku, kok bisa baju begitu aja sampai semahal itu. Syukurlah keinginan Irene untuk beli pakaian mahal tak kesampaian."Ma
Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar
Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama
Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t
Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa
Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k
Bab 80"Argh, sial. Sia-sia aku kepanasan pakai hijab ini. Mas Riko nya malah lembur. Huh!"Vanessa melampiaskan kekesalannya di dalam mobil. Dia sudah agak jauh dari kediaman Dhifa. Dia mengemudikan mobil dengan kecewa karena rencananya lagi-lagi berantakan. Padahal dia masih berada di dalam komplek perumahan kediaman Dhifa. Cit!Vanessa mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Karena asyik melamun dia pun menabrak seorang wanita yang akan menyeberang jalan. Ups! Hampir saja. Batin Vanessa kesal. Wanita yang tak lain adalah Irena itu meringis karena terbentur mobil Vanessa. Untung saja Vanessa bisa mengerem tepat waktu sehingga dia tidak terlindas mobilnya. Dengan gugup Vanessa keluar dari dalam mobil untuk melihat keadaan korban Dia menoleh ke sekitar. Untung masih ada di dalam komplek, jadi tidak ada pengendara lain yang lewat, pikirnya senang. "Aduh, kakiku," erang Irena. "Maafkan saya, Mbak. Saya gak sengaja, ayo kita ke rumah sakit saja!" kata Vanessa dengan gugup. "Gak usah,
Bab 79"Mami, ada tamu!" Alea mengetuk pintu kamar mamanya. Dhifa yang baru selesai mandi pun segera membuka pintu kamar lalu bertanya kepada Alea. "Siap, Le?" "Gak tahu, Mi. Katanya teman Papa," jawab Alea. "Ya, sudah suruh tunggu sebentar. Bilangin kalau Papa belum pulang," kata Dhifa. Alea pun mengangguk kemudian menemui kembali tamu yang sedang menunggu di teras. Alea memang tidak menyuruh tamu itu masuk karena dia tidak mengenalnya. "Sebentar, ya, Tante. Mami masih berpakaian, kalau Papa belum pulang," beritahunya pada sang tamu. "Iya, Sayang. Gak apa-apa, Tante tunggu di sini saja," sahut Vanessa, sang tamu yang dimaksud tadi. Vanessa merapikan hijab yang dipakainya. Sebenarnya dia merasa gerah dan tidak nyaman dengan pakaian tertutup seperti itu. Namun, demi berhasilnya rencana bersama mamanya, terpaksa Vanessa menjalaninya. Karena penampilannya yang sudah berubah, maka Alea pun tidak mengenali Vanessa. Orang yang sudah menghina mama dan adiknya dahulu. Tak lama menung
Bab 78"Kurang ajar! Aku terlambat lagi! Ke apa sih Mas Riko gak sabar menunggu aku! Sebal!"Vanessa melemparkan apa saja yang bisa digapainya di dalam kamar. Suara benda pecah dan dibanting bergantian terdengar dari dalam kamarnya membuat para pembantu ketakutan. Mereka tahu bagaimana kelakuan Vanessa jika sedang marah begitu, dia bisa bersikap kasar dan brutal. Jadi mereka tidak ada yang berani mendekat. Prang!Vanessa melempar cermin di meja riasnya dengan botol parfum. Dia sangat kesal dan marah karena baru tahu kalau Riko, mantan suami kakaknya itu sudah menikah lagi. Sementara itu, Vero, mamanya Vanessa baru saja kembali dari arisan bersama geng sosialitanya merasa heran melihat para pembantu berkumpul di depan kamar Vanessa. "Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?" "Eh, Nyonya sudah pulang? Itu, Neng Vanessa ngamuk di dalam kamarnya," jawab pembagi paling senior di rumah itu. "Vanessa mengamuk? Kenapa lagi itu anak?" gerutu Vero lalu mengetuk pintu kamar anaknya.