Bab 65"Diminum dulu Mas!" Suara Dhifa membuatku tersadar."Terima kasih Fa." Kuteguk kopi yang disuguhkan Dhifa."Manis, semanis yang membuatnya," pujiku.Bukannya senang Dhifa malah mengerucutkan bibirnya. Aku tersenyum melihatnya, Dhifa kelihatan semakin menggemaskan kalau begitu.Aku berdehem kecil berusaha menetralkan debaran jantungku yang mendadak berubah menjadi bar-bar."Fa, sebenarnya sudah sejak kemarin Mas ingin mengatakan hal ini padamu. Tapi Mas rasa sekaranglah saat yang tepat." Aku mengambil posisi berlutut didepan Dhifa. Dia kelihatan kaget saat aku menggenggam kedua tangannya."Dhifa, will you marry me?" ucapku yakin.Dhifa kelihatan kaget dengan perlakuanku. Dia berusaha melepaskan genggamanku. "Mas apa-apaan sih ini?" tanyanya marah."Aku mencintai kamu Fa, aku ingin menikah denganmu!" "Mas Riko, aku baru sebulan lebih bercerai. Bagaimana bisa aku menikah secepat ini?" "Mas gak minta kita menikah secepatnya Fa, Mas hanya ingin kamu menerima Mas dulu. Mas akan m
Bab 66"Selamat pagi Dokter, pagi Om!" sapaku begitu tiba di rumah sakit."Selamat pagi, kita tunggu pihak kepolisian yang akan memeriksanya ya!" kata Om Faisal.Aku mengangguk mengerti, memilih duduk di kursi yang ada didepan taman ruang ICU. "Selamat pagi Pak, silahkan masuk kedalam. Pasien sudah cukup stabil untuk ditanyai!" Aku menoleh kebelakang, ternyata Pak polisinya sudah datang. Dua orang berpakaian polisi dan seorang berpakaian biasa berdiri membelakangiku.Tunggu dulu, yang berpakaian biasa itu bukannya ... Mas Riko! Aku masih termangu memandang orang itu dari kursiku.Dua orang polisi beserta Dokter dan Om Faisal masuk kedalam ruangan ICU. Tinggal pria itu sendirian, saat dia berbalik senyumku langsung merekah. Benarkan, dia Mas Riko.Aih kenapa hatiku jadi berdebar-debar sih? Mas Riko mendekatiku, ikut duduk di sampingku. "Sudah sarapan?" tanyanya pendek. "Sudah Mas, apa Mas Riko belum sarapan?" tanyaku balik."Belum," jawabnya singkat. Mas Riko mengambil ponsel dari
Bab 67"Ini semua salah kamu Fa. Kalau saja kamu setuju kita rujuk kembali, pasti Mama gak akan mengalami hal ini!" tuduhnya dengan licik."Kok Mas jadi nyalahin aku. Harusnya Mas itu yang introspeksi diri, bukannya nyalahi aku seenaknya begini!" balasku kesal."Aku beneran sudah tobat Fa. Kamu lihat sendiri kan seminggu ini aku diam, aku memberi kamu kesempatan untuk berpikir. Sekarang aku yakin, kamu pasti merasa kehilangan perhatian aku kan. Kamu merasa kesepian karena aku cuekin seminggu ini. Ngaku aja kamu Fa!" bentaknya lagi. Aku hanya menggeleng kesal sekaligus tak mengerti. Apa ada orang yang ingin rujuk malah marah-marah dengan mantan pasangannya?"Kami harus mau kembali rujuk denganku, Fa!" sambungnya kemudian. Ya Allah, ini orang gak sadar juga ternyata. Kadar kepedeannya masih maksimal."Mama kamu sedang sakit malah ngomong gak jelas gitu Mas. Aku pamit kalau begitu. Malas meladeni kegilaan kamu!" ujarku kesal mengingatkannya."Pergi sana Fa, jika terjadi sesuatu pada ma
Bab 68Pov Riko.Aku terbangun karena mendengar suara adzan dari mesjid di kejauhan. Selesai menunaikan kewajibanku, aku keluar dari kamar hotel tempat aku menginap. Hanafi, teman SMAku sedang bermasalah dengan mantan istrinya. Soal hak asuh anak yang dituntut oleh mantan istrinya, sementara kedua anaknya selama ini berada dibawah pengawasan Hanafi.Istrinya kabur dengan lelaki lain, Hanafi menceraikan istrinya sedang hak asuh berada ditangan Hanafi. Setahun kemudian istrinya muncul kembali meminta agar anak-anaknya tinggal bersamanya.Karena Hanafi tak mengizinkannya, mantan istrinya menuntut ke Pengadilan agar hak asuh anak jatuh ke tangannya.Aku sudah membantunya mengurus berkas yang diperlukan untuk sidang yang akan dilaksanakn dua hari lagi. Aku berjalan santai disepanjang lorong kamar hotel. Segelas kopi sepertinya bisa merilekskan pikiranku saat ini.Suasana Cafe yang ada di hotel ini masih sepi. Wajar saja, masih pukul 6 pagi, mungkin para tamu hotel masih terlelap dengan
Bab 69Pov Alea.Mataku tak berhenti menatap lalu lalang Suster, Dokter atau keluarga pasien di depanku.Aku begitu syok dengan peristiwa yang baru saja aku alami. Mamiku sedang koma didalam, sedangkan papiku, ah aku tak mau menganggap dia papiku.Dia jahat dan kejam padaku, Axel dan Mami. Sejak aku mulai mengerti dan mengenal kasih sayang orang tua, papiku tak pernah memberikan hal itu padaku.Papi selalu pergi pagi pulang malam, jika pun di rumah hanya ponselnya saja yang bersamanya.Papi seperti orang asing di rumah, dia seolah cuek dan merasa kalau kami hanyalah sebuah hambatan baginya.Entah hambatan apa, aku tak tahu dan tak mengerti. Aku hanya mendengar hal itu saat Papi sedang memarahi Mami.Sejak lama aku sering mencuri dengar jika Mami dan Papi bertengkar. Sebenarnya sih Papi yang sering memarahi Mami. Papi gak suka kalau urusannya dicampuri, terlebih lagi soal perempuan. Mami sering menangis karena ulah papiku.Dan yang paling menyakitkanku saat papi menikah lagi dengan Ta
Bab 70Papiku kelihatan kecewa, wajahnya berubah menjadi sedih. Aku jadi gak tega melihatnya. Kasihan papiku, mungkin dia butuh dukungan dari kami. "Biarin aja Mi, kasihan Papi. Mungin dia gak ingin sendirian." Akhirnya nanti aku menyesali ucapanku ini. Mami akhirnya mengizinkan papiku ikut. Ah maafkan Alea ya Mi, karena Alea Mami jadi celaka.Papi masuk lalu duduk di kursi belakang di samping Axel. Sekilas aku melihat senyum aneh papiku.Sesampai di rumah, kami masuk kedalam. "Alea, Axel mandi terus shalat maghrib ya!" suruh mamiku."Iya Mi," jawabku dan Axel. Aku dan Axel naik keatas, sementara Mami dan Papi masih berbincang dibawah. Setelah mandi aku melanjutkan dengan melaksanakan shalat Maghrib. Aku hampir selesai shalat ketika terdengar suara ribut-ribut diluar.Selesai shalat, aku bergegas keluar kamar. Aku melihat Papi mengejar Mami yang sedang naik ke atas. Di anak tangga paling atas Mami berhenti melihat Papi yang sudah berada di tengah tangga. "Sebaiknya kamu pula
Bab 71POV RikoAku memeluk Alea yang semakin tersedu. Entah mengapa Alea kelihatan sangat menyesal. Mungkin dia merasa sedih karena papinya telah meninggal dunia karena luka berat dikepala. Sedangkan maminya sedang koma karena pisau belati milik papinya telah merobek usus diperut Dhifa.Lukanya cukup serius, namun tim Dokter telah berhasil mengoperasi luka dalam yang dialami Dhifa.Namun Dhifa belum sadarkan diri juga, aku berharap semoga Dhifa segera sadar. Kasihan anak-anaknya."Alea sama Axel, gimana kalau kalian pulang saja. Kalian istirahat dulu dirumah. Biar Om sama Opa Faisal yang jaga Mami," usulku."Gak mau Om, kami mau jaga Mami disini sampai Mami sadar!" tolak Alea. "Sayang, apa yang dikatakan Om Riko itu memang benar. Kalian pulang sama Oma yuk. Kita istirahat dulu dirumah Oma. Besok kita kemari lagi!" bujuk Tante Melisa.Akhirnya Alea dan Axel mau menuruti permintaanku. Aku menarik nafas lega, kasihan mereka kalau harus terus menunggu dirumah sakit.Aku berbincang deng
Bab 72Tiga bulan kemudian."Sah?" "Sah!" Suara tamu yang menjadi saksi pernikahan Dhifa dan Riko terdengar bersahutan setelah Riko mengucapkan ijab kabul beberapa saat sebelumnya. Dhifa yang menunggu di dalam ruangan lain pun meneteskan air mata haru. Dia bersyukur karena pada akhirnya bisa menikah juga dengan Riko. Setelah melewati saat kritis beberapa bulan yang lalu, Dhifa pun setuju untuk menikah dengan dukungan dari kedua anaknya. Malam harinya, di dalam kamar pengantin yang sudah dihias dengan indahnya. Dhifa sudah selesai membersihkan diri dari riasan pengantin juga pakaian yang dipakainya sepanjang hari itu. Dhifa duduk dengan gelisah di depan meja riasnya. Menunggu Riko yang sedang berada di kamar mandi. "Kamu kenapa, Fa?" tanya Riko yang sudah selesai dengan mandinya. Harum aroma sabun membuat Dhifa menoleh kepadanya. "Mas Riko, aku gak apa-apa, kok. Sebaiknya kita tidur saja sekarang," jawab Dhifa.Riko pun tersenyum mengerti, lalu membimbing Dhifa untuk berbaring di
Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar
Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama
Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t
Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa
Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k
Bab 80"Argh, sial. Sia-sia aku kepanasan pakai hijab ini. Mas Riko nya malah lembur. Huh!"Vanessa melampiaskan kekesalannya di dalam mobil. Dia sudah agak jauh dari kediaman Dhifa. Dia mengemudikan mobil dengan kecewa karena rencananya lagi-lagi berantakan. Padahal dia masih berada di dalam komplek perumahan kediaman Dhifa. Cit!Vanessa mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Karena asyik melamun dia pun menabrak seorang wanita yang akan menyeberang jalan. Ups! Hampir saja. Batin Vanessa kesal. Wanita yang tak lain adalah Irena itu meringis karena terbentur mobil Vanessa. Untung saja Vanessa bisa mengerem tepat waktu sehingga dia tidak terlindas mobilnya. Dengan gugup Vanessa keluar dari dalam mobil untuk melihat keadaan korban Dia menoleh ke sekitar. Untung masih ada di dalam komplek, jadi tidak ada pengendara lain yang lewat, pikirnya senang. "Aduh, kakiku," erang Irena. "Maafkan saya, Mbak. Saya gak sengaja, ayo kita ke rumah sakit saja!" kata Vanessa dengan gugup. "Gak usah,
Bab 79"Mami, ada tamu!" Alea mengetuk pintu kamar mamanya. Dhifa yang baru selesai mandi pun segera membuka pintu kamar lalu bertanya kepada Alea. "Siap, Le?" "Gak tahu, Mi. Katanya teman Papa," jawab Alea. "Ya, sudah suruh tunggu sebentar. Bilangin kalau Papa belum pulang," kata Dhifa. Alea pun mengangguk kemudian menemui kembali tamu yang sedang menunggu di teras. Alea memang tidak menyuruh tamu itu masuk karena dia tidak mengenalnya. "Sebentar, ya, Tante. Mami masih berpakaian, kalau Papa belum pulang," beritahunya pada sang tamu. "Iya, Sayang. Gak apa-apa, Tante tunggu di sini saja," sahut Vanessa, sang tamu yang dimaksud tadi. Vanessa merapikan hijab yang dipakainya. Sebenarnya dia merasa gerah dan tidak nyaman dengan pakaian tertutup seperti itu. Namun, demi berhasilnya rencana bersama mamanya, terpaksa Vanessa menjalaninya. Karena penampilannya yang sudah berubah, maka Alea pun tidak mengenali Vanessa. Orang yang sudah menghina mama dan adiknya dahulu. Tak lama menung
Bab 78"Kurang ajar! Aku terlambat lagi! Ke apa sih Mas Riko gak sabar menunggu aku! Sebal!"Vanessa melemparkan apa saja yang bisa digapainya di dalam kamar. Suara benda pecah dan dibanting bergantian terdengar dari dalam kamarnya membuat para pembantu ketakutan. Mereka tahu bagaimana kelakuan Vanessa jika sedang marah begitu, dia bisa bersikap kasar dan brutal. Jadi mereka tidak ada yang berani mendekat. Prang!Vanessa melempar cermin di meja riasnya dengan botol parfum. Dia sangat kesal dan marah karena baru tahu kalau Riko, mantan suami kakaknya itu sudah menikah lagi. Sementara itu, Vero, mamanya Vanessa baru saja kembali dari arisan bersama geng sosialitanya merasa heran melihat para pembantu berkumpul di depan kamar Vanessa. "Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?" "Eh, Nyonya sudah pulang? Itu, Neng Vanessa ngamuk di dalam kamarnya," jawab pembagi paling senior di rumah itu. "Vanessa mengamuk? Kenapa lagi itu anak?" gerutu Vero lalu mengetuk pintu kamar anaknya.