Bab 68Pov Riko.Aku terbangun karena mendengar suara adzan dari mesjid di kejauhan. Selesai menunaikan kewajibanku, aku keluar dari kamar hotel tempat aku menginap. Hanafi, teman SMAku sedang bermasalah dengan mantan istrinya. Soal hak asuh anak yang dituntut oleh mantan istrinya, sementara kedua anaknya selama ini berada dibawah pengawasan Hanafi.Istrinya kabur dengan lelaki lain, Hanafi menceraikan istrinya sedang hak asuh berada ditangan Hanafi. Setahun kemudian istrinya muncul kembali meminta agar anak-anaknya tinggal bersamanya.Karena Hanafi tak mengizinkannya, mantan istrinya menuntut ke Pengadilan agar hak asuh anak jatuh ke tangannya.Aku sudah membantunya mengurus berkas yang diperlukan untuk sidang yang akan dilaksanakn dua hari lagi. Aku berjalan santai disepanjang lorong kamar hotel. Segelas kopi sepertinya bisa merilekskan pikiranku saat ini.Suasana Cafe yang ada di hotel ini masih sepi. Wajar saja, masih pukul 6 pagi, mungkin para tamu hotel masih terlelap dengan
Bab 69Pov Alea.Mataku tak berhenti menatap lalu lalang Suster, Dokter atau keluarga pasien di depanku.Aku begitu syok dengan peristiwa yang baru saja aku alami. Mamiku sedang koma didalam, sedangkan papiku, ah aku tak mau menganggap dia papiku.Dia jahat dan kejam padaku, Axel dan Mami. Sejak aku mulai mengerti dan mengenal kasih sayang orang tua, papiku tak pernah memberikan hal itu padaku.Papi selalu pergi pagi pulang malam, jika pun di rumah hanya ponselnya saja yang bersamanya.Papi seperti orang asing di rumah, dia seolah cuek dan merasa kalau kami hanyalah sebuah hambatan baginya.Entah hambatan apa, aku tak tahu dan tak mengerti. Aku hanya mendengar hal itu saat Papi sedang memarahi Mami.Sejak lama aku sering mencuri dengar jika Mami dan Papi bertengkar. Sebenarnya sih Papi yang sering memarahi Mami. Papi gak suka kalau urusannya dicampuri, terlebih lagi soal perempuan. Mami sering menangis karena ulah papiku.Dan yang paling menyakitkanku saat papi menikah lagi dengan Ta
Bab 70Papiku kelihatan kecewa, wajahnya berubah menjadi sedih. Aku jadi gak tega melihatnya. Kasihan papiku, mungkin dia butuh dukungan dari kami. "Biarin aja Mi, kasihan Papi. Mungin dia gak ingin sendirian." Akhirnya nanti aku menyesali ucapanku ini. Mami akhirnya mengizinkan papiku ikut. Ah maafkan Alea ya Mi, karena Alea Mami jadi celaka.Papi masuk lalu duduk di kursi belakang di samping Axel. Sekilas aku melihat senyum aneh papiku.Sesampai di rumah, kami masuk kedalam. "Alea, Axel mandi terus shalat maghrib ya!" suruh mamiku."Iya Mi," jawabku dan Axel. Aku dan Axel naik keatas, sementara Mami dan Papi masih berbincang dibawah. Setelah mandi aku melanjutkan dengan melaksanakan shalat Maghrib. Aku hampir selesai shalat ketika terdengar suara ribut-ribut diluar.Selesai shalat, aku bergegas keluar kamar. Aku melihat Papi mengejar Mami yang sedang naik ke atas. Di anak tangga paling atas Mami berhenti melihat Papi yang sudah berada di tengah tangga. "Sebaiknya kamu pula
Bab 71POV RikoAku memeluk Alea yang semakin tersedu. Entah mengapa Alea kelihatan sangat menyesal. Mungkin dia merasa sedih karena papinya telah meninggal dunia karena luka berat dikepala. Sedangkan maminya sedang koma karena pisau belati milik papinya telah merobek usus diperut Dhifa.Lukanya cukup serius, namun tim Dokter telah berhasil mengoperasi luka dalam yang dialami Dhifa.Namun Dhifa belum sadarkan diri juga, aku berharap semoga Dhifa segera sadar. Kasihan anak-anaknya."Alea sama Axel, gimana kalau kalian pulang saja. Kalian istirahat dulu dirumah. Biar Om sama Opa Faisal yang jaga Mami," usulku."Gak mau Om, kami mau jaga Mami disini sampai Mami sadar!" tolak Alea. "Sayang, apa yang dikatakan Om Riko itu memang benar. Kalian pulang sama Oma yuk. Kita istirahat dulu dirumah Oma. Besok kita kemari lagi!" bujuk Tante Melisa.Akhirnya Alea dan Axel mau menuruti permintaanku. Aku menarik nafas lega, kasihan mereka kalau harus terus menunggu dirumah sakit.Aku berbincang deng
Bab 72Tiga bulan kemudian."Sah?" "Sah!" Suara tamu yang menjadi saksi pernikahan Dhifa dan Riko terdengar bersahutan setelah Riko mengucapkan ijab kabul beberapa saat sebelumnya. Dhifa yang menunggu di dalam ruangan lain pun meneteskan air mata haru. Dia bersyukur karena pada akhirnya bisa menikah juga dengan Riko. Setelah melewati saat kritis beberapa bulan yang lalu, Dhifa pun setuju untuk menikah dengan dukungan dari kedua anaknya. Malam harinya, di dalam kamar pengantin yang sudah dihias dengan indahnya. Dhifa sudah selesai membersihkan diri dari riasan pengantin juga pakaian yang dipakainya sepanjang hari itu. Dhifa duduk dengan gelisah di depan meja riasnya. Menunggu Riko yang sedang berada di kamar mandi. "Kamu kenapa, Fa?" tanya Riko yang sudah selesai dengan mandinya. Harum aroma sabun membuat Dhifa menoleh kepadanya. "Mas Riko, aku gak apa-apa, kok. Sebaiknya kita tidur saja sekarang," jawab Dhifa.Riko pun tersenyum mengerti, lalu membimbing Dhifa untuk berbaring di
Bab 73Tak terasa tiga tahun sudah pernikahan Dhifa dan Riko berjalan. Mereka semakin mencintai meskipun sampai saat itu, Dhifa belum juga hamil. Mertuanya yang baik tak pernah mempermasalahkan hal itu, dia cukup puas melihat Riko yang kelihatan semakin bahagia dari hari ke hari. "Selamat pagi, Mi," salam Alea dan Alexa. Pagi itu, mereka sudah bersiap untuk pergi ke sekolah. Alea sekarang duduk di bangku kelas satu SMP, sedangkan Axel masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. "Selamat pagi, Sayang. Ayo duduk, terus sarapan. Jangan sampai terlambat tiba di sekolah nanti," jawab Dhifa. Dia baru selesai menyiapkan sarapan untuk suami dan kedua anaknya. Dibantu dengan Bik Ijah yang tengah sibuk membersihkan peralatan bekas masak mereka. "Papa mana, Mi?" tanya Alea. Dia menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. "Masih di kamar, sebentar, Mami lihat," jawab Dhifa. Lalu meninggalkan ruang makan menuju ke lantai atas di Amna kamarnya berada. "Aduh, kenapa kepalaku terasa pusing?" bat
Bab 74"Terima kasih, Pak Riko. Saya senang dan puas dengan hasil kerja anda," ucap Bagyo. Klien yang baru saja bercerai dengan istrinya. Riko yang membantu menjadi pengacaranya Oun merasa senang karena apa yang diharapkan Bagyo bisa dikabulkan oleh pihak pengadilan. "Sama-sama, Pak Bagyo. Saya juga senang jika Bapak puas," balas Riko.Mereka pun berbincang sejenak di depan pengadilan, setelah semuanya dirasa cukup dan selesai, Riko pun pamit untuk kembali ke kantornya. Riko mengendarai sendiri mobilnya untuk menuju ke kantor. Sesampai di kantor, dia pun masuk ke dalam ruangannya. Tak lama kemudian, Riko menerima kedatangan tamu yang ingin mendiskusikan kasusnya kepada Riko. Begitulah kegiatan Riko sehari-hari sampai tak terasa hari itu sudah menjelang malam. Biasanya, Riko akan pulang sekitar pukul enam sore. Namun, karena hari itu ada klien baru yang ingin memakai jasanya sebagai pengacara sehingga Riko harus lembur dan baru bisa pulang ke rumah di saat jarum jam sudah menunjukk
Bab 75Sementara itu, di kediamannya. Dhifa sedang menunggu Riko dengan khawatir. Dia sudah berusaha menghubungi suaminya tersebut, akan tetapi ponselnya tidak aktif. Sesekali suara petir yang menggelegar di angkasa membuat Dhifa kaget lalu beristighfar. Dia sangat khawatir dengan keadaan suaminya. "Mas Riko, kamu kemana, sih. Masa sudah lebih dari dua jam sejak kamu keluar kantor belum sampai juga," keluh Dhifa sambil kembali berusaha menghubungi suaminya. Tetap tidak aktif, Dhifa pun menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas sofa di ruang tamunya. Dhifa merasa gelisah dan khawatir, sementara itu suasana di luar rumah masih diwarnai dengan air hujan yang masih sangat deras. "Apa Mas Riko terjebak banjir, ya. Jadi harus mencari jalan lain. Tapi kenapa ponselnya malah tidak aktif?" Tok? Tok! Tok!Dhifa bergegas bangkit saat mendengar suara pintu yang diketuk. "Itu pasti Mas Riko, karena sendag hujan deras jadi aku tak mendengar suara mobilnya," pikir Dhifa senang. Setelah sampai di pint