"Sudah, ya, Mas pergi dulu."
Aku bergeming meski Mas Dayat menc-ium dahiku. Hatiku sudah hambar padanya, hanya demi Gio aku masih bertahan di pernikahan ini. Aku menatap datar sarapan yang terhidang di atas meja. Usahaku sejak subuh sia-sia, dia bahkan melupakan bekal makan siangnya. Aku mengingat-ingat sejak kapan rasa di hatiku hilang? Mungkinkah sejak Mas Dayat selalu mementingkan keluarganya dibanding anak dan istri? Atau sejak dia menyuruhku menjadi b-abu untuk Ibunya? Aku tersenyum getir, manisnya pernikahan kurasakan hanya di satu tahun pertama, di tahun selanjutnya aku menjadi pemba-ntu gratisan untuk keluarganya. Seperti kerbau dicucuk hidung aku menurut saja, bahkan hin-aan demi hin-aan aku telan dalam diam. Bukan apa-apa, aku berharap Mas Dayat bisa melihat usahaku membahagiakan Ibunya. Harusnya aku sadar kalau tidak selamanya kebaikan akan dibalas kebaikan juga. Tangis Gio membuyarkan lamunanku. Aku gegas menghampiri putra kecilku yang menggemaskan. Sayangnya, demam selama dua hari membuat bobotnya sedikit berkurang. "Anak Bunda kenapa nangis?" Aku meraih Gio lalu memangkunya di atas pa-ha. "Gio lapel, mau maem." Gio menjawab. Di usia tiga setengah tahun dia sudah lancar bicara, tetapi masih cadel melapalkan huruf, R. "Oo, laper. Kebetulan Bunda udah bikin sarapan untuk Gio. Mandi dulu, ya, setelah itu baru sarapan." Gio menggeleng. Dia menyurukkan wajahnya ke da-daku. "Gak mau, badan Gio masih panas, Ibun." Aku meraba dahi Gio, tidak panas. "Gak panas. Gio takut kena air dingin, ya?" Melihat anggukan Gio aku tersenyum. "Kalau mandinya pakai air hangat mau, ya?" Gio diam, aku menjauhkan kepalanya dari da-da lalu menatapnya dengan lembut. "Kalau gak mandi nanti kuman-kumannya senang, mau badannya gatel-gatel?" Aku membujuk dengan sabar. Aslinya Gio anak yang patuh, hanya saja bila sedang sakit dia akan menjadi super manja dan mageran. "Iya, deh, mandi aja, tapi benelan ya, Ibun, mandi pakai air hangat?" Mata jernih Gio menatapku lekat. Setelah aku mengangguk barulah Gio mau turun dari tempat tidur. Aku membimbingnya keluar kamar lalu mendudukkan di depan televisi selagi menyiapkan air hangat untuk mandi. Sembari menunggu aku membersihkan tempat tidur, mengganti sprei baru, dan mengumpulkan pakaian kotor Mas Dayat di kamar mandi yang ada di dalam kamar. Semua pakaian kotor itu kumasukkan ke mesin cuci. Seperti biasa aku selalu memeriksa semua saku berjaga-jaga ada surat-surat penting agar tidak ikut tergiling. Aku menemukan selembar kuitansi yang dilipat kecil-kecil. Dahiku berkerut membaca nomimal yang tertera di sana. Tiga puluh juta? Untuk apa uang sebanyak itu? Bukankah Mas Dayat bilang toko sedang sepi? Kejanggalan demi kejanggalan membuatku semakin yakin untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. * Setelah memandikan lalu menyuapi Gio, aku bersiap-siap ke toko. Biasanya setiap akhir pekan aku selalu datang ke sana, tetapi dulu sebelum aku disibukkan mengurus Gio dan Ibu mertua. Nyaris semua waktuku tersita sampai untuk beristirahat pun hanya di malam hari. "Kita mau jalan-jalan, ya, Ibun?" "Iya, kita ke toko sekalian antar makan siang untuk Ayah," jawabku sambil menaikan resleting jaket Gio. "Nah, udah ganteng, ayo berangkat." Aku meraih tas rotan berisi rantang untuk makan siang Mas Dayat, setidaknya aku punya alasan datang ke sana. Peninggalan Ayah bukan hanya ruko itu, tetapi ada beberapa ruko lain yang dikelola dua saudara tiriku. Meski begitu tak ada iri di hati kami, karena sebelum meninggal Ayah sudah membagi semua warisan untuk anak-anaknya. Kalau bukan karena bantuan mereka belum tentu aku bisa bertahan sampai sekarang. Entah berapa kali keduanya menyuntikkan dana agar usahaku tetap berjalan, lalu sekarang dijalankan oleh Mas Dayat. Kalau sampai dia macam-macam lihat saja apa yang aku lakukan. Jarak ruko dari rumahku hanya memakan waktu tiga puluh menit. Aku memarkir sepeda motor di depan toko. Alisku bertaut, suasana toko sangat ramai. Beberapa mobil bak tampak memuat beberapa karung beras dan kardus mie instant. Ada juga empat bentor yang menukar puluhan tabung gas juga berpak-pak makanan ringan. Ini yang disebut Mas Dayat sepi? "Eh, Mbak Halimah?" Salah seorang pekerja di toko grosirku menyapa. "Apa kabar, Ko?" Aku bertanya sambil memperhatikan suasana toko. "Rame, ya? Apa gini setiap hari?" "I, iya, Mbak. Biasanya juga rame." Ada yang mengganjal di hatiku melihat raut Eko. Dia adalah salah satu pekerja yang cukup lama ikut denganku. Aku yakin darinya aku bisa mengorek informasi kondisi keuangan toko. "Ko, Mbak boleh minta laporan keuangan toko satu tahun belakangan ini?" Eko tampak gugup, dia juga berusaha menghindari kontak mata denganku. "Kenapa? Ada yang salah?" Aku bertanya lagi. "Bu, bukan, Mbak. Anu, itu." Kepala Eko celingak-celinguk melihat sekeliling. "Maaf, Mbak, udah satu tahun ini bukan saya yang urus pembukuan toko." Dahiku berkerut. Mas Dayat tak pernah membicarakan apa pun denganku. Kenapa dia mengganti orang kepercayaanku tanpa meminta pertimbangan dariku? "Lalu siapa?" Aku mendesak Eko. Belum sempat lelaki itu menjawab, suara seseorang menegurnya keras. "Eko! Kamu dibayar bukan untuk ngobrol. Sana, ada yang mintak sirup sepuluh dus." Aku menoleh dan melihat seorang wanita berpakaian serba ketat memelotot. Gayanya sudah seperti juragan saja. Seingatku tak ada pekerja seperti dia, sejak kapan wanita ini bekerja di sini? "Ko, siapa dia?" Aku menahan lengan Eko agar dia tak pergi sebelum menjawab pertanyaanku. "Dia, dia ... sebaiknya Mbak tanya saja sama Mas Dayat. Saya takut salah." Eko menggeliatkan tangannya, sehingga mau tak mau aku melepaskan dan membiarkan dia pergi. "Maaf, Mbak, mau beli apa?" Wanita itu menghampiri. Dia melirikku dari kepala hingga kaki. "Aku gak mau beli apa-apa." Raut wanita itu berubah pongah, apalagi saat dia menatap lama sandal jepit yang aku pakai. "Mau nge-mis, ya? Maaf, di sini gak terima pengemis. Sana, sana! Bawa sia-l saja." Aku menahan letupan emosi di dada karena perlakuan tidak sopan wanita itu. Aku penasaran, siapa dia hingga terlihat sangat berkuasa di sini? "Apa saya terlihat seperti penge-mis?" "Apa lagi kalau bukan penge-mis? Liat pakaianmu, pakai jepit lagi." Tanganku terkepal kuat mendengar mulut lancang wanita itu. "Jadi, kalau pakaiannya biasa saja, trus pakai jepit kamu bilang penge-mis? Trus gimana sama kamu, pakai baju ketat dan make up kerja di toko? Apa aku sebut mau jualan?" Wajah wanita itu memerah. Dia mengangkat tangannya, tetapi suara Mas Dayat menginterupsi. "Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" Bagus, Mas Dayat datang tepat waktu. Aku berbalik dan mengeratkan genggaman tanganku ke Gio. "Harusnya aku yang bertanya, siapa wanita ini? Sampai merasa punya kuasa di tokoku?" Seketika wajah Mas Dayat memucat seperti melihat hantu."Harusnya aku yang bertanya, siapa wanita ini?" Raut Mas Dayat seketika memucat, dia melirik wanita yang menatapku dengan alis berkerut. "Mas, dia ...." "Eh, sayang, kok, gak bilang mau ke toko?" Mas Dayat menyela perkataan wanita tadi, dia menghampiriku sambil mengulas senyum. Aku sedikit risih ketika dia merangkul pundakku. Entah mengapa aku merasa dia menyembunyikan sesuatu. Apalagi dari sudut mata aku bisa melihat wanita tadi cemberut melihat sikap Mas Dayat. "Kenapa harus bilang-bilang datang ke toko sendiri? Atau ada sesuatu yang aku tidak boleh tahu?" Aku menatap Mas Dayat intens untuk memastikan apakah lelaki itu berbohong atau tidak. "Tidak ada, memangnya apa yang aku sembunyikan?" Tatapan Mas Dayat beralih ke Gio, "Anak Ayah sudah sehat?" Aku muak melihat sikap Mas Dayat, lima tahun kami menikah aku hapal gerak-geriknya. Lelaki itu terlihat gugup meski mencoba disamarkan dengan mencolek pipi Gio. "Mana aku tahu, kalau ma-ling ngaku pasti penjara penuh." "Dek,
"Sayang, mana es-nya?" Tepukan di bahu membuatku mengusap kelopak mata agar cairan yang tergenang di sana tak jatuh. Aku tak mau Mas Dayat curiga padaku. Aku berbalik dan mengulas senyum, meski s@kit dan rasa muak padu di dalam dada aku harus menahan diri. Aku tak ingin Mas Dayat menaruh syak wasangka yang membuatnya berhati-hati. Mulai hari ini aku harus bisa berpura-pura menjadi istri penurut agar dia merasa bisa membodo-hiku."Rame, Mas, aku malas antri." Tatapanku jauh ke belakang pundak Mas Dayat. Fina, pelakor itu berdiri di belakang lelaki itu. "Dia ngapain ngekorin kamu terus? Abis ngerayu kamu, ya? Atau kalian lagi merencanakan sesuatu?""Sayang!" Mas Dayat berdeham, dia melirik Fina. Aku bisa melihat dia memberi isyarat agar wanita itu pergi. "Kamu kenapa suka nuduh aku yang tidak-tidak? Selama ini apa pernah aku aneh-aneh di belakang kamu?"Aku berdecih melihat lihainya Mas Dayat bersilat lidah. Entah berapa lama dia mencurangiku, yang pasti bukan sebulan-dua bulan ini. "
Aku sampai di rumah sore hari. Setelah memandikan Gio lalu menyuapinya makan, dia tertidur di depan televisi. Aku tersenyum melihat wajah polos Gio. Ada sesak berkelindan di dalam dada membayangkan putraku akan hidup tanpa sosok seorang Ayah. Tak mungkin aku mempertahankan pernikahan yang telah ternoda. Hatiku yang sudah kebas perlahan mati rasa mengetahui Mas Dayat sering berbagi keringat dengan wanita lain. Aku tidak mengira lelaki yang terlihat baik dengan senang hati menceburkan diri ke lautan dosa. Aku membuka kembali map yang kubawa dari rumah Ibu mertua untuk memastikan kelengkapan sertifikat rumah dan ruko. Apa yang ada di pikiran Mas Dayat? Dia pikir bisa mengalihkan kepemilikan keduanya tanpa tanda-tanganku? Atau mungkin saja bisa kalau dia menyogok oknum di BPN. Mulai hari ini aku harus ekstra hati-hati. Aku teringat kotak perhiasanku, jangan sampai lelaki itu mengetahui tempat penyimpanannya juga. Gegas langkahku ke dapur, mendorong kulkas ke depan untuk mengambil kotak k
"Ngapain kamu?!"Badanku seketika menegang, keringat dingin mulai keluar melalui pori-poriku. Satu, dua, sampai tiga detik tak ada pergerakan. Dengan perlahan aku menoleh ke belakang, rasa takut yang tadi sempat hinggap di dada seketika lenyap melihat Mas Dayat masih tertidur, rupanya dia ngelindur. Aku menghela napas lega lalu bergerak turun dari pembaringan. Aku memilih duduk di lantai agar lelaki itu tidak memergoki perbuatannya, lagipula dari sini aku bisa mengawasi pergerakan Mas Dayat.Aku mengirimkan semua percakapan Mas Dayat dengan keluarganya ke whatsappku. Selagi bisa aku harus mengumpulkan bukti agar di pengadilan nanti mereka tidak berkutik."Mas, jangan lupa, ya, besok kirim aku u@ng 100 juta. Kamu janji mau bayarin Dp rumah untuk aku."Satu pesan masuk dari Fina segera kubaca. Dasar wanita gat@l, dia pikir nominal 100 juta sedikit?"Iya, liat nanti." Aku membalas pesan Fina. Aku muak melihat wanita itu membalas dengan mengirimkan fotonya yang hanya mengenakan bra dan ce
"Mbak, aku udah dapat pembukuan toko."Aku tersenyum membaca pesan whatsapp dari Eko. "Bagus, kamu kerja hari ini?""Nggak Mbak. Kebetulan hari ini aku libur.""Oke, kamu tunggu aku di warung Mbok Darmi. Sebentar lagi aku ke sana.""Siap, Mbak."Aku menyimpan ponsel ke dalam saku celana kulot lalu menoleh ke arah Gio yang sedang melahap sarapannya."Anak Bunda pinter. Nanti di sekolah belajar yang rajin, ya."Gio tersenyum lebar ketika kepalanya kuusap dengan lembut. "Iya, Ibun. Hali ini kata Buk Gulu mau belajal tentang hewan yang bisa telbang.""Gio tahu apa saja hewan yang bisa terbang?" Aku melap sisa makanan di mulut Gio lalu menyodorkan segelas susu ke tangannya."Tahu dong, Ibun. Ada kupu-kupu, bulung, naga juga."Aku tertawa mendengar jawaban Gio. "Naga cuma mitos, sayang. Tidak ada hewan seperti itu." Aku lega melihat Gio menegak habis susunya."Tapi Gio lihat di tivi Naga bisa tebang Ibun. Wush, wush, gitu!"Tawaku kembali lepas melihat tingkah Gio memperagakan burung yang s
"Mas, aku buatin sarapan untuk kamu."Senyum Fina menyambut kedatanganku di toko. Wanita itu terlihat seksi dan menarik pagi ini. Bukan hanya pagi ini sebenarnya, tetapi sejak beberapa bulan yang lalu. Penampilan Fina yang selalu modis dan full make up membuatku lupa statusku sebagai lelaki beristri. Aku yang terlalu sering melihat Halimah mengenakan daster lusuh, rambut diikat asal-asalan, dan wajah kusut merasa mendapat svntikan semangat di tempat kerja. "Wah, baik banget sayangku ini." Aku merem4s bok0ng Fina yang besar dan bohay. Bukannya menghindar dia tertawa dan bergelayut di lenganku, nada suaranya yang manja membuatku melayang. "Iya, dong, untuk kekasih hatiku apa sih yang gak?" Fina semakin genit.Aku menelan ludah melihat Fina menji-lat bibirnya. Ah, wanita itu sangat tahu bagaimana membuatku bergair4h. Andai bukan di toko pasti sudah kunikmati kemolekan tvbuhnya seperti yang biasa kami lakukan di kontrakannya."Kamu paling pintar bikin aku klepek-klepek. Kebetulan aku be
Sesampai di kantor polisi, aku bergegas masuk mencari keberadaan Ibu dan Mbak Anis. Aku tahu kalau Kakakku bandel, tapi tidak mengira dia sampai tidvr dengan suami orang. Argh! Rasanya kepalaku mau pecah. Tak bisakah sekali saja dia tidak membuat masalah? Sejak dulu Mbak Anis terkenal badung, dia bahkan dikeluarkan dari sekolah menengah atas gara-gara ketahuan jadi selingkuhan guru olah raga. Entah apa yang dipikirkannya hingga terlibat skandal. Sejak hari itu Mbak Anis tak mau melanjutkan sekolah karena kabar perselingkuhan itu sudah menyebar dari mulut ke mulut ke sekolah lain."Dayat, sini!" Aku menoleh dan melihat Ibu melambaikan tangan. Langkahku terburu-buru sebab melihat seorang wanita mencoba menyer4ng Mbak Anis. Dua orang polisi mencoba menenangkan wanita tersebut, tetapi mulutnya tak berhenti menca-ci mak-i Mbak Anis."Dasar jal4ng tidak tahu diri. Gak bisa kamu cari laki-laki single? Harus sama suami orang?"Telingaku pekak mendengar ma-kian wanita bertubuh tambun yang aku
"Bunda, Mas Gio dibawa ke klinik."Baru saja menurunkan gagang sepeda motor, guru Gio berlari menghampiriku."Klinik? Memangnya Gio kenapa?" Wajah guru yang sepantaran denganku memucat. "Tadi Mas Gio main seluncuran, tidak tahu kenapa jatuh dari atas."Spontan aku beristigfar. "Kok bisa, Buk? Memangnya gak ada guru yang mengawasi?" Cemas menyusup ke dada mendengar kepala Gio terluka."Maaf, Bunda, kami lalai. Sekali lagi maaf."Aku kembali menstarter sepeda motor. "Klinik mana, Buk?" Meski kesal aku tak mau meluapkan amarah ke guru itu. Bertemu dengan Gio prioritasku sekarang."Klinik Medika, Bunda. Baru saja diantar pakai mobil kepala sekolah."Aku langsung memutar sepeda motor menuju klinik yang dimaksud. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah Gio. Di depan klinik aku memarkir sepeda motor lalu bergegas mencari keberadaan putraku."Bunda!" Aku menghampiri salah satu guru Gio yang melambaikan tangan padaku."Gimana Gio, Buk?" "Kepalanya harus dijahit. Sekali lagi maaf, ya, Bunda
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S
"Saya pergi dulu, terima kasih waktunya." Halimah memasukkan ponsel ke dalam tas lalu bergegas bangkit dari kursi."Tunggu, tadi Anda menyebut Tiara, ada apa dengannya?" Arman ikut bangkit membuat gerakan Halimah tertahan. Raut penasaran terlihat di wajahnya."Tiara drop lagi, tadi Kahfi bilang kecil kemungkinan anak itu bertahan."Arman terdiam. Tiara memang bukan dar4h dagingnya, tetapi sejak Sarah mengandung dialah yang paling menjaga kondisi wanita itu. Apa saja yang diinginkan Sarah pasti dituruti, sebab Arman ingin calon anaknya sehat dan selamat. Pun selama dua tahun dia mencurahkan kasih sayang pada anak itu. Kenyataan kalau Tiara bukan berasal dari benihnya tidak hanya menghancvrkan hatinya, tetapi juga membuatnya tidak berharga sebagai lelaki di mata Sarah. Namun, bukan berarti dia membenc1 Tiara, tidak! Arman hanya jij1k pada obsesi sang mantan istri."Anda mau ke mana?" Arman gegas mensejajari langkahnya dengan Halimah menuju pintu keluar restoran."Ke rumah sakit. Kahfi m
"Jadi kita bisa bertemu?" Halimah meyakinkan lagi tempat pertemuan dengan lawan bicaranya di telepon. Setelah waktu, tempat, dan di meja berapa pembicaraan itu beralkhir.Halimah menatap keluar melalui jendela kamar ketika melihat mobil sedan hitam masuk ke pekarangan rumah. Tak perlu mencari tahu sebab dia hapal si pemilik kendaraan tersebut. Dia lalu menatap pantulan wajahnya di cermin untuk memastikan mata sembabnya sudah tersamarkan. Setelah itu dia bangkit bertepatan bunyi bel."Mama." Halimah menyalami ibu mertuanya. Dia tidak mengira wanita itu mendatanginya pagi-pagi."Kamu mau ke mana, kok udah rapi?" Citra menatap penampilan sang menantu.Halimah tersenyum, merangkul ibu mertuanya sembari mengajak masuk ke dalam rumah. "Mau ketemu teman, Ma."Citra duduk di atas sofa di ruang tamu tepat di sebelah Halimah. Dia menggenggam tangan sang menantu."Mama minta maaf, ya, udah nyembunyiin semua dari kamu." Sorot mata Citra penuh penyesalan, genggaman tangannya semakin erat. "Iya, M
"Benar sudah tidak apa-apa?" Kahfi menelisik wajahku, sorot matanya terlihat cemas.Aku tersenyum tidak tahu harus bahagia atau sedih. Kahfiku sudah kembali seperti dulu, tetapi fakta yang terungkap membuat hatiku gundah.'Kahfi pasti setuju dengan ideku. Kau tidak lihat betapa dia sangat mencintai Tiara. Anak kami sangat dekat dengannya satu tahun terakhir. Bahkan, saat Tiara menjalani kemo Kahfi sampai menitikkan air mata. Apalagi kau tak mampu memberinya an4k, tentu kesembuhan Tiara prioritas baginya.'"Hei, ditanya kok bengong?" Kahfi mencubit pelan pipiku membuatku meringis sekaligus meletuskan gelembung ingatan tadi, percakapan terakhir sebelum Sarah meninggalkan ruang perawatanku."Nggak, aku terharu dengan perhatianmu padaku. Aku sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali kau bersikap manis seperti ini."Kahfi tersenyum tipis, jemarinya menyusuri setiap lekvk wajahku. "Maafkan aku, " lirih suara Kahfi berucap, riak-riak penyesalan terlihat jelas di pelupuk mata yang biasanya
"Kamu ingat tiga tahun yang lalu saat kita melakukan program bayi tabung? Saat itu Sarahlah yang menangani kita bukan?"Aku masih diam, berusaha menenangkan kecamuk di dalam dada, hanya karena Mama Citra aku bertahan mendengar penjelasan Kahfi."Halimah, kamu dengar yang aku katakan?" Kahfi menatapku lekat, tapi aku membu4ng wajah, hatiku masih panas mendengar pengakuan Kahfi tadi."Apa hubungannya?" tanyaku dengan ketus. Enggan rasanya meneruskan percakapan ini. Pengakuan Kahfi kalau Tiara putrinya sudah cukup sebagai bukti kalau lelaki itu tak setia."Sayang, dengarkan aku. Mungkin kamu nggak percaya, tapi di sanalah semua ini bermula.""Apa maksudmu?" Aku menatap Mama Citra, Sarah, dan Kahfi bergantian. "Tolong lebih singkat dan padat, aku nggak punya waktu bertele-tele." Aku gusar melihat Sarah yang terlihat tenang. Apa wanita itu merasa menang dariku karena berhasil memberi Kahfi seorang an4k. Membayangkan seperti apa keduanya berhubungan membuat dadaku berdenyut nyeri."Sarah m
"Tolong jelaskan sejak kapan kalian berselingkuh?!"Aku refleks menoleh ke arah suara dan melihat Halimah berdiri dengan tatapan nyalang ke arah kami. Tajam sorot matanya membuat tenggorokanku terasa kering hingga harus menelan liur berkali-kali, lidah pun seakan kelu tak mampu menjawab pertanyaan Halimah."Apa kalian semua tiba-tiba bisu? Bukankah tadi terdengar seperti sebuah keluarga yang harmonis dan kompak?"Sinis, jelas sekali kemarahan di nada suaranya. Aku tak menyalahkan dia kalau berpikiran buruk padaku dan Sarah. Harusnya sejak lama kuceritakan hubunganku dengan Sarah, tetapi aku belum menemukan waktu yang pas. Aku juga tak mau menyakiti Halimah dengan kenyataan yang ada kalau aku dan Sarah memiliki anak."Sayang, kamu tenang dulu, ya. Ini nggak seperti yang kamu pikiran?" Mama mencoba menenangkan Halimah. Sama sepertiku Mama pasti merasa cemas. Ah, mengapa jadi serumit ini?"Tenang? Melihat suamiku bersama wanita lain, lebih peduli wanita lain daripada aku istrinya Mama bi
"Aku mengajukan khuluk!"Tegas, tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hatiku. Mungkin memang sudah takdirku gagal lagi dipernikahan ke dua. Entah dosa atau ujian yang aku jalani hingga ketenangan hanya beberapa tahun kurasakan. "Halimah, kamu jangan gegabah. Aku nggak mau mengabulkan permintaanmu. Sekarang tenangkan dirimu. Kita nggak bisa bicara dalam kondisi panas seperti ini. Kamu harus percaya padaku seperti yang sudah-sudah."Aku berdecih, pandanganku mulai mengabur karena genangan air di pelupuk mata. Sekuat hati aku menahan agar linangan itu tak tumpah lagi. Lelah, ya, aku sangat lelah dengan prasangka yang tak menemukan jawaban pasti."Aku selalu percaya sama kamu sampai nggak sadar kepercayaanku kamu balas dengan dusta. Kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa dengan Sarah, kenapa harus sepeduli itu? Kenapa saat dia menelepon kamu langsung bergegas."Aku masih menuntut penjelasan dari Kahfi, tak peduli lelaki itu gelisah karena ponselnya terus berdering. Aku berani bertaruh y
"Mbak, aku nanya, untuk apa beli diapers sementara tidak ada anak kecil di rumah?" Aku mulai kesal karena Mbak Sukma tak kunjung menjawab pertanyaanku. Prasangka buruk kembali bercokol di benak. Apa Kahfi menikah diam-diam lalu memiliki anak? Tidak, gegas kuhalau hasutan ses4t itu. Sepertinya aku sudah mulai gil4 akibat fyp tok-tokku semua tentang perselingkuhan. Tak mungkin Kahfi tega menusvkku dari belakang. "Maaf, Non, tapi Non jangan marah. Nanti jangan bilang kalau saya yang ngomong." "Ya, udah, cepat bilang." Aku semakin gregetan karena bahasa tubuh Mbak Sukma terlihat gelisah. Apa ada yang disembunyikan di rumah mama mertuaku? "Mbak!" Aku mendesak lagi. Mbak Sukma meringis sambil memilin jarinya satu sama lain. "Anu, Non, sebenarnya diapers ini milik Non Tiara." Dahiku berkerut. "Tiara?" Mbak Sukma mengangguk pelan. "Non Tiara anak Non Sarah. Dia sering dititipkan di rumah Nyonya Citra." Kepalaku seperti dihant4m godam besi. Jadi, Sarah sering ke rumah Mama Cit