"Dayat, gimana?" Ibu menyikut lenganku. Ingin rasanya berteriak, ini bukan masalahku kenapa harus aku yang pusing?"Ck, ditanya Ibu malah bengong!"Ini lagi Mbak Anis memelotot ke arahku seolah-olah aku yang membuat onar."Imah gak mau kasih u-angnya.""Apa?!" Mata Ibu nyaris melompat dari tempatnya. "Masa kamu gak punya u-ang? Jangan pelit sama Mbakmu!"Arg! Kenapa Ibu dan Mbak Anis tahunya hanya menuntut, kalau bukan karena ulahnya tak mungkin hal memalukan seperti ini terjadi. Selingkuh ya selingkuh, tapi jangan sampai ketahuan juga. Aku mengusap wajah dengan kasar, sementara polisi dan istri selingkuhan Mbak Anis menunggu jawabanku."Mbak, apa gak bisa kita nego lagi?"Wanita itu menggeleng. "Saya sudah legowo gak masukan wanita gak tahu diri itu ke penjar4, kamu pikir u-ang 25 juta sepadan dengan sakit hati saya? Gimana dengan trauma saya? Gimana mengembalikan kepercayaan ke suami saya?"Aduh, kok malah tanya ke aku? Bukan urusanku keles. Ingin membalas, tapi kata-kata itu hanya
Aku sudah mempersiapkan kata-kata untuk menolak permintaan Mas Dayat. Aku yakin dia pasti akan mendesak saat kami bertemu. Aku ingin lihat apa yang akan dia lakukan kalau aku menolak. Setelah turun dari taksi, Gio berlari-lari kecil mengejar Ayahnya. Anak itu juga berusaha menarik perhatian Mas Dayat dengan mengadukan apa yang sudah terjadi padanya di sekolah. Alih-alih memeluk putranya, Mas Dayat menyuruh Gio masuk ke kamar. Hati Ibu mana yang tidak perih melihat anaknya tidak dipedulikan oleh Ayah kandung sendiri. Jangankan bertanya bagaimana sekolah Gio hari ini, Mas Dayat bahkan tidak memperhatikan kalau dahi Dio diperban. Tidak ingin melihat Putraku kecewa aku membujuknya masuk ke kamar dengan iming-iming membuatkan makan siang kesukaannya.Rasa ben-ci kepada Mas Dayat semakin menjadi. Apalagi dia terus mendesakku mengembalikan u-ang yang kutransfer ke rekeningku tadi malam, tetapi apa pun alasan yang dia kemukakan tidak akan menggoyahkan pendirianku. Bisa-bisanya dia membod0hiku
"Suruh Dayat ke sini, aku mau lihat bisa apa dia?"Fina merajuk, dia keluar dari toko dengan langkah menghentak. Bukannya pergi wanita itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Aku berani berta-ruh dia ingin menelpon Mas Dayat. Bagus kalau begitu, sekalian aku bongkar semua kebusukan mereka. Kesabaranku sudah di ambang batas, diperlakukan seperti pemban-tu gratisan oleh keluarga suamiku. Bahkan, seolah-olah aku istri yang hanya bisa menghabiskan uang suami, karena memilih di rumah mengabdikan diri untuk keluarga. Percuma menjadi baik, sia-sia menjadi istri yang mendahulukan suami dan keluarganya, sebab orang yang tidak tahu diri tidak akan pernah mensyukuri apa yang sudah kita berikan pada mereka."Mas, kamu di mana sih? Buruan ke toko. Istrimu mau pecat aku."Aku geleng-geleng kepala dan tersenyum miris, gaya bicara Fina terdengar aku sangat menzaliminya. Dasar wanita lakn4t, lihat saja bagaimana aku mempermalukanmu nanti. Makin cepat Mas Dayat datang semakin cepat pula kulemp4r k
"Pengadilan agama buka dari senin sampai jumat. Aku bisa datang kapan saja."Badanku tak bertenaga mendengar ancam4n Halimah. Entah apa yang merasukinya hingga bertingkah seberani ini padaku? Mungkin dia cemburu mengetahui aku menduakannya dengan Fina? Iya, pasti begitu karena aku tahu Halimah cinta mati padaku sejak dulu. Bahkan, agar bisa menikah denganku dia rela menentang orang tuanya. Tentu aku merasa bangga digilai wanita seperti Halimah, dia cantik, terpelajar, dan kaya raya. Sejak pacaran aku tak perlu repot-repot menyenangkannya, sebab Halimah sudah terbiasa mandiri. Aku sudah membayangkan bakal hidup enak setelah menikah dengannya. "Sayang, aku tahu salah. Aku khilaf, Fina yang selalu menggoda aku duluan.""Apa?!" Fina menarik jaketku, wajahnya memerah karena marah. "Jangan asal ngomong kamu."Aku menepis tangan Fina dan mengedipkan mata padanya, tetapi dia sama sekali tak mengerti isyaratku. Apa yang kuharapkan dari Fina? Dia memang seksi dan menggair4hkan, tetapi tidak pi
Minta maaf? Setelah terciduk baru Mas Dayat minta maaf. Andai perselingkuhan dan kecurangannya tak pernah terungkap mungkin dia masih leluasa membod0hiku. Yang membuatku miris dia menjadikan Gio sebagai tameng, dia juga menggali luk4 masa lalu yang ingin kulupakan. Tega sekali, demi meraih simpatiku dia menggunakan segala cara. Sadarkah dia selama ini tak pernah meluangkan waktu untuk keluarga. Padahal dia tahu Gio sangat lekat padanya."Bawa gund1kmu keluar dan tunggu surat cerai dariku." Keputusanku sudah bulat untuk mengakhiri rumah tangga yang tak lagi sehaluan. Untuk apa terus berlayar jika sang nakhoda telah hilang arah? Aku tak mau karam bersama, sebab masih ada buah hati yang harus kuselamatkan masa depannya. "Kahfi?" Aku bergumam ketika melihat lelaki itu di depan meja kasir, apakah ini kebetulan atau ....""Halimah." Kahfi mendekat, dia sempat bertabrakan dengan Mas Dayat. "Ternyata benar kamu masih jualan di sini."Aku tersenyum tipis, ekor mataku sekilas melihat Dayat mem
Aku menghentikan laju sepeda motor. "Kamu turun di sini.""Kok, di sini?" Fina turun dengan wajah cemberut, sejak tadi dia tidak berhenti mengomel membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Belum lagi cuaca terik membuat ubun-ubunku terasa dipanggang."Kamu pulang sendiri, aku ada urusan.""Urusan apa? Kamu mau balik lagi ke toko? Mau ngemis-ngemis maaf ke Halimah?" Suara Fina keras memancing pejalan kaki menatap ke arah kami. "Ck, jangan cerewet! Pulang sana, nanti kita bicara." Aku bersiap memutar gas sepeda motor, tapi Fina menahan lenganku."Aku gak punya ongkos!" Fina menadahkan tangan, "minta u-ang 1 juta.""Aku gak punya u-ang sebanyak itu!" Benar-benar si Fina, apa dia lupa kalau saldoku tinggal tiga puluh lima ribu?"Gak mau tahu, kamu udah janji sama aku kasih jajan 1 juta seminggu. Ini udah telat dua hari, aku gak punya u-ang lagi." Fina mulai merajuk, dia menghentakkan kaki persis anak kecil yang tantrum."Fina, aku gak ada u-ang sama sekali." Aku merogoh sisa u-ang bensin y
"Aku antar?" Aku terpana ketika sorot teduh Kahfi memindai wajahku. Seperti ada sesuatu yang membuatku tak bisa berkedip. Tidak boleh Halimah, kamu tidak boleh seperti ini, apa bedanya kamu dengan Dayat kalau bersikap seperti ini?"Halimah?" Kahfi melambaikan tangan di depan wajahku menarik kembali kesadaranku."Makasih, aku bisa sendiri." Aku gegas berjalan keluar dari warteg menuju sepeda motorku di parkir. Berdekatan dengan Kahfi membuatku serba-salah."Ya udah, nanti sepeda motormu yang di klinik aku suruh montir yang antar ke rumah."Aku hanya mengangguk. Entah gugup atau licin, helm terlepas dari tanganku lalu menggelinding, hendak meraih benda itu Kahfi lebih sigap."Dari tadi aku perhatikan kamu ngelamun terus, ada masalah?" Kahfi hendak memasangkan helm ke kepalaku, tetapi aku lebih dulu mengambil dari tangannya."Gak apa-apa, aku cuma ingat Gio." Aku memasang pengikat helm di bawah dagu, tetapi entah mengapa susah sekali."Maaf, biar aku saja."Badanku seketika mematung ke
Aku menarik wajahku dari dada Kahfi dan melihat Mas Dayat berdiri di ambang pintu ruang perawatan Gio. Raut lelaki yang pernah kucintai itu merah padam, keduanya terkepal di sisi badannya."Ternyata ini alasan kamu mau bercerai, lempar batu sembunyi tangan. Nuduh aku selingkuh padahal kamu juga."Aku menghela napas pelan, dari mana Mas Dayat tahu kalau aku di rumah sakit. Dering ponsel membuatku merogoh ponsel di dalam saku celana kulotku."Ya, Mak?""Neng, gimana Gio? Dia baik-baik aja kan?""Iya, Mak, Gio harus dirawat satu atau dua hari ini." "Syukurlah. Em, Neng, tadi Dayat ke rumah mau ketemu Neng, tapi Mak bilang ke rumah sakit antar Gio. Maaf, tadi Mak nyebut nama rumah sakitnya."Sekarang aku tahu bagaimana Mas Dayat bisa sampai ke sini. "Iya, Mak, gak papa. Aku tutup dulu, orangnya udah di sini."Lalu percakapan telepon berakhir. Aku berdiri menantang Mas Dayat yang kini berdiri di ujung kaki Gio."Kalau kamu ke sini nyari ribut lebih pergi!" Meski badanku terasa lemas, tapi
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S
"Saya pergi dulu, terima kasih waktunya." Halimah memasukkan ponsel ke dalam tas lalu bergegas bangkit dari kursi."Tunggu, tadi Anda menyebut Tiara, ada apa dengannya?" Arman ikut bangkit membuat gerakan Halimah tertahan. Raut penasaran terlihat di wajahnya."Tiara drop lagi, tadi Kahfi bilang kecil kemungkinan anak itu bertahan."Arman terdiam. Tiara memang bukan dar4h dagingnya, tetapi sejak Sarah mengandung dialah yang paling menjaga kondisi wanita itu. Apa saja yang diinginkan Sarah pasti dituruti, sebab Arman ingin calon anaknya sehat dan selamat. Pun selama dua tahun dia mencurahkan kasih sayang pada anak itu. Kenyataan kalau Tiara bukan berasal dari benihnya tidak hanya menghancvrkan hatinya, tetapi juga membuatnya tidak berharga sebagai lelaki di mata Sarah. Namun, bukan berarti dia membenc1 Tiara, tidak! Arman hanya jij1k pada obsesi sang mantan istri."Anda mau ke mana?" Arman gegas mensejajari langkahnya dengan Halimah menuju pintu keluar restoran."Ke rumah sakit. Kahfi m
"Jadi kita bisa bertemu?" Halimah meyakinkan lagi tempat pertemuan dengan lawan bicaranya di telepon. Setelah waktu, tempat, dan di meja berapa pembicaraan itu beralkhir.Halimah menatap keluar melalui jendela kamar ketika melihat mobil sedan hitam masuk ke pekarangan rumah. Tak perlu mencari tahu sebab dia hapal si pemilik kendaraan tersebut. Dia lalu menatap pantulan wajahnya di cermin untuk memastikan mata sembabnya sudah tersamarkan. Setelah itu dia bangkit bertepatan bunyi bel."Mama." Halimah menyalami ibu mertuanya. Dia tidak mengira wanita itu mendatanginya pagi-pagi."Kamu mau ke mana, kok udah rapi?" Citra menatap penampilan sang menantu.Halimah tersenyum, merangkul ibu mertuanya sembari mengajak masuk ke dalam rumah. "Mau ketemu teman, Ma."Citra duduk di atas sofa di ruang tamu tepat di sebelah Halimah. Dia menggenggam tangan sang menantu."Mama minta maaf, ya, udah nyembunyiin semua dari kamu." Sorot mata Citra penuh penyesalan, genggaman tangannya semakin erat. "Iya, M
"Benar sudah tidak apa-apa?" Kahfi menelisik wajahku, sorot matanya terlihat cemas.Aku tersenyum tidak tahu harus bahagia atau sedih. Kahfiku sudah kembali seperti dulu, tetapi fakta yang terungkap membuat hatiku gundah.'Kahfi pasti setuju dengan ideku. Kau tidak lihat betapa dia sangat mencintai Tiara. Anak kami sangat dekat dengannya satu tahun terakhir. Bahkan, saat Tiara menjalani kemo Kahfi sampai menitikkan air mata. Apalagi kau tak mampu memberinya an4k, tentu kesembuhan Tiara prioritas baginya.'"Hei, ditanya kok bengong?" Kahfi mencubit pelan pipiku membuatku meringis sekaligus meletuskan gelembung ingatan tadi, percakapan terakhir sebelum Sarah meninggalkan ruang perawatanku."Nggak, aku terharu dengan perhatianmu padaku. Aku sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali kau bersikap manis seperti ini."Kahfi tersenyum tipis, jemarinya menyusuri setiap lekvk wajahku. "Maafkan aku, " lirih suara Kahfi berucap, riak-riak penyesalan terlihat jelas di pelupuk mata yang biasanya
"Kamu ingat tiga tahun yang lalu saat kita melakukan program bayi tabung? Saat itu Sarahlah yang menangani kita bukan?"Aku masih diam, berusaha menenangkan kecamuk di dalam dada, hanya karena Mama Citra aku bertahan mendengar penjelasan Kahfi."Halimah, kamu dengar yang aku katakan?" Kahfi menatapku lekat, tapi aku membu4ng wajah, hatiku masih panas mendengar pengakuan Kahfi tadi."Apa hubungannya?" tanyaku dengan ketus. Enggan rasanya meneruskan percakapan ini. Pengakuan Kahfi kalau Tiara putrinya sudah cukup sebagai bukti kalau lelaki itu tak setia."Sayang, dengarkan aku. Mungkin kamu nggak percaya, tapi di sanalah semua ini bermula.""Apa maksudmu?" Aku menatap Mama Citra, Sarah, dan Kahfi bergantian. "Tolong lebih singkat dan padat, aku nggak punya waktu bertele-tele." Aku gusar melihat Sarah yang terlihat tenang. Apa wanita itu merasa menang dariku karena berhasil memberi Kahfi seorang an4k. Membayangkan seperti apa keduanya berhubungan membuat dadaku berdenyut nyeri."Sarah m
"Tolong jelaskan sejak kapan kalian berselingkuh?!"Aku refleks menoleh ke arah suara dan melihat Halimah berdiri dengan tatapan nyalang ke arah kami. Tajam sorot matanya membuat tenggorokanku terasa kering hingga harus menelan liur berkali-kali, lidah pun seakan kelu tak mampu menjawab pertanyaan Halimah."Apa kalian semua tiba-tiba bisu? Bukankah tadi terdengar seperti sebuah keluarga yang harmonis dan kompak?"Sinis, jelas sekali kemarahan di nada suaranya. Aku tak menyalahkan dia kalau berpikiran buruk padaku dan Sarah. Harusnya sejak lama kuceritakan hubunganku dengan Sarah, tetapi aku belum menemukan waktu yang pas. Aku juga tak mau menyakiti Halimah dengan kenyataan yang ada kalau aku dan Sarah memiliki anak."Sayang, kamu tenang dulu, ya. Ini nggak seperti yang kamu pikiran?" Mama mencoba menenangkan Halimah. Sama sepertiku Mama pasti merasa cemas. Ah, mengapa jadi serumit ini?"Tenang? Melihat suamiku bersama wanita lain, lebih peduli wanita lain daripada aku istrinya Mama bi
"Aku mengajukan khuluk!"Tegas, tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hatiku. Mungkin memang sudah takdirku gagal lagi dipernikahan ke dua. Entah dosa atau ujian yang aku jalani hingga ketenangan hanya beberapa tahun kurasakan. "Halimah, kamu jangan gegabah. Aku nggak mau mengabulkan permintaanmu. Sekarang tenangkan dirimu. Kita nggak bisa bicara dalam kondisi panas seperti ini. Kamu harus percaya padaku seperti yang sudah-sudah."Aku berdecih, pandanganku mulai mengabur karena genangan air di pelupuk mata. Sekuat hati aku menahan agar linangan itu tak tumpah lagi. Lelah, ya, aku sangat lelah dengan prasangka yang tak menemukan jawaban pasti."Aku selalu percaya sama kamu sampai nggak sadar kepercayaanku kamu balas dengan dusta. Kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa dengan Sarah, kenapa harus sepeduli itu? Kenapa saat dia menelepon kamu langsung bergegas."Aku masih menuntut penjelasan dari Kahfi, tak peduli lelaki itu gelisah karena ponselnya terus berdering. Aku berani bertaruh y
"Mbak, aku nanya, untuk apa beli diapers sementara tidak ada anak kecil di rumah?" Aku mulai kesal karena Mbak Sukma tak kunjung menjawab pertanyaanku. Prasangka buruk kembali bercokol di benak. Apa Kahfi menikah diam-diam lalu memiliki anak? Tidak, gegas kuhalau hasutan ses4t itu. Sepertinya aku sudah mulai gil4 akibat fyp tok-tokku semua tentang perselingkuhan. Tak mungkin Kahfi tega menusvkku dari belakang. "Maaf, Non, tapi Non jangan marah. Nanti jangan bilang kalau saya yang ngomong." "Ya, udah, cepat bilang." Aku semakin gregetan karena bahasa tubuh Mbak Sukma terlihat gelisah. Apa ada yang disembunyikan di rumah mama mertuaku? "Mbak!" Aku mendesak lagi. Mbak Sukma meringis sambil memilin jarinya satu sama lain. "Anu, Non, sebenarnya diapers ini milik Non Tiara." Dahiku berkerut. "Tiara?" Mbak Sukma mengangguk pelan. "Non Tiara anak Non Sarah. Dia sering dititipkan di rumah Nyonya Citra." Kepalaku seperti dihant4m godam besi. Jadi, Sarah sering ke rumah Mama Cit