"Dayat, bangun! Gimana mau punya duit kalau tiduran terus. Dari pagi ke pagi kayak gedebong pisang!"Suara cempreng Ibu menusuk gendang telingaku, ditambah gedoran di pintu kamar membuatku menutup daun telinga dengan bantal guling."Dayat, kamu dengar gak? Ibu udah ditagih hu-tang sama pin-jol, Ibu Hasni juga nagih arisan yang kemarin. Ayo buka pintu, Ibu minta u-ang."Si-4l! Tak bisakah sehari saja aku tidur dengan tenang? Jelas-jelas Ibu tahu kalau aku tidak bekerja lagi. Bahkan, rumah tanggaku gonjang-ganjing akibat selama ini aku selalu memanjakan Ibu dan Mbak Anis dengan limpahan materi, tentu saja u-angnya kuambil dari penjualan toko. Sekarang, aku bukan siapa-siapa lagi, terang saja sumber pendapatanku hilang."Dayat, buka pintu atau Ibu dobrak!"Aku berdecak keras. Baru kali ini aku merasakan beratnya punya Ibu yang doyan ngabisin duit. Dulu tak masalah, sekarang harusnya Ibu dan Mbak Anis bisa mengurangi gaya hidup hedonnya. Aku bangkit dari tempat tidur dengan malas lalu mem
"Gio mau tidur dipelvk Ibun."Rengekan Gio membuat hatiku luluh, niat hendak membuat susu kuurungkan setidaknya sampai dia terlelap."Gio masih pusing?" Aku mera-b4 jahitan di dahi Gio yang sudah kering."Udah gak Ibun, Gio kan, anak kuat." "Ibun percaya, tiap hari Ibun doakan agar Gio jadi anak sholeh, pintar, disayang semua orang."Gio tersenyum memperlihatkan barisan gigi susu yang terawat. Namun, rautnya tiba-tiba berubah sendu. "Kenapa? Ada yang sakit?"Gio menggeleng. "Gio kangen Ayah. Ayah ke mana, kok gak pulang-pulang?"Aku tertegun mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Gio. Wajar dia mempertanyakan Ayahnya, sebab beberapa hari ini tidak bertemu Mas Dayat."Ayah gak sayang Gio lagi, ya, Ibun? Apa karena Gio nakal? Ayah juga jarang peluk Gio, gak seperti teman-teman yang lain. Ayahnya suka bermain sama dia, kadang dibawa jalan-jalan. Gio juga mau kayak gitu."Ya Allah, hatiku han-cur redam mendengar curahan hati Gio. Selama ini dia tak pernah rewel, bahkan sangat penu
"Apa lagi yang kau tunggu? Ayo naik!"Fina menarik tanganku, dia sudah duduk di jok belakang sepeda motor, sementara Mbak Anis dan teman lelakinya sudah pergi lebih dulu. Kakiku masih gemetar melangkah, bayangan Gio yang terlem-par ke dinding terus berkelebat di pelupuk mataku. Apa dia baik-baik saja?"Buruan! Kamu mau kita tertangkap warga?!" Fina kembali berseru mengingatkan membuatku menarik gas sepeda motor dengan cepat. Hampir saja menabrak pohon beruntung aku bisa mengendalikan stang."Kamu mau kita mati? Hati-hati." Lagi Fina berteriak di daun telingaku.Aku tak menggubris, kepalaku penuh dengan bayang-bayang Halimah dan Gio. Apa mereka baik-baik saja? Aku benar-benar sudah gil4 mau saja mengikuti rencana Fina. Bagaimana kalau Gio terluka parah?"Kita kumpul di bengkel teman Mbak Anis sesuai rencana."Aku mengikuti arahan Fina menuju bengkel yang dimaksud. Aku tidak mengira Fina dan Mbak Anis melibatkan orang luar. Aku sempat ingin membatalkan, tetapi teman lelaki Mbak Anis tel
"Gio akan baik-baik saja." Suara Kahfi lembut membuat Halimah menatap lelaki itu."Tapi kenapa sampai sekarang Gio belum bangun? Aku panggil-panggil dia gak respon." Halimah terisak, wajah wanita itu terlihat kuyu, matanya juga tampak lelah sebab tak berhenti menangis sejak semalam.Kahfi mendekat, dia ingin mengusap punggung rapuh Halimah sekedar memberi kekuatan untuk wanita itu. Namun, tangannya urung bergerak sebab sadar Halimah bukan mahromnya, belum tentu juga wanita itu bersedia disentuh sembarangan."Kita doakan Gio mampu melewati masa kritisnya. Gio anak yang kuat, dia pasti bisa."Halimah menggenggam tangan Gio. Dia berterima kasih atas niat Kahfi menenangkannya, tetapi tetap saja tak mampu menenangkan gelombang rasa takut yang membuatnya resah. Selama Gio belum membuka mata sampai kapan pun dia tak akan tenang."Kahfi, maaaf aku selalu merepotkan kamu. Aku gak tahu lagi harus minta tolong pada siapa." Suara Halimah serak menahan tangis, dadanya ngilu mengingat kejadian tad
"Maaf, dia siapa?" Polisi tadi menunjuk Dayat yang masih mematung berdiri di tempatnya."Dia suami saya." Halimah enggan mengakui, tetapi Dayat memang suaminya."Anda di mana saat kejadian?" Dayat tidak mengira ditanya polisi membuatnya gugup setengah mati. "Sa, saya lagi nginap di rumah orang tua saya, Pak."Polisi tadi menatap Halimah dan Dayat bergantian, sepertinya dia paham kalau ada masalah di antara mereka."Apa ada petunjuk lain, Pak?" Kali ini Kahfi yang bertanya."Kami merasa ada kejanggalan dalam kasus ini, sebab pintu depan tidak rusak yang rusak malah pintu belakang.""Iya, saya lihat mereka juga keluar lewat pintu belakang." Halimah tak mungkin lupa kejadian malam nahas itu, setelah melukai Gio salah satu peram-pok berjalan ke dapur."Anehnya kalau masuk dari belakang harusnya pintu dirusak dari luar, tapi ini dari dalam."Kahfi dan Halimah terdiam mencerna penjelasan polisi yang masuk akal. Berbeda dengan Dayat yang semakin menciut, dia yakin cepat atau lambat kedoknya
"Apa yang kau pikirkan?" Suara Kahfi mengalihkan pandanganku dari Gio. Sudah dua hari, tetapi belum ada tanda-tanda dia akan bangun. Hati Ibu mana yang tidak sakit melihat d4rah dagingnya terbaring tidak berdaya di atas brankar rumah sakit."Fi, apa kata dokter, kenapa Gio belum juga siuman?" Aku menatap Kahfi lekat, berharap ada kabar baik yang dia bawa dari dokter yang menangani Gio"Maaf, aku harap kamu tetap kuat, ya. Kita akan hadapi ini sama-sama."Aku merem4s dadaku mendengar kata-kata Kahfi, seakan hendak menenangkan detak jantung yang semakin menggila."Ada apa sebenarnya? Tolong jujur sama aku." Aku memegang tangan Kahfi erat, tak peduli kami mahrom atau tidak. Di saat seperti ini aku butuh seseorang yang bisa menguatkan, peran yang seharusnya dilakukan oleh Dayat. Namun, entah di mana dia sekarang, bahkan puncak hidungnya tak terlihat sejak terakhir bertemu di rumah sakit."Dokter bilang ada pembekuan dar-ah di kepala belakang Gio, harus dilakukan operasi sesegera mungki
"Gio!" Aku terhuyung ke tempat tidvr ketika mencoba bangkit"Halimah, kamu gak papa?" Aku menoleh ketika mendengar suara Kahfi menanyakan keadaanku. Sesaat aku linglung menatapnya, benakku mencoba mengumpulkan keping ingatan terakhir sebelum semuanya terasa gelap. Rasa ngilu menik4m dada ketika penjelasan polisi terngiang kembali di dalam di dalam tempurung kepalaku."Fi, aku, aku ....""Kamu tenang, jangan banyak gerak." Kahfi memperbaiki plester untuk menahan jarum infus di tanganku.Aku membiarkan kepalaku jatuh di dada Kahfi. Aku tak pernah mengira dalang peramp0kan suamiku sendiri. Ke mana hatinya dia letakkan? Tak bergetarkah nuraninya saat melihat tubuh kecil Gio terpental ke dinding?"Sakit, Fi, sakit!" Aku merem-as baju snelli Kahfi erat-erat sekadar meluapkan amarah yang menggumpal di dada. Air mataku membasahi dadanya,"Menangislah, keluarkan semua." Aku merasakan usapan lembut di kepala membuat tangisku semakin menderas. Ya Tuhan, tak pernah kubayangkan lelaki yang kupe
Gerimis yang turun sejak tadi pagi tidak mampu membujuk sang mentari meredupkan cahayanya, justru teriknya semakin menyengat orang-orang yang sedang menyusun kursi di halaman rumah Halimah. Kaum laki-laki bahu-membahu memasang tenda untuk para pelayat berteduh nanti, sementara ibu-ibu membantu memasak di rumah tetangga untuk memberi makan orang-orang yang turut mengantarkan ke kuburan nanti. Di dalam rumah tampak Mak Darmi merapikan kain panjang yang menutupi jenazah Gio. Silih berganti orang-orang datang untuk menyampaikan belasungkawa, tak lupa mereka membaca doa agar almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi Yang Mahakuasa. Di sebelah tempat tidur Halimah duduk bersandar dengan tatapan lurus ke jenazah putranya. Dia menyandarkan kepalanya ke dinding, wajah wanita itu tampak kuyu, lingkar di bawah mata terlihat hitam, binar yang biasanya berpendar di wajah cantiknya luntur sudah. Halimah bak bulan mati, dia redup karena cahaya hatinya telah padam. Setelah mendapat kabar kalau Gi
"Kamu baik-baik aja?" Andar menelisik wajah Halimah, sejak berangkat dari rumah dia tak banyak bicara."Iya, Mas, aku baik-baik aja." Halimah memaksakan bibirnya tersenyum. Meski perasaannya kacau-balau, dia tak ingin menunjukkan kepada Andar. Sudah cukup merepotkan sang kakak dan istrinya. Sejak pulang dari rumah sakit, keduanya memberikan perhatian ektra. Halimah seperti bocah di mata mereka. Apa-apa ditanya, mau apa, apa yang dirasakan dan lain-lain.Andar manggut-manggut. Dia membuka pintu mobil lalu mengeluarkan koper milik Halimah. Sebenarnya dia ingin adiknya tetap tinggal di kota ini, tetapi dia juga tak bisa mengintervensi keputusan sang adik, sebab Halimah tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sementara itu Halimah mengikuti langkah Andar masuk ke bandara. Satu jam lagi pesawat yang ditumpanginya akan berangkat. Dia masih punya waktu banyak untuk menikmati suasana. Halimah mengedarkan pandangan ke kesekeliling, namun dia tidak menemukan yang dia cari. Dia tersenyum getir.'Ap
"Ayo kita bercerai."Dunia terasa hening beberapa saat ketika mendengar permintaan Halimah, aku seketika membeku, lidahku kelu tak tahu harus menjawab apa."Aku sudah mencoba bertahan beberapa bulan ini. Satu tahun lebih kamu mengabaikanku saat aku butuh dukungan darimu. Aku bahkan sudah berupaya membuat rumah tangga kita kembali hangat, tapi kau tetap saja dingin. Saat tahu alasannya aku semakin hancur."Dadaku seakan tersengat aliran listrik mendengar keluhan Halimah. Apa yang dia katakan tidak ada yang salah, membuatku terpojok, betapa tidak becusnya aku menjadi suami. Melihat air matanya semakin menghadirkan ngilu ke dadaku. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia menepis pelan."Lepaskan aku, Mas. Akan lebih baik kalau kita tidak saling menyakiti."Aku menggeleng cepat. "Aku janji nggak akan menyakiti kamu lagi. Aku salah, aku minta maaf. Kasih kesempatan satu kali lagi, kumohon."Tak apa bila aku merendahkan harga diri. Aku tahu kesalahanku sangat fatal, tidak hanya menyakiti ps
Kelopak mataku terasa berat saat ingin dibuka. Aku meringis ketika merasakan nyeri di kepala. Sayup-sayup aku mendengar nada teratur seperti suara klakson, tetapi lebih lembut di sisi sebelah kiri. Aku juga merasakan masker melekat di wajahku. Ingatanku perlahan-lahan membentuk rangkaian kejadian sebelum tak sadarkan diri. Sosok Sarah yang menggenggam senjat4 tajam bergerak cepat ke arah Kahfi yang berdiri membelakanginya. Entah dorongan dari mana aku maju menjadikan tubuhku tameng untuk lelaki itu. Apakah itu bentuk cinta hingga rela mengorbankan keselamatanku? Ataukah semua hanya mimpi saja. Nyeri di dada membuatku menyent-uh bagian itu, untuk menghela napas saja rasanya sulit. Tidak, sakitnya nyata, pasti kejadian itu bukan mimpi."Anda sudah bangun?" Lamat-lamat aku mendengar suara lelaki menyapa. Aku berkedip, membiarkan lelaki itu menyenter ke arah mataku. "Sepertinya pasien berhasil melewati masa kritisnya. Terus awasi tanda-tanda vitalnya, semoga setelah ini tidak ada penuru
"Tidak, Kahfi, kumohon jangan kau besar-besarkan masalah ini." Sarah meronta mencoba melepaskan diri dari dua orang Polwan yang memegangi tangannya. "Ingat, kita dulu punya hubungan, bahkan kita pernah punya anak."Kahfi melengos, dia jijik mendengar setiap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. wanita itu selalu saja menggunakan anak sebagai senjata untuk meluluhkannya dia merasa tidak mengenal wanita itu lagi. Sarahnyang sekarang berdiri di hadapannya adalah wanita yang egois, keras kepala, manipulatif, dan licik. Berbeda dengan wanita yang dikenal bertahun-tahun yang lalu. Entah apa yang merubah pribadi Sarah hingga menjadi sejahat itu atau mungkin memang inilah karakter aslinya."Halimah sekarat sekarang dan kau bilang aku membesar-besarkan masalah? Sejak pertama kali tahu kau melakukan tindakan menjijikkan itu, aku berencana menuntutmu. Hanya karena Tiara aku menahan diri. Perbuatanmu yang busuk, tapi anak itu tidak bersalah.""Harusnya kau bersyukur Kahfi. Aku bisa melahirkan Tiar
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S
"Saya pergi dulu, terima kasih waktunya." Halimah memasukkan ponsel ke dalam tas lalu bergegas bangkit dari kursi."Tunggu, tadi Anda menyebut Tiara, ada apa dengannya?" Arman ikut bangkit membuat gerakan Halimah tertahan. Raut penasaran terlihat di wajahnya."Tiara drop lagi, tadi Kahfi bilang kecil kemungkinan anak itu bertahan."Arman terdiam. Tiara memang bukan dar4h dagingnya, tetapi sejak Sarah mengandung dialah yang paling menjaga kondisi wanita itu. Apa saja yang diinginkan Sarah pasti dituruti, sebab Arman ingin calon anaknya sehat dan selamat. Pun selama dua tahun dia mencurahkan kasih sayang pada anak itu. Kenyataan kalau Tiara bukan berasal dari benihnya tidak hanya menghancvrkan hatinya, tetapi juga membuatnya tidak berharga sebagai lelaki di mata Sarah. Namun, bukan berarti dia membenc1 Tiara, tidak! Arman hanya jij1k pada obsesi sang mantan istri."Anda mau ke mana?" Arman gegas mensejajari langkahnya dengan Halimah menuju pintu keluar restoran."Ke rumah sakit. Kahfi m
"Jadi kita bisa bertemu?" Halimah meyakinkan lagi tempat pertemuan dengan lawan bicaranya di telepon. Setelah waktu, tempat, dan di meja berapa pembicaraan itu beralkhir.Halimah menatap keluar melalui jendela kamar ketika melihat mobil sedan hitam masuk ke pekarangan rumah. Tak perlu mencari tahu sebab dia hapal si pemilik kendaraan tersebut. Dia lalu menatap pantulan wajahnya di cermin untuk memastikan mata sembabnya sudah tersamarkan. Setelah itu dia bangkit bertepatan bunyi bel."Mama." Halimah menyalami ibu mertuanya. Dia tidak mengira wanita itu mendatanginya pagi-pagi."Kamu mau ke mana, kok udah rapi?" Citra menatap penampilan sang menantu.Halimah tersenyum, merangkul ibu mertuanya sembari mengajak masuk ke dalam rumah. "Mau ketemu teman, Ma."Citra duduk di atas sofa di ruang tamu tepat di sebelah Halimah. Dia menggenggam tangan sang menantu."Mama minta maaf, ya, udah nyembunyiin semua dari kamu." Sorot mata Citra penuh penyesalan, genggaman tangannya semakin erat. "Iya, M
"Benar sudah tidak apa-apa?" Kahfi menelisik wajahku, sorot matanya terlihat cemas.Aku tersenyum tidak tahu harus bahagia atau sedih. Kahfiku sudah kembali seperti dulu, tetapi fakta yang terungkap membuat hatiku gundah.'Kahfi pasti setuju dengan ideku. Kau tidak lihat betapa dia sangat mencintai Tiara. Anak kami sangat dekat dengannya satu tahun terakhir. Bahkan, saat Tiara menjalani kemo Kahfi sampai menitikkan air mata. Apalagi kau tak mampu memberinya an4k, tentu kesembuhan Tiara prioritas baginya.'"Hei, ditanya kok bengong?" Kahfi mencubit pelan pipiku membuatku meringis sekaligus meletuskan gelembung ingatan tadi, percakapan terakhir sebelum Sarah meninggalkan ruang perawatanku."Nggak, aku terharu dengan perhatianmu padaku. Aku sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali kau bersikap manis seperti ini."Kahfi tersenyum tipis, jemarinya menyusuri setiap lekvk wajahku. "Maafkan aku, " lirih suara Kahfi berucap, riak-riak penyesalan terlihat jelas di pelupuk mata yang biasanya