Aku menghentikan laju sepeda motor. "Kamu turun di sini.""Kok, di sini?" Fina turun dengan wajah cemberut, sejak tadi dia tidak berhenti mengomel membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Belum lagi cuaca terik membuat ubun-ubunku terasa dipanggang."Kamu pulang sendiri, aku ada urusan.""Urusan apa? Kamu mau balik lagi ke toko? Mau ngemis-ngemis maaf ke Halimah?" Suara Fina keras memancing pejalan kaki menatap ke arah kami. "Ck, jangan cerewet! Pulang sana, nanti kita bicara." Aku bersiap memutar gas sepeda motor, tapi Fina menahan lenganku."Aku gak punya ongkos!" Fina menadahkan tangan, "minta u-ang 1 juta.""Aku gak punya u-ang sebanyak itu!" Benar-benar si Fina, apa dia lupa kalau saldoku tinggal tiga puluh lima ribu?"Gak mau tahu, kamu udah janji sama aku kasih jajan 1 juta seminggu. Ini udah telat dua hari, aku gak punya u-ang lagi." Fina mulai merajuk, dia menghentakkan kaki persis anak kecil yang tantrum."Fina, aku gak ada u-ang sama sekali." Aku merogoh sisa u-ang bensin y
"Aku antar?" Aku terpana ketika sorot teduh Kahfi memindai wajahku. Seperti ada sesuatu yang membuatku tak bisa berkedip. Tidak boleh Halimah, kamu tidak boleh seperti ini, apa bedanya kamu dengan Dayat kalau bersikap seperti ini?"Halimah?" Kahfi melambaikan tangan di depan wajahku menarik kembali kesadaranku."Makasih, aku bisa sendiri." Aku gegas berjalan keluar dari warteg menuju sepeda motorku di parkir. Berdekatan dengan Kahfi membuatku serba-salah."Ya udah, nanti sepeda motormu yang di klinik aku suruh montir yang antar ke rumah."Aku hanya mengangguk. Entah gugup atau licin, helm terlepas dari tanganku lalu menggelinding, hendak meraih benda itu Kahfi lebih sigap."Dari tadi aku perhatikan kamu ngelamun terus, ada masalah?" Kahfi hendak memasangkan helm ke kepalaku, tetapi aku lebih dulu mengambil dari tangannya."Gak apa-apa, aku cuma ingat Gio." Aku memasang pengikat helm di bawah dagu, tetapi entah mengapa susah sekali."Maaf, biar aku saja."Badanku seketika mematung ke
Aku menarik wajahku dari dada Kahfi dan melihat Mas Dayat berdiri di ambang pintu ruang perawatan Gio. Raut lelaki yang pernah kucintai itu merah padam, keduanya terkepal di sisi badannya."Ternyata ini alasan kamu mau bercerai, lempar batu sembunyi tangan. Nuduh aku selingkuh padahal kamu juga."Aku menghela napas pelan, dari mana Mas Dayat tahu kalau aku di rumah sakit. Dering ponsel membuatku merogoh ponsel di dalam saku celana kulotku."Ya, Mak?""Neng, gimana Gio? Dia baik-baik aja kan?""Iya, Mak, Gio harus dirawat satu atau dua hari ini." "Syukurlah. Em, Neng, tadi Dayat ke rumah mau ketemu Neng, tapi Mak bilang ke rumah sakit antar Gio. Maaf, tadi Mak nyebut nama rumah sakitnya."Sekarang aku tahu bagaimana Mas Dayat bisa sampai ke sini. "Iya, Mak, gak papa. Aku tutup dulu, orangnya udah di sini."Lalu percakapan telepon berakhir. Aku berdiri menantang Mas Dayat yang kini berdiri di ujung kaki Gio."Kalau kamu ke sini nyari ribut lebih pergi!" Meski badanku terasa lemas, tapi
"Dayat, bangun! Gimana mau punya duit kalau tiduran terus. Dari pagi ke pagi kayak gedebong pisang!"Suara cempreng Ibu menusuk gendang telingaku, ditambah gedoran di pintu kamar membuatku menutup daun telinga dengan bantal guling."Dayat, kamu dengar gak? Ibu udah ditagih hu-tang sama pin-jol, Ibu Hasni juga nagih arisan yang kemarin. Ayo buka pintu, Ibu minta u-ang."Si-4l! Tak bisakah sehari saja aku tidur dengan tenang? Jelas-jelas Ibu tahu kalau aku tidak bekerja lagi. Bahkan, rumah tanggaku gonjang-ganjing akibat selama ini aku selalu memanjakan Ibu dan Mbak Anis dengan limpahan materi, tentu saja u-angnya kuambil dari penjualan toko. Sekarang, aku bukan siapa-siapa lagi, terang saja sumber pendapatanku hilang."Dayat, buka pintu atau Ibu dobrak!"Aku berdecak keras. Baru kali ini aku merasakan beratnya punya Ibu yang doyan ngabisin duit. Dulu tak masalah, sekarang harusnya Ibu dan Mbak Anis bisa mengurangi gaya hidup hedonnya. Aku bangkit dari tempat tidur dengan malas lalu mem
"Gio mau tidur dipelvk Ibun."Rengekan Gio membuat hatiku luluh, niat hendak membuat susu kuurungkan setidaknya sampai dia terlelap."Gio masih pusing?" Aku mera-b4 jahitan di dahi Gio yang sudah kering."Udah gak Ibun, Gio kan, anak kuat." "Ibun percaya, tiap hari Ibun doakan agar Gio jadi anak sholeh, pintar, disayang semua orang."Gio tersenyum memperlihatkan barisan gigi susu yang terawat. Namun, rautnya tiba-tiba berubah sendu. "Kenapa? Ada yang sakit?"Gio menggeleng. "Gio kangen Ayah. Ayah ke mana, kok gak pulang-pulang?"Aku tertegun mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Gio. Wajar dia mempertanyakan Ayahnya, sebab beberapa hari ini tidak bertemu Mas Dayat."Ayah gak sayang Gio lagi, ya, Ibun? Apa karena Gio nakal? Ayah juga jarang peluk Gio, gak seperti teman-teman yang lain. Ayahnya suka bermain sama dia, kadang dibawa jalan-jalan. Gio juga mau kayak gitu."Ya Allah, hatiku han-cur redam mendengar curahan hati Gio. Selama ini dia tak pernah rewel, bahkan sangat penu
"Apa lagi yang kau tunggu? Ayo naik!"Fina menarik tanganku, dia sudah duduk di jok belakang sepeda motor, sementara Mbak Anis dan teman lelakinya sudah pergi lebih dulu. Kakiku masih gemetar melangkah, bayangan Gio yang terlem-par ke dinding terus berkelebat di pelupuk mataku. Apa dia baik-baik saja?"Buruan! Kamu mau kita tertangkap warga?!" Fina kembali berseru mengingatkan membuatku menarik gas sepeda motor dengan cepat. Hampir saja menabrak pohon beruntung aku bisa mengendalikan stang."Kamu mau kita mati? Hati-hati." Lagi Fina berteriak di daun telingaku.Aku tak menggubris, kepalaku penuh dengan bayang-bayang Halimah dan Gio. Apa mereka baik-baik saja? Aku benar-benar sudah gil4 mau saja mengikuti rencana Fina. Bagaimana kalau Gio terluka parah?"Kita kumpul di bengkel teman Mbak Anis sesuai rencana."Aku mengikuti arahan Fina menuju bengkel yang dimaksud. Aku tidak mengira Fina dan Mbak Anis melibatkan orang luar. Aku sempat ingin membatalkan, tetapi teman lelaki Mbak Anis tel
"Gio akan baik-baik saja." Suara Kahfi lembut membuat Halimah menatap lelaki itu."Tapi kenapa sampai sekarang Gio belum bangun? Aku panggil-panggil dia gak respon." Halimah terisak, wajah wanita itu terlihat kuyu, matanya juga tampak lelah sebab tak berhenti menangis sejak semalam.Kahfi mendekat, dia ingin mengusap punggung rapuh Halimah sekedar memberi kekuatan untuk wanita itu. Namun, tangannya urung bergerak sebab sadar Halimah bukan mahromnya, belum tentu juga wanita itu bersedia disentuh sembarangan."Kita doakan Gio mampu melewati masa kritisnya. Gio anak yang kuat, dia pasti bisa."Halimah menggenggam tangan Gio. Dia berterima kasih atas niat Kahfi menenangkannya, tetapi tetap saja tak mampu menenangkan gelombang rasa takut yang membuatnya resah. Selama Gio belum membuka mata sampai kapan pun dia tak akan tenang."Kahfi, maaaf aku selalu merepotkan kamu. Aku gak tahu lagi harus minta tolong pada siapa." Suara Halimah serak menahan tangis, dadanya ngilu mengingat kejadian tad
"Maaf, dia siapa?" Polisi tadi menunjuk Dayat yang masih mematung berdiri di tempatnya."Dia suami saya." Halimah enggan mengakui, tetapi Dayat memang suaminya."Anda di mana saat kejadian?" Dayat tidak mengira ditanya polisi membuatnya gugup setengah mati. "Sa, saya lagi nginap di rumah orang tua saya, Pak."Polisi tadi menatap Halimah dan Dayat bergantian, sepertinya dia paham kalau ada masalah di antara mereka."Apa ada petunjuk lain, Pak?" Kali ini Kahfi yang bertanya."Kami merasa ada kejanggalan dalam kasus ini, sebab pintu depan tidak rusak yang rusak malah pintu belakang.""Iya, saya lihat mereka juga keluar lewat pintu belakang." Halimah tak mungkin lupa kejadian malam nahas itu, setelah melukai Gio salah satu peram-pok berjalan ke dapur."Anehnya kalau masuk dari belakang harusnya pintu dirusak dari luar, tapi ini dari dalam."Kahfi dan Halimah terdiam mencerna penjelasan polisi yang masuk akal. Berbeda dengan Dayat yang semakin menciut, dia yakin cepat atau lambat kedoknya
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S
"Saya pergi dulu, terima kasih waktunya." Halimah memasukkan ponsel ke dalam tas lalu bergegas bangkit dari kursi."Tunggu, tadi Anda menyebut Tiara, ada apa dengannya?" Arman ikut bangkit membuat gerakan Halimah tertahan. Raut penasaran terlihat di wajahnya."Tiara drop lagi, tadi Kahfi bilang kecil kemungkinan anak itu bertahan."Arman terdiam. Tiara memang bukan dar4h dagingnya, tetapi sejak Sarah mengandung dialah yang paling menjaga kondisi wanita itu. Apa saja yang diinginkan Sarah pasti dituruti, sebab Arman ingin calon anaknya sehat dan selamat. Pun selama dua tahun dia mencurahkan kasih sayang pada anak itu. Kenyataan kalau Tiara bukan berasal dari benihnya tidak hanya menghancvrkan hatinya, tetapi juga membuatnya tidak berharga sebagai lelaki di mata Sarah. Namun, bukan berarti dia membenc1 Tiara, tidak! Arman hanya jij1k pada obsesi sang mantan istri."Anda mau ke mana?" Arman gegas mensejajari langkahnya dengan Halimah menuju pintu keluar restoran."Ke rumah sakit. Kahfi m
"Jadi kita bisa bertemu?" Halimah meyakinkan lagi tempat pertemuan dengan lawan bicaranya di telepon. Setelah waktu, tempat, dan di meja berapa pembicaraan itu beralkhir.Halimah menatap keluar melalui jendela kamar ketika melihat mobil sedan hitam masuk ke pekarangan rumah. Tak perlu mencari tahu sebab dia hapal si pemilik kendaraan tersebut. Dia lalu menatap pantulan wajahnya di cermin untuk memastikan mata sembabnya sudah tersamarkan. Setelah itu dia bangkit bertepatan bunyi bel."Mama." Halimah menyalami ibu mertuanya. Dia tidak mengira wanita itu mendatanginya pagi-pagi."Kamu mau ke mana, kok udah rapi?" Citra menatap penampilan sang menantu.Halimah tersenyum, merangkul ibu mertuanya sembari mengajak masuk ke dalam rumah. "Mau ketemu teman, Ma."Citra duduk di atas sofa di ruang tamu tepat di sebelah Halimah. Dia menggenggam tangan sang menantu."Mama minta maaf, ya, udah nyembunyiin semua dari kamu." Sorot mata Citra penuh penyesalan, genggaman tangannya semakin erat. "Iya, M
"Benar sudah tidak apa-apa?" Kahfi menelisik wajahku, sorot matanya terlihat cemas.Aku tersenyum tidak tahu harus bahagia atau sedih. Kahfiku sudah kembali seperti dulu, tetapi fakta yang terungkap membuat hatiku gundah.'Kahfi pasti setuju dengan ideku. Kau tidak lihat betapa dia sangat mencintai Tiara. Anak kami sangat dekat dengannya satu tahun terakhir. Bahkan, saat Tiara menjalani kemo Kahfi sampai menitikkan air mata. Apalagi kau tak mampu memberinya an4k, tentu kesembuhan Tiara prioritas baginya.'"Hei, ditanya kok bengong?" Kahfi mencubit pelan pipiku membuatku meringis sekaligus meletuskan gelembung ingatan tadi, percakapan terakhir sebelum Sarah meninggalkan ruang perawatanku."Nggak, aku terharu dengan perhatianmu padaku. Aku sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali kau bersikap manis seperti ini."Kahfi tersenyum tipis, jemarinya menyusuri setiap lekvk wajahku. "Maafkan aku, " lirih suara Kahfi berucap, riak-riak penyesalan terlihat jelas di pelupuk mata yang biasanya
"Kamu ingat tiga tahun yang lalu saat kita melakukan program bayi tabung? Saat itu Sarahlah yang menangani kita bukan?"Aku masih diam, berusaha menenangkan kecamuk di dalam dada, hanya karena Mama Citra aku bertahan mendengar penjelasan Kahfi."Halimah, kamu dengar yang aku katakan?" Kahfi menatapku lekat, tapi aku membu4ng wajah, hatiku masih panas mendengar pengakuan Kahfi tadi."Apa hubungannya?" tanyaku dengan ketus. Enggan rasanya meneruskan percakapan ini. Pengakuan Kahfi kalau Tiara putrinya sudah cukup sebagai bukti kalau lelaki itu tak setia."Sayang, dengarkan aku. Mungkin kamu nggak percaya, tapi di sanalah semua ini bermula.""Apa maksudmu?" Aku menatap Mama Citra, Sarah, dan Kahfi bergantian. "Tolong lebih singkat dan padat, aku nggak punya waktu bertele-tele." Aku gusar melihat Sarah yang terlihat tenang. Apa wanita itu merasa menang dariku karena berhasil memberi Kahfi seorang an4k. Membayangkan seperti apa keduanya berhubungan membuat dadaku berdenyut nyeri."Sarah m
"Tolong jelaskan sejak kapan kalian berselingkuh?!"Aku refleks menoleh ke arah suara dan melihat Halimah berdiri dengan tatapan nyalang ke arah kami. Tajam sorot matanya membuat tenggorokanku terasa kering hingga harus menelan liur berkali-kali, lidah pun seakan kelu tak mampu menjawab pertanyaan Halimah."Apa kalian semua tiba-tiba bisu? Bukankah tadi terdengar seperti sebuah keluarga yang harmonis dan kompak?"Sinis, jelas sekali kemarahan di nada suaranya. Aku tak menyalahkan dia kalau berpikiran buruk padaku dan Sarah. Harusnya sejak lama kuceritakan hubunganku dengan Sarah, tetapi aku belum menemukan waktu yang pas. Aku juga tak mau menyakiti Halimah dengan kenyataan yang ada kalau aku dan Sarah memiliki anak."Sayang, kamu tenang dulu, ya. Ini nggak seperti yang kamu pikiran?" Mama mencoba menenangkan Halimah. Sama sepertiku Mama pasti merasa cemas. Ah, mengapa jadi serumit ini?"Tenang? Melihat suamiku bersama wanita lain, lebih peduli wanita lain daripada aku istrinya Mama bi
"Aku mengajukan khuluk!"Tegas, tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hatiku. Mungkin memang sudah takdirku gagal lagi dipernikahan ke dua. Entah dosa atau ujian yang aku jalani hingga ketenangan hanya beberapa tahun kurasakan. "Halimah, kamu jangan gegabah. Aku nggak mau mengabulkan permintaanmu. Sekarang tenangkan dirimu. Kita nggak bisa bicara dalam kondisi panas seperti ini. Kamu harus percaya padaku seperti yang sudah-sudah."Aku berdecih, pandanganku mulai mengabur karena genangan air di pelupuk mata. Sekuat hati aku menahan agar linangan itu tak tumpah lagi. Lelah, ya, aku sangat lelah dengan prasangka yang tak menemukan jawaban pasti."Aku selalu percaya sama kamu sampai nggak sadar kepercayaanku kamu balas dengan dusta. Kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa dengan Sarah, kenapa harus sepeduli itu? Kenapa saat dia menelepon kamu langsung bergegas."Aku masih menuntut penjelasan dari Kahfi, tak peduli lelaki itu gelisah karena ponselnya terus berdering. Aku berani bertaruh y
"Mbak, aku nanya, untuk apa beli diapers sementara tidak ada anak kecil di rumah?" Aku mulai kesal karena Mbak Sukma tak kunjung menjawab pertanyaanku. Prasangka buruk kembali bercokol di benak. Apa Kahfi menikah diam-diam lalu memiliki anak? Tidak, gegas kuhalau hasutan ses4t itu. Sepertinya aku sudah mulai gil4 akibat fyp tok-tokku semua tentang perselingkuhan. Tak mungkin Kahfi tega menusvkku dari belakang. "Maaf, Non, tapi Non jangan marah. Nanti jangan bilang kalau saya yang ngomong." "Ya, udah, cepat bilang." Aku semakin gregetan karena bahasa tubuh Mbak Sukma terlihat gelisah. Apa ada yang disembunyikan di rumah mama mertuaku? "Mbak!" Aku mendesak lagi. Mbak Sukma meringis sambil memilin jarinya satu sama lain. "Anu, Non, sebenarnya diapers ini milik Non Tiara." Dahiku berkerut. "Tiara?" Mbak Sukma mengangguk pelan. "Non Tiara anak Non Sarah. Dia sering dititipkan di rumah Nyonya Citra." Kepalaku seperti dihant4m godam besi. Jadi, Sarah sering ke rumah Mama Cit