Mataku tak bisa terpejam meski jam sudah berdentang dua belas kali. Aku melirik Mas Dayat yang tertidur pulas di sebelahku setelah meminta haknya sebagai suami. Selalu begitu, setiap berh@srat sikapnya sangat manis, tetapi bila sudah mendapatkan maunya, dia akan kembali acuh tak acuh. Aku mengamati setiap lekuk parasnya, sembari bertanya-tanya apa yang membuatku jatuh cinta padanya hingga bertahan dengan sikapnya. Dia tidak kaya, sangat penurut kepada Ibunya, dan cenderung plin-plan. Akhirnya aku sadar wajah tampan dan mulut manisnya yang membuatku terpikat. Alasan yang sangat b0doh. Kupikir memiliki suami tampan dan bisa berkata-kata manis sangat menyenangkan, rumah tangga kami akan diwarnai canda-tawa. Sebuah kekeliruan besar yang kusesali sampai sekarang. Andai tak ada Gio mungkin hatiku tak berat berpisah dengan Mas Dayat.
Aku tumbuh di keluarga broken home. Pernikahan keduanya kandas di tahun ke tujuh, karena Ibu tak tahan menjadi istri kedua yang selalu dipandang hi-na oleh masyarakat. Walau pun Ayah tak pernah melalaikan kewajibannya, tetap saja ada yang hilang di hatiku. Aku tak mau Gio mengalami hal yang sama. Aku tahu rasanya melihat anak-anak lain dijemput Ayah dan Ibunya, sedangkan aku hanya ditemani Ibu atau Ayah. Aku tak mau putraku kehilangan figur Ayah di hidupnya. Demi Gio kurelakan hatiku berdenyut nyeri setiap saat. Aku bangkit dari tempat tidur bermaksud membersihkan diri. Kepalaku penuh dengan kecurigaan kepada Mas Dayat. Apa benar jual-beli di toko sangat sepi? Sependek pengetahuanku mengelola toko dulu, sesepi apa pun aku masih bisa mendapatkan pendapatan bersih lima belas sampai dua puluh juta sebulan, sangat jauh berkurang bukan? Firasatku mengatakan Mas Dayat menyembunyikan sesuatu dariku. Aku baru keluar dari kamar mandi ketika melihat ponsel Mas Dayat berkedip-kedip. Sejak kapan dia membisukan suara notifikasi di ponselnya? Didorong rasa penasaran aku meraih benda itu untuk melihat siapa yang menelepon. Dahiku berkerut melihat nomor tidak dikenal, hendak menerima panggilan telepon sudah terlebih dahulu terputus. Aku membuka aplikasi w******p Mas Dayat, sayangnya dikunci. Tentu saja rasa curiga tumbuh di hatiku. Biasanya aplikasi apa pun di ponselnya tak pernah dikunci. Kenapa sekarang seolah-olah ada sesuatu yang dirahasiakan? Terpaksa kuredam rasa ingin tahu untuk saat ini, tetapi cepat atau lambat aku pasti tahu apa yang dia sembunyikan * Pagi menjelang, setelah salat subuh aku sibuk di dapur menyiapkan sarapan juga menu makan siang untuk Mas Dayat. Beruntung suhu badan Gio sudah normal sehingga rasa cemas hengkang dari dada. Aku menuang air mendidih ke dalam gelas yang berisi gula dan kopi, aroma wangi khas minuman itu membuat Dayat mendekat. "Imah, hari ini aku gak usah sarapan." Aku melirik Mas Dayat sembari meletakkan cangkir berisi kopi panas ke atas meja. "Kenapa, Mas?" "Aku buru-buru, mau antar Mbak Nisa ke pabrik untuk ngelamar kerja." Aku diam sejenak memperhatikan Mas Dayat menuang kopi ke piring kecil agar cepat mendingin. "Sejak kapan Mbak Anis kepikiran kerja?" Mas Dayat menghela napas mendengar sindiranku. Aku tidak bermaksud begitu, tetapi aneh saja mendengar Mbak Anis mau bekerja. Biasanya dia hanya pandai menadahkan tangan ke Mas Dayat. "Jangan begitu, harusnya kamu doakan agar Mbak Anis diterima." Aku tersenyum tipis lalu berkata, "Iya, aku doakan biar gak jadi para-sit lagi." "Halimah! Kamu kenapa jadi sinis gini sama Mbak Anis?!" Aku terkejut mendengar benta-kan Mas Dayat ditambah dia memu-kul meja. Sejak menikah baru kali ini dia bersikap seperti itu. Nyaliku sempat menciut melihat wajah garangnya, tetapi hanya sesaat. Aku tak akan membiarkan siapa pun mengin-timidasiku lagi, termasuk Mas Dayat. "Sinis?" Aku berdecih pelan. "Aku ngomong yang sebenarnya. Sejak dulu Kakakmu selalu memoroti keuangan kita. Bahkan, saat dia punya suami pun masih minta ke kita mulai dari belanja lauk, beras, sampai beli kebutuhan yang gak penting. Kita juga bayarin utang ju-di suaminya dulu. Apa aku protes? Gak! Tapi Kakakmu gak ada terima kasih ke aku." "Wajar aku nolong Mbak Anis, dia saudaraku. Lagipula itu u-angku, apa hakmu melarang?!" Aku terperangah mendengar balasan Mas Dayat. "Aku jelas punya hak melarang. Toko grosir itu milikku warisan almarhum Ayahku. Kamu hanya dititipi mengurusnya dan digaji. Jadi, u-ang yang dihasilkan dari toko itu milikku. Aku harap Mas tidak lupa itu." Aku terpaksa mengungkit jasa mendiang Ayah ke Mas Dayat agar matanya terbuka kalau selama ini kami masih menggantungkan hidup dari kebaikan keluargaku. Dulu, aku mengelola toko sembako dengan harga grosiran dan pangkalan gas yang bersebelahan dengan ruko itu. Mas Dayat menikahiku bermodal mahar seratus ribu saja. Ayah menentang keras pernikahan kami, karena menurutnya aku pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik. Namun, cinta buta membuatku nekat sehingga Ayah mengalah. Kini, baru aku sadar insting orang tua tidak pernah salah. "Em, maksudku bukan begitu. Aku hanya ...." "Sekarang begini saja. Mas cari saja pekerjaan yang lain, biar aku yang urus toko sembako lagi. Lagipula aku lihat-lihat sejak Mas mengelola pendapatan toko semakin berkurang." Wajah Mas Dayat memucat. "Si, siapa bilang? Toko ramai, kok." Dahiku berkerut. "Ramai? Bukannya semalam Mas bilang akhir-akhir ini sepi? Mana yang benar?" Aku bersedekap dan menajamkan mata padanya. "Bu, bukan gitu. Em, maksudku toko ramai kemarin-kemarin, tapi akhir-akhir ini sepi." Mas Dayat bangkit lalu merengkuh bahuku. "Sayang, sudah, pagi-pagi gak baik bertengkar, pamali." Aku menepis tangan Mas Dayat, sikap garang tadi menghilang entah ke mana berganti dengan senyum manis. Selalu seperti itu kalau dia terdesak. Sikap Mas Dayat memantik rasa curiga di hatiku. Entah mengapa aku yakin ada yang dia sembunyikan. Aku harus mencari tahu keadaan toko yang sebenarnya termasuk isi ponselnya, sebab tak mungkin benda itu disandi kecuali ada yang tidak beres dan aku tak boleh tahu."Sudah, ya, Mas pergi dulu." Aku bergeming meski Mas Dayat menc-ium dahiku. Hatiku sudah hambar padanya, hanya demi Gio aku masih bertahan di pernikahan ini. Aku menatap datar sarapan yang terhidang di atas meja. Usahaku sejak subuh sia-sia, dia bahkan melupakan bekal makan siangnya. Aku mengingat-ingat sejak kapan rasa di hatiku hilang? Mungkinkah sejak Mas Dayat selalu mementingkan keluarganya dibanding anak dan istri? Atau sejak dia menyuruhku menjadi b-abu untuk Ibunya? Aku tersenyum getir, manisnya pernikahan kurasakan hanya di satu tahun pertama, di tahun selanjutnya aku menjadi pemba-ntu gratisan untuk keluarganya. Seperti kerbau dicucuk hidung aku menurut saja, bahkan hin-aan demi hin-aan aku telan dalam diam. Bukan apa-apa, aku berharap Mas Dayat bisa melihat usahaku membahagiakan Ibunya. Harusnya aku sadar kalau tidak selamanya kebaikan akan dibalas kebaikan juga. Tangis Gio membuyarkan lamunanku. Aku gegas menghampiri putra kecilku yang menggemaskan. Sayangnya, demam
"Harusnya aku yang bertanya, siapa wanita ini?" Raut Mas Dayat seketika memucat, dia melirik wanita yang menatapku dengan alis berkerut. "Mas, dia ...." "Eh, sayang, kok, gak bilang mau ke toko?" Mas Dayat menyela perkataan wanita tadi, dia menghampiriku sambil mengulas senyum. Aku sedikit risih ketika dia merangkul pundakku. Entah mengapa aku merasa dia menyembunyikan sesuatu. Apalagi dari sudut mata aku bisa melihat wanita tadi cemberut melihat sikap Mas Dayat. "Kenapa harus bilang-bilang datang ke toko sendiri? Atau ada sesuatu yang aku tidak boleh tahu?" Aku menatap Mas Dayat intens untuk memastikan apakah lelaki itu berbohong atau tidak. "Tidak ada, memangnya apa yang aku sembunyikan?" Tatapan Mas Dayat beralih ke Gio, "Anak Ayah sudah sehat?" Aku muak melihat sikap Mas Dayat, lima tahun kami menikah aku hapal gerak-geriknya. Lelaki itu terlihat gugup meski mencoba disamarkan dengan mencolek pipi Gio. "Mana aku tahu, kalau ma-ling ngaku pasti penjara penuh." "Dek,
"Sayang, mana es-nya?" Tepukan di bahu membuatku mengusap kelopak mata agar cairan yang tergenang di sana tak jatuh. Aku tak mau Mas Dayat curiga padaku. Aku berbalik dan mengulas senyum, meski s@kit dan rasa muak padu di dalam dada aku harus menahan diri. Aku tak ingin Mas Dayat menaruh syak wasangka yang membuatnya berhati-hati. Mulai hari ini aku harus bisa berpura-pura menjadi istri penurut agar dia merasa bisa membodo-hiku."Rame, Mas, aku malas antri." Tatapanku jauh ke belakang pundak Mas Dayat. Fina, pelakor itu berdiri di belakang lelaki itu. "Dia ngapain ngekorin kamu terus? Abis ngerayu kamu, ya? Atau kalian lagi merencanakan sesuatu?""Sayang!" Mas Dayat berdeham, dia melirik Fina. Aku bisa melihat dia memberi isyarat agar wanita itu pergi. "Kamu kenapa suka nuduh aku yang tidak-tidak? Selama ini apa pernah aku aneh-aneh di belakang kamu?"Aku berdecih melihat lihainya Mas Dayat bersilat lidah. Entah berapa lama dia mencurangiku, yang pasti bukan sebulan-dua bulan ini. "
Aku sampai di rumah sore hari. Setelah memandikan Gio lalu menyuapinya makan, dia tertidur di depan televisi. Aku tersenyum melihat wajah polos Gio. Ada sesak berkelindan di dalam dada membayangkan putraku akan hidup tanpa sosok seorang Ayah. Tak mungkin aku mempertahankan pernikahan yang telah ternoda. Hatiku yang sudah kebas perlahan mati rasa mengetahui Mas Dayat sering berbagi keringat dengan wanita lain. Aku tidak mengira lelaki yang terlihat baik dengan senang hati menceburkan diri ke lautan dosa. Aku membuka kembali map yang kubawa dari rumah Ibu mertua untuk memastikan kelengkapan sertifikat rumah dan ruko. Apa yang ada di pikiran Mas Dayat? Dia pikir bisa mengalihkan kepemilikan keduanya tanpa tanda-tanganku? Atau mungkin saja bisa kalau dia menyogok oknum di BPN. Mulai hari ini aku harus ekstra hati-hati. Aku teringat kotak perhiasanku, jangan sampai lelaki itu mengetahui tempat penyimpanannya juga. Gegas langkahku ke dapur, mendorong kulkas ke depan untuk mengambil kotak k
"Ngapain kamu?!"Badanku seketika menegang, keringat dingin mulai keluar melalui pori-poriku. Satu, dua, sampai tiga detik tak ada pergerakan. Dengan perlahan aku menoleh ke belakang, rasa takut yang tadi sempat hinggap di dada seketika lenyap melihat Mas Dayat masih tertidur, rupanya dia ngelindur. Aku menghela napas lega lalu bergerak turun dari pembaringan. Aku memilih duduk di lantai agar lelaki itu tidak memergoki perbuatannya, lagipula dari sini aku bisa mengawasi pergerakan Mas Dayat.Aku mengirimkan semua percakapan Mas Dayat dengan keluarganya ke whatsappku. Selagi bisa aku harus mengumpulkan bukti agar di pengadilan nanti mereka tidak berkutik."Mas, jangan lupa, ya, besok kirim aku u@ng 100 juta. Kamu janji mau bayarin Dp rumah untuk aku."Satu pesan masuk dari Fina segera kubaca. Dasar wanita gat@l, dia pikir nominal 100 juta sedikit?"Iya, liat nanti." Aku membalas pesan Fina. Aku muak melihat wanita itu membalas dengan mengirimkan fotonya yang hanya mengenakan bra dan ce
"Mbak, aku udah dapat pembukuan toko."Aku tersenyum membaca pesan whatsapp dari Eko. "Bagus, kamu kerja hari ini?""Nggak Mbak. Kebetulan hari ini aku libur.""Oke, kamu tunggu aku di warung Mbok Darmi. Sebentar lagi aku ke sana.""Siap, Mbak."Aku menyimpan ponsel ke dalam saku celana kulot lalu menoleh ke arah Gio yang sedang melahap sarapannya."Anak Bunda pinter. Nanti di sekolah belajar yang rajin, ya."Gio tersenyum lebar ketika kepalanya kuusap dengan lembut. "Iya, Ibun. Hali ini kata Buk Gulu mau belajal tentang hewan yang bisa telbang.""Gio tahu apa saja hewan yang bisa terbang?" Aku melap sisa makanan di mulut Gio lalu menyodorkan segelas susu ke tangannya."Tahu dong, Ibun. Ada kupu-kupu, bulung, naga juga."Aku tertawa mendengar jawaban Gio. "Naga cuma mitos, sayang. Tidak ada hewan seperti itu." Aku lega melihat Gio menegak habis susunya."Tapi Gio lihat di tivi Naga bisa tebang Ibun. Wush, wush, gitu!"Tawaku kembali lepas melihat tingkah Gio memperagakan burung yang s
"Mas, aku buatin sarapan untuk kamu."Senyum Fina menyambut kedatanganku di toko. Wanita itu terlihat seksi dan menarik pagi ini. Bukan hanya pagi ini sebenarnya, tetapi sejak beberapa bulan yang lalu. Penampilan Fina yang selalu modis dan full make up membuatku lupa statusku sebagai lelaki beristri. Aku yang terlalu sering melihat Halimah mengenakan daster lusuh, rambut diikat asal-asalan, dan wajah kusut merasa mendapat svntikan semangat di tempat kerja. "Wah, baik banget sayangku ini." Aku merem4s bok0ng Fina yang besar dan bohay. Bukannya menghindar dia tertawa dan bergelayut di lenganku, nada suaranya yang manja membuatku melayang. "Iya, dong, untuk kekasih hatiku apa sih yang gak?" Fina semakin genit.Aku menelan ludah melihat Fina menji-lat bibirnya. Ah, wanita itu sangat tahu bagaimana membuatku bergair4h. Andai bukan di toko pasti sudah kunikmati kemolekan tvbuhnya seperti yang biasa kami lakukan di kontrakannya."Kamu paling pintar bikin aku klepek-klepek. Kebetulan aku be
Sesampai di kantor polisi, aku bergegas masuk mencari keberadaan Ibu dan Mbak Anis. Aku tahu kalau Kakakku bandel, tapi tidak mengira dia sampai tidvr dengan suami orang. Argh! Rasanya kepalaku mau pecah. Tak bisakah sekali saja dia tidak membuat masalah? Sejak dulu Mbak Anis terkenal badung, dia bahkan dikeluarkan dari sekolah menengah atas gara-gara ketahuan jadi selingkuhan guru olah raga. Entah apa yang dipikirkannya hingga terlibat skandal. Sejak hari itu Mbak Anis tak mau melanjutkan sekolah karena kabar perselingkuhan itu sudah menyebar dari mulut ke mulut ke sekolah lain."Dayat, sini!" Aku menoleh dan melihat Ibu melambaikan tangan. Langkahku terburu-buru sebab melihat seorang wanita mencoba menyer4ng Mbak Anis. Dua orang polisi mencoba menenangkan wanita tersebut, tetapi mulutnya tak berhenti menca-ci mak-i Mbak Anis."Dasar jal4ng tidak tahu diri. Gak bisa kamu cari laki-laki single? Harus sama suami orang?"Telingaku pekak mendengar ma-kian wanita bertubuh tambun yang aku
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S
"Saya pergi dulu, terima kasih waktunya." Halimah memasukkan ponsel ke dalam tas lalu bergegas bangkit dari kursi."Tunggu, tadi Anda menyebut Tiara, ada apa dengannya?" Arman ikut bangkit membuat gerakan Halimah tertahan. Raut penasaran terlihat di wajahnya."Tiara drop lagi, tadi Kahfi bilang kecil kemungkinan anak itu bertahan."Arman terdiam. Tiara memang bukan dar4h dagingnya, tetapi sejak Sarah mengandung dialah yang paling menjaga kondisi wanita itu. Apa saja yang diinginkan Sarah pasti dituruti, sebab Arman ingin calon anaknya sehat dan selamat. Pun selama dua tahun dia mencurahkan kasih sayang pada anak itu. Kenyataan kalau Tiara bukan berasal dari benihnya tidak hanya menghancvrkan hatinya, tetapi juga membuatnya tidak berharga sebagai lelaki di mata Sarah. Namun, bukan berarti dia membenc1 Tiara, tidak! Arman hanya jij1k pada obsesi sang mantan istri."Anda mau ke mana?" Arman gegas mensejajari langkahnya dengan Halimah menuju pintu keluar restoran."Ke rumah sakit. Kahfi m
"Jadi kita bisa bertemu?" Halimah meyakinkan lagi tempat pertemuan dengan lawan bicaranya di telepon. Setelah waktu, tempat, dan di meja berapa pembicaraan itu beralkhir.Halimah menatap keluar melalui jendela kamar ketika melihat mobil sedan hitam masuk ke pekarangan rumah. Tak perlu mencari tahu sebab dia hapal si pemilik kendaraan tersebut. Dia lalu menatap pantulan wajahnya di cermin untuk memastikan mata sembabnya sudah tersamarkan. Setelah itu dia bangkit bertepatan bunyi bel."Mama." Halimah menyalami ibu mertuanya. Dia tidak mengira wanita itu mendatanginya pagi-pagi."Kamu mau ke mana, kok udah rapi?" Citra menatap penampilan sang menantu.Halimah tersenyum, merangkul ibu mertuanya sembari mengajak masuk ke dalam rumah. "Mau ketemu teman, Ma."Citra duduk di atas sofa di ruang tamu tepat di sebelah Halimah. Dia menggenggam tangan sang menantu."Mama minta maaf, ya, udah nyembunyiin semua dari kamu." Sorot mata Citra penuh penyesalan, genggaman tangannya semakin erat. "Iya, M
"Benar sudah tidak apa-apa?" Kahfi menelisik wajahku, sorot matanya terlihat cemas.Aku tersenyum tidak tahu harus bahagia atau sedih. Kahfiku sudah kembali seperti dulu, tetapi fakta yang terungkap membuat hatiku gundah.'Kahfi pasti setuju dengan ideku. Kau tidak lihat betapa dia sangat mencintai Tiara. Anak kami sangat dekat dengannya satu tahun terakhir. Bahkan, saat Tiara menjalani kemo Kahfi sampai menitikkan air mata. Apalagi kau tak mampu memberinya an4k, tentu kesembuhan Tiara prioritas baginya.'"Hei, ditanya kok bengong?" Kahfi mencubit pelan pipiku membuatku meringis sekaligus meletuskan gelembung ingatan tadi, percakapan terakhir sebelum Sarah meninggalkan ruang perawatanku."Nggak, aku terharu dengan perhatianmu padaku. Aku sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali kau bersikap manis seperti ini."Kahfi tersenyum tipis, jemarinya menyusuri setiap lekvk wajahku. "Maafkan aku, " lirih suara Kahfi berucap, riak-riak penyesalan terlihat jelas di pelupuk mata yang biasanya
"Kamu ingat tiga tahun yang lalu saat kita melakukan program bayi tabung? Saat itu Sarahlah yang menangani kita bukan?"Aku masih diam, berusaha menenangkan kecamuk di dalam dada, hanya karena Mama Citra aku bertahan mendengar penjelasan Kahfi."Halimah, kamu dengar yang aku katakan?" Kahfi menatapku lekat, tapi aku membu4ng wajah, hatiku masih panas mendengar pengakuan Kahfi tadi."Apa hubungannya?" tanyaku dengan ketus. Enggan rasanya meneruskan percakapan ini. Pengakuan Kahfi kalau Tiara putrinya sudah cukup sebagai bukti kalau lelaki itu tak setia."Sayang, dengarkan aku. Mungkin kamu nggak percaya, tapi di sanalah semua ini bermula.""Apa maksudmu?" Aku menatap Mama Citra, Sarah, dan Kahfi bergantian. "Tolong lebih singkat dan padat, aku nggak punya waktu bertele-tele." Aku gusar melihat Sarah yang terlihat tenang. Apa wanita itu merasa menang dariku karena berhasil memberi Kahfi seorang an4k. Membayangkan seperti apa keduanya berhubungan membuat dadaku berdenyut nyeri."Sarah m
"Tolong jelaskan sejak kapan kalian berselingkuh?!"Aku refleks menoleh ke arah suara dan melihat Halimah berdiri dengan tatapan nyalang ke arah kami. Tajam sorot matanya membuat tenggorokanku terasa kering hingga harus menelan liur berkali-kali, lidah pun seakan kelu tak mampu menjawab pertanyaan Halimah."Apa kalian semua tiba-tiba bisu? Bukankah tadi terdengar seperti sebuah keluarga yang harmonis dan kompak?"Sinis, jelas sekali kemarahan di nada suaranya. Aku tak menyalahkan dia kalau berpikiran buruk padaku dan Sarah. Harusnya sejak lama kuceritakan hubunganku dengan Sarah, tetapi aku belum menemukan waktu yang pas. Aku juga tak mau menyakiti Halimah dengan kenyataan yang ada kalau aku dan Sarah memiliki anak."Sayang, kamu tenang dulu, ya. Ini nggak seperti yang kamu pikiran?" Mama mencoba menenangkan Halimah. Sama sepertiku Mama pasti merasa cemas. Ah, mengapa jadi serumit ini?"Tenang? Melihat suamiku bersama wanita lain, lebih peduli wanita lain daripada aku istrinya Mama bi
"Aku mengajukan khuluk!"Tegas, tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hatiku. Mungkin memang sudah takdirku gagal lagi dipernikahan ke dua. Entah dosa atau ujian yang aku jalani hingga ketenangan hanya beberapa tahun kurasakan. "Halimah, kamu jangan gegabah. Aku nggak mau mengabulkan permintaanmu. Sekarang tenangkan dirimu. Kita nggak bisa bicara dalam kondisi panas seperti ini. Kamu harus percaya padaku seperti yang sudah-sudah."Aku berdecih, pandanganku mulai mengabur karena genangan air di pelupuk mata. Sekuat hati aku menahan agar linangan itu tak tumpah lagi. Lelah, ya, aku sangat lelah dengan prasangka yang tak menemukan jawaban pasti."Aku selalu percaya sama kamu sampai nggak sadar kepercayaanku kamu balas dengan dusta. Kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa dengan Sarah, kenapa harus sepeduli itu? Kenapa saat dia menelepon kamu langsung bergegas."Aku masih menuntut penjelasan dari Kahfi, tak peduli lelaki itu gelisah karena ponselnya terus berdering. Aku berani bertaruh y
"Mbak, aku nanya, untuk apa beli diapers sementara tidak ada anak kecil di rumah?" Aku mulai kesal karena Mbak Sukma tak kunjung menjawab pertanyaanku. Prasangka buruk kembali bercokol di benak. Apa Kahfi menikah diam-diam lalu memiliki anak? Tidak, gegas kuhalau hasutan ses4t itu. Sepertinya aku sudah mulai gil4 akibat fyp tok-tokku semua tentang perselingkuhan. Tak mungkin Kahfi tega menusvkku dari belakang. "Maaf, Non, tapi Non jangan marah. Nanti jangan bilang kalau saya yang ngomong." "Ya, udah, cepat bilang." Aku semakin gregetan karena bahasa tubuh Mbak Sukma terlihat gelisah. Apa ada yang disembunyikan di rumah mama mertuaku? "Mbak!" Aku mendesak lagi. Mbak Sukma meringis sambil memilin jarinya satu sama lain. "Anu, Non, sebenarnya diapers ini milik Non Tiara." Dahiku berkerut. "Tiara?" Mbak Sukma mengangguk pelan. "Non Tiara anak Non Sarah. Dia sering dititipkan di rumah Nyonya Citra." Kepalaku seperti dihant4m godam besi. Jadi, Sarah sering ke rumah Mama Cit