Derren melihat kertas pesanan yang menggunung di depannya.
Ia terus menghela napas lelah dan melihat anak buahnya mulai lelah dan performa kecepatan memasak mereka mulai menurun.“Kita punya 30 pesanan lagi! Jangan mengantuk ... brak!” teriak Derren, menggebrak pantry tempatnya berdiri.Semua koki yang terlihat lelah, kini mulai takut dan mempertahankan kecepatan mereka sebisa mungkin.Dapur sangat gaduh dan ponselnya terus berdering. Tampaknya, Marsha sedang dalam masalah di atas sana. Namun ia tetap tak bisa meninggalkan pekerjaannya di waktu penting.“Maafkan aku, Marsha. Aku sedang sibuk!”Derren menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. “Tunggu satu jam—“Brak!“Pak!”Seorang pramusaji berlari ke arah Derren dengan panik. Ia datang dengan seorang pengawal dari lantai 6.Lantas lelaki bertubuh bongsor itu adalah penjaga Bar yang sempat ia tugaskan untuk mengawasi MMarsha membuka mata. Ia bangun sangat pagi dengan rasa sakit di kepala yang cukup parah. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Derren—suaminya yang tertidur pulas di sampingnya. Beberapa bercak merah di bagian leher dan permukaan dada lelaki itu menjadi bukti malam panas yang telah terjadi di antara keduanya. Kedua manik mata Marsha membulat dengan hebat. Ia tertegun dan segera bangun dari posisi memeluk Derren. “Jangan bangun tiba-tiba.” Derren menahan pergerakan Marsha yang terlalu cepat dan membuat dirinya hampir jatuh ke samping tempat tidur. “Kamu pasti pusing. Jangan guncang dirimu dengan gerakan gegabah.” Marsha menahan napas. Ia sudah cukup malu melihat dirinya yang tidur tanpa busana sambil melakukan hal buruk pada lelaki muda ini. Owh ... shit! “Wa-walau sudah menikah. Apakah boleh kamu tidur seperti ini di kamarku? Kenapa tidak pergi ke kamarmu sendiri setelah meletakkan aku
“Apa yang ingin Kakak katakan padaku?” tanya Naya. Ia menatap wajah Marsha yang terlihat santai sambil melihat pemandangan di depan jalan raya. Mereka berdua sedang duduk di salah satu Cafe yang ada di dekat pertigaan kompleks. Bahkan mereka pergi dengan jalan kaki—mengingat Naya harus banyak belajar berjalan paska mengalami cedera. Ya, udara segar memang sangat baik untuknya. “Begini.” Marsha terlihat ragu. “Em ... alih-alih belajar di sekolah. Bagaimana kalau pergi ke tempat kursus?” Naya memiringkan kepalanya. “Maksud Kakak bagaimana? Aku tidak perlu berangkat ke sekolah??” Marsha mengangguk. “Kalau kamu mau. Aku bisa meminta izin sekolah untuk menghentikan studimu.” Naya terdiam. Ia tak melihat kebohongan dalam sorot mata Marsha yang lembut dan sendu. Wanita yang telah 4 bulan menjadi Kakak Ipar baginya itu, terlihat sangat tulus saat mengatakan hal gila baginya. “Tapi, bukannya Kakak sudah membayar uang sekol
Marsha menghentikan mobilnya di depan sekolah Yana dan Naya. Khusus hari ini, ia akan menemai keduanya masuk ke gedung sekolah—sekalian memastikan bagaimana kondisi rumor yang menimpa Naya. Baru masuk gerbang pertama, banyak anak yang melirik pada Naya dan berbisik sambil terus tersenyum dengan wajah jahat. “Apa separah ini?” batin Marsha, menatap sekeliling dengan teliti. “Kakak bisa pulang sekarang.” Naya menatap wajah Marsha. Wanita itu terlihat tegang dan cemas. Namun tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengurus anak-anak di sekitarnya. Ia terlihat tak berdaya secara langsung. “Kamu yakin dengan ini?” Marsha menatap Naya dengan tak percaya diri. Ia ragu untuk melepaskannya di dalam situasi kacau yang bisa kembali menekan kembali mentalnya. “Sekarang aku baik-baik saja.” Naya menjawab dengan keteguhan hati. “Aku akan pulang dengan tersenyum hari ini. Dan ... terima kasih untuk sarannya kemari
Marsha mengerutkan keningnya. Kini wajahnya kembali terlihat dingin dan acuh. Sama seperti Marsha yang selalu tegas dan penurut di depan kedua orang tuanya. Sosok anak bungsu yang pendiam dan pandai menilai situasi. “Jangan bercanda.” Wanita itu menatap wajah wanita yang selalu ia sebut dengan panggilan “Mama” sepanjang hidupnya. “Mama saja yang tidak tahu jika aku juga memiliki kepribadian menyebalkan dan kekanak-kanakan. Huff ... aku di depan Mama atau Ayah Bima, memang terlalu pendiam dan dewasa. Anak cantik yang penurut!” Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Tapi sekarang aku bukan bagian dari rumah itu. Aku tak perlu bersikap sangat dewasa karena orang-orang itu menerimaku yang baik dengan sikap menyebalkan atau tegas!” Dena tersenyum miring seakan menertawakan kebahagiaan tabu yang dielu-elukan Marsha. “Sampai kapan itu akan bertahan? Suamimu akan goyah sebentar lagi.” Dena mengejek. “Lelaki y
Gama tak berhenti tersenyum sepanjang waktu. Ia terus mengingat apa yang di katakan Marsha, bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ekspresinya. "Bibir Anda bisa sobek jika Anda terus tersenyum seperti itu, Tuan." Hafiz berucap. Ia menatap Tuannya yang tak berhenti mengulas senyum manis sejak kehadiran Marsha 2 hari yang lalu dengan pandangan lelah. “Apa masalahmu?” Gama menatap tajam. “Aku tersenyum di kantorku. Bangunanku dan kamu hanya seorang pelayanku! Jadi jangan banyak bicara!” Hafiz memutar bola matanya malas dan berjalan keluar dari kantor Gama. Ia bertemu Indira, seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris bersama dengannya. “Bagaimana? Tuan Gama masih seperti kemarin?” Hafiz mengangguk dan duduk di samping Indira, di mana tempat sekretaris berkumpul untuk bekerja. "Masih sama.” Hafiz menghela napas kasar. “Ini baru pertama kalinya aku melihat Tuan Gama sangat bersemangat dengan pasangannya. Dulu saat
Tok ... tok .... “Nyonya, bolehkah saya masuk?” “Masuk saja, Pak Mahen.” Dena mempersilahkan. Ia melihat wajah lelaki berusia 27 tahun itu saat menatap pintu masuk kantornya. “Apa yang ingin kamu sampaikan?” Pak Mahen mendekati meja Dena lalu mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah depan, ia pun berbisik. “Nyonya, lelaki itu telah tiba. Beliau ada di lantai satu sekarang. Tampaknya beliau mampir untuk bertemu dengan Anda.” Dena mengerutkan keningnya dalam. Ia tampak tak senang dengan kehadiran tamu tak di undang itu. “Jangan biarkan dia masuk sampai ke lantai ini.” Pak Mahen menundukkan kepalanya mengerti. Ia pun berjalan keluar untuk menjalankan perintah Tuannya. “Tuan Mahen, tamu itu sudah sampai di lantai 5.” Seorang lelaki berkari menghampiri Mahen yang baru keluar dari ruangan Direktur mereka. Mahen menatap bawahannya dengan tegas. “Jangan biarkan ia sampai di
“Apa yang ingin kamu katakan?” Dena melirik tajam. Ia tak membiarkan menantu lelakinya ini semakin berani terhadap dirinya. Dena menunjukkan wajah penentangan yang kuat. “Bagaimana jika saya mampu menyelaraskan status saya dengan Anda? Bahkan lebih.” Derren tak mau mengalah. Ia menatap lawannya tanpa tahu takut. “Apa yang akan Anda lakukan saat itu? Saya harap Anda bisa memberi restu kami berdua.” Dena tersenyum miring. “Kamu berkata begitu percaya diri. Jika kamu mampu menyelaraskan statusmu dengan kami, tentu saja aku akan menerima kamu dengan senang hati. Tapi ....” Dena menunjukkan tatapan licik. “Bagaimana dengan Marsha? Apakah anak itu bisa menerima dirimu dengan jati diri yang sebenarnya?” Derren diam beberapa saat. Ia menatap dingin pada Ibu Mertua yang tak pernah mau memberikan dirinya kelonggaran. “Marsha juga menyembunyikan banyak hal dari saya. Saya kira, status saya yang sebenarnya
“Mereka bicara lebih lama dari yang aku kira,” gumam Derren, masih setia menunggu keluarnya Sean dari dalam kantor Ibu Mertuanya. Hafiz yang menunggu di ruangan yang sama dengan Derren, hanya bisa melihat kening dan alis lelaki itu terus berkerut sepanjang waktu. “Anda bisa meninggalkannya, Tuan. Saya akan mengabari Anda jika terjadi sesuatu.” Hafiz menatap ke arah ruangan Direkturnya. “Beliau dan Tuan Sean selalu melakukan diskusi dalam waktu yang lama. Tidak apa, Tuan. Anda bisa menunggunya di ruang tamu.” “Apanya yang bisa di tunggu di ruang tamu?” Marsha datang dengan tatapan sinis. Dengan tatapan matanya yang seperti itu, ia mampu membuat kedua sekretaris Dena merasa ciut dan terintimidasi. “Kolega yang seharusnya tidak bertemu Mamaku, kenapa di biarkan masuk sampai ke lantai ini?” “Bagaimana caramu bekerja, Tuan Hafiz? Apa sekarang aku tidak bisa percaya padamu?” Hafiz terdiam. Lelaki yang sedari tadi menen
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat