Gama tak berhenti tersenyum sepanjang waktu. Ia terus mengingat apa yang di katakan Marsha, bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ekspresinya.
"Bibir Anda bisa sobek jika Anda terus tersenyum seperti itu, Tuan."Hafiz berucap. Ia menatap Tuannya yang tak berhenti mengulas senyum manis sejak kehadiran Marsha 2 hari yang lalu dengan pandangan lelah.“Apa masalahmu?” Gama menatap tajam. “Aku tersenyum di kantorku. Bangunanku dan kamu hanya seorang pelayanku! Jadi jangan banyak bicara!”Hafiz memutar bola matanya malas dan berjalan keluar dari kantor Gama. Ia bertemu Indira, seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris bersama dengannya.“Bagaimana? Tuan Gama masih seperti kemarin?”Hafiz mengangguk dan duduk di samping Indira, di mana tempat sekretaris berkumpul untuk bekerja."Masih sama.” Hafiz menghela napas kasar. “Ini baru pertama kalinya aku melihat Tuan Gama sangat bersemangat dengan pasangannya. Dulu saatTok ... tok .... “Nyonya, bolehkah saya masuk?” “Masuk saja, Pak Mahen.” Dena mempersilahkan. Ia melihat wajah lelaki berusia 27 tahun itu saat menatap pintu masuk kantornya. “Apa yang ingin kamu sampaikan?” Pak Mahen mendekati meja Dena lalu mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah depan, ia pun berbisik. “Nyonya, lelaki itu telah tiba. Beliau ada di lantai satu sekarang. Tampaknya beliau mampir untuk bertemu dengan Anda.” Dena mengerutkan keningnya dalam. Ia tampak tak senang dengan kehadiran tamu tak di undang itu. “Jangan biarkan dia masuk sampai ke lantai ini.” Pak Mahen menundukkan kepalanya mengerti. Ia pun berjalan keluar untuk menjalankan perintah Tuannya. “Tuan Mahen, tamu itu sudah sampai di lantai 5.” Seorang lelaki berkari menghampiri Mahen yang baru keluar dari ruangan Direktur mereka. Mahen menatap bawahannya dengan tegas. “Jangan biarkan ia sampai di
“Apa yang ingin kamu katakan?” Dena melirik tajam. Ia tak membiarkan menantu lelakinya ini semakin berani terhadap dirinya. Dena menunjukkan wajah penentangan yang kuat. “Bagaimana jika saya mampu menyelaraskan status saya dengan Anda? Bahkan lebih.” Derren tak mau mengalah. Ia menatap lawannya tanpa tahu takut. “Apa yang akan Anda lakukan saat itu? Saya harap Anda bisa memberi restu kami berdua.” Dena tersenyum miring. “Kamu berkata begitu percaya diri. Jika kamu mampu menyelaraskan statusmu dengan kami, tentu saja aku akan menerima kamu dengan senang hati. Tapi ....” Dena menunjukkan tatapan licik. “Bagaimana dengan Marsha? Apakah anak itu bisa menerima dirimu dengan jati diri yang sebenarnya?” Derren diam beberapa saat. Ia menatap dingin pada Ibu Mertua yang tak pernah mau memberikan dirinya kelonggaran. “Marsha juga menyembunyikan banyak hal dari saya. Saya kira, status saya yang sebenarnya
“Mereka bicara lebih lama dari yang aku kira,” gumam Derren, masih setia menunggu keluarnya Sean dari dalam kantor Ibu Mertuanya. Hafiz yang menunggu di ruangan yang sama dengan Derren, hanya bisa melihat kening dan alis lelaki itu terus berkerut sepanjang waktu. “Anda bisa meninggalkannya, Tuan. Saya akan mengabari Anda jika terjadi sesuatu.” Hafiz menatap ke arah ruangan Direkturnya. “Beliau dan Tuan Sean selalu melakukan diskusi dalam waktu yang lama. Tidak apa, Tuan. Anda bisa menunggunya di ruang tamu.” “Apanya yang bisa di tunggu di ruang tamu?” Marsha datang dengan tatapan sinis. Dengan tatapan matanya yang seperti itu, ia mampu membuat kedua sekretaris Dena merasa ciut dan terintimidasi. “Kolega yang seharusnya tidak bertemu Mamaku, kenapa di biarkan masuk sampai ke lantai ini?” “Bagaimana caramu bekerja, Tuan Hafiz? Apa sekarang aku tidak bisa percaya padamu?” Hafiz terdiam. Lelaki yang sedari tadi menen
Zahra bergegas turun ke lantai satu. Ia menuju ke UGD dan menemui Derren serta Marsha yang menunggu di salah satu bilik pasien. “Kenapa? Siapa yang terluka?” Zahra menatap Marsha dan Derren yang tampak baik. Namun Tomo tidak mungkin heboh jika tidak ada sesuatu yang besar telah terjadi. “Kakak, kamu datang.” Derren bangun dari tempatnya duduk dan mengajak Zahra keluar ruangan. “Ada apa, Derren? Kenapa kamu terlihat gelisah? Baru ini aku melihatmu begini.”. Derren terlihat bingung. Di kejauhan ia melihat Bima dan Nada berjalan mendekati mereka dengan langkah cepat. “Apa yang terjadi pada anak dan istriku?” Bima langsung menembak dengan pertanyaan. Ia terlihat tidak sabaran dan tak tenang. “Marsha dalam kondisi baik. Tapi Ibu Mertua tidak, Ayah.” Bima mengerutkan keningnya. Begitu pula dengan kedua Kakak perempuan Marsha yang tampak gelisah hanya dengan mendengar perkataan itu. “Apa yang terjadi
Derren mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menatap Marsha yang duduk di sampingnya dengan tenang. Tampaknya wanita itu sibuk bertengkar dengan pikirannya. “Bahkan keadaan Ayah belum sepenuhnya baik. Sekarang giliran Ibu Mertua yang berurusan dengan lelaki itu.” Marsha menoleh. Ia sadar bagaimana buruknya ekspresi Derren saat ini. Yah, lelaki itu pasti tidak dalam kondisi baik setelah semua yang terjadi. Respons dirinya yang terlalu tenang seperti inilah yang seharusnya dipertanyakan. Padahal Ibunya sedang terluka. Namun ia sangat tenang. Malah terlihat seperti tidak ada sesuatu yang besar telah terjadi. “Jangan terlalu memusingkannya.” Marsha menghela napas kasar. Ia menatap Derren dengan tatapan lelah. “Mama akan baik-baik saja di bawah pengawasan Kakakku. Kamu jangan terlalu membuatnya menjadi beban pikiran.” “Bukannya kamu aneh? Ibumu terluka dan kamu terlihat tidak peduli.” Derren mengepalkan tanganny
Ugh .... Derren mengeluh. Ia merasa ada beban yang menekan di bawah tubuhnya. Yah, walau sudah bisa di tebak jika itu adalah kelakuan istrinya sendiri. Wanita itu kini telah berada di atas tubuhnya. Memuaskan diri dengan permainan panas tanpa memedulikan lawan mainnya yang masih tertidur pulas. “Sayang, ini masih pagi dan kamu melakukannya lagi?” Derren mengeluh. Pagi-pagi sudah di suguhkan makanan yang lebih enak dari steak daging premium tentu membuat hasratnya bergelora. “Eng? Apa aku tidak boleh melakukannya? Kamu juga tidak berhenti walau aku kelelahan kemarin malam.” Lelaki itu hanya tersenyum dan melihat wajah istrinya yang terus membuat ekspresi yang menggoda. Suara lirih yang bersemangat dan tubuh indah yang terus bergerak mencari kenikmatan. Marsha sangat cantik. Lebih cantik karena wanita itu terlihat sangat menikmati semua permainannya. “Sudah berapa lama kamu melakukannya?”
[Bagaimana kondisimu?] Derren menoleh pada wanita yang terlelap di sampingnya dengan pakaian tidur yang memperlihatkan sebagian dadanya. “Baik. Bagaimana investigasinya? Kau berhasil menemukan jejak lelaki itu?” [Ya. Ia langsung pulang ke rumah istrinya dengan pesawat. Aku kira ia akan segera kembali setelah pemulihan. Tapi ... aku melihat pergerakan anak buahnya baru-baru ini] Hng .... Marsha menggeliat. Ia membuat Derren membelai puncak kepalanya agar kembali tidur pulas dan nyaman. “Baguslah. Aku akan melihat pergerakannya dari alamat yang di kirimkan Abri tadi sore.” [Baiklah. Nikmati liburanmu.] Tut .... Telepon Derren mati. Kedua matanya berpindah fokus sepenuhnya ke arah Marsha yang memeluk pinggangnya dengan erat. “Marsha, aku harus pergi sebentar. Bisakah kamu tidur sendiri?” Marsha membuka matanya sejenak. Ia menatap wajah suaminya cukup lama sebelum ia ikut bangun
Andika mengembuskan napas kasar. Ia terlihat bosan dengan tugas pengintaian yang di berikan oleh Derren kepada ia dan 3 orang lainnya. “Aku bisa gila kalau terus melakukan ini selama 3 jam berturut-turut.” Arasy yang duduk di sebelahnya, memutar bola matanya malas dan melakukan pengintaian dengan baik. “Senior, sepertinya ada orang yang keluar dari gubuk itu.” Zahri menoleh ke arah Arasy menunjuk dan mereka bertiga melihat seorang perempuan yang seperti pelayan—keluar dari rumah kecil yang ada di belakang bangunan besar, lalu masuk ke dalam kediaman Sean yang tengah mereka intai. “Sepertinya bangunan itu milik Tuan Sean.” Zahri menatap mobil Derren yang terparkir di sisi depan rumah besar itu. “Tampaknya mereka juga mencurigai tempat itu.” Andika memasang topi dan masker putih untuk menutupi wajahnya. Karena ia berpakaian sangat kasual, ia adalah kandidat orang yang tidak mencurigakan di antara yang lain. “Aku aka
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat