Ugh ....
Derren mengeluh. Ia merasa ada beban yang menekan di bawah tubuhnya. Yah, walau sudah bisa di tebak jika itu adalah kelakuan istrinya sendiri.Wanita itu kini telah berada di atas tubuhnya. Memuaskan diri dengan permainan panas tanpa memedulikan lawan mainnya yang masih tertidur pulas.“Sayang, ini masih pagi dan kamu melakukannya lagi?”Derren mengeluh. Pagi-pagi sudah di suguhkan makanan yang lebih enak dari steak daging premium tentu membuat hasratnya bergelora.“Eng? Apa aku tidak boleh melakukannya? Kamu juga tidak berhenti walau aku kelelahan kemarin malam.”Lelaki itu hanya tersenyum dan melihat wajah istrinya yang terus membuat ekspresi yang menggoda.Suara lirih yang bersemangat dan tubuh indah yang terus bergerak mencari kenikmatan.Marsha sangat cantik. Lebih cantik karena wanita itu terlihat sangat menikmati semua permainannya.“Sudah berapa lama kamu melakukannya?”[Bagaimana kondisimu?] Derren menoleh pada wanita yang terlelap di sampingnya dengan pakaian tidur yang memperlihatkan sebagian dadanya. “Baik. Bagaimana investigasinya? Kau berhasil menemukan jejak lelaki itu?” [Ya. Ia langsung pulang ke rumah istrinya dengan pesawat. Aku kira ia akan segera kembali setelah pemulihan. Tapi ... aku melihat pergerakan anak buahnya baru-baru ini] Hng .... Marsha menggeliat. Ia membuat Derren membelai puncak kepalanya agar kembali tidur pulas dan nyaman. “Baguslah. Aku akan melihat pergerakannya dari alamat yang di kirimkan Abri tadi sore.” [Baiklah. Nikmati liburanmu.] Tut .... Telepon Derren mati. Kedua matanya berpindah fokus sepenuhnya ke arah Marsha yang memeluk pinggangnya dengan erat. “Marsha, aku harus pergi sebentar. Bisakah kamu tidur sendiri?” Marsha membuka matanya sejenak. Ia menatap wajah suaminya cukup lama sebelum ia ikut bangun
Andika mengembuskan napas kasar. Ia terlihat bosan dengan tugas pengintaian yang di berikan oleh Derren kepada ia dan 3 orang lainnya. “Aku bisa gila kalau terus melakukan ini selama 3 jam berturut-turut.” Arasy yang duduk di sebelahnya, memutar bola matanya malas dan melakukan pengintaian dengan baik. “Senior, sepertinya ada orang yang keluar dari gubuk itu.” Zahri menoleh ke arah Arasy menunjuk dan mereka bertiga melihat seorang perempuan yang seperti pelayan—keluar dari rumah kecil yang ada di belakang bangunan besar, lalu masuk ke dalam kediaman Sean yang tengah mereka intai. “Sepertinya bangunan itu milik Tuan Sean.” Zahri menatap mobil Derren yang terparkir di sisi depan rumah besar itu. “Tampaknya mereka juga mencurigai tempat itu.” Andika memasang topi dan masker putih untuk menutupi wajahnya. Karena ia berpakaian sangat kasual, ia adalah kandidat orang yang tidak mencurigakan di antara yang lain. “Aku aka
“A-anak apa?” Hngh!??? Marsha membulatkan matanya. Ada sesuatu yang menyembur di dalam tubuhnya dan itu hangat. Ia menatap Derren dengan tatapan bingung dan terkejut. Ia tahu apa yang terjadi, tapi bukannya itu terlalu tiba-tiba?? “A-aku belum mengiyakannya!” Marsha menyentak tubuh Derren ke belakang. Ia melepaskan diri dari lelaki itu dan keluar dari dalam air dengan cepat. Wanita itu berjalan masuk ke dalam ruangan dan mengunci diri di dalam kamar mandi. Ia tampak frustrasi karena hasratnya tidak kunjung mereda walau ia telah mengalami hal mengejutkan dari suaminya. “Apa yang harus aku lakukan?” Tubuh Marsha merosot. Ia duduk di belakang pintu sampil bersandar. Ia menatap furnitur kamar mandi dengan tatapan kosong. “Apa yang ia lakukan?!” Marsha menempelkan kedua tangannya di permukaan wajah. Ia berusaha menangkan pikirannya dan bersiap untuk menghadapi Derren. “Marsha?”
Derren mengulas senyum sakit. Ia menatap Marsha dengan kecewa. “Ke mana rasa kepercayaan kamu padaku yang dulu Marsha? Kamu tahu aku tidak akan bisa membuangmu karena berbagai macam alasan. Tapi omonganmu cukup jahat akhir-akhir ini.” Marsha mengulas senyum smirk. “Siapa yang menuduh siapa. Ia lupa apa yang telah ia katakan kepadaku kemarin malam?” batinnya. Tapi wanita itu hanya diam dan memendam fitnahnya dalam hati. Ia melihat ke arah jendela yang telah terbuka lebar dan berulang kali tersenyum masam. “Walau hubungan kita—“ “Aku akan berhenti menjadi koki.” Marsha membulatkan matanya. Ia tahu Derren telah lulus kuliah dan jika ia ingin berhenti bekerja, apa lelaki itu akan mengambil bidang baru sesuai jurusan kuliahnya? “Aku akan mulai masuk ke dalam perusahaan.” Kini Marsha menghentikan dentingan sendok dan piringnya. Ia berhenti makan dan menatap lurus ke arah sang suami. “Apa yang kamu ka
Dean menghela napas lega. Ia bisa berhasil menyelamatkan diri dari cengkeraman istrinya berkat putrinya yang manis. “Terima kasih sayang. Ayah tidak akan membuatmu kesulitan minggu in.” Dean menatap Tiya yang tenang di dalam pangkuannya. Gadis kecil itu hanya menatap ke depan sambil menikmati sebatang es krim yang baru saja di beli Dean sebagai sogokkan. “Ayah, memang boleh berbohong pada Mama?” Tiya menatap lelaki berusia kepala tiga yang terus menatapnya dengan wajah ramah walau ia tidak biasa menggunakan ekspresi seperti itu saat berhadapan dengan yang lain. Khusus dengannya, Dean akan membuat wajah seperti itu sebanyak mungkin. “Ayah bukan berbohong.” Dean bingung menjelaskan pada putrinya. “Ayah hanya belum memberi tahu Mama kamu soal Mama kedua. Itu saja.” Tiya kembali diam. Ia tak lagi memandang lelaki itu dan melihat ke sekeliling. Taman rumah sakit milik Mamanya memang sangat indah. Ada area untuk anak-an
Marsha memalingkan wajah. Pipinya memerah dengan sempurna. “Bagaimana bisa kamu merayunya! Aku tidak terima ini.” Lea berteriak lantang. Ia menatap Derren dengan tatapan frustrasi. Wanita itu hampir gila karena kondisinya. “Kenapa ... kenapa kamu terlihat sangat menyukainya padahal kita lebih dulu mengenal!” “APA YANG KAMU LIHAT DARINYA!” Plak .... Lea memegang pipinya yang memerah. Itu terasa sangat panas dan sakit. Ia sampai harus membendung air matanya karena pedih di pipi dan hatinya. Derren menghela napas panjang. Ia berusaha menenangkan diri melihat dua orang wanita yang saling bertengkar karena dirinya. “Lea. Hubungan kita sudah berakhir selama 4 tahun yang lalu. Dan yang menjadi alasan berakhirnya masa itu adalah dirimu sendiri.” Derren menatap dengan sabar. “Lalu tentang Marsha.” Ia memberikan jeda. “Ia adalah istriku. Sudah jelas aku akan menyayanginya karena aku suaminya.” “Bohong! Pernikahan
Awalnya Marsha tidak percaya. Namun setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, kini ia di buat syok saat berdiri di depan kantor Pusat Perusahaan GinMary. “Kau sungguh membawaku ke sini?” Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai ajudan Direktur Utama Perusahaan itu hanya tersenyum ramah dan menghimbau Marsha untuk mengikutinya masuk. “Saya akan mengantarkan Anda ke dalam, Nyonya. Silakan ikuti saya.” Adrian menuntun Marsha masuk ke dalam lobi. Baru saja sampai di permukaan gedung, kini kedua mata Marsha telah di jamu oleh pemandangan mewah taman dalam ruangan yang megah dan estetik. Lampu besar yang menggantung di atas taman dalam ruangan itu terlihat sangat mewah dan berat jika di lihat dari lantai atas. Namun dari bawah, itu terlihat seperti bintang gantung yang berbaris teratur membentuk lingkaran cangkang siput. “Mereka menggunakan banyak uang untuk mendesain lobby perusahaan. Sayang sekali.” Marsha berguma
“Anda baik-baik saja?” Lelaki yang wajahnya di kenali dengan baik oleh Marsha itu terlihat canggung. Ia terus menahan tubuh Marsha sampai wanita itu bisa berdiri tegap seperti semula. “Tuan Orlan. Harusnya Anda berjalan dengan hati-hati. Anda menabrak Nyonya Marsha dengan kuat. Bagaimana jika ia terluka?” Nana mulai mengomel. Sementara Orlan hanya mendengarkannya sesekali melihat ke arah Marsha yang memperhatikan perseteruan mereka. “Nona Nana, bisakah kamu diam? Nyonya Marsha sampai bingung melihat kamu terus bicara.” Orlan menghela napas kasar. “Jangan membuatnya bingung dengan sikap kamu yang tidak sopan pada atasan. Ia bisa mengira kita sebagai sepasang kekasih.” Marsha menaikkan kedua alisnya secara spontan mendengar kata ‘sepasang kekasih’ keluar dari mulut Orlan. Nana terlihat panik. Melihat respons Marsha yang mengejutkan, tampaknya wanita itu bisa salah paham jika Orlan berkata begitu. “Pak HRD. Omongan A