Derren mengulas senyum sakit. Ia menatap Marsha dengan kecewa.
“Ke mana rasa kepercayaan kamu padaku yang dulu Marsha? Kamu tahu aku tidak akan bisa membuangmu karena berbagai macam alasan. Tapi omonganmu cukup jahat akhir-akhir ini.”Marsha mengulas senyum smirk. “Siapa yang menuduh siapa. Ia lupa apa yang telah ia katakan kepadaku kemarin malam?” batinnya.Tapi wanita itu hanya diam dan memendam fitnahnya dalam hati. Ia melihat ke arah jendela yang telah terbuka lebar dan berulang kali tersenyum masam.“Walau hubungan kita—““Aku akan berhenti menjadi koki.”Marsha membulatkan matanya. Ia tahu Derren telah lulus kuliah dan jika ia ingin berhenti bekerja, apa lelaki itu akan mengambil bidang baru sesuai jurusan kuliahnya?“Aku akan mulai masuk ke dalam perusahaan.”Kini Marsha menghentikan dentingan sendok dan piringnya. Ia berhenti makan dan menatap lurus ke arah sang suami.“Apa yang kamu kaDean menghela napas lega. Ia bisa berhasil menyelamatkan diri dari cengkeraman istrinya berkat putrinya yang manis. “Terima kasih sayang. Ayah tidak akan membuatmu kesulitan minggu in.” Dean menatap Tiya yang tenang di dalam pangkuannya. Gadis kecil itu hanya menatap ke depan sambil menikmati sebatang es krim yang baru saja di beli Dean sebagai sogokkan. “Ayah, memang boleh berbohong pada Mama?” Tiya menatap lelaki berusia kepala tiga yang terus menatapnya dengan wajah ramah walau ia tidak biasa menggunakan ekspresi seperti itu saat berhadapan dengan yang lain. Khusus dengannya, Dean akan membuat wajah seperti itu sebanyak mungkin. “Ayah bukan berbohong.” Dean bingung menjelaskan pada putrinya. “Ayah hanya belum memberi tahu Mama kamu soal Mama kedua. Itu saja.” Tiya kembali diam. Ia tak lagi memandang lelaki itu dan melihat ke sekeliling. Taman rumah sakit milik Mamanya memang sangat indah. Ada area untuk anak-an
Marsha memalingkan wajah. Pipinya memerah dengan sempurna. “Bagaimana bisa kamu merayunya! Aku tidak terima ini.” Lea berteriak lantang. Ia menatap Derren dengan tatapan frustrasi. Wanita itu hampir gila karena kondisinya. “Kenapa ... kenapa kamu terlihat sangat menyukainya padahal kita lebih dulu mengenal!” “APA YANG KAMU LIHAT DARINYA!” Plak .... Lea memegang pipinya yang memerah. Itu terasa sangat panas dan sakit. Ia sampai harus membendung air matanya karena pedih di pipi dan hatinya. Derren menghela napas panjang. Ia berusaha menenangkan diri melihat dua orang wanita yang saling bertengkar karena dirinya. “Lea. Hubungan kita sudah berakhir selama 4 tahun yang lalu. Dan yang menjadi alasan berakhirnya masa itu adalah dirimu sendiri.” Derren menatap dengan sabar. “Lalu tentang Marsha.” Ia memberikan jeda. “Ia adalah istriku. Sudah jelas aku akan menyayanginya karena aku suaminya.” “Bohong! Pernikahan
Awalnya Marsha tidak percaya. Namun setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, kini ia di buat syok saat berdiri di depan kantor Pusat Perusahaan GinMary. “Kau sungguh membawaku ke sini?” Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai ajudan Direktur Utama Perusahaan itu hanya tersenyum ramah dan menghimbau Marsha untuk mengikutinya masuk. “Saya akan mengantarkan Anda ke dalam, Nyonya. Silakan ikuti saya.” Adrian menuntun Marsha masuk ke dalam lobi. Baru saja sampai di permukaan gedung, kini kedua mata Marsha telah di jamu oleh pemandangan mewah taman dalam ruangan yang megah dan estetik. Lampu besar yang menggantung di atas taman dalam ruangan itu terlihat sangat mewah dan berat jika di lihat dari lantai atas. Namun dari bawah, itu terlihat seperti bintang gantung yang berbaris teratur membentuk lingkaran cangkang siput. “Mereka menggunakan banyak uang untuk mendesain lobby perusahaan. Sayang sekali.” Marsha berguma
“Anda baik-baik saja?” Lelaki yang wajahnya di kenali dengan baik oleh Marsha itu terlihat canggung. Ia terus menahan tubuh Marsha sampai wanita itu bisa berdiri tegap seperti semula. “Tuan Orlan. Harusnya Anda berjalan dengan hati-hati. Anda menabrak Nyonya Marsha dengan kuat. Bagaimana jika ia terluka?” Nana mulai mengomel. Sementara Orlan hanya mendengarkannya sesekali melihat ke arah Marsha yang memperhatikan perseteruan mereka. “Nona Nana, bisakah kamu diam? Nyonya Marsha sampai bingung melihat kamu terus bicara.” Orlan menghela napas kasar. “Jangan membuatnya bingung dengan sikap kamu yang tidak sopan pada atasan. Ia bisa mengira kita sebagai sepasang kekasih.” Marsha menaikkan kedua alisnya secara spontan mendengar kata ‘sepasang kekasih’ keluar dari mulut Orlan. Nana terlihat panik. Melihat respons Marsha yang mengejutkan, tampaknya wanita itu bisa salah paham jika Orlan berkata begitu. “Pak HRD. Omongan A
Derren menenangkan diri. Ia puas memeluk Marsha. Walau ia benar-benar khawatir, ia tidak menyangka Marsha akan mau melakukan banyak kontak fisik berdurasi lama seperti tadi dengannya. Marsha yang sangat membenci kontak yang tidak di sepakati itu, terlihat biasa saja sekarang. Bukankah itu bagus? Marsha memperhatikan wajah Derren beberapa saat. Lelaki itu terlihat senang setelah tenang dari rasa khawatir berlebihannya. “Berhentilah tersenyum!” Marsha meminta. Ia mengerutkan kening. Marsha yakin Derren tahu apa yang ia lakukan adalah hal buruk. Lalu alasan kesenangan yang di lihat oleh Marsha ini apa? Bukannya ia orang yang melarang Marsha tidak kurang ajar pada Ayah Ibunya? “Kenapa kamu gemetar seperti tadi?” Ia menatap suaminya dengan tatapan cemas sekaligus tegas. “Aku cukup yakin kamu tahu siapa orang kamu seret dengan cara tidak sopan seperti tadi.” Tatapan tegas dari wanita itu me
Huff .... Marsha menghela napas kasar beberapa kali. Ia melihat data perkembangan sang Ibu dengan tatapan lelah. “Sudah baik. Sepertinya Nyonya Dena akan segera bangun dalam waktu dekat. “ Marsha menatap Dokter Xandra dan Agatha yang bertanggung jawab atas Dena. “Kalian sudah bekerja keras. Setelah itu, aku akan konsultasi tentang rehabilitasinya bersama Dokter Agatha selepas jam makan siang nanti.” Agatha mengangguk pelan dan melihat kepergian Marsha dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu lihat itu, Dok? Wajahnya yang sangat lelah dengan kantung mata Panda yang lebih hitam dari kemarin terlihat sangat menawan. Ia memang dokter teladan!” puji Agatha menggebu-gebu. Xandra yang mendengar itu hanya memutar bola matanya malas dan berjalan pergi meninggalkan Agatha. “Val, kamu tahu.” Agatha berpindah haluan. Ia melihat Valerie yang berdiri di belakang meja resepsionis dan sedang sibuk mendata ulang p
Prang .... Semua kaca berhamburan. Marsha tidak terkejut jika ia menemukan sebuah benda yang tidak di tahu Lea sampai wanita itu marah karena Marsha memecahkan cermin kesayangannya. “Apa yang kau—“ Lea terdiam. Ia melihat kamera kecil keluar dari sana. “Apa??” Marsha menatap Lea yang terkejut dengan penemuannya. “Karena sudah aku hilangkan satu, mata-matanya, bagaimana kalau kamu berterima kasih?” Lea mengerutkan keningnya dalam. Walau berhutang budi pun, tampaknya Lea tidak akan pernah mengatakan dua kata itu pada Marsha. Cukup sadar diri dengan kekesalan lawan bicaranya. Marsha pun mengambil langkah mundur untuk segera pergi meninggalkan ruangan. “Karena kamu tidak akan bisa membersihkannya sendiri, aku akan panggilkan OB untuk membantumu.” Setelah mengatakan itu Marsha berjalan keluar meninggalkan ruangan Lea yang kacau dengan langkah ringan dan senyum mengembang. “Walau itu tindakan kasar k
Klap .... Marsha berjalan keluar dari ruang Dena dengan tatapan dingin. Bahkan di belakangnya terlihat seperti ada hawa hitam yang mengikutinya. “Profesor?” Dira memiringkan kepalanya. Ia melihat wajah Marsha yang menguarkan ekspresi buruk dengan tatapan bingung. Ini baru pertama kalinya ia melihat Marsha yang menunjukkan ekspresi sejelas itu. Walau ia orang dengan emosi yang jelas, namun kesan yang ia tunjukan hari ini sangatlah berbeda dari biasanya. “Profesor.” Dira berjalan mengikuti Marsha. Langkah wanita itu terlalu cepat untuk di kejar olehnya. “Marsha, Dira mengikutimu di belakang. Kamu tidak dengar?!” celetuk Syam saat mereka bersisipan jalan. Mendengar itu Marsha menghentikan langkahnya. Ia menatap ke arah belakang dan menemui Dira yang terlihat lelah seusai mengejarnya. “Ah ... maaf, aku tidak dengar karena sedang memikirkan banyak hal.” Marsha tersenyum masam. “Apa yang kamu butuhka