Huff ....
Marsha menghela napas kasar beberapa kali. Ia melihat data perkembangan sang Ibu dengan tatapan lelah.“Sudah baik. Sepertinya Nyonya Dena akan segera bangun dalam waktu dekat. “Marsha menatap Dokter Xandra dan Agatha yang bertanggung jawab atas Dena.“Kalian sudah bekerja keras. Setelah itu, aku akan konsultasi tentang rehabilitasinya bersama Dokter Agatha selepas jam makan siang nanti.”Agatha mengangguk pelan dan melihat kepergian Marsha dengan tatapan penuh kekaguman.“Kamu lihat itu, Dok? Wajahnya yang sangat lelah dengan kantung mata Panda yang lebih hitam dari kemarin terlihat sangat menawan. Ia memang dokter teladan!” puji Agatha menggebu-gebu.Xandra yang mendengar itu hanya memutar bola matanya malas dan berjalan pergi meninggalkan Agatha.“Val, kamu tahu.”Agatha berpindah haluan. Ia melihat Valerie yang berdiri di belakang meja resepsionis dan sedang sibuk mendata ulang pPrang .... Semua kaca berhamburan. Marsha tidak terkejut jika ia menemukan sebuah benda yang tidak di tahu Lea sampai wanita itu marah karena Marsha memecahkan cermin kesayangannya. “Apa yang kau—“ Lea terdiam. Ia melihat kamera kecil keluar dari sana. “Apa??” Marsha menatap Lea yang terkejut dengan penemuannya. “Karena sudah aku hilangkan satu, mata-matanya, bagaimana kalau kamu berterima kasih?” Lea mengerutkan keningnya dalam. Walau berhutang budi pun, tampaknya Lea tidak akan pernah mengatakan dua kata itu pada Marsha. Cukup sadar diri dengan kekesalan lawan bicaranya. Marsha pun mengambil langkah mundur untuk segera pergi meninggalkan ruangan. “Karena kamu tidak akan bisa membersihkannya sendiri, aku akan panggilkan OB untuk membantumu.” Setelah mengatakan itu Marsha berjalan keluar meninggalkan ruangan Lea yang kacau dengan langkah ringan dan senyum mengembang. “Walau itu tindakan kasar k
Klap .... Marsha berjalan keluar dari ruang Dena dengan tatapan dingin. Bahkan di belakangnya terlihat seperti ada hawa hitam yang mengikutinya. “Profesor?” Dira memiringkan kepalanya. Ia melihat wajah Marsha yang menguarkan ekspresi buruk dengan tatapan bingung. Ini baru pertama kalinya ia melihat Marsha yang menunjukkan ekspresi sejelas itu. Walau ia orang dengan emosi yang jelas, namun kesan yang ia tunjukan hari ini sangatlah berbeda dari biasanya. “Profesor.” Dira berjalan mengikuti Marsha. Langkah wanita itu terlalu cepat untuk di kejar olehnya. “Marsha, Dira mengikutimu di belakang. Kamu tidak dengar?!” celetuk Syam saat mereka bersisipan jalan. Mendengar itu Marsha menghentikan langkahnya. Ia menatap ke arah belakang dan menemui Dira yang terlihat lelah seusai mengejarnya. “Ah ... maaf, aku tidak dengar karena sedang memikirkan banyak hal.” Marsha tersenyum masam. “Apa yang kamu butuhka
Marsha berjalan cepat menyusul langkah Derren yang pergi begitu saja saat dirinya memanggil. Padahal Gana dan ia sedang menunggu Derren untuk mendiskusikan sesuatu. Namun lelaki itu malah berjalan pergi saat mereka memanggil. Sungguh menyebalkan! “Derren. Kamu akan terus merajuk?” sentak Marsha menggenggam tangan kiri Derren dan membuatnya berhenti melangkah. Kedua orang itu saling bertatapan dalam waktu yang lama. Marsha yang terlihat kesal, sementara Derren yang terlihat lelah dan enggan untuk menghadapinya. “Kenapa kaku malah pergi saat aku memanggil?” Marsha menghela napas kasar. Ia terlihat lelah setelah berjalan cukup jauh untuk mengejar lelaki dengan langkah lebar ini. “Padahal aku sudah sengaja menunggumu selesai berbicara dengan Lea. Tapi saat di panggil kamu malah pergi? Terlebih lagi, wajah marah apa itu hah?!” protesnya. Derren menatap Marsha. Ia masih diam sampai beberapa waktu. “D
“Kak terima kasih banyak untuk semuanya. Bagaimana kalau kita belikan oleh-oleh untuk Kak Marsha?” Yana terlihat antusias. Ia sudah melihat toko kue berwarna pink di seberang sana dengan tatapan menggebu. “Hadiah ya?” Derren teringat perkataan Marsha beberapa waktu yang lalu. Jika hadiah yang ia inginkan, ia senang jika Marsha memakai pakaian sesuai seleranya malam ini. Wajah mesum Derren mulai terlihat. Sayangnya Naya dan Yana hanya seorang anak SD dan SMP yang tidak memahami pemikiran seperti itu. “Kakak, ada apa dengan wajahmu? Menjijikkan,” pekik Naya membuatnya tersadar. Derren mengusap tengkuknya dengan canggung. “Kalian beli saja apa yang kalian mau. Aku akan berikan kalian kartu ini.” Naya menerima kartu itu dan menggandeng tangan Yana dengan spontan. “Lalu bagaimana denganmu? Kamu mau ke mana, Kak?” Derren menunjuk sebuah toko baju di area belakang mereka. “Aku ingin membeli beberapa baju yang l
Marsha memejamkan matanya. Selama 2 hari ia terus tinggal di dalam kamarnya dan jarang keluar. Mungkin karena masalah terakhir kali, semangat Marsha yang biasanya membara itu telah lenyap seutuhnya. Tok ... tok .... Derren berdiri di depan pintu kamar Marsha dengan membawa nampan berisi makan malam. “Marsha, keluar dan ambil makananmu.” Derren menatap miris. Pintu yang biasanya terbuka karena sang Tuan jarang berada di rumah itu tertutup secara berturut-turut selama 2 hari terakhir. Tidak ada jawaban dari dalam sana. Tampaknya Marsha kembali tidur dan tidak mendengar panggilannya. “Marsha, bagaimana jika kamu keluar sekarang?” Tidak ada jawaban. Wanita itu masih bersikeras untuk tutup mulut dan tidak menggubris dunia luar. Derren mengusap kasar wajahnya dan menatap Naya yang mendekatinya. “Masih belum mau keluar?” tanya gadis itu. Ia berdiri di sebelah Derren dan melihat pintu di depa
Fuhh .... Derren menghela napas lega. Akhirnya ia bisa melepaskan diri dari Marsha walau ia harus kabur ke rumah Orlando. “Fuhh ... kenapa kamu tiba-tiba ke sini tanpa memberi tahu dulu? Bagaimana kalau kekasihku ada di sini?” Orlando terlihat kesal. Namun ia masih membukakan pintu, bahkan membuatkan suguhan untuk Derren. Derren yang mendengar itu hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Buktinya ia tidak ada di sini. Kenapa kamu mempermasalahkannya?” Orlando hanya mendenguskan napasnya kasar. Ia menatap Derren dengan mata menyipit. “Kamu yang sangat menyukai rumah karena ada istri cantikmu itu, sekarang kenapa tiba-tiba kabur dari rumah?” sindir Orlando menaruh kecurigaan. Derren hanya diam. Ia tidak ingin membahas hal memalukan itu kepada sahabatnya. Lagi pula, jika ia membahas hal itu dengan Orlando, maka ia akan mendapatkan ejekan. “Tidak ada. Memang kenapa? Aku tidak boleh menginap di sini?” Derren melipat kedua tangannya di depan dada. Wajah angkuh yang sangat menyeba
“Nona Marsha.” Salah satu anggota lelaki berjas hitam itu berjalan mendekat pada Marsha. Wanita itu menghadang jalan si pria agar tidak mendekati kedua adiknya. Lelaki bersurai panjang itu berdiri tepat di jarak 3 langkah dari posisi Marsha berdiri. “Tolong ikut dengan kami.” Perkataan yang tegas dan singkat. Nada bicara yang tak kenal sopan santun dan wajah angkuh yang menjengkelkan. Marsha tidak senang penampilan dan sikap dari lelaki itu dari atas sampai bawah. Tatapan permusuhan darinya terlihat sangat kental. Semua musuh yang ada di depannya pasti tahu jika Marsha menjadi kesal saat melihat wajah mereka. “Kamu—“ “Marsha, siapa orang-orang yang menghalangi jalan ke rumahmu ini?!” Marsha menatap ke arah pintu utama. Ia melihat Nada, kakak pertamanya, datang sambil menyeret tiga orang lelah seperti kantung sampah yang menjijikkan. “Astaga, ternyata ada orang yang mengganggu pagi adikku yang m
“Jadi begitu.” Marsha menghela napas panjang. Ia menatap wajah gugup Naya dengan tatapan santai namun masih terkesan dingin. Amarah yang bergejolak dalam dirinya sudah berusaha ia tahan. Namun ekspresi wajahnya yang buruk tidak bisa 100% ia sembunyikan. “Terima kasih sudah memberitahu hal yang sulit.” Naya hanya mengangguk tanpa menatap wajah Marsha. Wajah wanita itu terlihat menakutkan walau nada bicaranya sangat lembut dan kalem. “Kakak tidak marah, kan?” Marsha menaikkan sebelah alisnya. “Untuk?” Naya menunduk semakin dalam. Ia melihat kedua jarinya yang bertaut dengan tatapan pedih. “Aku kan sudah membuat masalah. Mangkanya, aku sedikit tidak nyaman. Maaf ya, Kak. Aku sudah membuat masalah untukmu dan Kak Derren.” Puk! Marsha menepuk pundak Marsha dan mengusap puncak kepala gadis itu sayang. “Aku dan Kakak lelakimu itu memang harus melindungi kamu. Jangan sungk
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat