"Sudah berapa kali aku mengatakannya padamu?"
Do Hwa–wakil Kepsek Akademi Waston–terlihat marah pada kepala sekolah sekaligus atasannya–orang yang seharusnya ia hormati dan takuti.Namun kini posisi mereka terbalik.Hans malah terlihat khawatir dan takut ketika Do Hwa marah. Terlebih lagi, ia adalah anak Wakil Ketua Yayasan, Pak Sean."Aku tidak bermaksud mencelakainya."Hans menghela napas kasar.Ia sudah menjelaskan berulang kali alasan rencana penyerangan terhadap Derren, namun Do Hwa tidak mau mengerti dirinya."Lalu apa semua ini?"Do Hwa memukul berulang kali dokumen tebal di atas meja yang ia terima pagi ini, dari seorang pengirim "Tanpa Nama"."Semua dokumen ini nyata! Penggelapan dana, bahkan beberapa orang yang kau lenyapkan hanya untuk mempertahankan posisi itu."Do Hwa, lelaki bersurai pirang dengan paras kelewat tampan itu menatap Hans yang terbaring lemah di atas ranjang“Em ... apakah Kepala Sekolah baik-baik saja? Aku dengar dari Kak Yana, ia terluka cukup parah di bagian kaki.” Yana menunjukkan wajah khawatir. Ia terlihat tulus. “Tidak perlu di pikirkan. Ia akan segera sembuh dan masuk ke sekolah. Kamu tak perlu pusing memikirkan itu, pikirkan saja rumor tentang dirimu,” balas Marco, berjalan tenang di sampingnya. Yana menundukkan kepalanya–diam dengan pikiran kacau. “Sepertinya aku salah bicara," batin Marco. Ia menghela napas panjang dan memberikan sebatang permen pada Yana. “Jangan sedih. Aku akan membantumu mencari teman.” Marco memandang Yana yang terus menatapnya dengan polosnya. “Temanku banyak. Aku bisa memperkenalkan mereka padamu. Jadi kamu tidak perlu takut di bully lagi.” Yana menggelengkan kepalanya–menolaknya dengan halus. “Terima kasih bantuannya, Kak Marco. Aku akan mengurus diri sendiri. Tidak perlu merepotkan dirimu.” Gadis cantik berambut
Bridam memijit kepalanya yang terasa sakit dengan keras. Sampai sekarang ia masih menerima penolakan dari Derren. Sungguh ia tak tahu kenapa lelaki muda itu tak ingin menunjukkan istri cantiknya pada dirinya. “Apa ia kira wajahku terlalu menakutkan? Hem ....” Bridam bercermin. Ia melihat wajah tua yang masih terlihat tampan dan berkarisma itu dengan tatapan tak paham. “Padahal aku tampan begini, kenapa ia tak mau mempertemukan aku pada menantuku?” Ahmad–lelaki berusia 36 tahun yang berstatus Marsdya TNI (bintang 3)–hanya bisa menghela napas panjang dan melihat kelakuan narsis atasannya dengan pasrah. “Dari mana datangnya sikap percaya diri itu? Memungutnya di jalan?” sambar Ahmad, tidak tahan. “Kenapa kamu berbicara tajam? Kamu punya dendam karena aku tidak mengizinkan cutimu kemarin?” Ahmad menepuk keningnya–tak habis pikir. “Kenapa kamu mengungkitnya lagi? Kamu sungguh senang bertengkar denganku, ya?” Bridam hanya memutar bola matanya dan melihat Anis berlalu di depan kan
“Baiklah, aku mengerti.” Marsha memalingkan wajah dari Derren. Ia menatap para tamunya dengan senyum ramah. “Saya akan makan siang. Apakah kalian ingin pergi bersama? Menu di kantin kami sangat lah lezat. Anda harus mencobanya.” Bridam segera menyetujui hal tersebut. Mereka pergi bersama ke tempat tujuan–tanpa gaduh. Baru saja duduk di tempatnya, tiba-tiba Marsha melihat Lea berlari ke arah Derren dan duduk di sebelah suaminya dengan hati riang. “Aku akan bergabung denganmu di sini. Kamu tidak keberatan, bukan?” Lea memandang Derren dengan penuh cinta. Tuan Bridam dan yang lain tampaknya mengenal Lea. Karena mereka menyambut dokter cantik itu dengan tangan terbuka. Berbeda dengan Tuan Ahmad dan Derren yang terdiam sambil melihat Marsha yang terus memperhatikan kesenangan di depannya. “Anda baik-baik saja?” Marsha memalingkan wajahnya pada Tuan Ahmad. Lelaki itu duduk tepat di seberangnya dan terus memperhatikan dirinya. “Saya?” Marsha merasa sedikit bingung dengan kekhawati
Dengan sabar Tomo kembali menjahit luka Marsha yang setengah mengering dengan perasaan ngilu. Ia sudah menyuntikkan obat bius agar ia tidak merasa sakit. Jadi semua aman untuk Marsha. “Lukanya hampir menutup. Tapi masih membutuhkan jahitan.” “Kamu benar.” Tomo segera menyelesaikan pekerjaannya dan menyimpan semua alatnya. “Maaf untuk tindakkanku. Huff ... tapi kamu juga bersalah karena memforsir diri dalam keadaan seperti ini.” Marsha memakai kembali pakaiannya dan menatap Tomo yang duduk di sofa seberang ranjangnya. “Lea hanya membutuhkan bantuan kecil. Aku rasa tidak masalah untuk bergerak sedikit. Toh, aku tidak mengangkat barang berat!” Marsha menghela napas lelah. Ia menegak segelas air dan menata dirinya dengan nyaman di atas ranjang. Ia kembali memandang Tomo. “Lalu bagaimana kondisi keluargamu? Para preman itu masih mengganggu walau telah menyebabkan kekacauan di sini?” Marsha menatap
“Baik.” Marsha tersenyum ramah dan membuka pintu yang ada di belakangnya. “Saya akan menunggu Anda di hari yang di janjikan.” Lelaki itu mengangguk antusias. “Tentu. Aku akan menantikannya.” Ia pun berjalan keluar. “Ayah Mertua.” Lelaki paruh baya dengan kumis tipis itu kembali menoleh. “Ada apa?” Marsha menggantung tangannya di udara. Lelaki itu menatap tangan Marsha beberapa saat–dengan ambigu memberikan tangannya pada Marsha. Marsha menyalami tangan itu dengan sopan. “Hati-hati di jalan Ayah.” Marsha mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa uang berwarna merah. “Saya harap Anda bisa naik taksi, Ayah.” Lelaki itu tersenyum lebar. Matanya berbinar cerah melihat banyaknya uang yang ia terima dari Marsha. “Dari pada naik taksi. Aku akan bisa mengundi–“ Greb! Marsha mencengkeram tangan lelaki itu dengan kuat. Ia melihat lelaki berstatus Ayah
Marsha memberikan kompres air pada Derren. “Apa yang terjadi?” Marsha memandang Derren yang bungkam dan memalingkan wajahnya—tidak ingin memandangnya. “Kamu tidak mau menjelaskan padaku?” Derren masih mengatupkan mulutnya rapat tanpa ingin menjelaskan. Marsha mengangguk mengerti dan bangkit dari tempatnya. “Baiklah kalau begitu.” Derren memandang Marsha keluar dari kamarnya. “Mau ke mana?” Marsha hanya menoleh dan tidak menjawabnya. Wanita itu hanya tersenyum dan berlalu pergi—membalas perlakuan Derren yang bungkam. “Kamu mengusir kami?!” Suara Dafa terdengar lantang. Tampaknya ada pertengkaran di luar sana. “Kamu baru saja mengundang kami datang ke sini tidak lebih dari sehari. Tapi sekarang kamu sudah mengusir kami?” “Saya tidak akan melakukan itu jika kalian bersikap baik!” Marsha menjawab dengan tenang. Berbeda dengan kedua lawan b
Marsha memandang lelaki yang ada di depannya. Ia masih tetap bungkam walau 10 menit berlalu. Bahkan makanan Marsha hampir habis sekarang. “Ibu ...." Marsha memanggil. “Sebenarnya apa yang ingin Ibu katakan? Anda bisa menyampaikannya, Bu.” Marsha memandang tulus. “Jika Ibu sulit untuk mengatakannya, Ibu bisa meninggalkan pesan. Saya akan membacanya jika ada waktu luang.” Rina menatap Marsha dengan tatapan bingung. “Aku akan menyampaikannya sekarang.” Marsha menatap serius. ”Baiklah.” “Ini tentang Ibu. Aku harap kamu tidak membocorkannya pada yang lain. Bisakah?” Marsha mengangguk pelan. ”Saya akan melakukan itu. Tapi jika itu hal yang harus di katakan pada semua orang, saya tetap akan memberi tahu yang lain.” Rina kembali bimbang. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun ia tidak ingin yang lain tahu tentang itu. Ini adalah rahasianya. “Baiklah kalau begitu.” Rina b
Tok ... tok .... Marsha mengetuk pintu dengan pelan. Ia langsung masuk dan melihat pemandangan buruk di sana. “Tu-an Sean, ampuni saya.” Hans menyatukan tangannya di depan wajah. Ia memohon pada lelaki itu dengan tatapan prihatin. Bahkan Hans telah memegang kaki lelaki bernama “Sean” itu dengan erat. “A-ayah! Jangan mau mengalah dengan lelaki iblis sepertinya!” Marco berteriak marah. Lelaki muda itu menangis melihat sosok Ayah yang menyedihkan di bawah sana–tanpa menghiraukan kondisi dirinya yang di cekik oleh Sean hingga sulit bernapas. “Ini rumah sakit!” Marsha berucap dengan penuh tekanan. “Apa yang Anda lakukan pada pasien saya?!” ujarnya, marah. Melihat wajah Marsha yang tegang karena amarah, Sean tersenyum culas dan mendekatinya. “Ternyata inilah wanita yang berhasil lari dari maut.” Sean mencekal wajah Marsha. Meremasnya dengan kuat sampai rahangnya terasa n