“Baiklah, aku mengerti.” Marsha memalingkan wajah dari Derren. Ia menatap para tamunya dengan senyum ramah. “Saya akan makan siang. Apakah kalian ingin pergi bersama? Menu di kantin kami sangat lah lezat. Anda harus mencobanya.” Bridam segera menyetujui hal tersebut. Mereka pergi bersama ke tempat tujuan–tanpa gaduh. Baru saja duduk di tempatnya, tiba-tiba Marsha melihat Lea berlari ke arah Derren dan duduk di sebelah suaminya dengan hati riang. “Aku akan bergabung denganmu di sini. Kamu tidak keberatan, bukan?” Lea memandang Derren dengan penuh cinta. Tuan Bridam dan yang lain tampaknya mengenal Lea. Karena mereka menyambut dokter cantik itu dengan tangan terbuka. Berbeda dengan Tuan Ahmad dan Derren yang terdiam sambil melihat Marsha yang terus memperhatikan kesenangan di depannya. “Anda baik-baik saja?” Marsha memalingkan wajahnya pada Tuan Ahmad. Lelaki itu duduk tepat di seberangnya dan terus memperhatikan dirinya. “Saya?” Marsha merasa sedikit bingung dengan kekhawati
Dengan sabar Tomo kembali menjahit luka Marsha yang setengah mengering dengan perasaan ngilu. Ia sudah menyuntikkan obat bius agar ia tidak merasa sakit. Jadi semua aman untuk Marsha. “Lukanya hampir menutup. Tapi masih membutuhkan jahitan.” “Kamu benar.” Tomo segera menyelesaikan pekerjaannya dan menyimpan semua alatnya. “Maaf untuk tindakkanku. Huff ... tapi kamu juga bersalah karena memforsir diri dalam keadaan seperti ini.” Marsha memakai kembali pakaiannya dan menatap Tomo yang duduk di sofa seberang ranjangnya. “Lea hanya membutuhkan bantuan kecil. Aku rasa tidak masalah untuk bergerak sedikit. Toh, aku tidak mengangkat barang berat!” Marsha menghela napas lelah. Ia menegak segelas air dan menata dirinya dengan nyaman di atas ranjang. Ia kembali memandang Tomo. “Lalu bagaimana kondisi keluargamu? Para preman itu masih mengganggu walau telah menyebabkan kekacauan di sini?” Marsha menatap
“Baik.” Marsha tersenyum ramah dan membuka pintu yang ada di belakangnya. “Saya akan menunggu Anda di hari yang di janjikan.” Lelaki itu mengangguk antusias. “Tentu. Aku akan menantikannya.” Ia pun berjalan keluar. “Ayah Mertua.” Lelaki paruh baya dengan kumis tipis itu kembali menoleh. “Ada apa?” Marsha menggantung tangannya di udara. Lelaki itu menatap tangan Marsha beberapa saat–dengan ambigu memberikan tangannya pada Marsha. Marsha menyalami tangan itu dengan sopan. “Hati-hati di jalan Ayah.” Marsha mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa uang berwarna merah. “Saya harap Anda bisa naik taksi, Ayah.” Lelaki itu tersenyum lebar. Matanya berbinar cerah melihat banyaknya uang yang ia terima dari Marsha. “Dari pada naik taksi. Aku akan bisa mengundi–“ Greb! Marsha mencengkeram tangan lelaki itu dengan kuat. Ia melihat lelaki berstatus Ayah
Marsha memberikan kompres air pada Derren. “Apa yang terjadi?” Marsha memandang Derren yang bungkam dan memalingkan wajahnya—tidak ingin memandangnya. “Kamu tidak mau menjelaskan padaku?” Derren masih mengatupkan mulutnya rapat tanpa ingin menjelaskan. Marsha mengangguk mengerti dan bangkit dari tempatnya. “Baiklah kalau begitu.” Derren memandang Marsha keluar dari kamarnya. “Mau ke mana?” Marsha hanya menoleh dan tidak menjawabnya. Wanita itu hanya tersenyum dan berlalu pergi—membalas perlakuan Derren yang bungkam. “Kamu mengusir kami?!” Suara Dafa terdengar lantang. Tampaknya ada pertengkaran di luar sana. “Kamu baru saja mengundang kami datang ke sini tidak lebih dari sehari. Tapi sekarang kamu sudah mengusir kami?” “Saya tidak akan melakukan itu jika kalian bersikap baik!” Marsha menjawab dengan tenang. Berbeda dengan kedua lawan b
Marsha memandang lelaki yang ada di depannya. Ia masih tetap bungkam walau 10 menit berlalu. Bahkan makanan Marsha hampir habis sekarang. “Ibu ...." Marsha memanggil. “Sebenarnya apa yang ingin Ibu katakan? Anda bisa menyampaikannya, Bu.” Marsha memandang tulus. “Jika Ibu sulit untuk mengatakannya, Ibu bisa meninggalkan pesan. Saya akan membacanya jika ada waktu luang.” Rina menatap Marsha dengan tatapan bingung. “Aku akan menyampaikannya sekarang.” Marsha menatap serius. ”Baiklah.” “Ini tentang Ibu. Aku harap kamu tidak membocorkannya pada yang lain. Bisakah?” Marsha mengangguk pelan. ”Saya akan melakukan itu. Tapi jika itu hal yang harus di katakan pada semua orang, saya tetap akan memberi tahu yang lain.” Rina kembali bimbang. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun ia tidak ingin yang lain tahu tentang itu. Ini adalah rahasianya. “Baiklah kalau begitu.” Rina b
Tok ... tok .... Marsha mengetuk pintu dengan pelan. Ia langsung masuk dan melihat pemandangan buruk di sana. “Tu-an Sean, ampuni saya.” Hans menyatukan tangannya di depan wajah. Ia memohon pada lelaki itu dengan tatapan prihatin. Bahkan Hans telah memegang kaki lelaki bernama “Sean” itu dengan erat. “A-ayah! Jangan mau mengalah dengan lelaki iblis sepertinya!” Marco berteriak marah. Lelaki muda itu menangis melihat sosok Ayah yang menyedihkan di bawah sana–tanpa menghiraukan kondisi dirinya yang di cekik oleh Sean hingga sulit bernapas. “Ini rumah sakit!” Marsha berucap dengan penuh tekanan. “Apa yang Anda lakukan pada pasien saya?!” ujarnya, marah. Melihat wajah Marsha yang tegang karena amarah, Sean tersenyum culas dan mendekatinya. “Ternyata inilah wanita yang berhasil lari dari maut.” Sean mencekal wajah Marsha. Meremasnya dengan kuat sampai rahangnya terasa n
“Kalian sudah membuka baju?” Marsha datang dengan membawa kotak obat. Ia memandang Yana dan Naya dengan tatapan nanar. Luka di tubuh kecil itu terlihat bertumpuk sebelum mengering dengan baik. “Kakak ngeri?” Naya mengajukan pertanyaan yang menyayat hati Marsha. Wanita berusia 25 tahun itu segera menggeleng dan duduk bersila di depan keduanya. “Aku pernah melihat orang dengan kondisi yang lebih mengerikan dari kalian. Kehilangan sebelah matanya. Mayat tanpa lidah atau kepala.” Marsha menyeka air matanya yang sempat menetes dengan cepat. Ia mendudukkan kepala. Tak kuasa menahan tangis melihat betapa rusaknya tubuh kedua anak ini. “Bagiku, tubuh kalian lebih berharga dari pada barang-barang itu.” Marsha memandang keduanya dengan mata merah dan air mata yang berlinang. “Lain kali, tolong biarkan saja mereka pergi dan jangan biarkan tubuh kalian mendapatkan luka.” “Kalian mengert
“Bagaimana? Mama menjahitnya dengan baik, bukan?” Dena memandang Marsha yang bercermin dan melihat hasil jahitannya di kepala mungil itu. “Tidak terlalu buruk.” Marsha menghela napas lelah dan mengusap beberapa bagian wajahnya yang memiliki jejak darah yang hampir mengering. “Mama tahu siapa pelaku di balik insiden ini?” tanya Marsha, tanpa memandang wajah lawannya. Ia sibuk membereskan peralatan medis yang telah di gunakan Dena dan membuangnya ke tempat sampah. “Entahlah, Mama juga tidak tahu.” Dena memandang Marsha dengan tatapan menyelidik. “Bukannya kamu yang memiliki ‘clue’ untuk insiden hari ini?” Dena menunjuk pintu di pojok ruang kerja Marsha dengan gerakan dagu–yang jelas, ruangan itu isinya bukanlah kamar mandi. “Kamu orang yang teliti. Sudah pasti kamu mengamati kami setiap saat,” ucap Dena, tajam. Marsha menatap bilik kamar yang di tunjuk Dena dan tersenyum masam. “Sekeras apa pun a
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat