4 orang berpakaian loreng hijau-coklat berjalan masuk ke dalam rumah sakit dengan wajah panik.
Tanpa sadar, mereka telah membuat warga rumah sakit bergidik ngeri melihat kehadiran keempatnya.Derren berjalan ke meja resepsionis dan bertanya. “Atas nama Marsha Anindira, di ruang operasi berapa ia berada?”Perawat menunjukkan arah untuk pergi ke ruang operasi Marsha.Derren dan tiga teman Tentaranya bergegas pergi dan menemui Naya serta Yana yang ada di ujung lorong di depan sana.Keduanya tengah meringkuk di atas kursi besi dengan seorang lelaki berkumis hitam–duduk di samping mereka–menunggu bersama keduanya.“Naya, Yana, bagaimana keadaan Kak Marsha? Ia baik-baik saja, kan?”Derren mendekat dengan langkah lebar.Naya dan Yana bangkit dari tempatnya dan segera memeluk Derren dengan erat–mereka menangis dengan tubuh gemetar.“Jangan berisik, ini rumah sakit!” bisik Derren, mengingatkan keduanya.Perlahan-lahan tapi pasti, Marsha membuka mata dan melihat seorang lelaki asing tengah duduk di samping ranjang dengan membaca sebuah buku psikologi yang tebal. “Siapa?” Marsha bergumam lembut. Lelaki itu menutup bukunya. Ia bangun dari tempatnya dan menatap Marsha yang membuka matanya dengan sedikit kesulitan. “Anda bisa melihat saya?” tanya lelaki bersuara berat itu, masih memandanginya. “Tidak. Aku tidak tahu kamu. Pandanganku tidak jelas! Yang jelas, aku tahu kamu botak.” Arasy menatap datar. Ia menarik rambutnya yang di kucir buntut kuda ke samping dan menunjukkannya pada Marsha. “Saya hanya mengikat rambut saya. Bukannya botak, Nyonya!” jelasnya, ketus. Marsha menunjukkan wajah masam. Ia segera meminta maaf setelah menyadari perasaan kesal lawan bicaranya. “Siapa kamu? Kamu belum menjawab pertanyaan itu.” Kini perlahan-lahan Marsha bisa melihat siapa yang ada di depannya.
“Tidak perlu ikut campur, Lea. Ini bukan urusanmu.” Derren menghela napas panjang dan mengambil alkohol dan beberapa perban untuk mengobati dirinya sendiri. Lea mengerutkan kening. “Apa yang kamu maksud bukan urusanku? Kita kan–“ Derren menaikkan sebelah alisnya. “Kita apa?” Lea diam. Ia sedikit memalingkan wajah dan berusaha menenangkan napasnya yang telah menggebu karena amarah. “Bukan apa-apa.” Lea merebut kasa dari tangan Derren dan membantunya mengobati luka. “Biar aku sa–“ Marsha muncul. Ia telah menggenggam tangan Lea yang hendak menyentuh Derren untuk mengobatinya. “Apa yang akan kamu lakukan?” Derren terdiam melihat kobaran amarah pada mata istrinya. Ia tak menyangka Marsha bisa semarah itu hanya karena Lea. Apa mereka sudah benar-benar bermusuhan sekarang? “Marsha, ia hanya mencoba membantu–“ “Siapa yang kamu bela?” sela Mars
"Sudah berapa kali aku mengatakannya padamu?" Do Hwa–wakil Kepsek Akademi Waston–terlihat marah pada kepala sekolah sekaligus atasannya–orang yang seharusnya ia hormati dan takuti. Namun kini posisi mereka terbalik. Hans malah terlihat khawatir dan takut ketika Do Hwa marah. Terlebih lagi, ia adalah anak Wakil Ketua Yayasan, Pak Sean. "Aku tidak bermaksud mencelakainya." Hans menghela napas kasar. Ia sudah menjelaskan berulang kali alasan rencana penyerangan terhadap Derren, namun Do Hwa tidak mau mengerti dirinya. "Lalu apa semua ini?" Do Hwa memukul berulang kali dokumen tebal di atas meja yang ia terima pagi ini, dari seorang pengirim "Tanpa Nama". "Semua dokumen ini nyata! Penggelapan dana, bahkan beberapa orang yang kau lenyapkan hanya untuk mempertahankan posisi itu." Do Hwa, lelaki bersurai pirang dengan paras kelewat tampan itu menatap Hans yang terbaring lemah di atas ranjang
“Em ... apakah Kepala Sekolah baik-baik saja? Aku dengar dari Kak Yana, ia terluka cukup parah di bagian kaki.” Yana menunjukkan wajah khawatir. Ia terlihat tulus. “Tidak perlu di pikirkan. Ia akan segera sembuh dan masuk ke sekolah. Kamu tak perlu pusing memikirkan itu, pikirkan saja rumor tentang dirimu,” balas Marco, berjalan tenang di sampingnya. Yana menundukkan kepalanya–diam dengan pikiran kacau. “Sepertinya aku salah bicara," batin Marco. Ia menghela napas panjang dan memberikan sebatang permen pada Yana. “Jangan sedih. Aku akan membantumu mencari teman.” Marco memandang Yana yang terus menatapnya dengan polosnya. “Temanku banyak. Aku bisa memperkenalkan mereka padamu. Jadi kamu tidak perlu takut di bully lagi.” Yana menggelengkan kepalanya–menolaknya dengan halus. “Terima kasih bantuannya, Kak Marco. Aku akan mengurus diri sendiri. Tidak perlu merepotkan dirimu.” Gadis cantik berambut
Bridam memijit kepalanya yang terasa sakit dengan keras. Sampai sekarang ia masih menerima penolakan dari Derren. Sungguh ia tak tahu kenapa lelaki muda itu tak ingin menunjukkan istri cantiknya pada dirinya. “Apa ia kira wajahku terlalu menakutkan? Hem ....” Bridam bercermin. Ia melihat wajah tua yang masih terlihat tampan dan berkarisma itu dengan tatapan tak paham. “Padahal aku tampan begini, kenapa ia tak mau mempertemukan aku pada menantuku?” Ahmad–lelaki berusia 36 tahun yang berstatus Marsdya TNI (bintang 3)–hanya bisa menghela napas panjang dan melihat kelakuan narsis atasannya dengan pasrah. “Dari mana datangnya sikap percaya diri itu? Memungutnya di jalan?” sambar Ahmad, tidak tahan. “Kenapa kamu berbicara tajam? Kamu punya dendam karena aku tidak mengizinkan cutimu kemarin?” Ahmad menepuk keningnya–tak habis pikir. “Kenapa kamu mengungkitnya lagi? Kamu sungguh senang bertengkar denganku, ya?” Bridam hanya memutar bola matanya dan melihat Anis berlalu di depan kan
“Baiklah, aku mengerti.” Marsha memalingkan wajah dari Derren. Ia menatap para tamunya dengan senyum ramah. “Saya akan makan siang. Apakah kalian ingin pergi bersama? Menu di kantin kami sangat lah lezat. Anda harus mencobanya.” Bridam segera menyetujui hal tersebut. Mereka pergi bersama ke tempat tujuan–tanpa gaduh. Baru saja duduk di tempatnya, tiba-tiba Marsha melihat Lea berlari ke arah Derren dan duduk di sebelah suaminya dengan hati riang. “Aku akan bergabung denganmu di sini. Kamu tidak keberatan, bukan?” Lea memandang Derren dengan penuh cinta. Tuan Bridam dan yang lain tampaknya mengenal Lea. Karena mereka menyambut dokter cantik itu dengan tangan terbuka. Berbeda dengan Tuan Ahmad dan Derren yang terdiam sambil melihat Marsha yang terus memperhatikan kesenangan di depannya. “Anda baik-baik saja?” Marsha memalingkan wajahnya pada Tuan Ahmad. Lelaki itu duduk tepat di seberangnya dan terus memperhatikan dirinya. “Saya?” Marsha merasa sedikit bingung dengan kekhawati
Dengan sabar Tomo kembali menjahit luka Marsha yang setengah mengering dengan perasaan ngilu. Ia sudah menyuntikkan obat bius agar ia tidak merasa sakit. Jadi semua aman untuk Marsha. “Lukanya hampir menutup. Tapi masih membutuhkan jahitan.” “Kamu benar.” Tomo segera menyelesaikan pekerjaannya dan menyimpan semua alatnya. “Maaf untuk tindakkanku. Huff ... tapi kamu juga bersalah karena memforsir diri dalam keadaan seperti ini.” Marsha memakai kembali pakaiannya dan menatap Tomo yang duduk di sofa seberang ranjangnya. “Lea hanya membutuhkan bantuan kecil. Aku rasa tidak masalah untuk bergerak sedikit. Toh, aku tidak mengangkat barang berat!” Marsha menghela napas lelah. Ia menegak segelas air dan menata dirinya dengan nyaman di atas ranjang. Ia kembali memandang Tomo. “Lalu bagaimana kondisi keluargamu? Para preman itu masih mengganggu walau telah menyebabkan kekacauan di sini?” Marsha menatap
“Baik.” Marsha tersenyum ramah dan membuka pintu yang ada di belakangnya. “Saya akan menunggu Anda di hari yang di janjikan.” Lelaki itu mengangguk antusias. “Tentu. Aku akan menantikannya.” Ia pun berjalan keluar. “Ayah Mertua.” Lelaki paruh baya dengan kumis tipis itu kembali menoleh. “Ada apa?” Marsha menggantung tangannya di udara. Lelaki itu menatap tangan Marsha beberapa saat–dengan ambigu memberikan tangannya pada Marsha. Marsha menyalami tangan itu dengan sopan. “Hati-hati di jalan Ayah.” Marsha mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa uang berwarna merah. “Saya harap Anda bisa naik taksi, Ayah.” Lelaki itu tersenyum lebar. Matanya berbinar cerah melihat banyaknya uang yang ia terima dari Marsha. “Dari pada naik taksi. Aku akan bisa mengundi–“ Greb! Marsha mencengkeram tangan lelaki itu dengan kuat. Ia melihat lelaki berstatus Ayah
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat