Share

Part 9

Author: Irma W
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Anin begitu sampai dan sudah duduk di sebuah kafe.

“Nggak pa-pa, cuma pengen ngajak makan saja,” kata Jonan santai. “Sudah jadi beli baju?” tanya Jonan kemudian.

Anin meletakkan tas jinjingnya di kursi sebelahnya. “Sudah. Tadi beli sama Nana,” jawab Anin.

“Yah,” desah Jonan. “Padahal aku sudah belikan kamu baju lho.”  menampakkan wajah sesal.

“Untuk apa? Aku kan bisa beli baju sendiri,” saur Anin lagi. “Sudah ya, aku mau pulang.” Anin tiba-tiba berdiri.

“Tunggu!” Jonan ikut berdiri dan mencegah Anin untuk pergi. “Temani aku makan dulu.”

“Malas ah!” tepis Anin. “Aku udah pengen pulang.” Wajah Anin berubah merengut.

Jonan menyusuri sebentar ekspresi yang tergambar di wajah Anin. Kemungkinan Anin sedang marah atau apapun itu yang jelas pasti sedang merasa jengkel.

“Oke. Ayo pulang.” Jonan menyerah.

Pada akhirnya Jonan gagal makan siang hanya karena tak ditemani oleh Anin. Bukan itu masalahnya, kalau sudah melihat Anin merengut begitu, pasti dia sedang ada masalah. 

“Aku ikut kamu ya,” kata Jonan sebelum Anin sampai di parkiran.

Anin berhenti dan menoleh. “Mobil kamu di mana?”

“Nggak bawa mobil. Aku naik taksi tadi,” jawab Jonan sambil nyengir. “Ikut ya?”

“Nggak ah!” tolak Anin. “Pulang saja sendiri!”

Jonan diam menatap Anin dengan sendu. Lama kelamaan tatapan itu berubah menjadi menyedihkan dan hampir membuat Anin ingin muntah.

“Ya oke!” kata Anin kemudian sebelum Jonan merengek.

Senyum puas seketika mengembang sempurna  di wajah Jonan. Tampang memelas memang terkadang berguna untuk merayu seseorang. Jonan mungkin saat ini sedang tertawa karena berhasil merayu Anin dan membuat wajah Anin merengut jengkel.

“Biar aku yang menyetir saja.” Jonan hendak menyerobot pintu sebelah kanan, tapi dengan cepat Anin langsung mencegahnya.

“Nggak usah!” hardik Anin. “Bukannya pulang, yang ada kamu bawa aku entah kemana.” Anin kemudian masuk ke dalam mobil.

Jonan yang masih di luar terlihat terkekeh sendiri. “Aku memang berniat bawa kamu pergi, Anin,” gumam Jonan.

“Cepetan!” lengkingan suara cempreng itu membuat Jonan kaget. “Mau aku tinggal?”

“Iya, iya, sebentar.” Jonan mendengkus. “Galak banget sih!”

“Terserah!” saur Anin.

Harusnya Jonan tahu kalau niat Anin bukan sedang marah-marah padanya. Anin hanya sedang mengalihkan pembicaraan yang mungkin saja akan menjurus ke hal sensitif. Itu yang biasa terjadi saat sedang ngobrol dengan Jonan, itu sebabnya Anin memilih bersikap sedikit kasar.

“Kamu kenapa marah-marah, sih?” tanya Jonan.

Anin tak menjawab. Anin tetap diam menatap lurus ke jalanan yang lumayan padat pengendara lain.

“Jawab dong!” sungut Jonan.

“Bisa diam nggak?” Anin melirik tajam. “Jangan ganggu, aku lagi nyetir.”

“Kamu cantik, Anin.”

Ciiiiit! Mobil berhenti mendadak. Untung saja mobil berhenti tepat di lampu merah. Setidaknya tidak terlalu membuktikan kalau Anin sedang terkejut dengan perkataan Jonan.

“Hati-hati, Anin,” celetuk Jonan yang sudah mencengkeram pegangan pintu. “Kamu buat aku kaget!”

“Salah kamu!” Anin memukul bundaran setir. “Bisa nggak, kalau kamu nggak ganggu aku, ha?” Anin membulatkan bola matanya lebar-lebar ke arah Jonan.

Bukan Jonan namanya kalau tidak berani membalas pelototan itu.

“Aku nggak ganggu. Aku kan cuma mengajak kamu ngobrol. Wajah kamu cemberut terus, makanya aku penasaran.”

Anin mendesah kemudian mengeraskan tulang rahang. “Dengar ya, Aku tahu kamu kasihan sama aku. Kamu kasihan karena aku selalu banyak masalah dengan suamiku. Tapi plis, jangan buat aku berharap lebih.” Anin mendesah lagi kemudian memutar pandangan ke depan karena lampu sudah kembali hijau.

Jonan masih betah memandangi Anin. Jonan bahkan sama sekali tak peduli dengan ocehan Anin, terkecuali untuk beberapa kata di bagian terakhir.

“Kamu pikir aku kasihan sama kamu?” tanya Jonan. Anin tetap diam. “Aku sama sekali nggak kasihan sama kamu. Untuk apa kamu dikasihani.”

Semakin tidak fokus, pada akhirnya Anin menepikan mobil di kiri jalan. Tepat di bawah pohon rindang yang tidak terlalu banyak mobil melintas.

Anin nampak masih diam. Kedua tangannya masih mencengkeram kuat bundaran setir. Pandangannya nanar dan tak lama kemudian mulai menitikkan buliran bening dari balik mata indah itu.

“Lho, kok malah nangis?” pekik Jonan tiba-tiba. “Hei!” Jonan melepas sabuk pengaman kemudian bergeser sedikit.

“Jonan,” lirih Anin. Jonan terkesiap. “Jangan buat Aku seolah sedang di perhatikan. Jangan memberi aku perhatian. Aku sedang ada masalah, aku mohon kamu jangan menambahinya.” Anin berbicara dalam isak tangis.

“Memangnya salah kalau aku kasih perhatian ke kamu?” tanya Jonan.

Anin menggeleng berat. “Aku nggak tahu. Aku hanya nggak mau salah tangkap nantinya,” kata Anggun tanpa berani menoleh sedikitpun.

“Apanya yang salah tangkap?” Jonan sungguh tak mengerti.

Anin menyedot ingus, lalu mengusap kasar air matanya. Sebelum berbicara lagi, Anin terlihat menghela napas beberapa kali.

“Jonan, stop memberi perhatian padaku. Berhenti menggangguku. Aku tahu kamu hanya sedang kasihan sama aku. Jadi ... cukup.” Anin tersenyum kecut sebelum kembali membuang muka.

“Tahu nggak.” Jonan berbicara dengan nada tinggi. “Aku heran kenapa kamu selalu berpikiran kalau aku kasihan sama kamu. Padahal aku sama sekali nggak kasihan sama kamu. Aku cuma nggak mau melihat kamu sedih. Harusnya kamu peka dengan perasaan aku, Anin.”

“Keluar,” pinta Anin. Jonan yang sudah berkata panjang lebar penuh tenaga, hanya terperanjat dan ternganga.

“Aku bilang, keluar,” kata Anin lagi. Air maya yang semula sempat berhenti itu, mendadak mengalir lagi lebih deras.

“Tapi Anin ....”

“KELUAR!” Anin berteriak dengan lantang sampai-sampai membuat Jonan terjungkat kaget.

Tak mau membuat Anin tambah marah-marah, Jonan diam sejenak. Keluar dari mobil ini tentu bukan cara yang tepat. Itu pikir Jonan. Anin sedang menangis dan dalam kondisi sedang tidak baik, akan bahaya kalau dibiarkan menyetir sendiri.

“Oke, Aku minta maaf. Aku salah,” kata Jonan kemudian. “Aku nggak akan bahas ini lagi atau ganggu kamu lagi, Tapi biarkan aku menemani kamu sampai rumah. Atau kalau boleh, biar aku yang menyetir.”

Jonan tidak menyangka kalau Anin menyetujui untuk bertukar tempat. Anin sudah beranjak berdiri dan keluar dari mobil. Jonan kemudian juga bergegas ikut keluar. Ketika saling berpapasan di depan moncong mobil, Jonan sempat menatap Anin, tapi Anin langsung melengos dan masuk ke dalam mobil.

“Maaf Jonan,” batin Anin usai memakai sabuk pengaman dan duduk bersandar. “Aku bukan berniat membentak kamu. Aku cuma nggak mau terbawa suasana saat sedang bersama kamu. Aku nggak mau kejadian di danau terulang lagi. Aku nggak mau semakin hanyut.”

Anin terdiam hingga lama-kelamaan bola matanya mengatup rapat. Anin jatuh ke dalam mimpi.

“Aku minta maaf, Anin,” gumam Jonan sambil mengusap rambut Anin. “Mungkin aku juga terlalu berharap sama kamu. Huh! Menyedihkan sekali aku!” Jonan tersenyum getir.

Jatuh cinta dengan istri sang kakak, tentu saja salah. Namun, Jonan tidak akan sampai sejauh ini kalau bukan karena Bagas mempermainkan Anin. Jonan sendiri sudah bertekat untuk mencari tahu alasan Bagas berbuat demikian, pun dengan sebuah foto itu.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wiryosentono Wiryosentono
sudah sampai part 10 tapi masih gitu gitu aja cerita nya huh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Suami Kedua   Part 10

    Sesampainya di halaman rumah, Jonan tidak langsung keluar dari mobil. Usai melepas sabuk pengaman, Jonan meraih tangan Anin. Anin yang hampir membuka pintu seketika duduk kembali.“Ada apa?” tanya Anin.Masih menggenggam tangan Anin, Jonan setengah berdiri kemudian menghadap ke jok belakang. Satu tangannya menjulur meraih paper bag berwarna hitam.“Ini untuk kamu,” kemudian Jonan menyodorkan paper bag tersebut.“Apa ini?” tanya Anin sambil memgamati paper bag yang berada dalam pangkuannya.“Kan tadi aku sudag bilang, aku membelikan baju untukmu,” jawab Jonan. “Kalau kau mau, silahkan pakai. Kalau nggak, kamu bisa menyimpannya.”Anin terdiam lalu tangannya merogoh masuk ke dapam paper bag. Kini dua tangannya mencengkeram setiap ujung pundak dres tersebut lalu menjembrengnya. “Sungguh ini untukku?”Dress simpel dengan pita di bagian pinggang, lengan bernahan brukat, semua wanita pasti akan terlihat cantik saat mengenakannya.Jona

  • Suami Kedua   Part 11

    Hari sudah mulai gelap, para tamu juga sudah berkumpul di aula hotel yang luas. Semua para pesohor juga sudah siap menyambut keluarga Hanggoro yang pastinya akan menjadi pusat perhatian selama acara dimulai hingga akhir.Demi melancarkan acara malam ini, Bagas terpaksa harus bergandengan dengan Anin. Berpura-pura menjadi pasangan bahagia seperti biasanya. Sosok Ela yang sebenarnya juga hadir, hanya bisa memandang pias dari kejauhan.Ucapan demi ucapan, bergantian terlontar untuk Bagas dan Anin. Ucapan selamat atas resminya menjadi pemilik perusahaan Hanggoro yang lain, menjadikan Jonan dipandang sosok yang saat ini sedang dibangga-banggakan. Harusnya Anin ikut berbangga, tapi tentunya tidak. Anin justru terlihat muram dan hanya bisa tersenyum tipis menyambut para tamu undangan yang lain.“Anin, kamu nggak pa-pa?” bisik Mama. “Kamu nggak enak badan?”Anin tersenyum. “Nggak, Ma. Aku baik-baik saja kok.”Anin kembali menoleh ke arah para tamu lagi. Sa

  • Suami Kedua   Part 12

    Meninggalkan area hotel, Jonan berpikir sebaiknya segera mencari kebenaran tentang foto itu. Jonan sebenarnya terlalu lambat untuk mencari bukti. Akan tetapi, itu bukan berarti Jonan tidak peduli dengan Anin. Jonan sangat peduli, sungguh peduli. Namun, Jonan hanya sedang memperlambat semuanya.Jangan katakan Jonan termasuk pria jahat karena membiarkan pernikahan Bagas dan Anin terus berlanjut. Jonan terlalu mencintai Anin sehingga memilih membiarkan Anin tetap di sisi Bagas sampai Anin benar-benar merasa lelah.Menurut Jonan, mungkin inilah saatnya mencari tahu supaya bisa segera membebaskan Anin dari tuduhan Bagas.“Mungkinkah itu kelab di mana Anin pernah dijebak?” batin Jonan saat mendapati Ela turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam kelab.“Ela memang ada hubungannya dengan foto itu.”Jonan menepikan mobil kemudian turun. Berdiri sejenak di halaman tempat hiburan malam tersebut, membuat Jonan bergidik ngeri saat membayangkan dirinya

  • Suami Kedua   Part 13

    Sudah lumayan jauh meninggalkan area hotel, Jonan tak kunjung menemukan restoran yang katanya buka dua puluh empat jam. Anin yang mulai pegal karena terus berjalanpun mulai mengeluh lelah. Sementara Jonan, seperti lupa kalau Anin tengah kelaparan, Ia justru masih berlenggak sambil sesekali memejamkan mata menikmati udara malam hari.Menyadari Anin tidak ada di sampingnya lagi, Jonan sontak berhenti. Memutar balik badannya, Jonan seketika mendesah tatkala melihat Anin tengah membungkuk dengan pandangan menatap jalan beraspal.“Oh, astaga!” pekik Jonan kemudian. Ia baru teringat akan sesuatu.Sebelum terjadi apa-apa pada Anin, Jonan segera berlari menghampirinya yang masih membungkuk sambil mengatur napas.“E, Anin. Aku … e …”“Cukup!” hardik Anin sambil menatap kedua kaki Jonan yang beralaskan sandal kulit.Jonan garuk-garuk kepala sambil meringis getir. Ia tahu kalau setelah ini Anin pasti akan teriak marah-marah.Anin menegakka

  • Suami Kedua   Part 14

    Pagi harinya, Anin sudah dikejutkan dengan sosok Bagas yang ternyata sudah tidur di sampingnya. Bagas tidur dalam posisi miring ke arah tembok. Meskipun tidur seranjang, toh bagi Anin tetap merasa sedang tidur sendirian.“Sejak kapan Mas Bagas balik ke hotel?” Anin bertanya-tanya.Sebelum Bagas terbangun, Anin lebih dulu beranjak dari tempat tidur. Duduk di tepi ranjang, Anin menggulung rambut panjannya ke atas. Setelah itu Anin mengambil handuk di atas gantungan dan pergi mandi.Acara semalam memang lumayan meriah karena ada riuh tepuk tangan dan berbagai ucapan selamat dari para tamu undangan. Namun, bagi Anin, acara semalam adalah satu acara yang begitu membosankan.Berpindah dari Anin yang sedang mandi, Hanggoro dan Sasmita juga sudah terbangun dan sedang berbenah untuk kembali pulang ke rumah. Sementara Hanggoro sedang melipat lengan bajunya, Sasmita nampak sedang bercermin sambil menyisir rambut. Tidak jauh dari posisi mereka, ada sebuah koper beruk

  • Suami Kedua   Part 15

    Anin sudah dipindahkan ke dalam kamar. Ia saat ini tengah duduk bersandar pada dinding ranjang dengan kedua kali lurus saling menyilang. Di atas pangkuan, Anin meletakkan satu bantal guling sementara dua tangannya saling menggenggam.Tak jauh dari posisinya, nampak Bagas sedang membawakan makanan untuk Anin. Ya … Anin memang pingsan karena kelaparan. Sudah dari semalam Anin tidak makan.Anin tak mau mengingat kejadian semalam. Bukan pertama kali Jonan menggoda Anin hingga terlewat batas. Namun anehnya, Anin tak pernah bisa marah. Mungkinkah karena Anin rindu belaian?"Terimakasih sudah perhatian sama aku," kata Anin saat Bagas sudah meletakkan nampan berisi nasi dan lauk pauk-pauk.Bagas melengos. “Nggak usah kepedean. Aku hanya nggak mau mama dan papa curiga.”Anin ingin mengutuki dirinya yang sangat bodoh. Harusnya Anin sadar kalau Jonan tidak mungkin benar-benar peduli apalagi sampai perhatian. Semua hanya sandiwara belaka.“A

  • Suami Kedua   Part 16

    Tidak bisa dipungkiri dengan mudah, mungkin Bagas masih menyimpan rasa pada Anin. Bagas mungkin bisa mengelak dengan cara acuh dan berkata kasar. Namun, melihat bagaimana Anin pingsan tadi, sangat bohong jika Bagas tidak merasa khawatir.Bukankah dulu Bagas menikahi Anin karena dasar cinta? Betapa buruknya Anin, Bagas belum bisa sepenuhnya menghilangkan rasa tertariknya.Lalu, bagaimana dengan Ela? Bagas mencintai Ela karena rasa lama. Ela datang saat puncak masalah pernikahan malam pertama datang. Keesokan harinya setelah petaka malam hari bersama Anin, secara tiba-tiba takdir mempertemukan Bagas dengan Ela. Sekedar kebetulan atau bukan, Bagas tak pernah memikirkan akan hal itu.“Andai saja kamu tidak bohong sama aku, mungkin pernikahan kita akan baik-baik saja,” desah Bagas sesampainya di depan sebuah apartemen.Bagas melepas sabuk pengaman, kemudian segera turun. “Jangan salahkan aku kalau aku mencari kenikmatan di luar sana.”Bagas berdiri mema

  • Suami Kedua   Part 17

    Makan malam berlangsung tanpa kehadiran Bagas. Hingga menjelang malam, Bagas juga tak kunjung pulang. Tidak ada yang curiga karena setelah semua selesai makan, mereka segera masuk kamar untuk istirahat.Keluarga ini memiliki bisnis masing-masing, jadi akan jarang ada waktu untuk sekedar begadang malam. Lebih baik gunakan waktu untuk tidur.Hingga keesokan paginya, Anin tak menjumpai sosok Bagas di dalam kamar. Sepertinya semalam memang Bagas tidak pulang.Sampai di lantai bawah, semua penghuni rumah nampak sudah tidak ada. Semalam mama sempat bilang kalau akan pergi ke rumah seseorang untuk merias wajah pengantin. Kalau papa, memang sudah biasanya pergi sekitar pukul tuju pagi.“Apa sudah berangkat semua, Bi?” tanya Anin pada Bibi Niah.Bibi Niah yang sedang menyapu teras rumah lantas mengangguk. “Nyonya berangkat pagi sekali tadi. Kalau Tuan, beliau baru saja berangkat.”Anin manggut-manggut. Saat hendak kembali masuk ke dalam rumah, mobil

Latest chapter

  • Suami Kedua   Part 40 (Tamat)

    Jonan tak peduli bagaimana dengan keadaan Bagas saat ini. Apapun yang menyangkut Anin, maka Jonan tidak akan tinggal diam. Apalagi menyangkut sesuatu hal yang sangat membahayakan Anin. Setelah penjaga rumah menelpon papa dan mama, Bagas tentunya langsung dilarikan ke rumah sakit.Papa dan mama sempat menyalahkan Jonan saat baru menjumpai bagaimana keadaan Bagas yang sudah babak belur. Mereka menyalahkan Jonan karena dianggap tidak punya perasaan dan terlalu hanyut dalam emosi. Mama bahkan sempat meneriaki Jonan beberapa kali hingga memukulinya sambil menangis.Mama tak henti-hentinya menyalah Jonan sampa mengatakan kalau Jonan sangatlah jahat. Namun, setelah Jonan jelaskan dengan lantang, mereka akhirnya diam tak berani bicara.“Aku nggak akan berbuat begitu sama Bagas, kalau dia nggak keterlaluan,” kata Jonan sambil memeluk Anin.Papa Berdiri tak jauh di samping Jonan sementara mama duduk di kursi besi panjang. Di belakang mereka saat ini mengobrol, ada satu

  • Suami Kedua   Part 39

    Ini bukan kemauan Jonan jika harus berangkat ke pabrik sepagi ini. Baru semalam Jonan menikmati kehangatan bersama sang istri, pagi harinya Jonan harus pergi meninggalkan Anin. Memang tidak lama, paling hanya beberapa jam saja, akan tetapi rasanya sangat berat.“Kamu nggak pa-pa aku tinggal ke pabrik kan?” Jonan bertanya sambil mengusap wajah Anin yang saat ini masih berbalut selimut.Jonan tahu, di dalam sana—di balik selimut itu—ada seonggok daging putih mulus yang semalam baru saja Jonan nikmati. Huh! Kalau terus mengingat-ingat, yang ada Jonan semakin berat untuk meninggalkan Anin.“Kamu nggak lama-lama kan?” Anin balik bertanya.“Enggak,” sahut Jonan. “Paling cuma dua jam doang, setelah itu semua kembali diurus sama Tirta.”Anin mencebikkan bibir sambil mencengkeram tepian selimut yang menutupi bagian leher. “Ya sudah, hati-hati. Maaf aku malah masih tiduran.”“Iya ...” Jonan mengusap pucuk kepala Anin kemudian memberi satu kecupan di bibir s

  • Suami Kedua   Part 38

    3 bulan berlalu …Seharian meninggalkan pernikahan Jonan dan Anin, Bagas terlihat uring-uringan di dalam kamar. Rasa sakit dikhianati Ela masih membekas, ditambah lagi dengan rasa sakit karena harus melihat pernikahan Jonan dan mantan istrinya.Di bawah sana—di lantai satu—para tamu undangan mulai berangsur-angsur meninggalkan acara. Acara pernikahan tidak digelar dengan mewah seperti pernikahan Anin dan Bagas dulu. Pernikahan Jonan dan Anin justru berlangsung sangat sederhana dengan hanya mengumpulkan para keluarga saja.Meski sederhana, setidaknya Anin menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan paling sempurna. Menikah dengan pria yang selalu ada untuknya, menikah dengan pria yang menunggunya sampai benar-benar terlepas dari mantan suaminya.Hanggoro dan Sasmita selaku orang tua mereka, tentu ikut merasakan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka sedikit khawatir dengan keadaan Bagas. Bagas sendiri sama sekali tidak muncul mulai dari awal acara hingga semuany

  • Suami Kedua   Part 37

    Pagi harinya, secara tidak sengaja Anin dan Bagas bersamaan hendak turun ke lantai dasar. Anin yang tidak mau berpikir macam-macam memilih acuh dan lebih dulu turun meninggalkan Bagas yang berjalan di belakangnya.Tanpa sepengetahuan Anin, diam-diam mata Bagas sedang curi-curi pandang dengan lekuk tubuh Anin bagian belakang. Meski Anin memakai piama tertutup, Bagas tidak bisa mengelak kalau tubuh itu terlihat begitu menarik.Hal ini jauh berbeda dari saat Anin mengenakan piama tipis ketika masih tidur bersama. Bagas bahkan tidak ada rasa ketertarikan sedikitpun pada Anin. Ya, semua nampak sudah berbeda.Sesuai kata pepatah, “Apa yang sudah dilepas, terkadang lebih menarik untuk dipandang.”“Hei Anin,” panggil Bagas saat Anin sampai di dapur.Orang yang bagas panggil sepertinya memilih tidak menggubris. Anin pura-pura tidak mendengar.“Anin.” Sekali lagi Bagas memanggil.“Ada perlu apa?” sahut Anin malas. Anin duduk sembari meneguk air putih.

  • Suami Kedua   Part 36

    “Ternyata wanita si perusak!” cemooh Ela begitu Anin keluar dari mobil.“Apa maksud kamu?” balas Anin. “Berbicaralah dengan sopan.”Ela mendecih lalu membuang muka sesaat. “Sudah bersalah, masih berani ngelawan.”“Kamu yang salah!” salak Anin. “Mobilku melaju di jalan yang benar. Kamu yang nggak hati-hati.”“Berani kamu ya!” Ela maju lalu dan hendak mencengkeram baju Anin, tapi dengan cepat Anin menangkis.“Kenapa aku harus takut? Harusnya kamu ngaca, yang perusak itu siapa? Jelas-jelas kamu!”Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Anin. Anin yang merasa kesakitan memejamkan dua matanya untuk sesaat sebelum kembali menatap Ela.“Berani sekali kamu nampar aku!” Spontan Anin mendorong tubuh Ela hingga terjatuh di atas aspal.“Ela!” teriak seseorang dari seberang jalan. “Kamu nggak pa-pa?” Sampai di hadapan mereka, Bagas membantu Ela berdiri.“ Mas Bagas,” gumam Anin.“Sakit,” rengek Ela. Wanita ini memang sen

  • Suami Kedua   Part 35

    Tidak semudah itu merencanakan pernikahan dengan Anin. Selain karena Anin baru berpisah, mendadak saja Jonan harus disibukkan dengan pekerjaan pabrik. Keesokan paginya, Jonan sudah mendapat panggilan dari karyawannya untuk terbang ke lombok menemui klien.Dua hari kemudian di siang harinya, Jonan harus berangkat dan belum tahu bagaimana cara berpamitan dengan Anin. Jonan takut kalau Anin akan marah. Jonan juga teringat bagaimana perlakuan Bagas terakhir kali pada Anin.“Aku harus bagaimana?” gumam Jonan usai panggilan terputus. “Anin pasti marah sama aku. Aku takutnya dia kecewa, tapi aku nggak mungkin membatalkan semua ini.”Jonan menggenggam kuat ponselnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dan lagi, apa Anin akan aman ditinggal di rumah ini? Jonan jadi merasa khawatir.“Jo, kamu lagi ngapain?” tanya mama saat melihat Jonan tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Anin.Jonan yang terkejut hanya bisa mengusap dada. “Kenapa mama ngagetin ak

  • Suami Kedua   Part 34

    Papa dan mama sudah membawa Bagas ke dalam kamar. Sementara Papa berdiri, mama duduk sambil mengompres luka memar di wajah Bagas.“Apa yang kamu pikirkan, Gas? Bisa-bisanya kamu ada niatan melakukan hal kotor sama Anin?” tanya papa penuh sesal.Bagas membisu. Hanya sesekali meringis menahan perih luka di wajahnya yang membiru.“Pantas saja Jonan memukuli kamu. Kamu memang sudah keterlaluan!” bentak papa. “Papa malu sempat membela kamu di depan Anin, waktu itu!”“Ma-maaf, Pa. Aku nggak sengaja,” sesal Bagas.Di samping Bagas, Mama sudah berdiri meletakkan baskom dengan air es di atas nakas. “Jangan melakukan hal itu lagi, Gas,” pinta mama. “Mama sudah cukup merasa bersalah sama Anin, kamu jangan menambahi lagi.”Bagas membuang muka ke arah samping. Kedua tangannya menangkup wajah, kemudian mendongak lagi. “Aku minta maaf, aku nggak bermaksud. Aku hanya ... entahlah, Ma. Aku merasa Anin terlihat sangat cantik.”Mama mendesah berat lalu mengusa

  • Suami Kedua   Part 33

    Kebaikan seseorang sebenarnya tidak bisa diukur, pun dengan hati tulus milik Anin. Bagaimana mereka-mereka pernah berbuat kasar pada Anin, tapi Anin dengan mudahnya memaafkan. Tak mudah menghilangkan rasa sakit, tapi Anin menganggap semua itu sebatas kesalah pahaman saja.Sejak Jonan mengatakan kalau dirinya akan menikahi Anin, Bagas terlihat murung dan sedikit frustrasi. Apalagi Bagas juga sudah tahu bagaimana kelakuan Ela yang sebenarnya. Wanita yang selalu Bagas puja ternyata justru berdusta, sedangkan wanita yang dianggap buruk ternyata dia jauh lebih baik.Meninggalkan kekacauan beberapa hari yang lalu, Bagas hanya bisa meratapi nasibnya saat ini. Hampir setiap hari Bagas bertemu dengan Anin, tapi hanya sebatas berpapasan saja. Ingin rasanya Bagas meraih dan memeluk Anin. Namun, hal itu tak mungkin bisa Bagas lakukan.“Kenapa kamu terlihat cantik, Anin?” gumam Bagas saat sedang memandangi Anin yang sedang membantu Bibi Niah memasak. “Aku baru sadar kalau kamu

  • Suami Kedua   Part 32

    Anin terkejut saat tiba-tiba Jonan muncul dari belakang. Anin tak bisa berkata-kata untuk sesaat selain menatap ke arah Nana.“Aku tinggalkan kalian berdua,” kata Nana kemudian sambil mengusap lengan Anin. Nana sempat tersenyum sebelum pergi meninggalkan Anin.Setelah Nana benar-benar sudah pergi, Anin dan Jonan hanya saling lirik dan tersenyum tipis.“Bicara saja di mobilku,” ajak Jonan pada Anin.Anin tak menjawab, tapi juga tidak menolak. Anin mau saja saat Jonan menuntunnya dan membawanya menyeberangi jalan.Jonan membukakan pintu mobil belakang. “Masuk,” pinta Jonan. Lagi-lagi Anin menurut saja.Anin sudah masuk, lantas Jonan memutari mobil dan ikut masuk. Tidak ada percakapan untuk beberapa saat sampai Jonan sudah merasa nyaman dengan posisi duduknya.“Anin,” panggil Jonan lirih. Anin menoleh. “Ngapain kamu pergi dari rumah?”Anin menunduk sambil melihat kedua tangannya yang saling memilin. Jonan tahu Anin sedang gemetaran.

DMCA.com Protection Status