Tidak semudah itu merencanakan pernikahan dengan Anin. Selain karena Anin baru berpisah, mendadak saja Jonan harus disibukkan dengan pekerjaan pabrik. Keesokan paginya, Jonan sudah mendapat panggilan dari karyawannya untuk terbang ke lombok menemui klien.
Dua hari kemudian di siang harinya, Jonan harus berangkat dan belum tahu bagaimana cara berpamitan dengan Anin. Jonan takut kalau Anin akan marah. Jonan juga teringat bagaimana perlakuan Bagas terakhir kali pada Anin.
“Aku harus bagaimana?” gumam Jonan usai panggilan terputus. “Anin pasti marah sama aku. Aku takutnya dia kecewa, tapi aku nggak mungkin membatalkan semua ini.”
Jonan menggenggam kuat ponselnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dan lagi, apa Anin akan aman ditinggal di rumah ini? Jonan jadi merasa khawatir.
“Jo, kamu lagi ngapain?” tanya mama saat melihat Jonan tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Anin.
Jonan yang terkejut hanya bisa mengusap dada. “Kenapa mama ngagetin ak
“Ternyata wanita si perusak!” cemooh Ela begitu Anin keluar dari mobil.“Apa maksud kamu?” balas Anin. “Berbicaralah dengan sopan.”Ela mendecih lalu membuang muka sesaat. “Sudah bersalah, masih berani ngelawan.”“Kamu yang salah!” salak Anin. “Mobilku melaju di jalan yang benar. Kamu yang nggak hati-hati.”“Berani kamu ya!” Ela maju lalu dan hendak mencengkeram baju Anin, tapi dengan cepat Anin menangkis.“Kenapa aku harus takut? Harusnya kamu ngaca, yang perusak itu siapa? Jelas-jelas kamu!”Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Anin. Anin yang merasa kesakitan memejamkan dua matanya untuk sesaat sebelum kembali menatap Ela.“Berani sekali kamu nampar aku!” Spontan Anin mendorong tubuh Ela hingga terjatuh di atas aspal.“Ela!” teriak seseorang dari seberang jalan. “Kamu nggak pa-pa?” Sampai di hadapan mereka, Bagas membantu Ela berdiri.“ Mas Bagas,” gumam Anin.“Sakit,” rengek Ela. Wanita ini memang sen
Pagi harinya, secara tidak sengaja Anin dan Bagas bersamaan hendak turun ke lantai dasar. Anin yang tidak mau berpikir macam-macam memilih acuh dan lebih dulu turun meninggalkan Bagas yang berjalan di belakangnya.Tanpa sepengetahuan Anin, diam-diam mata Bagas sedang curi-curi pandang dengan lekuk tubuh Anin bagian belakang. Meski Anin memakai piama tertutup, Bagas tidak bisa mengelak kalau tubuh itu terlihat begitu menarik.Hal ini jauh berbeda dari saat Anin mengenakan piama tipis ketika masih tidur bersama. Bagas bahkan tidak ada rasa ketertarikan sedikitpun pada Anin. Ya, semua nampak sudah berbeda.Sesuai kata pepatah, “Apa yang sudah dilepas, terkadang lebih menarik untuk dipandang.”“Hei Anin,” panggil Bagas saat Anin sampai di dapur.Orang yang bagas panggil sepertinya memilih tidak menggubris. Anin pura-pura tidak mendengar.“Anin.” Sekali lagi Bagas memanggil.“Ada perlu apa?” sahut Anin malas. Anin duduk sembari meneguk air putih.
3 bulan berlalu …Seharian meninggalkan pernikahan Jonan dan Anin, Bagas terlihat uring-uringan di dalam kamar. Rasa sakit dikhianati Ela masih membekas, ditambah lagi dengan rasa sakit karena harus melihat pernikahan Jonan dan mantan istrinya.Di bawah sana—di lantai satu—para tamu undangan mulai berangsur-angsur meninggalkan acara. Acara pernikahan tidak digelar dengan mewah seperti pernikahan Anin dan Bagas dulu. Pernikahan Jonan dan Anin justru berlangsung sangat sederhana dengan hanya mengumpulkan para keluarga saja.Meski sederhana, setidaknya Anin menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan paling sempurna. Menikah dengan pria yang selalu ada untuknya, menikah dengan pria yang menunggunya sampai benar-benar terlepas dari mantan suaminya.Hanggoro dan Sasmita selaku orang tua mereka, tentu ikut merasakan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka sedikit khawatir dengan keadaan Bagas. Bagas sendiri sama sekali tidak muncul mulai dari awal acara hingga semuany
Ini bukan kemauan Jonan jika harus berangkat ke pabrik sepagi ini. Baru semalam Jonan menikmati kehangatan bersama sang istri, pagi harinya Jonan harus pergi meninggalkan Anin. Memang tidak lama, paling hanya beberapa jam saja, akan tetapi rasanya sangat berat.“Kamu nggak pa-pa aku tinggal ke pabrik kan?” Jonan bertanya sambil mengusap wajah Anin yang saat ini masih berbalut selimut.Jonan tahu, di dalam sana—di balik selimut itu—ada seonggok daging putih mulus yang semalam baru saja Jonan nikmati. Huh! Kalau terus mengingat-ingat, yang ada Jonan semakin berat untuk meninggalkan Anin.“Kamu nggak lama-lama kan?” Anin balik bertanya.“Enggak,” sahut Jonan. “Paling cuma dua jam doang, setelah itu semua kembali diurus sama Tirta.”Anin mencebikkan bibir sambil mencengkeram tepian selimut yang menutupi bagian leher. “Ya sudah, hati-hati. Maaf aku malah masih tiduran.”“Iya ...” Jonan mengusap pucuk kepala Anin kemudian memberi satu kecupan di bibir s
Jonan tak peduli bagaimana dengan keadaan Bagas saat ini. Apapun yang menyangkut Anin, maka Jonan tidak akan tinggal diam. Apalagi menyangkut sesuatu hal yang sangat membahayakan Anin. Setelah penjaga rumah menelpon papa dan mama, Bagas tentunya langsung dilarikan ke rumah sakit.Papa dan mama sempat menyalahkan Jonan saat baru menjumpai bagaimana keadaan Bagas yang sudah babak belur. Mereka menyalahkan Jonan karena dianggap tidak punya perasaan dan terlalu hanyut dalam emosi. Mama bahkan sempat meneriaki Jonan beberapa kali hingga memukulinya sambil menangis.Mama tak henti-hentinya menyalah Jonan sampa mengatakan kalau Jonan sangatlah jahat. Namun, setelah Jonan jelaskan dengan lantang, mereka akhirnya diam tak berani bicara.“Aku nggak akan berbuat begitu sama Bagas, kalau dia nggak keterlaluan,” kata Jonan sambil memeluk Anin.Papa Berdiri tak jauh di samping Jonan sementara mama duduk di kursi besi panjang. Di belakang mereka saat ini mengobrol, ada satu
Pernikahan yang megah, tak selalu menjamin kebahagiaan di baliknya. Susana bahagia nan sakral pagi itu, ternyata menjadi petaka kala malam datang. Pria yang berstatus menjadi suami, mendadak berubah karena suatu hal. Menyerah atau berlanjut?Malam itu, saat usai pernikahan ...“Beruntung aku belum menjamah kamu!” suara lantang itu memekik gendang telinga Anin. Suaranya terdengar menusuk dan sangat nyaring. “Dasar wanita murahan!” hardiknya lagi penuh hinaan.“Aku bukan wanita seperti itu, Mas!” sahut Anin membela diri. “Jangan percaya dengan foto itu. Itu hanya salah paham.”Anin masih terduduk memandangi sang suami yang tengah menyalak.Bagas mendecih. “Jangan sok polos kamu. Bilang saja padaku, sudah berapa banyak pria yang menidurimu?”Degh! Dada Anin terasa sakit tatkala kalimat itu menyobek raga. Kalimat yang menurut Anin sangatlah keterlaluan.“Tega sekali kamu berkata begitu!” sahut Anin. “Aku bukan wanita murahan, Mas.”
Semburat sang surya di luar sana, sudah mulai menembus melalui sela-sela jendela. Anin yang memang sudah bangun sejak subuh tadi, tentunya mulai disibukkan dengan rutinitasnya menyiapkan pakaian sang suami.“Mana bajuku?” tanya Bagas ketika sudah keluar dari kamar mandi. “Jangan lupa sepatu dan tasku.”“Ini baju kamu, Mas” Anin meletakkan setelan jas untuk Bagas di atas ranjang. “Aku ambilkan sepatu kamu dulu.”“Cepat! Jangan lama-lama. Aku sudah kesiangan.”Anin berbalik cepat dari ruangan yang dikhususkan untuk menaruh koleksi sepatu dan barang pribadi milik Bagas.“Ini,” kata Anin kemudian.Bagas duduk di tepi ranjang sambil mengancing kemejanya. “Pakaikan, cepat!” perintah Bagas.Meskipun sentakan itu sudah menjadi makanan Anin setiap pagi, tapi tetap saja Anin masih sering terhenyak dan kaget. Bahkan kadang rasanya lebih sakit saat Anin terlalu memikirkannya.Tanpa berpamitan layaknya suami istri pada umumnya, Bagas yang s
Kalimat-kalimat yang Jonan katakan pagi tadi, tak mudah untuk Anin abaikan begitu saja. Jika biasanya Jonan hanya sekedar menggodanya atau menyindir hal-hal sepele, tapi kali ini Jonan justru mulai menjerumus.Anin yang memang tak tahan menyimpan rahasianya sendiri, ia selalu memilih meluapkannya pada sahabat dari semasa kecil.“Apa ada masalah lagi?” tanya Nana.Anin yang sedang duduk di atas ayunan, terlihat tersenyum pias. “Aku memang selalu ada masalah ....”Nana menyeret kursi lebih dekat ke samping Anin lalu duduk. “Bukan begitu ... tapi masalah yang lain.”Anin menghentikan gerak ayunannya. “Aku capek, Na,” desah Anin. “Aku ingin menyudahi semuanya, tapi bagaimana?”“Kalau begitu, kamu sudahi saja,” sahut Nana. “Beranikan diri.”Anin mendesah kemudian mendongakkan wajah. Memandangi birunya langit untuk sesaat, kemudian Anin menoleh ke arah Nana dengan senyum getir. “Nggak semudah itu, Na.”Membalas senyum tipis yang tak
Jonan tak peduli bagaimana dengan keadaan Bagas saat ini. Apapun yang menyangkut Anin, maka Jonan tidak akan tinggal diam. Apalagi menyangkut sesuatu hal yang sangat membahayakan Anin. Setelah penjaga rumah menelpon papa dan mama, Bagas tentunya langsung dilarikan ke rumah sakit.Papa dan mama sempat menyalahkan Jonan saat baru menjumpai bagaimana keadaan Bagas yang sudah babak belur. Mereka menyalahkan Jonan karena dianggap tidak punya perasaan dan terlalu hanyut dalam emosi. Mama bahkan sempat meneriaki Jonan beberapa kali hingga memukulinya sambil menangis.Mama tak henti-hentinya menyalah Jonan sampa mengatakan kalau Jonan sangatlah jahat. Namun, setelah Jonan jelaskan dengan lantang, mereka akhirnya diam tak berani bicara.“Aku nggak akan berbuat begitu sama Bagas, kalau dia nggak keterlaluan,” kata Jonan sambil memeluk Anin.Papa Berdiri tak jauh di samping Jonan sementara mama duduk di kursi besi panjang. Di belakang mereka saat ini mengobrol, ada satu
Ini bukan kemauan Jonan jika harus berangkat ke pabrik sepagi ini. Baru semalam Jonan menikmati kehangatan bersama sang istri, pagi harinya Jonan harus pergi meninggalkan Anin. Memang tidak lama, paling hanya beberapa jam saja, akan tetapi rasanya sangat berat.“Kamu nggak pa-pa aku tinggal ke pabrik kan?” Jonan bertanya sambil mengusap wajah Anin yang saat ini masih berbalut selimut.Jonan tahu, di dalam sana—di balik selimut itu—ada seonggok daging putih mulus yang semalam baru saja Jonan nikmati. Huh! Kalau terus mengingat-ingat, yang ada Jonan semakin berat untuk meninggalkan Anin.“Kamu nggak lama-lama kan?” Anin balik bertanya.“Enggak,” sahut Jonan. “Paling cuma dua jam doang, setelah itu semua kembali diurus sama Tirta.”Anin mencebikkan bibir sambil mencengkeram tepian selimut yang menutupi bagian leher. “Ya sudah, hati-hati. Maaf aku malah masih tiduran.”“Iya ...” Jonan mengusap pucuk kepala Anin kemudian memberi satu kecupan di bibir s
3 bulan berlalu …Seharian meninggalkan pernikahan Jonan dan Anin, Bagas terlihat uring-uringan di dalam kamar. Rasa sakit dikhianati Ela masih membekas, ditambah lagi dengan rasa sakit karena harus melihat pernikahan Jonan dan mantan istrinya.Di bawah sana—di lantai satu—para tamu undangan mulai berangsur-angsur meninggalkan acara. Acara pernikahan tidak digelar dengan mewah seperti pernikahan Anin dan Bagas dulu. Pernikahan Jonan dan Anin justru berlangsung sangat sederhana dengan hanya mengumpulkan para keluarga saja.Meski sederhana, setidaknya Anin menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan paling sempurna. Menikah dengan pria yang selalu ada untuknya, menikah dengan pria yang menunggunya sampai benar-benar terlepas dari mantan suaminya.Hanggoro dan Sasmita selaku orang tua mereka, tentu ikut merasakan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka sedikit khawatir dengan keadaan Bagas. Bagas sendiri sama sekali tidak muncul mulai dari awal acara hingga semuany
Pagi harinya, secara tidak sengaja Anin dan Bagas bersamaan hendak turun ke lantai dasar. Anin yang tidak mau berpikir macam-macam memilih acuh dan lebih dulu turun meninggalkan Bagas yang berjalan di belakangnya.Tanpa sepengetahuan Anin, diam-diam mata Bagas sedang curi-curi pandang dengan lekuk tubuh Anin bagian belakang. Meski Anin memakai piama tertutup, Bagas tidak bisa mengelak kalau tubuh itu terlihat begitu menarik.Hal ini jauh berbeda dari saat Anin mengenakan piama tipis ketika masih tidur bersama. Bagas bahkan tidak ada rasa ketertarikan sedikitpun pada Anin. Ya, semua nampak sudah berbeda.Sesuai kata pepatah, “Apa yang sudah dilepas, terkadang lebih menarik untuk dipandang.”“Hei Anin,” panggil Bagas saat Anin sampai di dapur.Orang yang bagas panggil sepertinya memilih tidak menggubris. Anin pura-pura tidak mendengar.“Anin.” Sekali lagi Bagas memanggil.“Ada perlu apa?” sahut Anin malas. Anin duduk sembari meneguk air putih.
“Ternyata wanita si perusak!” cemooh Ela begitu Anin keluar dari mobil.“Apa maksud kamu?” balas Anin. “Berbicaralah dengan sopan.”Ela mendecih lalu membuang muka sesaat. “Sudah bersalah, masih berani ngelawan.”“Kamu yang salah!” salak Anin. “Mobilku melaju di jalan yang benar. Kamu yang nggak hati-hati.”“Berani kamu ya!” Ela maju lalu dan hendak mencengkeram baju Anin, tapi dengan cepat Anin menangkis.“Kenapa aku harus takut? Harusnya kamu ngaca, yang perusak itu siapa? Jelas-jelas kamu!”Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Anin. Anin yang merasa kesakitan memejamkan dua matanya untuk sesaat sebelum kembali menatap Ela.“Berani sekali kamu nampar aku!” Spontan Anin mendorong tubuh Ela hingga terjatuh di atas aspal.“Ela!” teriak seseorang dari seberang jalan. “Kamu nggak pa-pa?” Sampai di hadapan mereka, Bagas membantu Ela berdiri.“ Mas Bagas,” gumam Anin.“Sakit,” rengek Ela. Wanita ini memang sen
Tidak semudah itu merencanakan pernikahan dengan Anin. Selain karena Anin baru berpisah, mendadak saja Jonan harus disibukkan dengan pekerjaan pabrik. Keesokan paginya, Jonan sudah mendapat panggilan dari karyawannya untuk terbang ke lombok menemui klien.Dua hari kemudian di siang harinya, Jonan harus berangkat dan belum tahu bagaimana cara berpamitan dengan Anin. Jonan takut kalau Anin akan marah. Jonan juga teringat bagaimana perlakuan Bagas terakhir kali pada Anin.“Aku harus bagaimana?” gumam Jonan usai panggilan terputus. “Anin pasti marah sama aku. Aku takutnya dia kecewa, tapi aku nggak mungkin membatalkan semua ini.”Jonan menggenggam kuat ponselnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dan lagi, apa Anin akan aman ditinggal di rumah ini? Jonan jadi merasa khawatir.“Jo, kamu lagi ngapain?” tanya mama saat melihat Jonan tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Anin.Jonan yang terkejut hanya bisa mengusap dada. “Kenapa mama ngagetin ak
Papa dan mama sudah membawa Bagas ke dalam kamar. Sementara Papa berdiri, mama duduk sambil mengompres luka memar di wajah Bagas.“Apa yang kamu pikirkan, Gas? Bisa-bisanya kamu ada niatan melakukan hal kotor sama Anin?” tanya papa penuh sesal.Bagas membisu. Hanya sesekali meringis menahan perih luka di wajahnya yang membiru.“Pantas saja Jonan memukuli kamu. Kamu memang sudah keterlaluan!” bentak papa. “Papa malu sempat membela kamu di depan Anin, waktu itu!”“Ma-maaf, Pa. Aku nggak sengaja,” sesal Bagas.Di samping Bagas, Mama sudah berdiri meletakkan baskom dengan air es di atas nakas. “Jangan melakukan hal itu lagi, Gas,” pinta mama. “Mama sudah cukup merasa bersalah sama Anin, kamu jangan menambahi lagi.”Bagas membuang muka ke arah samping. Kedua tangannya menangkup wajah, kemudian mendongak lagi. “Aku minta maaf, aku nggak bermaksud. Aku hanya ... entahlah, Ma. Aku merasa Anin terlihat sangat cantik.”Mama mendesah berat lalu mengusa
Kebaikan seseorang sebenarnya tidak bisa diukur, pun dengan hati tulus milik Anin. Bagaimana mereka-mereka pernah berbuat kasar pada Anin, tapi Anin dengan mudahnya memaafkan. Tak mudah menghilangkan rasa sakit, tapi Anin menganggap semua itu sebatas kesalah pahaman saja.Sejak Jonan mengatakan kalau dirinya akan menikahi Anin, Bagas terlihat murung dan sedikit frustrasi. Apalagi Bagas juga sudah tahu bagaimana kelakuan Ela yang sebenarnya. Wanita yang selalu Bagas puja ternyata justru berdusta, sedangkan wanita yang dianggap buruk ternyata dia jauh lebih baik.Meninggalkan kekacauan beberapa hari yang lalu, Bagas hanya bisa meratapi nasibnya saat ini. Hampir setiap hari Bagas bertemu dengan Anin, tapi hanya sebatas berpapasan saja. Ingin rasanya Bagas meraih dan memeluk Anin. Namun, hal itu tak mungkin bisa Bagas lakukan.“Kenapa kamu terlihat cantik, Anin?” gumam Bagas saat sedang memandangi Anin yang sedang membantu Bibi Niah memasak. “Aku baru sadar kalau kamu
Anin terkejut saat tiba-tiba Jonan muncul dari belakang. Anin tak bisa berkata-kata untuk sesaat selain menatap ke arah Nana.“Aku tinggalkan kalian berdua,” kata Nana kemudian sambil mengusap lengan Anin. Nana sempat tersenyum sebelum pergi meninggalkan Anin.Setelah Nana benar-benar sudah pergi, Anin dan Jonan hanya saling lirik dan tersenyum tipis.“Bicara saja di mobilku,” ajak Jonan pada Anin.Anin tak menjawab, tapi juga tidak menolak. Anin mau saja saat Jonan menuntunnya dan membawanya menyeberangi jalan.Jonan membukakan pintu mobil belakang. “Masuk,” pinta Jonan. Lagi-lagi Anin menurut saja.Anin sudah masuk, lantas Jonan memutari mobil dan ikut masuk. Tidak ada percakapan untuk beberapa saat sampai Jonan sudah merasa nyaman dengan posisi duduknya.“Anin,” panggil Jonan lirih. Anin menoleh. “Ngapain kamu pergi dari rumah?”Anin menunduk sambil melihat kedua tangannya yang saling memilin. Jonan tahu Anin sedang gemetaran.