Memang cinta terkadang tidak pandang bulu. Mungkin itu sepatah kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Bagas saat ini. Di saat menjelang acara penting nanti malam, bukannya pergi berbelanja bersama sang istri, Bagas justru memilih berkencan dengan wanita lain.
Tentu saja itu adalah Ela. Wanita berparas cantik yang berstatus selingkuhan Bagas. Begitulah Anin menyebutnya. Mau Bagas berpenampilan asing—memakai masker—atau apapun itu, Anin yang sudah terlanjur memergoki mereka berdua hanya bisa mengelus dada.
“Kenapa kamu diam saja?” tanya Nana saat Anin terus memandangi sosok pria kekar bertopi dan memakai masker itu. “Harusnya kamu datangi mereka, Anin.”
Nana tahu siapa itu tanpa Anin memberi tahu. Dari pandangan Anin yang sendu dan postur tubuh pria yang sedang bersama seorang wanita itu, Nana dengan mudah bisa menebak.
Anin kemudian mendesah dan berbalik arah. “Sudahlah, nggak penting,” lirih Anin. “Toh sebentar lagi aku dan dia akan berpisah.”
“Apa maksud kamu?” Nana melebarkan kedua tangan—menghalangi langkah Anin. “Siapa yang mau ninggalin kamu?”
Anin tersenyum getir. Membalas tatapan Nana, Anin lantas menurunkan tangan Nana sebelah kanan. “Tentu saja Bagas.” Anin berjalan lagi.
“Sungguh?” pekik Nana yang dengan cepat mensejajari langkah Anin.
Anin mengangguk. “Harusnya aku senang karena bisa lepas dari Bagas,” kata Anin pelan. Dua kakinya berbelok masuk ke sebuah butik.
Nana mengikuti dengan langkah buru-buru. “Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu mendadak bilang kalau Bagas akan ninggalin kamu?
Anin berjalan mendekati sebuah manekin yang berbalut dress berwarna kuning. “Sebentar lagi, apa yang Bagas inginkan akan tercapai. Saat itu juga, mungkin Bagas akan langsung menceraikan aku.”
“Apa ini tentang perusahaan?” tanya Nana penasaran.
Anin beralih ke deretan baju yang menggantung rapi di lemari dengan pintu kaca terbuka lebar. “Apa ini cocok untuk aku?” tanya Anin saat satu dress menempel di depan dada.
“Aniiin!” tekan Nana saat Anin justru mengalihkan topik pembicaraan.
“Apa?” saur Anin santai. “Bagus kan?” Anin masih menempelkan dress tersebut di badanya.
“Jangan mengalihkan pembicaraan!” hardik Nana yang kemudian menjambret dress tersebut dari tangan Anin.
Anin melengos ke arah kursi panjang di sudut ruangan kemudian menghampiri dan duduk. “Bukan begitu ... aku hanya sedang bingung.”
Nana ikut duduk setelah menggantung lagi dress tersebut ke tempat semula. “Aku tahu ... tapi jangan begini. Yang ada kamu bisa stres,” ujar Nana.
“Hei, Nana,” panggil Anin tiba-tiba. Anin menoleh sambil meraih tangan Nana. “Apa masih ada lowongan di restoran tempat kamu bekerja?”
“Apa sih!” tepis Nana saat itu. “Kok kamu malah semakin ngelantur?”
“Siapa sih, yang ngelantur?” timpal Anin. “Aku cuma sedang mempersiapkan semuanya sebelum lepas dari Bagas.”
“Dengar ....” Nana meraih kedua pundak Anin. “Aku tahu kamu stres, bingung atau apapun itu. Tapi ... jangan jadikan masalah ini sebagai beban tambahan. Pikirkan kalau kau sebentar lagi memang akan bebas. Bagaimana kehidupanmu nanti, pikir belakangan.” Nana mengangguk-angguk meminta persetujuan.
Apa yang Nana katakan, mungkin sebaiknya Anin praktikkan. Bayangkan saja bahwa Anin akan segera terbebas dari jerat pernikahan yang tidak jelas kelanjutannya. Anin akan memikirkan cara yang Nana ucapkan.
“Anin, kita pisah di sini ya?” kata Nana saat sudah berada di halaman butik. “Mamaku SMS. Dia nyuruh aku pulang sekarang.”
Menyampirkan tas cangklong yang merosot, Anin kemudian mengangguk. “Baiklah ... jangan lupa datang, nanti malam,” kata Anin.
Nana mengangkat tangan kemudian menautkan dua jarinya dan membiarkan tiga jari lain tetap berdiri. Setelah Anin melambaikan tangan, Nana segera masuk ke dalam mobil dan bergegas pergi.
Setelah mobil Nana sudah tak terlihat, Anin pun masuk ke dalam mobilnya sendiri. Namun, sebelum itu, Anin terlihat toleh sana sini seperti sedang mencari sesuatu.
“Mobil Bagas masih di sana, itu artinya mereka berdua masih di dalam restoran,” batin Anin.
Didorong rasa penasaran, Anin menutup kembali pintu mobilnya dan memilih melangkahkan kaki mendekati area restoran. Semakin merasa tak sabar, Anin memberanikan diri masuk ke dalam restoran dan menghampiri mereka berdua.
“Hai,” sapa Anin.
Sapaan itu terdengar seperti satu kata bodoh yang keluar dari mulut orang yang tengah mengalami guncangan. Dengan polosnya Anin justru menyapa mereka berdua seolah merasa tak tersakiti sama sekali.
“Anin,” pekik Bagas dan Ela bersamaan.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Bagas sambil memantau pandangan di balik punggung Anin. “Sama siapa kamu?”
Anin tersenyum getir. “Tenang, aku cuma sendirian kok.” Anin kemudian mengamati beberapa paperbag yang berada di kursi kosong di samping Ela.
Selama menikah, Anin bahkan tidak pernah sama sekali dibelikan sesuatu oleh Bagas. Sekalipun itu barang sepele seperti makan ringan mungkin, tapi nyatanya Anin memang tidak pernah mendapatkan itu.
Anin tak bisa menyalahkan Bagas seratus persen atas sikap acuh tersebut. Toh sampai detik ini, Anin sendiri tidak bisa menunjukkan bukti tepat yang menunjukkan kalau foto di kelab itu hanyalah kesalahpahaman.
Mungkin Bagas merasa kecewa dan dikhianati saat itu. Karena Anin memang terlalu berpikiran baik.
“Apa kamu sudah menyiapkan semuanya untuk nanti malam?” tanya Anin gugup.
“Sudah,” jawab Bagas acuh. “Kamu pulang saja sana, aku masih ada perlu.”
Betapa bodohnya Anin karena mau menghampiri mereka berdua. Anin harusnya tahu kalau Bagas tidak akan peduli.
“Aku cuma mau kasih ini.” Anin merogoh tasnya. Setelah mendapatkan barang dari dalam tas itu, tangan Anin keluar dengan menggenggam boks persegi berwarna mewah. “Semoga nanti malam acaranya lancar.”
“Apa ini?” tanya Bagas. “Kamu tidak usah membelikan apa-apa untukku. Aku sudah punya segalanya.”
Ela yang masih duduk, terlihat tersenyum ngeledek. Anin tentunya tahu itu.
“Nggak pa-pa, itu hanya sebuah dasi. Mau kamu pakai silahkan, nggak juga silahkan,” kata Anin kemudian. “Kalau gitu, aku pergi. Maaf udah ganggu.”
Anin berbalik badan. Tubuhnya mendadak gemetaran dan terasa kaku untuk melangkah. Anin mencoba menarik napas panjang sambil menekan dada. Memejamkan mata sesaat, dan setelah merasa tenang Anin mulai melangkahkan kaki.
“Anin! Kamu memang bodoh!” seloroh Anin pada diri sendiri. Anin masuk kedalam mobil dan langsung membanting punggung—bersandar pada jok.
“Kenapa juga aku harus menghampiri mereka?” Anin masih mengutuki diri sendiri. “Dasar bodoh! Kamu kira Bagas akan kaget lalu minta maaf karena kepergok jalan dengan wanita lain? Tidak! Dasar Anin bodoh!”
“Sebaiknya aku pulang,” kata Anin kemudian. “Sebentar lagi sore. Aku juga harus bersiap-siap.”
Anin memasang sabuk pengaman kemudian tancap gas melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Drt ... drt ... drt ...
Ponsel Anin bergetar. Anin memperlambat laju mobil dan langsung menelusupkan satu tangan ke dalam tas—mengambil ponsel.
“Jonan?” pekik Anin saat nama Jonan terpampang di layar depan.
***
“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Anin begitu sampai dan sudah duduk di sebuah kafe.“Nggak pa-pa, cuma pengen ngajak makan saja,” kata Jonan santai. “Sudah jadi beli baju?” tanya Jonan kemudian.Anin meletakkan tas jinjingnya di kursi sebelahnya. “Sudah. Tadi beli sama Nana,” jawab Anin.“Yah,” desah Jonan. “Padahal aku sudah belikan kamu baju lho.” menampakkan wajah sesal.“Untuk apa? Aku kan bisa beli baju sendiri,” saur Anin lagi. “Sudah ya, aku mau pulang.” Anin tiba-tiba berdiri.“Tunggu!” Jonan ikut berdiri dan mencegah Anin untuk pergi. “Temani aku makan dulu.”“Malas ah!” tepis Anin. “Aku udah pengen pulang.” Wajah Anin berubah merengut.Jonan menyusuri sebentar ekspresi yang tergambar di wajah Anin. Kemungkinan Anin sedang marah atau apapun itu yang jelas pasti sedang merasa jengkel.“Oke. Ayo pulang.” Jonan menyerah.Pada akhirnya Jonan gagal makan siang hanya karena tak ditemani oleh Anin. Bukan itu masal
Sesampainya di halaman rumah, Jonan tidak langsung keluar dari mobil. Usai melepas sabuk pengaman, Jonan meraih tangan Anin. Anin yang hampir membuka pintu seketika duduk kembali.“Ada apa?” tanya Anin.Masih menggenggam tangan Anin, Jonan setengah berdiri kemudian menghadap ke jok belakang. Satu tangannya menjulur meraih paper bag berwarna hitam.“Ini untuk kamu,” kemudian Jonan menyodorkan paper bag tersebut.“Apa ini?” tanya Anin sambil memgamati paper bag yang berada dalam pangkuannya.“Kan tadi aku sudag bilang, aku membelikan baju untukmu,” jawab Jonan. “Kalau kau mau, silahkan pakai. Kalau nggak, kamu bisa menyimpannya.”Anin terdiam lalu tangannya merogoh masuk ke dapam paper bag. Kini dua tangannya mencengkeram setiap ujung pundak dres tersebut lalu menjembrengnya. “Sungguh ini untukku?”Dress simpel dengan pita di bagian pinggang, lengan bernahan brukat, semua wanita pasti akan terlihat cantik saat mengenakannya.Jona
Hari sudah mulai gelap, para tamu juga sudah berkumpul di aula hotel yang luas. Semua para pesohor juga sudah siap menyambut keluarga Hanggoro yang pastinya akan menjadi pusat perhatian selama acara dimulai hingga akhir.Demi melancarkan acara malam ini, Bagas terpaksa harus bergandengan dengan Anin. Berpura-pura menjadi pasangan bahagia seperti biasanya. Sosok Ela yang sebenarnya juga hadir, hanya bisa memandang pias dari kejauhan.Ucapan demi ucapan, bergantian terlontar untuk Bagas dan Anin. Ucapan selamat atas resminya menjadi pemilik perusahaan Hanggoro yang lain, menjadikan Jonan dipandang sosok yang saat ini sedang dibangga-banggakan. Harusnya Anin ikut berbangga, tapi tentunya tidak. Anin justru terlihat muram dan hanya bisa tersenyum tipis menyambut para tamu undangan yang lain.“Anin, kamu nggak pa-pa?” bisik Mama. “Kamu nggak enak badan?”Anin tersenyum. “Nggak, Ma. Aku baik-baik saja kok.”Anin kembali menoleh ke arah para tamu lagi. Sa
Meninggalkan area hotel, Jonan berpikir sebaiknya segera mencari kebenaran tentang foto itu. Jonan sebenarnya terlalu lambat untuk mencari bukti. Akan tetapi, itu bukan berarti Jonan tidak peduli dengan Anin. Jonan sangat peduli, sungguh peduli. Namun, Jonan hanya sedang memperlambat semuanya.Jangan katakan Jonan termasuk pria jahat karena membiarkan pernikahan Bagas dan Anin terus berlanjut. Jonan terlalu mencintai Anin sehingga memilih membiarkan Anin tetap di sisi Bagas sampai Anin benar-benar merasa lelah.Menurut Jonan, mungkin inilah saatnya mencari tahu supaya bisa segera membebaskan Anin dari tuduhan Bagas.“Mungkinkah itu kelab di mana Anin pernah dijebak?” batin Jonan saat mendapati Ela turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam kelab.“Ela memang ada hubungannya dengan foto itu.”Jonan menepikan mobil kemudian turun. Berdiri sejenak di halaman tempat hiburan malam tersebut, membuat Jonan bergidik ngeri saat membayangkan dirinya
Sudah lumayan jauh meninggalkan area hotel, Jonan tak kunjung menemukan restoran yang katanya buka dua puluh empat jam. Anin yang mulai pegal karena terus berjalanpun mulai mengeluh lelah. Sementara Jonan, seperti lupa kalau Anin tengah kelaparan, Ia justru masih berlenggak sambil sesekali memejamkan mata menikmati udara malam hari.Menyadari Anin tidak ada di sampingnya lagi, Jonan sontak berhenti. Memutar balik badannya, Jonan seketika mendesah tatkala melihat Anin tengah membungkuk dengan pandangan menatap jalan beraspal.“Oh, astaga!” pekik Jonan kemudian. Ia baru teringat akan sesuatu.Sebelum terjadi apa-apa pada Anin, Jonan segera berlari menghampirinya yang masih membungkuk sambil mengatur napas.“E, Anin. Aku … e …”“Cukup!” hardik Anin sambil menatap kedua kaki Jonan yang beralaskan sandal kulit.Jonan garuk-garuk kepala sambil meringis getir. Ia tahu kalau setelah ini Anin pasti akan teriak marah-marah.Anin menegakka
Pagi harinya, Anin sudah dikejutkan dengan sosok Bagas yang ternyata sudah tidur di sampingnya. Bagas tidur dalam posisi miring ke arah tembok. Meskipun tidur seranjang, toh bagi Anin tetap merasa sedang tidur sendirian.“Sejak kapan Mas Bagas balik ke hotel?” Anin bertanya-tanya.Sebelum Bagas terbangun, Anin lebih dulu beranjak dari tempat tidur. Duduk di tepi ranjang, Anin menggulung rambut panjannya ke atas. Setelah itu Anin mengambil handuk di atas gantungan dan pergi mandi.Acara semalam memang lumayan meriah karena ada riuh tepuk tangan dan berbagai ucapan selamat dari para tamu undangan. Namun, bagi Anin, acara semalam adalah satu acara yang begitu membosankan.Berpindah dari Anin yang sedang mandi, Hanggoro dan Sasmita juga sudah terbangun dan sedang berbenah untuk kembali pulang ke rumah. Sementara Hanggoro sedang melipat lengan bajunya, Sasmita nampak sedang bercermin sambil menyisir rambut. Tidak jauh dari posisi mereka, ada sebuah koper beruk
Anin sudah dipindahkan ke dalam kamar. Ia saat ini tengah duduk bersandar pada dinding ranjang dengan kedua kali lurus saling menyilang. Di atas pangkuan, Anin meletakkan satu bantal guling sementara dua tangannya saling menggenggam.Tak jauh dari posisinya, nampak Bagas sedang membawakan makanan untuk Anin. Ya … Anin memang pingsan karena kelaparan. Sudah dari semalam Anin tidak makan.Anin tak mau mengingat kejadian semalam. Bukan pertama kali Jonan menggoda Anin hingga terlewat batas. Namun anehnya, Anin tak pernah bisa marah. Mungkinkah karena Anin rindu belaian?"Terimakasih sudah perhatian sama aku," kata Anin saat Bagas sudah meletakkan nampan berisi nasi dan lauk pauk-pauk.Bagas melengos. “Nggak usah kepedean. Aku hanya nggak mau mama dan papa curiga.”Anin ingin mengutuki dirinya yang sangat bodoh. Harusnya Anin sadar kalau Jonan tidak mungkin benar-benar peduli apalagi sampai perhatian. Semua hanya sandiwara belaka.“A
Tidak bisa dipungkiri dengan mudah, mungkin Bagas masih menyimpan rasa pada Anin. Bagas mungkin bisa mengelak dengan cara acuh dan berkata kasar. Namun, melihat bagaimana Anin pingsan tadi, sangat bohong jika Bagas tidak merasa khawatir.Bukankah dulu Bagas menikahi Anin karena dasar cinta? Betapa buruknya Anin, Bagas belum bisa sepenuhnya menghilangkan rasa tertariknya.Lalu, bagaimana dengan Ela? Bagas mencintai Ela karena rasa lama. Ela datang saat puncak masalah pernikahan malam pertama datang. Keesokan harinya setelah petaka malam hari bersama Anin, secara tiba-tiba takdir mempertemukan Bagas dengan Ela. Sekedar kebetulan atau bukan, Bagas tak pernah memikirkan akan hal itu.“Andai saja kamu tidak bohong sama aku, mungkin pernikahan kita akan baik-baik saja,” desah Bagas sesampainya di depan sebuah apartemen.Bagas melepas sabuk pengaman, kemudian segera turun. “Jangan salahkan aku kalau aku mencari kenikmatan di luar sana.”Bagas berdiri mema
Jonan tak peduli bagaimana dengan keadaan Bagas saat ini. Apapun yang menyangkut Anin, maka Jonan tidak akan tinggal diam. Apalagi menyangkut sesuatu hal yang sangat membahayakan Anin. Setelah penjaga rumah menelpon papa dan mama, Bagas tentunya langsung dilarikan ke rumah sakit.Papa dan mama sempat menyalahkan Jonan saat baru menjumpai bagaimana keadaan Bagas yang sudah babak belur. Mereka menyalahkan Jonan karena dianggap tidak punya perasaan dan terlalu hanyut dalam emosi. Mama bahkan sempat meneriaki Jonan beberapa kali hingga memukulinya sambil menangis.Mama tak henti-hentinya menyalah Jonan sampa mengatakan kalau Jonan sangatlah jahat. Namun, setelah Jonan jelaskan dengan lantang, mereka akhirnya diam tak berani bicara.“Aku nggak akan berbuat begitu sama Bagas, kalau dia nggak keterlaluan,” kata Jonan sambil memeluk Anin.Papa Berdiri tak jauh di samping Jonan sementara mama duduk di kursi besi panjang. Di belakang mereka saat ini mengobrol, ada satu
Ini bukan kemauan Jonan jika harus berangkat ke pabrik sepagi ini. Baru semalam Jonan menikmati kehangatan bersama sang istri, pagi harinya Jonan harus pergi meninggalkan Anin. Memang tidak lama, paling hanya beberapa jam saja, akan tetapi rasanya sangat berat.“Kamu nggak pa-pa aku tinggal ke pabrik kan?” Jonan bertanya sambil mengusap wajah Anin yang saat ini masih berbalut selimut.Jonan tahu, di dalam sana—di balik selimut itu—ada seonggok daging putih mulus yang semalam baru saja Jonan nikmati. Huh! Kalau terus mengingat-ingat, yang ada Jonan semakin berat untuk meninggalkan Anin.“Kamu nggak lama-lama kan?” Anin balik bertanya.“Enggak,” sahut Jonan. “Paling cuma dua jam doang, setelah itu semua kembali diurus sama Tirta.”Anin mencebikkan bibir sambil mencengkeram tepian selimut yang menutupi bagian leher. “Ya sudah, hati-hati. Maaf aku malah masih tiduran.”“Iya ...” Jonan mengusap pucuk kepala Anin kemudian memberi satu kecupan di bibir s
3 bulan berlalu …Seharian meninggalkan pernikahan Jonan dan Anin, Bagas terlihat uring-uringan di dalam kamar. Rasa sakit dikhianati Ela masih membekas, ditambah lagi dengan rasa sakit karena harus melihat pernikahan Jonan dan mantan istrinya.Di bawah sana—di lantai satu—para tamu undangan mulai berangsur-angsur meninggalkan acara. Acara pernikahan tidak digelar dengan mewah seperti pernikahan Anin dan Bagas dulu. Pernikahan Jonan dan Anin justru berlangsung sangat sederhana dengan hanya mengumpulkan para keluarga saja.Meski sederhana, setidaknya Anin menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan paling sempurna. Menikah dengan pria yang selalu ada untuknya, menikah dengan pria yang menunggunya sampai benar-benar terlepas dari mantan suaminya.Hanggoro dan Sasmita selaku orang tua mereka, tentu ikut merasakan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka sedikit khawatir dengan keadaan Bagas. Bagas sendiri sama sekali tidak muncul mulai dari awal acara hingga semuany
Pagi harinya, secara tidak sengaja Anin dan Bagas bersamaan hendak turun ke lantai dasar. Anin yang tidak mau berpikir macam-macam memilih acuh dan lebih dulu turun meninggalkan Bagas yang berjalan di belakangnya.Tanpa sepengetahuan Anin, diam-diam mata Bagas sedang curi-curi pandang dengan lekuk tubuh Anin bagian belakang. Meski Anin memakai piama tertutup, Bagas tidak bisa mengelak kalau tubuh itu terlihat begitu menarik.Hal ini jauh berbeda dari saat Anin mengenakan piama tipis ketika masih tidur bersama. Bagas bahkan tidak ada rasa ketertarikan sedikitpun pada Anin. Ya, semua nampak sudah berbeda.Sesuai kata pepatah, “Apa yang sudah dilepas, terkadang lebih menarik untuk dipandang.”“Hei Anin,” panggil Bagas saat Anin sampai di dapur.Orang yang bagas panggil sepertinya memilih tidak menggubris. Anin pura-pura tidak mendengar.“Anin.” Sekali lagi Bagas memanggil.“Ada perlu apa?” sahut Anin malas. Anin duduk sembari meneguk air putih.
“Ternyata wanita si perusak!” cemooh Ela begitu Anin keluar dari mobil.“Apa maksud kamu?” balas Anin. “Berbicaralah dengan sopan.”Ela mendecih lalu membuang muka sesaat. “Sudah bersalah, masih berani ngelawan.”“Kamu yang salah!” salak Anin. “Mobilku melaju di jalan yang benar. Kamu yang nggak hati-hati.”“Berani kamu ya!” Ela maju lalu dan hendak mencengkeram baju Anin, tapi dengan cepat Anin menangkis.“Kenapa aku harus takut? Harusnya kamu ngaca, yang perusak itu siapa? Jelas-jelas kamu!”Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Anin. Anin yang merasa kesakitan memejamkan dua matanya untuk sesaat sebelum kembali menatap Ela.“Berani sekali kamu nampar aku!” Spontan Anin mendorong tubuh Ela hingga terjatuh di atas aspal.“Ela!” teriak seseorang dari seberang jalan. “Kamu nggak pa-pa?” Sampai di hadapan mereka, Bagas membantu Ela berdiri.“ Mas Bagas,” gumam Anin.“Sakit,” rengek Ela. Wanita ini memang sen
Tidak semudah itu merencanakan pernikahan dengan Anin. Selain karena Anin baru berpisah, mendadak saja Jonan harus disibukkan dengan pekerjaan pabrik. Keesokan paginya, Jonan sudah mendapat panggilan dari karyawannya untuk terbang ke lombok menemui klien.Dua hari kemudian di siang harinya, Jonan harus berangkat dan belum tahu bagaimana cara berpamitan dengan Anin. Jonan takut kalau Anin akan marah. Jonan juga teringat bagaimana perlakuan Bagas terakhir kali pada Anin.“Aku harus bagaimana?” gumam Jonan usai panggilan terputus. “Anin pasti marah sama aku. Aku takutnya dia kecewa, tapi aku nggak mungkin membatalkan semua ini.”Jonan menggenggam kuat ponselnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dan lagi, apa Anin akan aman ditinggal di rumah ini? Jonan jadi merasa khawatir.“Jo, kamu lagi ngapain?” tanya mama saat melihat Jonan tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Anin.Jonan yang terkejut hanya bisa mengusap dada. “Kenapa mama ngagetin ak
Papa dan mama sudah membawa Bagas ke dalam kamar. Sementara Papa berdiri, mama duduk sambil mengompres luka memar di wajah Bagas.“Apa yang kamu pikirkan, Gas? Bisa-bisanya kamu ada niatan melakukan hal kotor sama Anin?” tanya papa penuh sesal.Bagas membisu. Hanya sesekali meringis menahan perih luka di wajahnya yang membiru.“Pantas saja Jonan memukuli kamu. Kamu memang sudah keterlaluan!” bentak papa. “Papa malu sempat membela kamu di depan Anin, waktu itu!”“Ma-maaf, Pa. Aku nggak sengaja,” sesal Bagas.Di samping Bagas, Mama sudah berdiri meletakkan baskom dengan air es di atas nakas. “Jangan melakukan hal itu lagi, Gas,” pinta mama. “Mama sudah cukup merasa bersalah sama Anin, kamu jangan menambahi lagi.”Bagas membuang muka ke arah samping. Kedua tangannya menangkup wajah, kemudian mendongak lagi. “Aku minta maaf, aku nggak bermaksud. Aku hanya ... entahlah, Ma. Aku merasa Anin terlihat sangat cantik.”Mama mendesah berat lalu mengusa
Kebaikan seseorang sebenarnya tidak bisa diukur, pun dengan hati tulus milik Anin. Bagaimana mereka-mereka pernah berbuat kasar pada Anin, tapi Anin dengan mudahnya memaafkan. Tak mudah menghilangkan rasa sakit, tapi Anin menganggap semua itu sebatas kesalah pahaman saja.Sejak Jonan mengatakan kalau dirinya akan menikahi Anin, Bagas terlihat murung dan sedikit frustrasi. Apalagi Bagas juga sudah tahu bagaimana kelakuan Ela yang sebenarnya. Wanita yang selalu Bagas puja ternyata justru berdusta, sedangkan wanita yang dianggap buruk ternyata dia jauh lebih baik.Meninggalkan kekacauan beberapa hari yang lalu, Bagas hanya bisa meratapi nasibnya saat ini. Hampir setiap hari Bagas bertemu dengan Anin, tapi hanya sebatas berpapasan saja. Ingin rasanya Bagas meraih dan memeluk Anin. Namun, hal itu tak mungkin bisa Bagas lakukan.“Kenapa kamu terlihat cantik, Anin?” gumam Bagas saat sedang memandangi Anin yang sedang membantu Bibi Niah memasak. “Aku baru sadar kalau kamu
Anin terkejut saat tiba-tiba Jonan muncul dari belakang. Anin tak bisa berkata-kata untuk sesaat selain menatap ke arah Nana.“Aku tinggalkan kalian berdua,” kata Nana kemudian sambil mengusap lengan Anin. Nana sempat tersenyum sebelum pergi meninggalkan Anin.Setelah Nana benar-benar sudah pergi, Anin dan Jonan hanya saling lirik dan tersenyum tipis.“Bicara saja di mobilku,” ajak Jonan pada Anin.Anin tak menjawab, tapi juga tidak menolak. Anin mau saja saat Jonan menuntunnya dan membawanya menyeberangi jalan.Jonan membukakan pintu mobil belakang. “Masuk,” pinta Jonan. Lagi-lagi Anin menurut saja.Anin sudah masuk, lantas Jonan memutari mobil dan ikut masuk. Tidak ada percakapan untuk beberapa saat sampai Jonan sudah merasa nyaman dengan posisi duduknya.“Anin,” panggil Jonan lirih. Anin menoleh. “Ngapain kamu pergi dari rumah?”Anin menunduk sambil melihat kedua tangannya yang saling memilin. Jonan tahu Anin sedang gemetaran.