Makan malam berlangsung tanpa kehadiran Bagas. Hingga menjelang malam, Bagas juga tak kunjung pulang. Tidak ada yang curiga karena setelah semua selesai makan, mereka segera masuk kamar untuk istirahat.
Keluarga ini memiliki bisnis masing-masing, jadi akan jarang ada waktu untuk sekedar begadang malam. Lebih baik gunakan waktu untuk tidur.
Hingga keesokan paginya, Anin tak menjumpai sosok Bagas di dalam kamar. Sepertinya semalam memang Bagas tidak pulang.
Sampai di lantai bawah, semua penghuni rumah nampak sudah tidak ada. Semalam mama sempat bilang kalau akan pergi ke rumah seseorang untuk merias wajah pengantin. Kalau papa, memang sudah biasanya pergi sekitar pukul tuju pagi.
“Apa sudah berangkat semua, Bi?” tanya Anin pada Bibi Niah.
Bibi Niah yang sedang menyapu teras rumah lantas mengangguk. “Nyonya berangkat pagi sekali tadi. Kalau Tuan, beliau baru saja berangkat.”
Anin manggut-manggut. Saat hendak kembali masuk ke dalam rumah, mobil
Keberuntungan untuk Jonan dan kesialan untuk Anin. Entah bisa tahu dari mana, saat ini Jonan sudah berdiri di halaman tempat karaoke. Jonan tengah bersandar pada mobilnya sambil memandangi Anin yang sedang berjalan ketawa-katiwi bersama Nana.Hingga sampai di dekat mobil Jonan terparkir, tawa Nana mendadak hilang. Anin yang belum menyadari akan hal itu, dengan cepat Nana sikut dan tawa pun terhenti.“Apa sih!” dengus Anin. Nana tidak menjawab, melainkan menyikut lengan Anin dan memainkan mata.“Apaan?” Anin bertanya lagi. Kali ini pandangannya mengikuti gerak jari telunjuk Nana.Saat pandangannya berhenti pada sesuatu yang membuat tawa Nana mendadak berhenti, Anin menelan ludah dan mengerjapkan mata cukup lama.“Jonan?” kata Anin usai berkedip dan sedikit berkedip. “Ngapain di sini?”“Nyari kamu lah!” sahut Jonan. Jonan melempar puntung rokok lalu menginjaknya. “Di telpon malah dimatikan!”Anin berdecak tak peduli. “Aku kan suda
Satu bulan sudah berlalu sejak peresmian Bagas. Tak ada yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan sandiwara cinta masih terus berlanjut sampai detik ini. Bedanya, kian hari Bagas semakin menjauh dari Anin. Bisa dikatakan, Anin hanya bertemu Bagas saat sarapan pagi dan menjelang tidur.Anin tak peduli akan hal itu sekarang. Setelah Jonan terus mengganggu Anin hampir setiap hari, Anin sampai-sampai lupa kalau statusnya saat ini masih menjadi istri Bagas. Bukan berarti Anin berselingkuh dengan Jonan, melainkan Anin hanya lebih sering menghabiskan waktu bersama Jonan.Tidak ada ikatan khusus di antara mereka terkecuali masih sebatas saudara ipar.“Kalau mama tanya, bilang saja aku sedang ada urusan bisnis sampai malam,” kata Bagas sebelum berangkat kerja.Anin cukup mengangguk saja. Sejujurnya Anin sudah malas berhadapan dengan Bagas. Bagas terlihat aneh dan selalu terlihat seperti sedang merencanakan sesuatu. Entah ini hanya perasaan Anin, atau memang begitu adanya.
Seperginya dari rumah lagi, Bagas bukan kembali ke kantor melainkan pindah arah ke tempat lain. Bagas menghentikan mobil tepat di depan halaman rumah seseorang. Tak lama kemudian, baru saja Bagas turun dari mobil, seorang wanita berlalu menghambur datang dan langsung memeluk Bagas.“Kenapa lama sekali, Mas?” keluh Ela sambil menggesek-gesekkan pipi pada lengan Bagas. “Aku kan kangen,” rengeknya lagi.Sifat manja Ela selalu saja berhasil membuat Bagas semakin cinta.“Maaf, tadi aku sekalian mampir ke rumah dulu. Ambil berkas penting,” kata Bagas.“Ya sudah, ayo masuk,” ajak Ela kemudian. “Aku sudah membuatkan kamu puding yang enak.”Apapun yang dilakukan Ela, akan membuat Bagas selalu mengangguk dan berkata ‘Iya’. Sambil berjalan masuk ke dalam, Bagas sempat memberi tepukan di area pantat Ela. “Sebentar lagi, aku akan menikmati benda ini.”“Mas, jangan begitu,” umpat Ela. “Kamu kan emang sudah pernah menikmatinya. Kamu yang pertama kan?” Ela menyen
Tak mudah bagi Jonan untuk berbicara yang sebenarnya pada papa. Papa sudah terlalu percaya dengan kehebatan Bagas yang memang ahli dalam mengurus perusahaan. Bukan hanya papa yang percaya dengan, tapi mama juga. Jonan akan kesulitan jika hanya sekedar berbicara tanpa menunjukkan bukti bahwa pernikahan Bagas dan Anin tidaklah bahagia.Harusnya malam ini Jonan ingin berbicara dengan Anin menyangkut masalah dengan Bagas, akan tetapi Jonan harus pergi ke luar kota untuk mengurus pengiriman barang dari pabrik. Kemungkinan Jonan menginap di luar kota selama dua hari.Sementara di rumah, Anin yang masih duduk sendirian terlihat sangat gelisah. Sedari siang, Anin hanya duduk, berdiri lalu kembali naik ke kamar dan kemudian kembali ke lantai satu dan duduk lagi di ruang tamu. Apa yang membuat Anin gelisah adalah Jonan. Entah kenapa Anin begitu merindukan sosok Jonan. Padahal, tadi pagi Anin sudah sembat bercengkerama dengan Jonan.“Kenapa aku jadi gelisah begini ya?” gumam
Malam berubah mencekam tatkala papa dan mama sudah melihat rekaman singkat di ponsel Bagas. Mama yang paling terkejut karena melihat terlebih dulu, seketika ambruk lunglai di atas sofa.“Apa-apaan ini, Anin?” sesal mama dalam helaan napas. “Mama nggak nyangka kamu ....” mama berhenti berbicara.Anin yang belum mengerti betul-betul apa yang telah mereka tonton, masih terlihat kebingungan. Anin bahkan seperti orang linglung yang sedang dihakimi tanpa tahu kesalahan yang sebenarnya.“Anin, sekarang juga, aku ceraikan kamu.” Bagas melontarkan kalimat yang memang sudah Anin tunggu selama ini.Harusnya Anin merasa lega bukan? Namun, Anin tetap membisu menantikan ada salah satu di antara mereka memberitahu apa yang ada di dalam ponsel itu.“Anin ....” kali ini papa yang bicara. “Apa sungguh ini kamu?” papa menyodorkan ponsel yang layarnya menyala.Perlahan-lahan, mata Anin terbuka dan membelalak sempurna. Anin yang tak menyangka, hanya bisa menutup
Sampai larut malam Anin menangisi nasibnya. Anin masih tidak percaya kalau Bagas akan menceraikannya dengan cara picik seperti ini. Anin pikir dirinya akan diceraikan secara baik-baik tanpa ada kebohongan, tapi ternyata Bagas lebih buruk dari yang sempat Anin bayangkan.Masih berada di kamar, untuk saat ini Anin hanya bisa meringkuk di atas ranjang. Anin sama sekali tak peduli kemana Bagas akan tidur malam ini. Anin sudah mengunci pintu setelah pembicaraan tadi usai.Anin berlari menaiki anak tangga dengan tangis yang terus meluber.“Jonan, kamu di mana?” Anin masih berharap Jonan akan muncul.Pria itu mendadak menghilang saat Anin sedang membutuhkan. Anin ingin sekali marah pada Jonan. Kenapa Jonan harus menghilang di saat runyam seperti ini? Di mana dia?Anin masih terisak sambil beberapa kali memanggil lirih nama pria itu.“Jonan, aku lagi butuh kamu. Kenapa kamu malah pergi?” desis Anin.Membiarkan Anin menangis di dalam kamar sepe
Dari pagi sampai menjelang malam lagi, Anin tak kunjung menemukan sosok Jonan. Sudah dua hari ini Jonan tidak pulang ke rumah. Ingin bertanya, tapi Anin tahu kalau seisi rumah sedang membencinya. Tentang perceraian itu, Anin sebenarnya tidak terlalu dipikirkan, toh Anin harus merasa lega karena sudah terbebas dari jerat pernikahan tipu-tipu dengan Bagas.Masalahnya sekarang, Anin harus mencoba hidup mandiri tanpa bantuan keluarga ini. Ini mungkin salah Anin juga karena menuruti mertuanya yang memintanya untuk tidak usah bekerja. Mereka bilang, kalau Bagas bisa membiayai tanpa Anin ikut bekerja. Bodohnya, Anin sama sekali tidak memikirkan akan berimbas seperti ini.“Kamu belum juga menemukan Jonan?” tanya Nana. Jam makan siang Nana terpaksa digunakan untuk menemani Anin yang tengah bersedih.“Aku nggak tahu Jonan pergi kemana. Aku bisa saja menelpon, tapi aku ragu. Bisa jadi dia memang nggak mikirin aku lagi kan?” Anin menatap sendu.“Jangan bilang
Merayakan kebebasan karena telah berhasil menceraikan Anin, Bagas lakukan bersama dengan sang kekasih, Ela. Kedua orang itu tengah menikmati kencan malam di salah satu kafe mewah di pusat kota.“Sebentar lagi Aku dan Anin akan resmi percerai,” kata Bagas sambil menggenggam tangan Ela di atas meja. “Setelah ini, kita bisa langsung menikah.”“Makasih ya, Mas Bagas. Aku jadi tambah cinta.” Ela tersenyum dengan satu kerlingan mata.“Harus dong ....” Bagas mencubit ujung dagu Ela. “Setelah resmi bercerai, aku akan kenalin kamu sama papa dan mama.”Ela mendadak diam. Bibirnya dilipat ke dalam sementara tangannya sudah terlepas dari genggaman Bagas. “Kalau papa sama mama kamu nggak suka, bagaimana?” Ela terlihat cemas.Bagas menarik tangan Ela lagi. “Nggak usah khawatir. Papa dan mamaku sudah terlanjur kecewa sama Anin, melihat ada kamu, pasti mereka akan langsung setuju.”Rasa khawatir berkurang, Ela kembali mengukir senyum. “Semoga saja ya, Mas.”
Jonan tak peduli bagaimana dengan keadaan Bagas saat ini. Apapun yang menyangkut Anin, maka Jonan tidak akan tinggal diam. Apalagi menyangkut sesuatu hal yang sangat membahayakan Anin. Setelah penjaga rumah menelpon papa dan mama, Bagas tentunya langsung dilarikan ke rumah sakit.Papa dan mama sempat menyalahkan Jonan saat baru menjumpai bagaimana keadaan Bagas yang sudah babak belur. Mereka menyalahkan Jonan karena dianggap tidak punya perasaan dan terlalu hanyut dalam emosi. Mama bahkan sempat meneriaki Jonan beberapa kali hingga memukulinya sambil menangis.Mama tak henti-hentinya menyalah Jonan sampa mengatakan kalau Jonan sangatlah jahat. Namun, setelah Jonan jelaskan dengan lantang, mereka akhirnya diam tak berani bicara.“Aku nggak akan berbuat begitu sama Bagas, kalau dia nggak keterlaluan,” kata Jonan sambil memeluk Anin.Papa Berdiri tak jauh di samping Jonan sementara mama duduk di kursi besi panjang. Di belakang mereka saat ini mengobrol, ada satu
Ini bukan kemauan Jonan jika harus berangkat ke pabrik sepagi ini. Baru semalam Jonan menikmati kehangatan bersama sang istri, pagi harinya Jonan harus pergi meninggalkan Anin. Memang tidak lama, paling hanya beberapa jam saja, akan tetapi rasanya sangat berat.“Kamu nggak pa-pa aku tinggal ke pabrik kan?” Jonan bertanya sambil mengusap wajah Anin yang saat ini masih berbalut selimut.Jonan tahu, di dalam sana—di balik selimut itu—ada seonggok daging putih mulus yang semalam baru saja Jonan nikmati. Huh! Kalau terus mengingat-ingat, yang ada Jonan semakin berat untuk meninggalkan Anin.“Kamu nggak lama-lama kan?” Anin balik bertanya.“Enggak,” sahut Jonan. “Paling cuma dua jam doang, setelah itu semua kembali diurus sama Tirta.”Anin mencebikkan bibir sambil mencengkeram tepian selimut yang menutupi bagian leher. “Ya sudah, hati-hati. Maaf aku malah masih tiduran.”“Iya ...” Jonan mengusap pucuk kepala Anin kemudian memberi satu kecupan di bibir s
3 bulan berlalu …Seharian meninggalkan pernikahan Jonan dan Anin, Bagas terlihat uring-uringan di dalam kamar. Rasa sakit dikhianati Ela masih membekas, ditambah lagi dengan rasa sakit karena harus melihat pernikahan Jonan dan mantan istrinya.Di bawah sana—di lantai satu—para tamu undangan mulai berangsur-angsur meninggalkan acara. Acara pernikahan tidak digelar dengan mewah seperti pernikahan Anin dan Bagas dulu. Pernikahan Jonan dan Anin justru berlangsung sangat sederhana dengan hanya mengumpulkan para keluarga saja.Meski sederhana, setidaknya Anin menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan paling sempurna. Menikah dengan pria yang selalu ada untuknya, menikah dengan pria yang menunggunya sampai benar-benar terlepas dari mantan suaminya.Hanggoro dan Sasmita selaku orang tua mereka, tentu ikut merasakan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka sedikit khawatir dengan keadaan Bagas. Bagas sendiri sama sekali tidak muncul mulai dari awal acara hingga semuany
Pagi harinya, secara tidak sengaja Anin dan Bagas bersamaan hendak turun ke lantai dasar. Anin yang tidak mau berpikir macam-macam memilih acuh dan lebih dulu turun meninggalkan Bagas yang berjalan di belakangnya.Tanpa sepengetahuan Anin, diam-diam mata Bagas sedang curi-curi pandang dengan lekuk tubuh Anin bagian belakang. Meski Anin memakai piama tertutup, Bagas tidak bisa mengelak kalau tubuh itu terlihat begitu menarik.Hal ini jauh berbeda dari saat Anin mengenakan piama tipis ketika masih tidur bersama. Bagas bahkan tidak ada rasa ketertarikan sedikitpun pada Anin. Ya, semua nampak sudah berbeda.Sesuai kata pepatah, “Apa yang sudah dilepas, terkadang lebih menarik untuk dipandang.”“Hei Anin,” panggil Bagas saat Anin sampai di dapur.Orang yang bagas panggil sepertinya memilih tidak menggubris. Anin pura-pura tidak mendengar.“Anin.” Sekali lagi Bagas memanggil.“Ada perlu apa?” sahut Anin malas. Anin duduk sembari meneguk air putih.
“Ternyata wanita si perusak!” cemooh Ela begitu Anin keluar dari mobil.“Apa maksud kamu?” balas Anin. “Berbicaralah dengan sopan.”Ela mendecih lalu membuang muka sesaat. “Sudah bersalah, masih berani ngelawan.”“Kamu yang salah!” salak Anin. “Mobilku melaju di jalan yang benar. Kamu yang nggak hati-hati.”“Berani kamu ya!” Ela maju lalu dan hendak mencengkeram baju Anin, tapi dengan cepat Anin menangkis.“Kenapa aku harus takut? Harusnya kamu ngaca, yang perusak itu siapa? Jelas-jelas kamu!”Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Anin. Anin yang merasa kesakitan memejamkan dua matanya untuk sesaat sebelum kembali menatap Ela.“Berani sekali kamu nampar aku!” Spontan Anin mendorong tubuh Ela hingga terjatuh di atas aspal.“Ela!” teriak seseorang dari seberang jalan. “Kamu nggak pa-pa?” Sampai di hadapan mereka, Bagas membantu Ela berdiri.“ Mas Bagas,” gumam Anin.“Sakit,” rengek Ela. Wanita ini memang sen
Tidak semudah itu merencanakan pernikahan dengan Anin. Selain karena Anin baru berpisah, mendadak saja Jonan harus disibukkan dengan pekerjaan pabrik. Keesokan paginya, Jonan sudah mendapat panggilan dari karyawannya untuk terbang ke lombok menemui klien.Dua hari kemudian di siang harinya, Jonan harus berangkat dan belum tahu bagaimana cara berpamitan dengan Anin. Jonan takut kalau Anin akan marah. Jonan juga teringat bagaimana perlakuan Bagas terakhir kali pada Anin.“Aku harus bagaimana?” gumam Jonan usai panggilan terputus. “Anin pasti marah sama aku. Aku takutnya dia kecewa, tapi aku nggak mungkin membatalkan semua ini.”Jonan menggenggam kuat ponselnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dan lagi, apa Anin akan aman ditinggal di rumah ini? Jonan jadi merasa khawatir.“Jo, kamu lagi ngapain?” tanya mama saat melihat Jonan tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Anin.Jonan yang terkejut hanya bisa mengusap dada. “Kenapa mama ngagetin ak
Papa dan mama sudah membawa Bagas ke dalam kamar. Sementara Papa berdiri, mama duduk sambil mengompres luka memar di wajah Bagas.“Apa yang kamu pikirkan, Gas? Bisa-bisanya kamu ada niatan melakukan hal kotor sama Anin?” tanya papa penuh sesal.Bagas membisu. Hanya sesekali meringis menahan perih luka di wajahnya yang membiru.“Pantas saja Jonan memukuli kamu. Kamu memang sudah keterlaluan!” bentak papa. “Papa malu sempat membela kamu di depan Anin, waktu itu!”“Ma-maaf, Pa. Aku nggak sengaja,” sesal Bagas.Di samping Bagas, Mama sudah berdiri meletakkan baskom dengan air es di atas nakas. “Jangan melakukan hal itu lagi, Gas,” pinta mama. “Mama sudah cukup merasa bersalah sama Anin, kamu jangan menambahi lagi.”Bagas membuang muka ke arah samping. Kedua tangannya menangkup wajah, kemudian mendongak lagi. “Aku minta maaf, aku nggak bermaksud. Aku hanya ... entahlah, Ma. Aku merasa Anin terlihat sangat cantik.”Mama mendesah berat lalu mengusa
Kebaikan seseorang sebenarnya tidak bisa diukur, pun dengan hati tulus milik Anin. Bagaimana mereka-mereka pernah berbuat kasar pada Anin, tapi Anin dengan mudahnya memaafkan. Tak mudah menghilangkan rasa sakit, tapi Anin menganggap semua itu sebatas kesalah pahaman saja.Sejak Jonan mengatakan kalau dirinya akan menikahi Anin, Bagas terlihat murung dan sedikit frustrasi. Apalagi Bagas juga sudah tahu bagaimana kelakuan Ela yang sebenarnya. Wanita yang selalu Bagas puja ternyata justru berdusta, sedangkan wanita yang dianggap buruk ternyata dia jauh lebih baik.Meninggalkan kekacauan beberapa hari yang lalu, Bagas hanya bisa meratapi nasibnya saat ini. Hampir setiap hari Bagas bertemu dengan Anin, tapi hanya sebatas berpapasan saja. Ingin rasanya Bagas meraih dan memeluk Anin. Namun, hal itu tak mungkin bisa Bagas lakukan.“Kenapa kamu terlihat cantik, Anin?” gumam Bagas saat sedang memandangi Anin yang sedang membantu Bibi Niah memasak. “Aku baru sadar kalau kamu
Anin terkejut saat tiba-tiba Jonan muncul dari belakang. Anin tak bisa berkata-kata untuk sesaat selain menatap ke arah Nana.“Aku tinggalkan kalian berdua,” kata Nana kemudian sambil mengusap lengan Anin. Nana sempat tersenyum sebelum pergi meninggalkan Anin.Setelah Nana benar-benar sudah pergi, Anin dan Jonan hanya saling lirik dan tersenyum tipis.“Bicara saja di mobilku,” ajak Jonan pada Anin.Anin tak menjawab, tapi juga tidak menolak. Anin mau saja saat Jonan menuntunnya dan membawanya menyeberangi jalan.Jonan membukakan pintu mobil belakang. “Masuk,” pinta Jonan. Lagi-lagi Anin menurut saja.Anin sudah masuk, lantas Jonan memutari mobil dan ikut masuk. Tidak ada percakapan untuk beberapa saat sampai Jonan sudah merasa nyaman dengan posisi duduknya.“Anin,” panggil Jonan lirih. Anin menoleh. “Ngapain kamu pergi dari rumah?”Anin menunduk sambil melihat kedua tangannya yang saling memilin. Jonan tahu Anin sedang gemetaran.