“Nada! Sini kamu!”
Dari dekat pagar rumah Nada ada seorang wanita berteriak memanggil namanya. Nada tahu siapa wanita itu, dia adalah orang yang sering menghina keluarganya.Nada menyuruh Nazril masuk, Nada tahu apa yang akan terjadi dan dia tak ingin sampai Nazril mendengarnya. Nada mendekat ke arah tamu yang tak sopan bertarik di depan rumahnya itu.“Assalamu’alaikum, Bu Nia. Ada ap....”“Jangan banyak basa-basi!” ketus Nia menyela perkataan Nada.“Astagfirullah, Bu. Saya tadi ucap salam, lo. Ibu Nia lupa atau gimana, hukum menjawab salamkan wajib. Jadi....”Lagi-lagi perkataan Nada disela oleh Nia.“Jangan ceramah! Sekarang bukan waktunya ceramah. Kalau mau ceramah sana di masjid!” ketus Nia dan Nada hanya beristighfar dan menggelengkan kepala merasa lucu sendiri dengan tingkah tetangganya ini.“Saya bukan ceramah, saya hanya sekadar mengingatkan saja. Kalau menjawab....”“Alah banyak omong, ya!”Nada membuang napas kasar. Percuma, rasanya percuma berbicara baik-baik pada orang yang seperti tersulut emosi ini. Bahkan perkataan dirinya saja yang ingin mengingatkan malah dicaci.“Baiklah Bu Nia, jadi, ini ada apa sebenarnya? Ibu teriak di cuaca panas seperti ini di depan rumah saya pula.”Nada langsung saja bertanya pada intinya sebab musabab Nia mendatangi rumahnya lalu berteriak-teriak memanggil namanya.“Hai janda gatel! Didik anakmu yang benar, ya. Kelakuannya seperti bukan seorang anak berusia enam tahun. Lihat! Apa yang sudah anak nakal kamu lakukan?” Nia memperlihatkan bekas cakar dan gigitan di tangan dan leher anaknya.“Maaf, Bu. Anda tidak perlu mengingatkan saya bagaimana saya harus mendidik anak saya sendiri. Saya tahu bagaimana anak saya. Dia tidak akan pernah memulai terlebih dahulu jika dirinya tidak dipancing dan....”“Dan apa?” sela Nia“Jadi, kamu mau bilang jika anak saya yang memulai duluan? Begitu Nada!” sentak Nia hingga Nada memalingkan wajahnya sebab Nia menunjuk-nunjukkan jarinya tepat di wajah Nada.“Saya tidak bilang seperti itu. Justru Anda sendiri yang mengatakannya,” ujar Nada seraya kembali meluruskan pandangannya ke arah Nia.Nia terlihat murka, terlihat jelas dari wajahnya yang berubah merah. Serta kepalan telapak tangan yang keras hingga buku-buku jarinya memutih.“Hai janda! Tetap saja anak kamu salah. Sukanya main fisik. Ini, nih, akibat kurang dididik, kurang kasih saya dari bapaknya, makanya nakal seperti ini.”Nada sudah tak bisa lagi menahan amarahnya. Orang boleh menghina dirinya, orang boleh memaki-maki dirinya. Tapi, tidak dengan anak dan suaminya. Apalagi membawa nama suaminya dalam masalah yang terjadi di antara anak kecil ini.Suami yang sangat dia hormati meski tak tahu rimbanya. Anak yang sangat dia ciantai dan sayangi, Nada tak rela jika orang mengusik apalagi sampai menghinanya.“Bu Nia! Cukup, ya. Anda boleh menghina ataupun menjelekkan saya, tapi saya mohon jangan sekalipun Anda menghina dan menjelekkan suami dan anak saya. Saya tidak terima!”“Apa kamu bilang? Suami? Haha, hello suami dari mana? Bukannya si Aziz udah lima tahun menghilang? Dan kamu masih menganggapnya suamimu, hah, menyedihkan!”“Jelas saja, sebab tidak pernah sekalipun terucap dari mulutku maupun mulut Mas Aziz kata cerai terucap. Itu artinya saya masih istrinya.”“Kau sudah gila! Suami pergi lima tahun tak kembali juga itu artinya dia mati! Kenapa kamu masih menganggapnya suami?”“Jaga mulut Anda Bu Nia! Kenapa Anda malah ikut campur urusan pribadi saya? Bukankah Anda ke sini untuk mengeluhkan kelakuan anak saya yang sebenarnya tidak salah, dia hanya membela diri.”“Hidup kamu memang perlu diurusin, biar sadar diri. Suami kabur masih saja dipertahankan, sama saja kamu menyengsarakan hidup kamu sendiri.”“Cukup, Bu! Kenapa pembahasan ibu malah merembet ke mana-mana? Sebaiknya jika sudah tidak ada urusan lagi silakan pergi dari sini!”“Kamu mengusir saya?”“Iya, karena Anda sudah menggangu kenyamanan saya dan menggangu privasi saya.”“Sombong! Awas saja urusan kita belum selesai, urusan anak-anak juga belum usai."Dengan mulut yang terus komat-kamit tanpa rem. Nia terus menggerutu menghumpat mengeluarkan kata-kata yang teramat menyakiti hati. Bagi Nada itu sudah hal biasa, bahkan bisa dibilang sudah makanan sehari-hari untuknya.Dalam hatinya, dia selalu memanggil sang suami. Kadang Nada ingin menyerah saja menghadapi cobaan yang begitu besar ini. Mungkin dari luar, iya Nada terlihat kuat, tegardan tangguh. Namun, bagaimana dengan hatinya? Hatinya terluka sudah lama, sejak lima tahun lalu. Dan sekarang luka itu belum sembuh yang ada luka hatinya semakin dalam dan besar.‘Mas aku membutuhkan kamu,’ rintih Nada membatin. Tak lama, Ningsih baru saja tiba dari pasar. Ia melihat Nada tengah terdiam dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia tahu apa yang telah terjadi. Dan hal seperti ini sudah tak aneh lagi bagi Ningsih."Kamu kenapa, Nak?" Tanya tiba-tiba Ningsih hingga membuat Nada terperanjat kaget.Menyadari kehadiran ibunya membuat Nada berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Namun, Ningsih tidak bisa untuk ia bohongi dengan begitu saja."Nada enggak Kenapa-napa, Bu," bohong Nada dengan menyunggingkan sebuah senyuman palsu."Jangan bohong, Nak. Aku ini ibumu, ibu tidak akan mudah untuk kamu bohongi. Sekarang Katakan siapa lagi yang datang ke sini dan marah-marah enggak jelas padamu? Ini salahmu juga kenapa masih saja menunggu suamimu. Andai, kamu mau mendengarkan saran ibu untuk membuka hati untuk pria lain. Mungkin kamu tidak akan terus kena hinaan orang lain," ujar Ningsih dengan sedikit emosi.“Nada masih sah istrinya Mas Aziz, Bu. Mana boleh Nada menikah lagi,” tolak Nada seraya beranjak masuk.Ningsih mengikuti langkah Nada, ia pun kembali mencoba untuk menasihati Nada.“Secara tidak langsung kamu sudah bercerai dengan suamimu, Nak. Kamu saja tidak tahu kabar dia, masih hidup atau sudah mati!”“Cukup, Bu. Sampai kapan pun Mas Aziz tetaplah suami Nada. Nada tidak akan menikah lagi sebelum Nada tahu kabar Mas Aziz,” ucapan Nada mulai meninggi, bahkan telunjuknya sampai terangkat.“Kamu berani mengeraskan suara pada ibumu? Kenapa kamu terus saja membela Aziz yang tidak tahu kabarnya itu? Bilang mau merantau mau memperbaiki perekonomian, ini apa? Sudah lima tahun, Nak, lima tahun. Apa pantas dia di sebut suami?”Nada terdiam, dia tahu dirinya salah. Tapi, salahkan jika dirinya berharap? Salahkan dirinya jika mempertahankan rumah tangganya? Meski secara tidak langsung status pernikahan mereka patut dipertanyakan. Pergi lima tahun tanpa memberikan nafkah lahir maupun batin.Nada selalu berpikir positif, dia selalu berhusnuzan mungkin jika tidak sekarang, minggu depan, bulan depan atau tahun depan Aziz—suaminya tiba-tiba saja hadir di depan matanya, ia itulah harapan Nada.“Maaf, Bu jika Nada sudah lancang sama Ibu. Sungguh, selagi Nada belum tahu kabar Mas Aziz selama itu pula Nada tidak akan menikah lagi. Jika dia masih hidup Nada akan kembali bersama Mas aziz. Membangun rumah tangga kami dari awal lagi. Jika pun dia sudah meninggal, maka Nada ingin tahu di mana makamnya.”“Terserah kamu saja, Nak. Ibu bicara seperti ini sebab ibu pernah ada di posisi kamu. Hidup tanpa suami membesarkan anak sendiri , kerja banting tulang. Ibu enggak mau kamu seperti itu, cukup Ibu, Nak, cukup Ibu.”Ningsih nelangsa, matanya sudah mengembun siap menjatuhkan cair bening dari kedua netranya. Ningsih pun seorang single parent. Dia jelas, sebab suaminya ayah—Nada meninggal dunia saat Nada berusia empat tahun.Ningsih pergi meninggalkan Nada, sementara Nada hanya bisa menatap kepergian ibunya dengan perasaan bersalah . Bersalah karena sudah membentaknya."Maafkan Nada, Bu. Nada akan buktikan jika mas Aziz adalah pria baik dan Nada akan menyusulnya ke Jakarta," gumam Nada dengan lirih.Setelah pertengkaran dirinya dengan Ningsih. Membuat Nada yakin untuk mencari Aziz. Ia pun sebenernya ingin tahu alasan Aziz meninggalkan ia dan anaknya bertahun-tahun tanpa sedikitpun memberikan kabar.Yang membuat hatinya semakin ngilu, ketika ia mendapatkan dan melihat anaknya harus jadi bahan rundungan karena tidak memiliki seorang Ayah. Bukan hanya itu saja, tak jarang dirinya selalu dimaki-maki orang. Dituduh sebagai wanita pembawa sial dan janda gatel suka menggoda suami orang.Astaghfirullah.Hanya satu kata itu yang sering ia ucapkan. Dia merasa tidak pernah menggoda suami orang. Yang ada justru dirinya yang selalu dan selalu saja diganggu. Saat ini, Nada tengah duduk melamun di atas kasur. Seraya memegangi dan melihat sebuah foto usang. Foto di mana ada dirinya, Aziz dan Nazril--anaknya saat berusia satu tahun.Setetes demi setetes air mata terjatuh, membasahi mata dan kedua pipinya."Mas, kenapa kamu tidak pulang-pulang? Apakah kamu tidak merindukan aku dan Nazril? Apaka
Kapal semakin menjauh dari pelabuhan. Itu tandanya semakin nyata pula jika Nada benar-benar harus meninggalkan ibunya sendiri, meninggalkan Kotabumi serta meninggalkan kenangan buruknya.Mungkin apa yang dikatakan ibunya benar. Manfaatkan waktu untuk mencari suaminya. Dengan bekal informasi seadanya Nada akan memulai melakukan pencarian keberadaan suaminya. Dan berharap ia bisa mengetahui apa yang ingin ia ketahui.Nada mengusap kepala Nazril yang saat ini tengah tertidur di pangkuannya. Sementara Nada menyenderkan kepalanya ke dinding kapal seraya tatapannya kosong jauh berkelana. Memikirkan ibunya serta suaminya yang sangat ia sayangi dan cintai. Nada tak menyangka hidupnya akan sekacau dan serumit ini. Satu ingin Nada untuk saat ini; menemukan suaminya lalu setelah itu pulang kembali ke Kotabumi, Lampung Utara. Simple.Tak terasa air matanya menetes dan hal itu menarik perhatian seseorang yang sedari tadi menatap Nada. Orang itu lalu mendekat dan duduk bersebelahan, tetapi Nada sam
Setelah lima jam dalam kapal akhirnya Nada bisa menapaki kakinya di pelabuhan Merak. Kapal yang ia tumpangi harus tertahan beberapa jam sebab di pelabuhan Merak belum ada kapal yang berlayar. Hingga tidak ada tempat untuk menyandarkan kapal.Perjalanan Nada masih panjang. Perlu beberapa jam lagi untuk sampai ke Jakarta. Nada begitu kesusahan saat berjalan sebab ia tak tega membangunkan Nazril alhasil ia pun harus memangku Nazril yang terlelap.Jam menunjukkan pukul empat pagi, ia berniat untuk menunggu waktu subuh tiba setelah itu ia akan melanjutkan perjalanannya dalam pencarian sang suami. Dari jarak beberapa meter Nada melihat mesjid, ia pun bergegas ke sana dengan ringkih. Sampai di mesjid Nada segera menidurkan Nazril dipaling pojok mesjid. Sementara dirinya hendak mengambil air wudu. Air wudu menerpa wajah cantik Nada, memberikan kesegaran di tengah kegersangan hati. Di tengah gundah gulana dan di tengah keputusasaan. Setelah selesai berwudu, Nada memakai mukena yang tersedia
“Mbak, ayo kita pergi!” Ajakan seseorang membuat Nada langsung mendongakkan kepala. Ia kaget melihat siapa yang saat ini tengah berdiri di hadapannya. “Kamu?”“Hehe, iya, Mbak ini aku,” Akbar cengengesan.“Aku kira kamu udah pergi,” kata Nada seraya bangkit dan hendak pergi.“Aku nungguin Mbak, biar kita berangkat bareng,” terang Akbar seraya ikut berjalan mengikuti Nada.Nada menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke Akbar yang ada di sampingnya. “Bareng?” ulang Nada dengan nada keheranan“Aku mau ke Jakarta, kamu lebih baik lanjutin perjalanan kamu,” tolak Nada seraya kembali berjalan.“Aku pun mau ke Jakarta, Mbak. Aku memang tinggal di sana. Ke Lampung aku habis melakukan penelitian tentang gunung Krakatau,” terangnya. Tanpa mempedulikan Akbar Nada terus berjalan. Dengan mata yang tak henti mencari sesuatu, sarapan yang cocok untuk dirinya dan Nazril. Sementara Akbar masih setia mengikuti Nada dari belakang. Tanpa sepengetahuan Nada diam-diam Akbar mengikuti Nada mulai dari k
Nada dan Nazril sudah berada dalam bus menuju Jakarta. Jangan lupakan Akbar yang masih setia mengikuti Nada. Sebenarnya Nada begitu risi dengan kehadiran Akbar. Bagaimanapun mereka baru saling mengenal. Tapi, Akbar bertingkah seperti sudah lama mengenal dirinya. Seperti saat ini, karena posisi bus penuh dan kursi kosong tersisa dua kursi membuat Nada terpaksa untuk duduk bersebelahan dengan Akbar. Pria muda itu tak hentinya berkicau, membuat Nada merasakan pusing.“Mbak mau ke Jakarta mana? Mau ke rumah siapa? Atau mungkin mau kerja, ya? Kenapa aku tanya tidak dijawab terus?” keluh Akbar.Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perkataan Akbar. Tidak ada salahnya jika ia perhatian. Mungkin sebagai bentuk rasa hormat pada yang lebih tua. Namun, Nada sedang dalam keadaan tak ingin diganggu tak punya minat untuk menimpali perkataan Akbar. Sepanjang perjalanan Nada hanya melihat ke arah jendela bus. Melihat pemandangan di sisi jalan yang dilewati. Lalu sekelebat bayangan masa lalu berput
“Suamiku....” Nada menjeda perkataannya. Ia sedang mengumpulkan kekuatan agar ia bisa menceritakannya dengan baik tanpa harus ada drama menangis.“Suami Mbak kenapa?” tanya Akbar saat Nada tak melanjutkan perkataannya.Tatapan Nada yang awalnya mengarah ke balik jendela bus. Kini berubah menjadi menatap ke arah foto yang dipegang oleh Nazril.Dengan menarik napas. Nada pun mulai menceritakan apa yang terjadi pada suaminya meski tidak keseluruhan.“Lima tahun lalu suamiku pamit, bilangnya mau kerja ke Jakarta. Awal kepergian, kami sering tukang kabar lewat telepon. Lalu dua kali mengirim surat dan setelah itu tak ada kabar lagi tentang dirinya.” Mata Nada mulai mengembun. Sekali saja berkedip pasti air matanya luruh. Namun, Nada terus mengibas-ngibaskan tangannya ke dekat mata berharap dengan cara seperti itu air matanya tidak luruh.“Lalu apa Mbak tahu di mana suami Mbak kerja? Maksud aku Jakartanya sebelah mana? Biar kita cari bersama-sama,” tutur Akbar begitu tulus.Nada membungku
Kini, Nada tengah ada di dalam kamar. Mengistirahatkan tubuhnya yang seharian penuh menempuh perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Nada begitu bersyukur, sebab dipertemukan dengan orang sebaik Akbar. Awalnya ia menyangka jika Akbar hanyalah seorang pemuda yang ingin berbuat jahat padanya. Pasalnya ia terus saja mengikuti dirinya dan juga Nazril. Namun, setelah melihat keseriusan di raut wajah Akbar, Nada menepis jauh prasangka buruknya. Dia salah, seperti benar apa yang sering orang katakan don’t judge in the cover. Saat ini Nada hanya sendiri. Sebab Nazril begitu lengket dengan Akbar. Sampai-sampai tak mau lepas dan tak mau jauh darinya. Mengingat akan sikap Nazril membuat Nada berpikir jika Nazril butuh sosok ayah. Sosok yang selama ini selalu ia rindukan, sosok yang belum pernah ia temui.Sekarang, bukanlah waktunya untuk bersedih. Ia sudah ada di Jakarta, maka jalan untuk bertemu sang suami tinggal beberapa langkah lagi. Ia enggak boleh lemah, cengeng apalagi putus asa.“Ya Allah
Pagi sudah menyingsing. Hari ini adalah menjadi hari pertama proses pencarian sang suami. Nada begitu bahagia, ia tak pernah lepas memamerkan lengkungan di bibirnya. Ia sudah tak sabar, ingin rasanya secepat mungkin memeluk sang suami bahkan ia berjanji dalam hatinya tidak akan pernah lagi membiarkan sang suami pergi lagi, meninggalkan dirinya dan juga Nazril.Pagi ini Nada berencana pergi ke tempat pertama di mana sang suami kerja. Tepatnya di daerah Menteng tepatnya di kelurahan Cikini. Nada memakai baju gamis warna dusty dipadu padankan dengan kerudung berwarna abu tua. Terkena cantik dan elegan. Nada sengaja tampil dari biasanya. Sebab dalam benaknya ia berpikiran bahwa hari ini ia akan bertemu dengan suaminya setelah lima tahun tak jumpa. Tak lupa Nazril pun ia pakaikan baju terbarunya. Alasan Nada satu ia tak ingin terlihat menyedihkan di depan suaminya. “Mbak udah siap?” tanya Akbar tiba-tiba.Nada langsung menoleh ke arah pintu kamar. Pintu yang sengaja ia buka. Di sana berd
Satu tahun kemudian....kehidupan Nada begitu penuh warna, keputusannya untuk menikah dengan Akbar adalah sesuatu yang tepat. Bagaimana tidak Akbar begitu sangat mencintainya, sangat menyayanginya sampai-sampai Nada serasa diratukan oleh Akbar.Tepat satu tahun pernikahan mereka dan penantian lama mereka berdua akhirnya Nada dan Akbar mendapatkan berita bahagia. Di mana dokter mengatakan jika saat ini nada Tengah mengandung 4 Minggu, kebahagiaan itu tentunya terasa berkali-kali lipat.Di usianya yang mungkin menurut orang sudah tak mudah lagi, ia harus kembali merasakan mengandung dan melahirkan. Bagi Nada itu bukan suatu persoalan. karena anak adalah rezeki, anak adalah titipan yang tidak mungkin ia tolak.Selain kehidupan Nada yang penuh dengan warna dan kebahagiaan. kehidupan Sofie pun perlahan membaik, dia kini sudah mantap untuk berhijab menggunakan gamis panjang sama seperti Nada.Hubungan dengan orang tuanya pun masih sama hanya saja tidak renggang seperti dulu. sesekali Sofi s
Keesokan paginyaHari ini adalah pagi pertama Nada memerankan perannya sebagai seorang istri yang baik. Setelah tadi melakukan salat bersama sang suami, nada langsung turun dan memasak untuk sarapan keluarga kecilnya tak lupa Sofi ikut turun membantu Nada.Biasanya Kayla dan asisten rumah tangga yang melakukannya. Namun karena Nada sudah kembali maka ia melakukannya sendiri. sedangkan Kayla dia pulang begitu juga dengan Ilham dan Lidya.Mengingat kejadian semalam, Nada berharap semoga Kayla dan Ilham diberikan jalan yang terbaik. Nada begitu yakin jika Kayla bisa mengatasinya."Kenapa malah turun? Tetaplah di kamar. Jika sudah selesai Mbak panggil kamu." Titah Nada pada Sofi. Saat wanita itu tiba-tiba ada di dekatnya.Sofi menggeleng, ia malah membawa pisau dan mulai membantu Nada memotong sayuran. "Aku bukan tamu, Mbak. Jadi biarkan aku membantu. "Nada tertawa kecil, "Baiklah lakukan yang kamu mau. Mbak justru senang jika kamu seperti ini. Tidak merasa seperti tamu. Bersikaplah seola
Saat ini Akbar berada di dalam kamar dia dan nada. kamar yang harusnya menjadi saksi penyatuan mereka dan terpaksa harus tertunda karena sebuah insiden yang sama sekali tidak mereka duga.Kelopak bunga mawar berbentuk hati menghiasi kasur pengantin baru yang tertunda itu l. kelopak bunga mawar yang kemarin diganti karena yang dulu sudah mengering.Hiasan ornamen pengantin baru saja masih terpasang indah di sana. Lampu kelap kelip-tirai cantik dan juga kelopak bunga mawar segar pemandangan indah di kamar pengantin baru yang tertunda itu.Entah kenapa Akbar merasa nervous saat ingin menyambut nada, dia berulang kali menelan salivanya, berulang kali memegangi telapak tangan yang terasa dingin. Ia bingung apa yang harus mereka lakukan setelah berada di dalam kamar berdua saja?Jika boleh jujur Akbar sama sekali tidak memiliki pemikiran untuk meminta haknya yang seharusnya satu minggu lalu ia terima. Iya nervous dan bingung hanya karena untuk pertama kalinya mereka akan berada di dalam sat
Karena waktu semakin malam, Nada pun membawa Sofi ke kamar yang akan menjadi miliknya. Kamar tersebut berada di samping kamar Nazril."Ikut Mbak ya. Mbak akan tunjukkan kamar milikmu." tutur Nada "Aku malu Mbak," ucap Sofi "Kenapa harus malu? Tidak ada yang mempermalukan kamu." seru Nada karena pada dasarnya memang iya. "Aku sepertinya menyusahkan kamu, Mbak. mungkin aku lebih baik tinggal di rumah orang tuaku saja." Mendengar hal itu membuat Nada menatap Sofi dengan tatapan penuh tanda tanya.."Tinggal di rumah orang tuamu yang sama sekali gak pernah menganggap kehadiranmu. Orang tua yang selalu menyakiti perasaanmu, bukankah Mbak sudah bilang, Mbak rela kamu kembali ke orang tuamu asalkan mereka benar-benar mau menerima kamu. karena walau bagaimanapun yang namanya ikatan anak dan orang tua nggak ada yang bisa terputus. Enggak ada yang namanya mantan anak apalagi mantan orang tua. Orang tua kamu aja yang terlalu egois. pokoknya kamu tenang Mbak akan urus masalah ini. Bukan berarti
"Bagaimana, kau mendengarnya sendiri bukan? apa yang diinginkan oleh Lidya." tanya Nada kepada Kayla saat obrolannya dengan Lidya berakhir.Kayla mengganggukan kepalanya dengan posisi masih menyendirikan punggungnya pada dinding. Tubuhnya mendadak terasa lemas."Lalu apa yang harus aku lakukan? Sedangkan aku sendiri saja bingung, bagaimana caranya menyayangi dia. Ayahnya saja tidak aku cintai tidak aku sukai. Bagaimana dengan anaknya?" tanya Kayla pada Nada."Cobalah posisikan dirimu sebagai Lidya. Bagaimana posisi kamu Jika kamu seperti Lidya, orang tua salah satunya sudah meninggal, lalu salah satunya harus menikah lagi." tanya balik Nada pada Kayla ."Cobalah untuk memperbaiki diri, ya. Aku tahu, aku sendiri saja bukan manusia yang sempurna. Bukan manusia yang baik, tapi setidaknya aku selalu ingin membuat diri ini ada gunanya di mata orang lain. kandang aku selalu berpikir hidupku ingin bermanfaat bagi orang lain. Tidak apa-apa jika aku terluka yang penting orang lain bahagia, kar
Nada menatap Lidya yang baru saja pergi, bahkan menabrak dirinya tanpa mengucapkan maaf. Nada merasa telah terjadi sesuatu antara ayah dan anak itu. Hingga membuat gadis tujuh tahun itu tidak sedikitpun meminta maaf. Padahal, Lidya begitu dekat dengannya dan Lidya begitu hormat padanya.Melihat hal ini, Nada harus turun tangan. Ia harus bisa mengatasi masalah yang terjadi antara ayah dan anak ini."Ada apa dengan Lidya? Kenapa dia terlihat begitu marah?" tanya nada kepada Ilham saat ia baru saja sampai di hadapan Ilham.Ilham yang kalau itu Tengah terduduk lemas, seraya menyenderkan punggungnya pada senderan kursi, hanya bisa membalas pertanyaan Nada dengan sebuah helaan nafas yang sangat panjang. sepertinya dia belum siap untuk bercerita.Lama terdiam, akhirnya Ilham buka suara."Apa yang harus aku lakukan? Lidya marah padaku gara-gara aku akan menikah lagi. Dia enggak suka pada Kayla." Ucap Ilham dengan lemesnya dan tak bertenaga.Sudah Nada duga, jika terjadi sesuatu dengan Ilham d
"Lidya tunggu jangan lari, nak!" teriak Ilham pada Lidya yang pergi meninggalkan sang Ayah.."Jangan mengikuti Lidya, yah! Pergi urus saja wanita itu!" teriak lagi Lidya dia masih terus berjalan."Dengerin Ayah, nak, jangan seperti ini. Ayah mohon," pinta Ilham. Ilham sedih karena anak seusia sang anak bisa memberontak seperti ini.Lidya berhenti, dia tidak lari lagi. Dia membelakangi sang ayah, sementara sang ayah terengah-engah Karena kelelahan mengejar dirinya.."Tolong dengarkan dulu perkataan ayah. Jangan seperti ini," pinta lagi Ilham.Lidya membalikkan tubuhnya hingga ia bisa bersitatap dengan sang ayah. Yang mana kala ini Tengah berjongkok, Karena kelelahan dan hampir kehabisan napas."Dengerin apa, Yah? Meskipun Ayah tidak memberitahu Lidya, tapi Lidya tahu yang namanya ibu tiri itu jahat. Contohnya teman Lidya di sekolah. Dia sering bilang kalau dia sering dipukul sama ibu tirinya. Dia juga suka bilang perhatian ayahnya hilang, lalu apa bedanya sama Lidya. Ayah sendi
Sekitar pukul tujuh malam mereka sampai di rumah Nada. Nada kini bisa menginjakkan lagi kakinya di rumahnya, setelah seminggu lebih ia di Bogor.Di depan pintu sudah ada Nazril. Ia langsung berlari dan memeluk Nada. Kedua menangis bahagia."Bunda, Nazril rindu bunda. Bunda tidak apa-apa kan? Bunda enggak akan pergi-pergi lagi kan?" Ujar Nazril dalam pelukan Nada."Bunda janji, tidak akan ke mana-mana lagi. Bunda akan selalu bersama Nazril." Ucap Nada seraya mengecup kening Nazril. "Nazril apa kabar, sehatkan? Selama bunda gak ada Nazril kuat kan? Bunda Percaya kamu pasti selalu mendoakan Bunda. Dan qodarullah inilah kekuatan doamu. Bunda bisa pulang dan bertemu kembali dengan Nazril," lanjut lagi Nada dengan tidak hentinya membanjiri pipi Nazril dengan ciuman kerinduan. Antara bunda dan anaknya.Pelukan mereka terurai, Nada mengusap-usap kepala dan pipi Nazril. Ia tengah meyakinkan dirinya jika ini bukanlah mimpi tapi sungguhan."Apakah Nazril hanya merindukan bunda? Ayah enggak?" Uca
Nada, Akbar dan Sofi berjalan beriringan. Jika Nada digenggam oleh Akbar. Maka Sofi digenggam oleh Nada. Sofi merasa sedang diperhatikan oleh seorang kakak. Ia menyukainya.Dari kejauhan Ilham melihat tiga orang ini berjalan ke arahnya. Namun,. Ilham tidak mengenali sosok yang ada di samping Nada itu. Ilham pikir mungkin itu temannya Nada. Tapi.... teman yang mana? Inikan di Bogor. Mana mungkin Nada memiliki teman di sini selain Sofi.Saking memikirkan karena tidak mengenali sosok yang ada di samping Nada. Ilham sampai tidak menyadari kedatangannya mereka. Lalu tepukan di bahu Ilham mampu menyadarkan dirinya.Rupanya itu Akbar, yang menepuk pundak Ilham lalu berbisik " Jaga mata, jaga hati. Ingat di Jakarta ada yang menunggu."Bugh...Ilham memukul punggung Akbar. Karena sang adik sudah lancang berkata seperti itu. Lalu Akbar kembali berbisik. "Dia Sofi, gadis yang tadi. Cantik kan?" Akbar malah semakin menggoda sang kakak.Akbar menyukainya saat menggoda Sang kakak, ia bahkan selal