“Mbak, ayo kita pergi!”
Ajakan seseorang membuat Nada langsung mendongakkan kepala. Ia kaget melihat siapa yang saat ini tengah berdiri di hadapannya.“Kamu?”“Hehe, iya, Mbak ini aku,” Akbar cengengesan.“Aku kira kamu udah pergi,” kata Nada seraya bangkit dan hendak pergi.“Aku nungguin Mbak, biar kita berangkat bareng,” terang Akbar seraya ikut berjalan mengikuti Nada.Nada menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke Akbar yang ada di sampingnya.“Bareng?” ulang Nada dengan nada keheranan“Aku mau ke Jakarta, kamu lebih baik lanjutin perjalanan kamu,” tolak Nada seraya kembali berjalan.“Aku pun mau ke Jakarta, Mbak. Aku memang tinggal di sana. Ke Lampung aku habis melakukan penelitian tentang gunung Krakatau,” terangnya. Tanpa mempedulikan Akbar Nada terus berjalan. Dengan mata yang tak henti mencari sesuatu, sarapan yang cocok untuk dirinya dan Nazril. Sementara Akbar masih setia mengikuti Nada dari belakang. Tanpa sepengetahuan Nada diam-diam Akbar mengikuti Nada mulai dari kapal. Entah kenapa Akbar ingin sekali membantu Nada.Meskipun Akbar tidak tahu Nada ke Jakarta untuk apa. Apa memang tinggal di Jakarta atau mungkin mau mengunjungi Sanak saudaranya. Entahlah. Yang pasti Akbar ingin menemani Nada hingga selamat sampai tujuan.“Mbak,” panggil Akbar, ia merasa terabaikan.“Hmm,” jawab Nada.“Mau ke mana lagi?” tanya Akbar Lagi-lagi Akbar hanya diabakan oleh Nada. Nada tidak merespons pertanyaan Akbar. Hal itu malah membuat Akbar tersenyum simpul.‘Melihat Mbak Nada aku jadi teringat almarhumah Mbak Niken,’ batin Akbar.Akhirnya Akbar memilih diam dan mengikuti saja ke mana pun Nada melangkah. Hingga Nada pun berhenti tepat di depan gerobak bertuliskan Bubur Ayam. Sarapan favorit dirinya dan Nazril.Nada, Nazril dan Akbar duduk di emperan. Di atas tikar yang disediakan oleh penjual. Lalu Nada memesan tiga porsi bubur ayam.“Oh, Mbak ternyata cari sarapan?” tanya Akbar setelah beberapa menit lamanya bungkam.Nada tidak menjawab, ia hanya tersenyum. Tapi, berbeda dengan Nazril yang sepertinya merasa penasaran akan sosok pria yang sedari tadi mengikutinya.“Om, siapa?” tanya Nazril.Akbar yang merasa ditanya langsung melihat ke arah Nazril.“Ya Ampun, aku hampir lupa. Kita belum kenalan kan?” sesal Akbar sabari menepuk jidat tanda menyesal.“Aku Nazril,” jawab Nazril“Om namanya Akbar, salam kenal, ya.”Akbar mengangkat tangan seperti ingin melakukan adu tos sebagai tanda perkenalan. Nazril paham, sebab iapun sering melakukan hal itu dengan Yudi.“Kita teman, ya sekarang.”“Iya, Om Akbar sekarang teman Nazril, hore, Nazril punya teman.” Nazril begitu senang.“Bunda, Nazril punya teman baru,” adu Nazril pada Nada, Nada pun membalas dengan senyuman. Beberapa menit kemudian, tiga porsi bubur ayam terhidang di meja depan mereka. Akbar yang merasa tak pesan merasa heran, saat tukang bubur ayam tiba-tiba meletakkannya tepat di depannya.Baru saja Akbar akan membuka suara ingin protes karena merasa tidak memesan, Nada langsung menyala.“Makan, aja. Jakarta itu jauh dan kita tidak tahu Bus akan berhenti kapan lagi. Kalau kelaparan di jalan gimana?”Akbar tersenyum. “Ah, Mbak Nada baik banget, sih, terhura aku.”“Om, terhura itu apa?” tanya tiba-tiba Nazril.“Terharu maksudnya. Hehe.” Akbar cengengesan.“Oh.”Akbar kembali menatap ke arah Nada.“Makasih, Mbak baik, deh.”Obrolan sejenak terhenti, mereka bertiga terlalu fokus menikmati sarapan. Meski hanya sarapan bubur, tapi, semoga bisa mengganjal rasa lapar. Nada harus Berhemat sebabe ia tak tahu berapa lama ia akan tinggal di Jakarta. Tentu jika ia tak berhemat maka sudah dipastikan sebelum suaminya ketemu bekalnya sudah habis.Akbar orang pertama yang menghabiskan sarapannya. Sembari menunggu Akbar terus saja berceloteh, sepertinya ia begitu penasaran dengan Nada sampai-sampai yang ia tanyakan semua tentang Nada.“Mbak, Jakarta-nya sebelah mana? Siapa tahu saja satu jalur denganku, biar aku antar Mbak sama Nazril sampai tujuan?”“Nazril mau mencari Ayah, Om,” kicau Nazril tiba-tiba hingga membuat Nada memanggil namanya. Nazril paham saat berbicara dengan orang lain lalu Nada menyebut namanya itu artinya ia harus diam tidak boleh bicara sembarangan.“Nazril. Habiskan dulu makanannya,” titah Nada dan di iyakan oleh Nazril.Nada melanjutkan sarapannya, lain halnya dengan Akbar. Dia memang baru mengenal sosok Nada beberapa jam lalu bahkan bisa dibilang belum ada sehari kenal. Tapi, entah kenapa Akbar begitu ingin menolong Nada. Ada sesuatu hal yang memuat Akbar harus menolongnya, tapi entah apa. Apa mungkin karena Nada mirip almarhumah kakak iparnya? Entah.Selesai sarapan, Nada hendak membayar. Tetapi sudah terlebih dulu dibayar oleh Akrab. Nada yang paling anti menyusahkan orang, ia pun berniat mengganti uang yang dikeluarkan Akbar untuk membayar sarapannya. Padahal, niat awalnya justru ia akan membayar milik Akbar tapi malah ia yang dibayari.“Kenapa kamu harus repot-repot bayarin punyaku dan Nazril? Aku punya uang, kok. Ini ambil, ya sebagai ganti uangmu tadi.” Nada menjulurkan tangan dan di tangannya ada uang untuk mengganti uang Akbar.“Enggak usah, Mbak. Aku tahu Mbak pasti punya uang.Tapi, masa iya pria dibayarin sama wanita, harga diri aku mau ditaruh di mana Mbak,” terangnya dan malah membuat Nada tersenyum walau seulas.“Kamu ada-ada aja. Lagian aku sudah berniat untuk sekalian bayarin punya kamu," terang Nada dengan tersenyum.“Nah, gitu dong Mbak. Senyum, kan makin terlihat cantik.”Senyum di bibir Nada tiba-tiba sirna dan itu membuat Akbar langsung keheranan. Hanya dalam beberapa menit saja ekspresi Nada langsung berubah.‘Apa aku salah ngomong?’ batin Akbar.Nada dan Nazril sudah berada dalam bus menuju Jakarta. Jangan lupakan Akbar yang masih setia mengikuti Nada. Sebenarnya Nada begitu risi dengan kehadiran Akbar. Bagaimanapun mereka baru saling mengenal. Tapi, Akbar bertingkah seperti sudah lama mengenal dirinya. Seperti saat ini, karena posisi bus penuh dan kursi kosong tersisa dua kursi membuat Nada terpaksa untuk duduk bersebelahan dengan Akbar. Pria muda itu tak hentinya berkicau, membuat Nada merasakan pusing.“Mbak mau ke Jakarta mana? Mau ke rumah siapa? Atau mungkin mau kerja, ya? Kenapa aku tanya tidak dijawab terus?” keluh Akbar.Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perkataan Akbar. Tidak ada salahnya jika ia perhatian. Mungkin sebagai bentuk rasa hormat pada yang lebih tua. Namun, Nada sedang dalam keadaan tak ingin diganggu tak punya minat untuk menimpali perkataan Akbar. Sepanjang perjalanan Nada hanya melihat ke arah jendela bus. Melihat pemandangan di sisi jalan yang dilewati. Lalu sekelebat bayangan masa lalu berput
“Suamiku....” Nada menjeda perkataannya. Ia sedang mengumpulkan kekuatan agar ia bisa menceritakannya dengan baik tanpa harus ada drama menangis.“Suami Mbak kenapa?” tanya Akbar saat Nada tak melanjutkan perkataannya.Tatapan Nada yang awalnya mengarah ke balik jendela bus. Kini berubah menjadi menatap ke arah foto yang dipegang oleh Nazril.Dengan menarik napas. Nada pun mulai menceritakan apa yang terjadi pada suaminya meski tidak keseluruhan.“Lima tahun lalu suamiku pamit, bilangnya mau kerja ke Jakarta. Awal kepergian, kami sering tukang kabar lewat telepon. Lalu dua kali mengirim surat dan setelah itu tak ada kabar lagi tentang dirinya.” Mata Nada mulai mengembun. Sekali saja berkedip pasti air matanya luruh. Namun, Nada terus mengibas-ngibaskan tangannya ke dekat mata berharap dengan cara seperti itu air matanya tidak luruh.“Lalu apa Mbak tahu di mana suami Mbak kerja? Maksud aku Jakartanya sebelah mana? Biar kita cari bersama-sama,” tutur Akbar begitu tulus.Nada membungku
Kini, Nada tengah ada di dalam kamar. Mengistirahatkan tubuhnya yang seharian penuh menempuh perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Nada begitu bersyukur, sebab dipertemukan dengan orang sebaik Akbar. Awalnya ia menyangka jika Akbar hanyalah seorang pemuda yang ingin berbuat jahat padanya. Pasalnya ia terus saja mengikuti dirinya dan juga Nazril. Namun, setelah melihat keseriusan di raut wajah Akbar, Nada menepis jauh prasangka buruknya. Dia salah, seperti benar apa yang sering orang katakan don’t judge in the cover. Saat ini Nada hanya sendiri. Sebab Nazril begitu lengket dengan Akbar. Sampai-sampai tak mau lepas dan tak mau jauh darinya. Mengingat akan sikap Nazril membuat Nada berpikir jika Nazril butuh sosok ayah. Sosok yang selama ini selalu ia rindukan, sosok yang belum pernah ia temui.Sekarang, bukanlah waktunya untuk bersedih. Ia sudah ada di Jakarta, maka jalan untuk bertemu sang suami tinggal beberapa langkah lagi. Ia enggak boleh lemah, cengeng apalagi putus asa.“Ya Allah
Pagi sudah menyingsing. Hari ini adalah menjadi hari pertama proses pencarian sang suami. Nada begitu bahagia, ia tak pernah lepas memamerkan lengkungan di bibirnya. Ia sudah tak sabar, ingin rasanya secepat mungkin memeluk sang suami bahkan ia berjanji dalam hatinya tidak akan pernah lagi membiarkan sang suami pergi lagi, meninggalkan dirinya dan juga Nazril.Pagi ini Nada berencana pergi ke tempat pertama di mana sang suami kerja. Tepatnya di daerah Menteng tepatnya di kelurahan Cikini. Nada memakai baju gamis warna dusty dipadu padankan dengan kerudung berwarna abu tua. Terkena cantik dan elegan. Nada sengaja tampil dari biasanya. Sebab dalam benaknya ia berpikiran bahwa hari ini ia akan bertemu dengan suaminya setelah lima tahun tak jumpa. Tak lupa Nazril pun ia pakaikan baju terbarunya. Alasan Nada satu ia tak ingin terlihat menyedihkan di depan suaminya. “Mbak udah siap?” tanya Akbar tiba-tiba.Nada langsung menoleh ke arah pintu kamar. Pintu yang sengaja ia buka. Di sana berd
Pencarian jejak sang suami pun Nada hentikan. Dirinya belum siap mendengar sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini. Sebuah kenyataan jika sang suami bisa saja menjadi korban insiden kecelakaan kerja itu.Lalu jika sudah seperti ini bagaimana dengan rasa rindunya? Apakah benar rasa rindunya ini tidak akan pernah ada ujungnya? Tidak akan ada akhirnya? Dan tidak akan pernah usai.Terlebih Nazril, bagaimana dengan dia? Nada telanjur memberikan harapan dan kini harapannya hanya jadi angan saja.Tak terasa motor yang Akbar kendarai sudah sampai di rumahnya. Dan Nada sama sekali tak menyadari. Ia terlalu larut dalam lamunannya, suara Akbar pun mengembalikan angan Nada hingga Nada menyadari jika dirinya telah sampai di rumah Akbar. Baru saja Nada hendak turun dari motor, dari arah rumah Nazril berlari dan memanggil namanya. Nada yang melihat Nazril langsung memasang wajah ceria, ia berjongkok serta merentangkan tangan meminta Nazril masuk ke dalam dekapannya.“Bunda,” teriak Nazril lalu mem
Sebenarnya Nada sudah tak memiliki lagi semangat. Harapannya seketika hilang saat mendengar jika lima tahun lalu ada insiden kecelakaan kerja di tempat suaminya dulu kerja. Nada merasa memang telah terjadi sesuatu pada suaminya. Dia tahu betul bagaimana sifat sang suami. Ia termasuk pria jujur, bertanggungjawab dan sangat mencintai dirinya. Mengetahui kenyataan jika sang suami tidak pulang-pulang membuat Nada ragu dan bertanya-tanya. Apakah terjadi sesuatu pada suaminya? Jawabnya benar, sekarang terjawab sudah. “Mbak... hari ini jadikan mencari suami Mbak lagi?” tanya Akbar ingin memastikan.“Apa harus Akbar?” Nada malah balik bertanya.“Harus Mbak. Ini baru sehari, kemungkinan suami Mbak hidup masih tinggi.”Nada menghela napas kasar. “Kau benar. Kenapa aku malah putus asa seperti ini? Aku akan siap-siap kalau gitu.”Nada berjalan ke kamarnya, ia meyakinkan diri jika banyak kemungkinan suaminya masih hidup. Ia tidak boleh menyerah kecuali jika ia memang ikhtiarnya sudah deras tapi
Tut... tut...“Halo assalamualaikum, Akbar. Tumben kamu hubungi Kakak,” ucap seseorang di balik telepon.“Memang Akbar enggak boleh hubungi kakak sendiri, gitu?”“Haha. Bukan begitu juga Akbar. Kamu kan kalau enggak Kakak yang telepon duluan, enggak bakalan telepon kakak. Ada masalah penting ‘kah?” terka sang Kakak.Dari balik telepon sana, Akbar menghela napas berat. Ia seolah-olah ragu untuk mengatakanya. Sang kakak yang menyadari hal tersebut langsung kembali bertanya.“Ada apa, Dik? Ceritalah sama Kakak. Jika ada masalah jangan dipendam sendiri. Kamu sekarang tanggung jawab Kakak,” sang Kakak mencoba untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Akbar.“Anu... Kak. Mengenai kejadian lima tahun lalu yang menyebabkan ayah kita terkena serangan jantung dan memakan banyak korban. Akbar....” Perkataan Akbar di menggantung di udara.“Itu peristiwa dulu, Dik. Jangan diingat lagi. Jika mengingat itu membuat Kakak merasa bersalah sama ayah karena tidak bisa berada disisinya,” sesal san
Dia....”“Apa Pak? Suami aku kenapa?” “Sebagai bentuk pertanggungjawaban. Tuan kami menampung semua korban yang memang rumahnya jauh. Kalau tidak salah ada sekitar sepuluh orang yang tinggal di sini, salah satunya suami neng. Dari kesepuluh orang itu hanya ada tiga orang yang mengalami luka berat. Ada yang kepalanya di perban, tangan dan kakinya patah bahkan ada juga yang harus kehilangan satu kakinya.”“Astagfirullah,” Nada beristighfar mendengar penjelasan dari satpam itu.Satpam lalu melihat penuh iba pada Nada. Ia harus mengatakan walau wanita yang ada di hadapannya ini akan syok berat.“Dan orang yang harus kehilangan satu kakinya adalah Aziz, orang yang ada di foto itu orang yang neng sebut suami Neng.”Jleb....Nada bergeming dengan air mata yang berjatuhan dari kedua pelupuk matanya. Ia menggeleng seraya terus meracau.“Tidak, tidak mungkin!”Akbar yang merasa iba, berusaha menenangkan Nada. Meski dirinya pun merasa terkejut luar biasa.“Bapak bohong kan?” tanya Nada pada sat
Satu tahun kemudian....kehidupan Nada begitu penuh warna, keputusannya untuk menikah dengan Akbar adalah sesuatu yang tepat. Bagaimana tidak Akbar begitu sangat mencintainya, sangat menyayanginya sampai-sampai Nada serasa diratukan oleh Akbar.Tepat satu tahun pernikahan mereka dan penantian lama mereka berdua akhirnya Nada dan Akbar mendapatkan berita bahagia. Di mana dokter mengatakan jika saat ini nada Tengah mengandung 4 Minggu, kebahagiaan itu tentunya terasa berkali-kali lipat.Di usianya yang mungkin menurut orang sudah tak mudah lagi, ia harus kembali merasakan mengandung dan melahirkan. Bagi Nada itu bukan suatu persoalan. karena anak adalah rezeki, anak adalah titipan yang tidak mungkin ia tolak.Selain kehidupan Nada yang penuh dengan warna dan kebahagiaan. kehidupan Sofie pun perlahan membaik, dia kini sudah mantap untuk berhijab menggunakan gamis panjang sama seperti Nada.Hubungan dengan orang tuanya pun masih sama hanya saja tidak renggang seperti dulu. sesekali Sofi s
Keesokan paginyaHari ini adalah pagi pertama Nada memerankan perannya sebagai seorang istri yang baik. Setelah tadi melakukan salat bersama sang suami, nada langsung turun dan memasak untuk sarapan keluarga kecilnya tak lupa Sofi ikut turun membantu Nada.Biasanya Kayla dan asisten rumah tangga yang melakukannya. Namun karena Nada sudah kembali maka ia melakukannya sendiri. sedangkan Kayla dia pulang begitu juga dengan Ilham dan Lidya.Mengingat kejadian semalam, Nada berharap semoga Kayla dan Ilham diberikan jalan yang terbaik. Nada begitu yakin jika Kayla bisa mengatasinya."Kenapa malah turun? Tetaplah di kamar. Jika sudah selesai Mbak panggil kamu." Titah Nada pada Sofi. Saat wanita itu tiba-tiba ada di dekatnya.Sofi menggeleng, ia malah membawa pisau dan mulai membantu Nada memotong sayuran. "Aku bukan tamu, Mbak. Jadi biarkan aku membantu. "Nada tertawa kecil, "Baiklah lakukan yang kamu mau. Mbak justru senang jika kamu seperti ini. Tidak merasa seperti tamu. Bersikaplah seola
Saat ini Akbar berada di dalam kamar dia dan nada. kamar yang harusnya menjadi saksi penyatuan mereka dan terpaksa harus tertunda karena sebuah insiden yang sama sekali tidak mereka duga.Kelopak bunga mawar berbentuk hati menghiasi kasur pengantin baru yang tertunda itu l. kelopak bunga mawar yang kemarin diganti karena yang dulu sudah mengering.Hiasan ornamen pengantin baru saja masih terpasang indah di sana. Lampu kelap kelip-tirai cantik dan juga kelopak bunga mawar segar pemandangan indah di kamar pengantin baru yang tertunda itu.Entah kenapa Akbar merasa nervous saat ingin menyambut nada, dia berulang kali menelan salivanya, berulang kali memegangi telapak tangan yang terasa dingin. Ia bingung apa yang harus mereka lakukan setelah berada di dalam kamar berdua saja?Jika boleh jujur Akbar sama sekali tidak memiliki pemikiran untuk meminta haknya yang seharusnya satu minggu lalu ia terima. Iya nervous dan bingung hanya karena untuk pertama kalinya mereka akan berada di dalam sat
Karena waktu semakin malam, Nada pun membawa Sofi ke kamar yang akan menjadi miliknya. Kamar tersebut berada di samping kamar Nazril."Ikut Mbak ya. Mbak akan tunjukkan kamar milikmu." tutur Nada "Aku malu Mbak," ucap Sofi "Kenapa harus malu? Tidak ada yang mempermalukan kamu." seru Nada karena pada dasarnya memang iya. "Aku sepertinya menyusahkan kamu, Mbak. mungkin aku lebih baik tinggal di rumah orang tuaku saja." Mendengar hal itu membuat Nada menatap Sofi dengan tatapan penuh tanda tanya.."Tinggal di rumah orang tuamu yang sama sekali gak pernah menganggap kehadiranmu. Orang tua yang selalu menyakiti perasaanmu, bukankah Mbak sudah bilang, Mbak rela kamu kembali ke orang tuamu asalkan mereka benar-benar mau menerima kamu. karena walau bagaimanapun yang namanya ikatan anak dan orang tua nggak ada yang bisa terputus. Enggak ada yang namanya mantan anak apalagi mantan orang tua. Orang tua kamu aja yang terlalu egois. pokoknya kamu tenang Mbak akan urus masalah ini. Bukan berarti
"Bagaimana, kau mendengarnya sendiri bukan? apa yang diinginkan oleh Lidya." tanya Nada kepada Kayla saat obrolannya dengan Lidya berakhir.Kayla mengganggukan kepalanya dengan posisi masih menyendirikan punggungnya pada dinding. Tubuhnya mendadak terasa lemas."Lalu apa yang harus aku lakukan? Sedangkan aku sendiri saja bingung, bagaimana caranya menyayangi dia. Ayahnya saja tidak aku cintai tidak aku sukai. Bagaimana dengan anaknya?" tanya Kayla pada Nada."Cobalah posisikan dirimu sebagai Lidya. Bagaimana posisi kamu Jika kamu seperti Lidya, orang tua salah satunya sudah meninggal, lalu salah satunya harus menikah lagi." tanya balik Nada pada Kayla ."Cobalah untuk memperbaiki diri, ya. Aku tahu, aku sendiri saja bukan manusia yang sempurna. Bukan manusia yang baik, tapi setidaknya aku selalu ingin membuat diri ini ada gunanya di mata orang lain. kandang aku selalu berpikir hidupku ingin bermanfaat bagi orang lain. Tidak apa-apa jika aku terluka yang penting orang lain bahagia, kar
Nada menatap Lidya yang baru saja pergi, bahkan menabrak dirinya tanpa mengucapkan maaf. Nada merasa telah terjadi sesuatu antara ayah dan anak itu. Hingga membuat gadis tujuh tahun itu tidak sedikitpun meminta maaf. Padahal, Lidya begitu dekat dengannya dan Lidya begitu hormat padanya.Melihat hal ini, Nada harus turun tangan. Ia harus bisa mengatasi masalah yang terjadi antara ayah dan anak ini."Ada apa dengan Lidya? Kenapa dia terlihat begitu marah?" tanya nada kepada Ilham saat ia baru saja sampai di hadapan Ilham.Ilham yang kalau itu Tengah terduduk lemas, seraya menyenderkan punggungnya pada senderan kursi, hanya bisa membalas pertanyaan Nada dengan sebuah helaan nafas yang sangat panjang. sepertinya dia belum siap untuk bercerita.Lama terdiam, akhirnya Ilham buka suara."Apa yang harus aku lakukan? Lidya marah padaku gara-gara aku akan menikah lagi. Dia enggak suka pada Kayla." Ucap Ilham dengan lemesnya dan tak bertenaga.Sudah Nada duga, jika terjadi sesuatu dengan Ilham d
"Lidya tunggu jangan lari, nak!" teriak Ilham pada Lidya yang pergi meninggalkan sang Ayah.."Jangan mengikuti Lidya, yah! Pergi urus saja wanita itu!" teriak lagi Lidya dia masih terus berjalan."Dengerin Ayah, nak, jangan seperti ini. Ayah mohon," pinta Ilham. Ilham sedih karena anak seusia sang anak bisa memberontak seperti ini.Lidya berhenti, dia tidak lari lagi. Dia membelakangi sang ayah, sementara sang ayah terengah-engah Karena kelelahan mengejar dirinya.."Tolong dengarkan dulu perkataan ayah. Jangan seperti ini," pinta lagi Ilham.Lidya membalikkan tubuhnya hingga ia bisa bersitatap dengan sang ayah. Yang mana kala ini Tengah berjongkok, Karena kelelahan dan hampir kehabisan napas."Dengerin apa, Yah? Meskipun Ayah tidak memberitahu Lidya, tapi Lidya tahu yang namanya ibu tiri itu jahat. Contohnya teman Lidya di sekolah. Dia sering bilang kalau dia sering dipukul sama ibu tirinya. Dia juga suka bilang perhatian ayahnya hilang, lalu apa bedanya sama Lidya. Ayah sendi
Sekitar pukul tujuh malam mereka sampai di rumah Nada. Nada kini bisa menginjakkan lagi kakinya di rumahnya, setelah seminggu lebih ia di Bogor.Di depan pintu sudah ada Nazril. Ia langsung berlari dan memeluk Nada. Kedua menangis bahagia."Bunda, Nazril rindu bunda. Bunda tidak apa-apa kan? Bunda enggak akan pergi-pergi lagi kan?" Ujar Nazril dalam pelukan Nada."Bunda janji, tidak akan ke mana-mana lagi. Bunda akan selalu bersama Nazril." Ucap Nada seraya mengecup kening Nazril. "Nazril apa kabar, sehatkan? Selama bunda gak ada Nazril kuat kan? Bunda Percaya kamu pasti selalu mendoakan Bunda. Dan qodarullah inilah kekuatan doamu. Bunda bisa pulang dan bertemu kembali dengan Nazril," lanjut lagi Nada dengan tidak hentinya membanjiri pipi Nazril dengan ciuman kerinduan. Antara bunda dan anaknya.Pelukan mereka terurai, Nada mengusap-usap kepala dan pipi Nazril. Ia tengah meyakinkan dirinya jika ini bukanlah mimpi tapi sungguhan."Apakah Nazril hanya merindukan bunda? Ayah enggak?" Uca
Nada, Akbar dan Sofi berjalan beriringan. Jika Nada digenggam oleh Akbar. Maka Sofi digenggam oleh Nada. Sofi merasa sedang diperhatikan oleh seorang kakak. Ia menyukainya.Dari kejauhan Ilham melihat tiga orang ini berjalan ke arahnya. Namun,. Ilham tidak mengenali sosok yang ada di samping Nada itu. Ilham pikir mungkin itu temannya Nada. Tapi.... teman yang mana? Inikan di Bogor. Mana mungkin Nada memiliki teman di sini selain Sofi.Saking memikirkan karena tidak mengenali sosok yang ada di samping Nada. Ilham sampai tidak menyadari kedatangannya mereka. Lalu tepukan di bahu Ilham mampu menyadarkan dirinya.Rupanya itu Akbar, yang menepuk pundak Ilham lalu berbisik " Jaga mata, jaga hati. Ingat di Jakarta ada yang menunggu."Bugh...Ilham memukul punggung Akbar. Karena sang adik sudah lancang berkata seperti itu. Lalu Akbar kembali berbisik. "Dia Sofi, gadis yang tadi. Cantik kan?" Akbar malah semakin menggoda sang kakak.Akbar menyukainya saat menggoda Sang kakak, ia bahkan selal