Setelah lima jam dalam kapal akhirnya Nada bisa menapaki kakinya di pelabuhan Merak. Kapal yang ia tumpangi harus tertahan beberapa jam sebab di pelabuhan Merak belum ada kapal yang berlayar. Hingga tidak ada tempat untuk menyandarkan kapal.
Perjalanan Nada masih panjang. Perlu beberapa jam lagi untuk sampai ke Jakarta. Nada begitu kesusahan saat berjalan sebab ia tak tega membangunkan Nazril alhasil ia pun harus memangku Nazril yang terlelap.Jam menunjukkan pukul empat pagi, ia berniat untuk menunggu waktu subuh tiba setelah itu ia akan melanjutkan perjalanannya dalam pencarian sang suami. Dari jarak beberapa meter Nada melihat mesjid, ia pun bergegas ke sana dengan ringkih.Sampai di mesjid Nada segera menidurkan Nazril dipaling pojok mesjid. Sementara dirinya hendak mengambil air wudu. Air wudu menerpa wajah cantik Nada, memberikan kesegaran di tengah kegersangan hati. Di tengah gundah gulana dan di tengah keputusasaan.Setelah selesai berwudu, Nada memakai mukena yang tersedia di sana. Lalu melantunkan ayat suci Al-Quran untuk memenangkan hati. Tak terasa bulir-bulir air mata terjauh. Nada bingung sendiri kenapa dia terlihat seperti wanita lemah yang setiap saat selalu saja menangis.Dulu, tidak seperti ini bahkan bisa dibilang jarang menangis, meski sebenarnya hatinya ingin menangis tapi sebisa mungkin ia tahan. Sekarang? Bahkan hal sepele saja yang mengingat kan akan suaminya itu ia langsung menangis. Mungkin ia sudah lelah. Hatinya, pikirannya serta jiwanya pun juga.Tak lama suara azan berkumandang, Nada pun menghentikan aktivitas membaca Al-Quran. Ia simpan dulu dan ia fokus mendengarkan kumandang azan. Sembari mendengarkan ia mengikuti lafaz azan setiap satu bait selesai terucap.Lagi, Nada menangis. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan. Entah tangisan ke berapa ia lakukan. Terlalu sering bahkan sangat sering, hingga dirinya saja tidak tahu sesering apa ia menangis.‘Ya Allah, Ya Rahman, Ya rahim. Aku mohon berkahilah setiap langkah kakiku. Berilah aku kemudahan dalam proses pencarian suamiku,’ rintihnya dalam hati.Setelah itu, Nada bangkit untuk mengerjakan salat subuh berjamaah. Selesai salat Nada tidak langsung pergi ia masih duduk berdiam diri di dalam mesjid. Masih terlalu gelap untuk melanjutkan perjalanan pikir Nada.Sembari menunggu matahari naik hingga cahayanya menerangi alam dunia, Nada membuka tasnya lalu mengambil dua lembar amplop yang warnanya sudah usang. Itu adalah surat yang dikirim Aziz sebelum ia hilang bak ditelan bumi.Amplop pertama atau surat pertama bertuliskan hari, tanggal dan bulan surat itu dibuat. Lalu di bagian bawah sebelah kanan bertuliskan alamat dari mana surat itu di kirim. Dan di bagian atas sebelah kiri bertuliskan nama Nada beserta alamat rumahnya.Dengan perlahan Nada membuka surat itu, membaca ulang isinya dengan seksama. Nada masih ingat apa isi surat itu, isi yang menceritakan jika Aziz menyukai pekerjaannya dan berjanji bulan depan ia akan mengirimi Nada gaji pertamanya. Setelah itu, Nada kembali melipat suratnya dan berganti membuka amplop kedua.Di sinilah bencana mulai datang. Isi surat itu menceritakan jika Aziz tidak mendapatkan gaji dalam artian dirinya ditipu hanya menggunakan tenaganya saja tanpa diberikan upah. Lalu di kalimat berikutnya tertulisAku akan mencari pekerjaan lain. Maaf ternyata janjiku untuk mengirimu uang tidak jadi. Aku janji setelah dapat pekerjaan lain aku akan rutin kirim kamu uang supaya bisa kamu gunakan untuk memenuhi kebutuhan Nazril. Ini janjiku Nada.Nada tiba-tiba terisak setelah tuntas membaca surat dari Aziz. Ia tak menyangka setelah surat itu tak ada kabar lagi darinya. Padahal Nada selalu menanti dan berharap ada berita baik disurat ketiga. Jangankan kabar baik kedatangan surat ketiga pun tak ada.Rasanya, jika harus mengingat hal itu serasa mengundang kembali luka lama. Tapi, bukankah sejak dulu hati Nada memang sudah terluka? Ya, terluka teramat dalam.Perlahan ada pergerakan kecil dari Nazril. Tidurnya begitu nyenyak. Secepatnya Nada menyimpan kembali surat dari Aziz lalu menyeka air matanya dengan begitu cepat.Nazril menggeliat. Lalu membuka mata dan menguap begitu lebar.“Bunda, udah sampai?” tanyanya, saat ia menyadari sudah tidak di dalam kapal lagi.Nada tersenyum, lalu mengusap gemas kepala Nazril yang terduduk itu dengan ekspresi wajah bingung.“Istirahat dulu, Nak. Sebentar lagi kita naik bus lalu ke Jakarta,” ujar Nada.Nada merapikan baju Nazril yang terlihat kusut dan berantakan. Lalu menyisir rambut pendek Nazril dengan jarinya. Nazril hanya diam mendapat perlakuan dari sang Bunda. Hingga satu kalimat keluar dari mulut Nazril dan sukses membuat Nada terdiam.“Bunda, Ayah Nazril itu seperti apa?” tanya Nazril begitu polos.Nada menatap sedih ke arah Nazril. Untuk pertama kalinya Nazril bertanya mengenai bagaimana ayahnya. Biasanya Nazril hanya akan bilang rindu ayah atau ingin bertemu ayah, tapi kali ini? Sepertinya keinginan tahuan Nazril semakin besar.Nada membalikkan tubuh Nazril hingga saling berhadapan dengannya. Lalu Nada mengambil handphone dan menekan aplikasi kamera.“Lihatlah ke kamera?” titah Nada pada Nazril.Nazril mengikuti instruksi sang Bunda.“Ayah mirip sekali sama kamu. Jika Nazril ingin tahu ayah maka lihatlah diri Nazril,” ujar Nada.Nazril lalu menatap pada sang Bunda.“Apa mirip sekali dengan Nazril?” tanyanya lagi, rupanya ia masih belum puas.“Iya, sangat mirip.”Nada meletakkan kembali handphone. Kemudian membawa tubuh bocah enam tahun itu dalam pangkuannya.“Dengar, ya, Bunda akan cerita tentang ayah.”“Iya, Nazril akan dengarkan.”Setelah itu, Nada pun menceritakan semua tentang Aziz—suaminya sekaligus ayah bagi Nazril. Ia menceritakan bagaimana baiknya sang suami, begitu ramah, murah senyum dan tidak pernah mencari masalah dengan orang lain. Malah, warga Kotabumi sangat menyukai sosok suaminya itu. Tanpa terkecuali.Nazril yang mendengarkan hanya mangut-mangut serta sesekali terlukis senyuman di bibir Nazril. Lalu berubah jadi ekspresi takjub dan bahagia.“Bunda, Nazril jadi ingin cepat-cepat bertemu ayah. Nazril mau peluk ayah terus mau bilang kalau Nazril sangat rindu dan sangat menyayangi ayah,” tutur Nazril begitu bersemangat setelah Nada mengakhiri ceritanya tentang Aziz.Bukannya senang, entah kenapa Nada malah sedih saat mendengar perkataan Nazril. Ia takut, takut apa yang ia harapkan tidak sesuai. Bagaimana jika dirinya tak mampu menemukan suami yang ia cintai dan rindui? Lalu, bagaimana dengan harapan dirinya dan Nazril?Entahlah, dirinya pun tak tahu. Untuk saat ini ikhtiar saja dulu dan hasilnya hanya Allah yang tahu.Matahari sudah menampakkan diri, bersinar cerah menyinari dunia. Nada dan Nazril bergegas, mereka ingin secepatnya mendapatkan bus menuju Jakarta, agar proses pencarian sang suami segera terealisasikan. Namun, sebelum itu Nada berniat mencari sarapan terlebih dahulu. Rupanya perutnya sudah tak bisa diajak kompromi lagi, sudah meminta ingin di isi.Nada memegang tangan Nazril lalu tangan satunya memegangi tas. Dengan bersama-sama Nada dan Nazril berjalan keluar dari masjid. Baru saja Nada hendak memakaikan sandal pada Nazril, tiba-tiba suara seseorang berhasil mengagetkan Nada.“Mbak, ayo kita pergi!”“Mbak, ayo kita pergi!” Ajakan seseorang membuat Nada langsung mendongakkan kepala. Ia kaget melihat siapa yang saat ini tengah berdiri di hadapannya. “Kamu?”“Hehe, iya, Mbak ini aku,” Akbar cengengesan.“Aku kira kamu udah pergi,” kata Nada seraya bangkit dan hendak pergi.“Aku nungguin Mbak, biar kita berangkat bareng,” terang Akbar seraya ikut berjalan mengikuti Nada.Nada menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke Akbar yang ada di sampingnya. “Bareng?” ulang Nada dengan nada keheranan“Aku mau ke Jakarta, kamu lebih baik lanjutin perjalanan kamu,” tolak Nada seraya kembali berjalan.“Aku pun mau ke Jakarta, Mbak. Aku memang tinggal di sana. Ke Lampung aku habis melakukan penelitian tentang gunung Krakatau,” terangnya. Tanpa mempedulikan Akbar Nada terus berjalan. Dengan mata yang tak henti mencari sesuatu, sarapan yang cocok untuk dirinya dan Nazril. Sementara Akbar masih setia mengikuti Nada dari belakang. Tanpa sepengetahuan Nada diam-diam Akbar mengikuti Nada mulai dari k
Nada dan Nazril sudah berada dalam bus menuju Jakarta. Jangan lupakan Akbar yang masih setia mengikuti Nada. Sebenarnya Nada begitu risi dengan kehadiran Akbar. Bagaimanapun mereka baru saling mengenal. Tapi, Akbar bertingkah seperti sudah lama mengenal dirinya. Seperti saat ini, karena posisi bus penuh dan kursi kosong tersisa dua kursi membuat Nada terpaksa untuk duduk bersebelahan dengan Akbar. Pria muda itu tak hentinya berkicau, membuat Nada merasakan pusing.“Mbak mau ke Jakarta mana? Mau ke rumah siapa? Atau mungkin mau kerja, ya? Kenapa aku tanya tidak dijawab terus?” keluh Akbar.Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perkataan Akbar. Tidak ada salahnya jika ia perhatian. Mungkin sebagai bentuk rasa hormat pada yang lebih tua. Namun, Nada sedang dalam keadaan tak ingin diganggu tak punya minat untuk menimpali perkataan Akbar. Sepanjang perjalanan Nada hanya melihat ke arah jendela bus. Melihat pemandangan di sisi jalan yang dilewati. Lalu sekelebat bayangan masa lalu berput
“Suamiku....” Nada menjeda perkataannya. Ia sedang mengumpulkan kekuatan agar ia bisa menceritakannya dengan baik tanpa harus ada drama menangis.“Suami Mbak kenapa?” tanya Akbar saat Nada tak melanjutkan perkataannya.Tatapan Nada yang awalnya mengarah ke balik jendela bus. Kini berubah menjadi menatap ke arah foto yang dipegang oleh Nazril.Dengan menarik napas. Nada pun mulai menceritakan apa yang terjadi pada suaminya meski tidak keseluruhan.“Lima tahun lalu suamiku pamit, bilangnya mau kerja ke Jakarta. Awal kepergian, kami sering tukang kabar lewat telepon. Lalu dua kali mengirim surat dan setelah itu tak ada kabar lagi tentang dirinya.” Mata Nada mulai mengembun. Sekali saja berkedip pasti air matanya luruh. Namun, Nada terus mengibas-ngibaskan tangannya ke dekat mata berharap dengan cara seperti itu air matanya tidak luruh.“Lalu apa Mbak tahu di mana suami Mbak kerja? Maksud aku Jakartanya sebelah mana? Biar kita cari bersama-sama,” tutur Akbar begitu tulus.Nada membungku
Kini, Nada tengah ada di dalam kamar. Mengistirahatkan tubuhnya yang seharian penuh menempuh perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Nada begitu bersyukur, sebab dipertemukan dengan orang sebaik Akbar. Awalnya ia menyangka jika Akbar hanyalah seorang pemuda yang ingin berbuat jahat padanya. Pasalnya ia terus saja mengikuti dirinya dan juga Nazril. Namun, setelah melihat keseriusan di raut wajah Akbar, Nada menepis jauh prasangka buruknya. Dia salah, seperti benar apa yang sering orang katakan don’t judge in the cover. Saat ini Nada hanya sendiri. Sebab Nazril begitu lengket dengan Akbar. Sampai-sampai tak mau lepas dan tak mau jauh darinya. Mengingat akan sikap Nazril membuat Nada berpikir jika Nazril butuh sosok ayah. Sosok yang selama ini selalu ia rindukan, sosok yang belum pernah ia temui.Sekarang, bukanlah waktunya untuk bersedih. Ia sudah ada di Jakarta, maka jalan untuk bertemu sang suami tinggal beberapa langkah lagi. Ia enggak boleh lemah, cengeng apalagi putus asa.“Ya Allah
Pagi sudah menyingsing. Hari ini adalah menjadi hari pertama proses pencarian sang suami. Nada begitu bahagia, ia tak pernah lepas memamerkan lengkungan di bibirnya. Ia sudah tak sabar, ingin rasanya secepat mungkin memeluk sang suami bahkan ia berjanji dalam hatinya tidak akan pernah lagi membiarkan sang suami pergi lagi, meninggalkan dirinya dan juga Nazril.Pagi ini Nada berencana pergi ke tempat pertama di mana sang suami kerja. Tepatnya di daerah Menteng tepatnya di kelurahan Cikini. Nada memakai baju gamis warna dusty dipadu padankan dengan kerudung berwarna abu tua. Terkena cantik dan elegan. Nada sengaja tampil dari biasanya. Sebab dalam benaknya ia berpikiran bahwa hari ini ia akan bertemu dengan suaminya setelah lima tahun tak jumpa. Tak lupa Nazril pun ia pakaikan baju terbarunya. Alasan Nada satu ia tak ingin terlihat menyedihkan di depan suaminya. “Mbak udah siap?” tanya Akbar tiba-tiba.Nada langsung menoleh ke arah pintu kamar. Pintu yang sengaja ia buka. Di sana berd
Pencarian jejak sang suami pun Nada hentikan. Dirinya belum siap mendengar sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini. Sebuah kenyataan jika sang suami bisa saja menjadi korban insiden kecelakaan kerja itu.Lalu jika sudah seperti ini bagaimana dengan rasa rindunya? Apakah benar rasa rindunya ini tidak akan pernah ada ujungnya? Tidak akan ada akhirnya? Dan tidak akan pernah usai.Terlebih Nazril, bagaimana dengan dia? Nada telanjur memberikan harapan dan kini harapannya hanya jadi angan saja.Tak terasa motor yang Akbar kendarai sudah sampai di rumahnya. Dan Nada sama sekali tak menyadari. Ia terlalu larut dalam lamunannya, suara Akbar pun mengembalikan angan Nada hingga Nada menyadari jika dirinya telah sampai di rumah Akbar. Baru saja Nada hendak turun dari motor, dari arah rumah Nazril berlari dan memanggil namanya. Nada yang melihat Nazril langsung memasang wajah ceria, ia berjongkok serta merentangkan tangan meminta Nazril masuk ke dalam dekapannya.“Bunda,” teriak Nazril lalu mem
Sebenarnya Nada sudah tak memiliki lagi semangat. Harapannya seketika hilang saat mendengar jika lima tahun lalu ada insiden kecelakaan kerja di tempat suaminya dulu kerja. Nada merasa memang telah terjadi sesuatu pada suaminya. Dia tahu betul bagaimana sifat sang suami. Ia termasuk pria jujur, bertanggungjawab dan sangat mencintai dirinya. Mengetahui kenyataan jika sang suami tidak pulang-pulang membuat Nada ragu dan bertanya-tanya. Apakah terjadi sesuatu pada suaminya? Jawabnya benar, sekarang terjawab sudah. “Mbak... hari ini jadikan mencari suami Mbak lagi?” tanya Akbar ingin memastikan.“Apa harus Akbar?” Nada malah balik bertanya.“Harus Mbak. Ini baru sehari, kemungkinan suami Mbak hidup masih tinggi.”Nada menghela napas kasar. “Kau benar. Kenapa aku malah putus asa seperti ini? Aku akan siap-siap kalau gitu.”Nada berjalan ke kamarnya, ia meyakinkan diri jika banyak kemungkinan suaminya masih hidup. Ia tidak boleh menyerah kecuali jika ia memang ikhtiarnya sudah deras tapi
Tut... tut...“Halo assalamualaikum, Akbar. Tumben kamu hubungi Kakak,” ucap seseorang di balik telepon.“Memang Akbar enggak boleh hubungi kakak sendiri, gitu?”“Haha. Bukan begitu juga Akbar. Kamu kan kalau enggak Kakak yang telepon duluan, enggak bakalan telepon kakak. Ada masalah penting ‘kah?” terka sang Kakak.Dari balik telepon sana, Akbar menghela napas berat. Ia seolah-olah ragu untuk mengatakanya. Sang kakak yang menyadari hal tersebut langsung kembali bertanya.“Ada apa, Dik? Ceritalah sama Kakak. Jika ada masalah jangan dipendam sendiri. Kamu sekarang tanggung jawab Kakak,” sang Kakak mencoba untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Akbar.“Anu... Kak. Mengenai kejadian lima tahun lalu yang menyebabkan ayah kita terkena serangan jantung dan memakan banyak korban. Akbar....” Perkataan Akbar di menggantung di udara.“Itu peristiwa dulu, Dik. Jangan diingat lagi. Jika mengingat itu membuat Kakak merasa bersalah sama ayah karena tidak bisa berada disisinya,” sesal san
Satu tahun kemudian....kehidupan Nada begitu penuh warna, keputusannya untuk menikah dengan Akbar adalah sesuatu yang tepat. Bagaimana tidak Akbar begitu sangat mencintainya, sangat menyayanginya sampai-sampai Nada serasa diratukan oleh Akbar.Tepat satu tahun pernikahan mereka dan penantian lama mereka berdua akhirnya Nada dan Akbar mendapatkan berita bahagia. Di mana dokter mengatakan jika saat ini nada Tengah mengandung 4 Minggu, kebahagiaan itu tentunya terasa berkali-kali lipat.Di usianya yang mungkin menurut orang sudah tak mudah lagi, ia harus kembali merasakan mengandung dan melahirkan. Bagi Nada itu bukan suatu persoalan. karena anak adalah rezeki, anak adalah titipan yang tidak mungkin ia tolak.Selain kehidupan Nada yang penuh dengan warna dan kebahagiaan. kehidupan Sofie pun perlahan membaik, dia kini sudah mantap untuk berhijab menggunakan gamis panjang sama seperti Nada.Hubungan dengan orang tuanya pun masih sama hanya saja tidak renggang seperti dulu. sesekali Sofi s
Keesokan paginyaHari ini adalah pagi pertama Nada memerankan perannya sebagai seorang istri yang baik. Setelah tadi melakukan salat bersama sang suami, nada langsung turun dan memasak untuk sarapan keluarga kecilnya tak lupa Sofi ikut turun membantu Nada.Biasanya Kayla dan asisten rumah tangga yang melakukannya. Namun karena Nada sudah kembali maka ia melakukannya sendiri. sedangkan Kayla dia pulang begitu juga dengan Ilham dan Lidya.Mengingat kejadian semalam, Nada berharap semoga Kayla dan Ilham diberikan jalan yang terbaik. Nada begitu yakin jika Kayla bisa mengatasinya."Kenapa malah turun? Tetaplah di kamar. Jika sudah selesai Mbak panggil kamu." Titah Nada pada Sofi. Saat wanita itu tiba-tiba ada di dekatnya.Sofi menggeleng, ia malah membawa pisau dan mulai membantu Nada memotong sayuran. "Aku bukan tamu, Mbak. Jadi biarkan aku membantu. "Nada tertawa kecil, "Baiklah lakukan yang kamu mau. Mbak justru senang jika kamu seperti ini. Tidak merasa seperti tamu. Bersikaplah seola
Saat ini Akbar berada di dalam kamar dia dan nada. kamar yang harusnya menjadi saksi penyatuan mereka dan terpaksa harus tertunda karena sebuah insiden yang sama sekali tidak mereka duga.Kelopak bunga mawar berbentuk hati menghiasi kasur pengantin baru yang tertunda itu l. kelopak bunga mawar yang kemarin diganti karena yang dulu sudah mengering.Hiasan ornamen pengantin baru saja masih terpasang indah di sana. Lampu kelap kelip-tirai cantik dan juga kelopak bunga mawar segar pemandangan indah di kamar pengantin baru yang tertunda itu.Entah kenapa Akbar merasa nervous saat ingin menyambut nada, dia berulang kali menelan salivanya, berulang kali memegangi telapak tangan yang terasa dingin. Ia bingung apa yang harus mereka lakukan setelah berada di dalam kamar berdua saja?Jika boleh jujur Akbar sama sekali tidak memiliki pemikiran untuk meminta haknya yang seharusnya satu minggu lalu ia terima. Iya nervous dan bingung hanya karena untuk pertama kalinya mereka akan berada di dalam sat
Karena waktu semakin malam, Nada pun membawa Sofi ke kamar yang akan menjadi miliknya. Kamar tersebut berada di samping kamar Nazril."Ikut Mbak ya. Mbak akan tunjukkan kamar milikmu." tutur Nada "Aku malu Mbak," ucap Sofi "Kenapa harus malu? Tidak ada yang mempermalukan kamu." seru Nada karena pada dasarnya memang iya. "Aku sepertinya menyusahkan kamu, Mbak. mungkin aku lebih baik tinggal di rumah orang tuaku saja." Mendengar hal itu membuat Nada menatap Sofi dengan tatapan penuh tanda tanya.."Tinggal di rumah orang tuamu yang sama sekali gak pernah menganggap kehadiranmu. Orang tua yang selalu menyakiti perasaanmu, bukankah Mbak sudah bilang, Mbak rela kamu kembali ke orang tuamu asalkan mereka benar-benar mau menerima kamu. karena walau bagaimanapun yang namanya ikatan anak dan orang tua nggak ada yang bisa terputus. Enggak ada yang namanya mantan anak apalagi mantan orang tua. Orang tua kamu aja yang terlalu egois. pokoknya kamu tenang Mbak akan urus masalah ini. Bukan berarti
"Bagaimana, kau mendengarnya sendiri bukan? apa yang diinginkan oleh Lidya." tanya Nada kepada Kayla saat obrolannya dengan Lidya berakhir.Kayla mengganggukan kepalanya dengan posisi masih menyendirikan punggungnya pada dinding. Tubuhnya mendadak terasa lemas."Lalu apa yang harus aku lakukan? Sedangkan aku sendiri saja bingung, bagaimana caranya menyayangi dia. Ayahnya saja tidak aku cintai tidak aku sukai. Bagaimana dengan anaknya?" tanya Kayla pada Nada."Cobalah posisikan dirimu sebagai Lidya. Bagaimana posisi kamu Jika kamu seperti Lidya, orang tua salah satunya sudah meninggal, lalu salah satunya harus menikah lagi." tanya balik Nada pada Kayla ."Cobalah untuk memperbaiki diri, ya. Aku tahu, aku sendiri saja bukan manusia yang sempurna. Bukan manusia yang baik, tapi setidaknya aku selalu ingin membuat diri ini ada gunanya di mata orang lain. kandang aku selalu berpikir hidupku ingin bermanfaat bagi orang lain. Tidak apa-apa jika aku terluka yang penting orang lain bahagia, kar
Nada menatap Lidya yang baru saja pergi, bahkan menabrak dirinya tanpa mengucapkan maaf. Nada merasa telah terjadi sesuatu antara ayah dan anak itu. Hingga membuat gadis tujuh tahun itu tidak sedikitpun meminta maaf. Padahal, Lidya begitu dekat dengannya dan Lidya begitu hormat padanya.Melihat hal ini, Nada harus turun tangan. Ia harus bisa mengatasi masalah yang terjadi antara ayah dan anak ini."Ada apa dengan Lidya? Kenapa dia terlihat begitu marah?" tanya nada kepada Ilham saat ia baru saja sampai di hadapan Ilham.Ilham yang kalau itu Tengah terduduk lemas, seraya menyenderkan punggungnya pada senderan kursi, hanya bisa membalas pertanyaan Nada dengan sebuah helaan nafas yang sangat panjang. sepertinya dia belum siap untuk bercerita.Lama terdiam, akhirnya Ilham buka suara."Apa yang harus aku lakukan? Lidya marah padaku gara-gara aku akan menikah lagi. Dia enggak suka pada Kayla." Ucap Ilham dengan lemesnya dan tak bertenaga.Sudah Nada duga, jika terjadi sesuatu dengan Ilham d
"Lidya tunggu jangan lari, nak!" teriak Ilham pada Lidya yang pergi meninggalkan sang Ayah.."Jangan mengikuti Lidya, yah! Pergi urus saja wanita itu!" teriak lagi Lidya dia masih terus berjalan."Dengerin Ayah, nak, jangan seperti ini. Ayah mohon," pinta Ilham. Ilham sedih karena anak seusia sang anak bisa memberontak seperti ini.Lidya berhenti, dia tidak lari lagi. Dia membelakangi sang ayah, sementara sang ayah terengah-engah Karena kelelahan mengejar dirinya.."Tolong dengarkan dulu perkataan ayah. Jangan seperti ini," pinta lagi Ilham.Lidya membalikkan tubuhnya hingga ia bisa bersitatap dengan sang ayah. Yang mana kala ini Tengah berjongkok, Karena kelelahan dan hampir kehabisan napas."Dengerin apa, Yah? Meskipun Ayah tidak memberitahu Lidya, tapi Lidya tahu yang namanya ibu tiri itu jahat. Contohnya teman Lidya di sekolah. Dia sering bilang kalau dia sering dipukul sama ibu tirinya. Dia juga suka bilang perhatian ayahnya hilang, lalu apa bedanya sama Lidya. Ayah sendi
Sekitar pukul tujuh malam mereka sampai di rumah Nada. Nada kini bisa menginjakkan lagi kakinya di rumahnya, setelah seminggu lebih ia di Bogor.Di depan pintu sudah ada Nazril. Ia langsung berlari dan memeluk Nada. Kedua menangis bahagia."Bunda, Nazril rindu bunda. Bunda tidak apa-apa kan? Bunda enggak akan pergi-pergi lagi kan?" Ujar Nazril dalam pelukan Nada."Bunda janji, tidak akan ke mana-mana lagi. Bunda akan selalu bersama Nazril." Ucap Nada seraya mengecup kening Nazril. "Nazril apa kabar, sehatkan? Selama bunda gak ada Nazril kuat kan? Bunda Percaya kamu pasti selalu mendoakan Bunda. Dan qodarullah inilah kekuatan doamu. Bunda bisa pulang dan bertemu kembali dengan Nazril," lanjut lagi Nada dengan tidak hentinya membanjiri pipi Nazril dengan ciuman kerinduan. Antara bunda dan anaknya.Pelukan mereka terurai, Nada mengusap-usap kepala dan pipi Nazril. Ia tengah meyakinkan dirinya jika ini bukanlah mimpi tapi sungguhan."Apakah Nazril hanya merindukan bunda? Ayah enggak?" Uca
Nada, Akbar dan Sofi berjalan beriringan. Jika Nada digenggam oleh Akbar. Maka Sofi digenggam oleh Nada. Sofi merasa sedang diperhatikan oleh seorang kakak. Ia menyukainya.Dari kejauhan Ilham melihat tiga orang ini berjalan ke arahnya. Namun,. Ilham tidak mengenali sosok yang ada di samping Nada itu. Ilham pikir mungkin itu temannya Nada. Tapi.... teman yang mana? Inikan di Bogor. Mana mungkin Nada memiliki teman di sini selain Sofi.Saking memikirkan karena tidak mengenali sosok yang ada di samping Nada. Ilham sampai tidak menyadari kedatangannya mereka. Lalu tepukan di bahu Ilham mampu menyadarkan dirinya.Rupanya itu Akbar, yang menepuk pundak Ilham lalu berbisik " Jaga mata, jaga hati. Ingat di Jakarta ada yang menunggu."Bugh...Ilham memukul punggung Akbar. Karena sang adik sudah lancang berkata seperti itu. Lalu Akbar kembali berbisik. "Dia Sofi, gadis yang tadi. Cantik kan?" Akbar malah semakin menggoda sang kakak.Akbar menyukainya saat menggoda Sang kakak, ia bahkan selal