Nadia digiring oleh Abimana semenjak dari ruangannya hingga menuju mobil. Lagi-lagi bisik-bisik tidak luput mengiringi langkah mereka. Pria ini tidak peduli, tapi Nadia tampak sangat menjadikan hal itu sebagai gangguan. “Lihatlah, gara-gara kamu mengundang saya kesini, saya jadi bahan gossip!”“Biarkan saja, mereka tidak akan berbuat lebih selain berbisik di belakang. Di sini suami kamu adalah penguasa.” Bangga Abimana dengan sikap santai nan seringai kemenengan.“Memangnya kamu tidak risih?”“Awalnya iya, tapi karena nyali mereka sebesar sebutir beras, jadi saya biarkan saja.” Masih seringai kemenangan Abimana.“Ish, tidak ada muka!” ejek Nadia yang mulai merasa penat dengan sikap santai Abimana padahal topik pembahasan dalam bisik-bisik karyawan sama sekali tidak bisa disepelekan, menurutnya.Di balik bisik-bisik tidak sedap, Abimana dan Nadia selalu mendapatkan penghormatan setiap kali berpapasan dengan karyawan. Hal itu membuat pria ini sangat angkuh karena bagaimanapun kondisinya
Bukan hanya perut Nadia saja yang dimanjakan oleh Abimana, tapi juga hati si gadis karena hari ini Nadia tidak bisa melarikan diri dari kenyataan jika Abimana memeng memesona dan membuat khilaf.“Saya sudah menyuruh sopir menjemput kamu, pulang tanpa saya ya sayang, kita akan bertemu lagi sore.” Kecupan hangat nan mesra mendarat di permukaan bibir Nadia setelah Abimana mengangkat dagu si gadis perlahan nan lembut.Abimana tidak sungkan melakukan ini walau di hadapan umum karena dirinya memang tidak ingin kehilangan Nadia sekaligus harus memberikan bukti pada netizen jika hubungannya bersama sang istri baik-baik saja.“Kamu iblis tampan!” Nadia komat-kamit tanpa sadar, tapi sangat jelas di ruang Abimana hingga pria ini tertawa penuh kemenangan di dalam hatinya.“Sayang, mobilnya yang itu, masuklah,” tunjuk Abimana pada salah satu mobil mewah, kemudian seorang sopir keluar dari dalam si kuda besi dan segera menjemput majikannya.“Lalu kamu bagiamana, apa yang akan lakukan setelah ini?”
Malam ini tubuh Nadia dijamah oleh Abimana dengan sengit. "Bisa-bisanya menjadi wanita murahan di hadapan Abimana, padahal Nadia lagi marah!" kesalnya setelah menyelesailan aktibitas halal suami dan istri. Gadis ini memunggungi suaminya karena hatinya dipenuhi rasa kesal.Saat melamun, barulah otaknya memacarkan gelombang notifikasi dadakan. "Hah, gawat. Tadi Nadia lupa minum pilnya!" Segera, tubuh polosnya meninggalkan ranjang, menapaki lantai berlapis karpet. Diraihnya tas kuliah dan dirogoh secara brutal. "Apa sempat ya?" Sebuah pil segera tergelincir ke arah tenggorokannya kamudian menghembus udara lega. "Semoga saja pilnya masih sempat menahan cairan milik Abimana!" harapan besar itu terlontar secara frontal."Apa yang kamu makan?" tanya penuh selidik Abimana kala dirinya baru saja terbangun dan melihat Nadia memasukan sesuatu ke dalam mulutnya.Segera, Nadia terhenyak hingga menoleh cepat ke arah Abimana seiring menyembunyikan deretan pil di belakang tubuhnya. "Eu ..., kamu suda
Mila terduduk lesu setelah mengetahui jika menantunya belum siap memberikan cucu. "Usia Nadia memang masih muda, jauh dengan Abi jadi pasti pemikiran mereka juga berbeda, hanya saja ... kenapa Nadia tidak bilang pada Abi jika tidak ingin cepat-cepat mengandung, mengapa harus sembunyi-sembunyi meminum pil KB?"Kecewa Mila bukan hanya karena Nadia belum siap memberinya cucu, hal ini masih bisa dimaklumi, tapi yang membuatnya sangat kecewa adalah sikap tidak terbuka Nadia pada Abimana yang jelas suaminya.Mila menghampiri Saraswati yang sedang merajut. "Nek ..., apakah Nadia pernah menyembunyikan sesuatu di hadapan nenek? Maaf ya, saya bertanya seperti ini, tujuan saya hanya ingin mengenal Nadia lebih jauh," kekehnya setelah mengatakan alasan masuk akal dan jauh dari kata dicurigai.Saraswati menyimpan kain rajutannya seiring terkekeh, "Nadia anak yang baik dan jujur, Nadia tidak pernah menyembunyikan apapun dari nenek, mungkin hanya hal yang sangat privasi yang tidak akan diceritakan."
Pagi ini Abimana masih belum kembali, maka Nadia masih memiliki ruangan untuk bernapas. Gadis ini sarapan bersama keluarga suaminya sedangkan sang nenek masih di pasar bersama bibi karena wanita tua itu ingin membeli makanan tradisional. "Abi bilang akan pulang siang ini, Nadia tunggu Abi di restoran ya karena Abi sudah menyewanya." Kalimat lembut Mila."Siang ini jam berapa ma, dan di restoran mana?" sahut Nadia di sela-sela menyuap."Mungkin nanti Abi akan menghubungi Nadia, Nadia siap-siap saja."Tarikan napas tipis menjadi penguat hati. "Iya."Setibanya di kampus Nadia tidak segera menemui Amira karena rupanya sahabatnya terserang demam, maka dirinya hanya bersama Devan walau tidak selalu karena Devan punya perkumpulan sendiri, sama hanyanya dengan dirinya. "Sepi deh kalau tidaka ada Amira kan jadinya tidak bisa curhat.""Bisa kok curhat sama Devan yang ganteng. Wkwk.""Apa ya yang harus saya curhat kan sama kamu, sepertinya otak saya tiba-tiba blank deh," kekeh menggemaskan Nadia
Abimana mendesah pelan bersama tatapan sendu, pria ini berbicara dengan volume rendah seiring menatap Nadia yang berusaha mengelabuinya. "Saya tidak keberatan kalau kamu belum mau mengandung anak kita, tapi satu yang saya harapkan dari kamu, terbuka. Hanya itu."Mendengar untaian kalimat Abimana membuat Nadia malu karena kesekian kalinya kebohongannya terbongkar, gadis ini menundukan wajahnya cukup lama, kemudian memberanikan diri menatap Abimana. "Saya memang tidak bisa terbuka sama kamu, apalagi tentang pil itu karena saya yakin kamu tidak akan setuju!""Saya setuju, saya tidak akan memaksa kamu mengandung anak kita kalau kamu belum siap." Suara lembut Abimana di balik kecewa berlipat ganda.Nadia kembali terpaku seiring menurunkan wajahnya perlahan. "Apa kamu tidak mau tahu alasan saya tidak mau hamil sekarang?" Gadis ini tidak menatap lawan bicaranya."Apa?" Abimana sudah menerka-nerka jika Nadia tidak ingin membangun masa depan dengannya, tapi dirinya tetap ingin mendengarkan ala
Tepatnya setelah langit berubah lembayung, Abimana mengangkat kelopak matanya perlahan. Pantulan cahaya lampu yang menyilaukan membuatnya menutup indera penglihatan menggunakan sebelah telapak tangan."Sore menjelang malam," sapa hangat Nadia seiring menyajikan teh hangan di atas nakas yang terletak di sisi tempat tidur. Abimana segera memalingkan tatapan ke arah suara indah istrinya seiring memerhatikan gadis itu dengan mata sifit khas bangun tidur."Apa hari sudah malam?" Suara pertama Abimana kala melihat penampilan berbeda Nadia, pria ini pikir istrinya sedang mencoba menguji ketebalan imannya."Tidak, baru pukul setengah enam, tapi mungkin akan hujan jadi langit lebih cepat gelap," tutur Nadia seiring memasang senyuman cerah di hari yang gelap.Abimana segera memposisikan diri, terduduk di tepian ranjang menatap Nadia. "Kamu membeli gaun?""Yups, benar sekali! Hihi ...." Tawa menggemaskan Nadia.Abimana mengucek sebelah matanya perlahan sebelum kembali membidik lembut ke arah Nad
Pada malam harinya tubuh Nadia seakan remuk hingga gadis ini tidak mampu menutup matanya. "Abi, kamu terlalu binal, sakit tahu!" omelannya seiring mengusap-usap bagian punggung dan pinggul."Siapa yang binal, kamu juga menikmatinya kan." Seringai genit Abimana tidak akan pernah luntur selama Nadia masih terlihat menggoda.Nadia tidak menggubris jawaban Abimana karena hanya akan memperpanjang topik tidak bermanfaat menurutnya. Kala hendak memejamkan mata, serentak otaknya memberitahukan hal yang sangat penting. "Abi, tadi kamu tidak memakai pengaman kan!" Wajahnya menegang, sedangkan pria yang diajak bicara hanya bersikap santai."Tidak, saya lupa, kejadian tadi terlalu dadakan, saya tidak sempat mempersiapkan benda seperti itu.""Abi ...!" kesal Nadia memakai suara bervolume lebih tinggi dari biasanya."Mengapa marah? Saya manusia biasa bisa lupa dan khilaf." Masih santai Abimana bahkan menambah senyuman misterius."Tidak bisa begitu," keluh Nadia, kemudian hendak bangkit dari tempat
Kafka adalah keponakan pejabat tersebut, pria hebat ini mengajak keponakan membanggakannya karena prestasi gemilangnya di gedung perusahaan milik saudaranya yaitu ayahnya Kafka. Abimana geram mengetahui kenyataan ini bukan karena merasa tersaingi hanya saja di rapat penting ini dirinya harus berjabat tangan dengan Kafka seiring menatap wajahnya terus-menerus."Senang berkerjasama dengan anda." Kalimat Kafka yang salah satunya disampaikan pada Abimana setelah mengucapkannya pada Wira."Begitupun kami." Abimana tetap bersikap propesional walau keadaan hatinya meledak-ledak. Seusai rapat, pria ini berkata pada ayahnya, "Kafka adalah ayah si bayi, tapi Abi yang direpotkan Tania!""Jadi tadi kamu terlambat karena Tania!" kekesalan Wira segera hadir saat mendengarnya."Iya pa, Tania meminta diantar memeriksakan bayinya. Abi turuti saja supaya Tania menjaga bayinya hingga Abi bisa membuktikan pada semua orang.""Wanita ular!" desis geram Wira yang tidak ingin berkata apapun lagi tentang Tani
Nadia dibuat tidak setuju dengan ungkapan yang terdengar frontal itu. "Bayi itu tidak berdosa, Tania yang banyak membuang waktu kamu, bukan bayinya."Abimana mengerjap kecil, kemudian menarik senyuman bangga pada makhluk cantik di hadapannya. "Semakin hari kamu semakin dewasa. Bukan hanya pertambahan usia, tapi pola pikir kamu juga walau ... masih banyak sikap kekanakan." Senyuman lebarnya di akhir."Kamu memuji atau menghina sih? Kalimat kamu sering membuat saya bimbang tahu tidak sih!" Nadia membaringkan tubuhnya dengan malas."Bicara kamu seperti dalam sinetron!" ejek kecil Abimana.***Pagi ini Abimana menemani Tania memeriksakan kandungannya karena ini salah satu cara supaya Tania tetap memibiarkan bayinya sehat dan yang paling penting tetap hidup. Degupan jantung si bayi sangat kencang hingga membuat senyuman manis sekaligus haru ditarik oleh Tania walaupun Abimana tetap bersikap datar. Andai tersenyum pun hanya bagian dari pormalitas saja."Bayinya sangat sehat, perkembangannya
Tidak berapa lama, tepatnya kala Nadia dan Amira sedang asik di salah satu kolam, tiba-tiba saja airnya surut perlahan bahkan semua orang yang berada di sana ikut terheran-heran. "Kok air di sini surut?""Entah, yang lain tidak kok!" Amira melukis wajah heran sama seperti Nadia.Esther berkata santai nan santun, "Maaf nyonya, tapi ini atas perintah Tuan Abimana. Jadi, jika anda berpindah kolam maka kolam itu juga akan dibuat surut.""Apa. Dasar Abi!""Tuan Abi bilang Anda harus segera pulang," tambah Esther masih dengan santun."Abi ...!" teriak Nadia hingga memekak ruang dengar Esther, tetapi justru Amira terkekeh kegelian."Sabar ya ...," goda Amira. Maka, walau sangat keberatan Nadia dipaksa pulang oleh keadaan. Jika tidak begitu maka pengunjung lain akan ikut terganggu."Kok bisa sih Abi memerintahkan seseorang untuk membuat kolamnya surut. Seperti punya dia saja!"Esther memberikan penjelasan secera terperinci, "Tuan Abimana mengenal pemilik kolam ini. Jadi mungkin mudah bagi Tua
Hari sudah berganti, Tania menemui suster yang sudah mendapatkan uangnya. "Bagus kamu masih di sini. Saya kira kamu akan kabur!""Tidak akan nyonya. Ada apa menemui saya?""Saya cuma mau mengingatkan. Jika sekitar tiga bulan lagi saya akan melahirkan."Wanita berpakaian medis ini menampakan senyuman. "Selamat ya nyonya, jagalah kandungan anda dengan baik." Namun, kalimatnya ini tidak digubris oleh Tania."Jangan lupakan tugas kamu setelah bayi ini lahir!"Wanita ini mengangguk kecil. "Saya sangat mengingatnya, nyonya tenang saja." Kalimatnya ini membuat Tania merasa puas, jadi wanita cantik ini segera berlalu. Di lorong, Tania berpapasan dengan Naila yang hendak melakukan pengecekan rutin. Naila tidak pernah melewatkan pemeriksaan tubuhnya.Sejenak, Tania memerhatikan karena wanita yang sedang terbatuk di atas kursi roda memiliki wajah yang mirip dengan Nadia. "Saya harap suatu saat nanti Nadia yang mengalami kondisi seperti wanita itu. Jadi kalau Nadia penyakitan, Abi tidak akan mau
Abimana tiba di sebuah rumah cukup mewah, tetapi sangat sepi, hanya terdapat seorang satpam yang asik memainkan handphone. "Permisi pak, apa benar ini kediaman Nyonya Naila?" Abimana hanya memunculkan wajahnya tanpa keluar dari mobil.Segera, satpam meletakan handphonenya. "Benar tuan. Jika boleh tahu anda siapa dan ada keperluan apa menemui Nyonya Naila?""Saya salah satu kerabat jauhnya.""Akan saya sampaikan. Atas nama siapa?""Abimana-suaminya Nadia." Sengaja perkenalan seperti ini disebutkan karena mungkin keberadaannya akan sangat mudah diterima. Satpam segera menghubungkan panggilan."Tolong katakan pada nyonya, ada seorang pria yang ingin menemuinya. Bernama Abimana suaminya Nadia." Satpam bergeming sesaat kemudian menyimpan gagang telepon di atas meja. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Abimana."Iya." Abimana dapat menilai dengan akurat jika memang tidak sembarang manusia bisa menemui Naila bahkan hanya sekedar masuk ke dalam halamannya.Tidak selang berapa lama satpam kembali
Setibanya di rumah, Nadia segera mendapatkan pelukan hangat nan khawatir dari Mila dan Saraswati. Walau Wira dan Abimana tidak mengatakan apapun, tetapi kedua wanita ini mengetahui kabar insiden yang terjadi lewat media layar kaca yang menayangkan secara langsung. "Nadia tidak apa-apa?" Kecemasan wanita tua ini melebihi siapapun."Nadia tidak apa-apa nek ..., tadi Nadia menyelamatkan diri sama Amira walau sempat terpisah." Genggaman tangan Nadia dan Amira saling bertautan."Syukurlah kalian baik-baik saja," ucap Mila.Amira berkata, "Tante, tapi Ami tidak akan lama-lama di sini karena papa mau jemput.""Iya sudah ..., pasti orangtua Ami sangat khawatir. Tapi sekarang minum dulu saja ya, istirahat dulu." Mila menjamu kawan menantunya dengan sayang sama halnya pada Nadia. Tidak berapa lama ayahnya Amira datang. Pria ini berbasa-basi sebentar karena Wira merupakan kawan bisnisnya dan ini pertama kalinya pria ini bertemu dengan anggota keluarga Wira yang lain selain Abimana yang sudah dik
Kali ini Nadia mulai memutuskan jika dirinya akan meminta bantuan Abimana untuk mencari ibunya. "Tolong temukan mama." Tatapannya begitu merindu."Iya, saya akan berusaha maximal mencari mama kamu yang juga adalah mertua saya!" Tekad tegas Abimana, "terimakasih sudah percaya pada saya." Senyuman melengkung bangga karena akhirnya Nadia meminta pertolongan dirinya untuk hal sangat penting ini."Nenek yang memberi saran, nenek juga bilang bisa merasakan kehadiran mama yang katanya masih ada, mama tidak meninggalkan saya, mungkin cuma raga kami saja yang terpisah.""Iya, saya janji. Kamu bisa memegang janji saya ini dan ingatkan saya jika suatu hari saya lalai pada janji saya ini!" Tekad kuat Abimana masih diperlihatkan, kali ini seiring mengusap sebelah pipi Nadia.Malam ini, Nadia memandangi foto ibunya yang diberikan Saraswati. "Ma, cepat temui Nadia ya, jangan buat Nadia gelisah terus-menerus dan bertanya-tanya di mana mama karena Nadia tidak bisa seperti itu terus ...."Abimana memot
"Ma, apa kita harus kembali?" Tania mulai memikirkan ulang melahirkan di negara ini karena dirinya memiliki suster yang sudah disuap di negara asalnya demi mengubah DNA bayinya menjadi milik Abimana."Jangan sayang, lebih baik melahirkan di sini saja, kamu sedang hamil tua, jangan sering bepergian.""Tapi Tania tidak mau melahirkan di sini walau Abi siap datang kesini.""Kenapa ..., ada mama di sisi kamu, mama tidak akan meninggalkan kamu." Nia membelai lembut putrinya."Tapi Tania tetap akan kembali saja bulan depan saat usia kandungan tujuh bulan!" Wanita ini mulai khawatir karena angka kelahiran tidak selalu bulan ke sembilan, sering terjadi kelahiran di bulan ketujuh, maka untuk berjaga-jaga lebih baik dirinya kembali ke negara asal."keputusan ada pada kamu, tapi mama memberi saran saja supaya melahirkan di sini.""Terimakasih ya ma selalu ada di sisi Tania." Pelukannya melingkar dengan penuh rasa syukur karena tanpa ibunya maka dirinya tidak akan bisa bertahan hingga hari ini.*
Malam ini Abimana meninggalkan alat pengaman yang selalu tersedia di dalam laci rahasia yang terkunci supaya tidak seorangpun tahu jika mereka sangat berhati-hati tentang kehamilan. Benda pusakanya sangat bersemangat karena akan mengeluarkan cairan putih di dalam rahim Nadia bersama harapan cairan itu akan menggumpal hingga menghasilkan anak yang sempurna."Abi, kamu yakin tidak akan pakai alat pengaman?" keraguan masih mencambuk hati Nadia."Tidak usah, kita lakukan saja secara alami." Semangat berlipat Abimana."Tapi ..., kalau saya hamil dan melahirkan saat usia kuliah, bagaimana masa depan saya, bagaimana saya bisa menyenangkan nenek dengan prestasi," risaunya."Kamu masih bisa menggapai cita-cita walau hamil dan melahirkan. Tenanglah semuanya akan berjalan dengan mulus, saya jamin!" Abimana berpikir jika uang bisa menyelesaikan segalanya salah satunya saat Nadia hamil, tapi tetap ingin kuliah atau setelah menjadi ibu, tetapi tetap ingin menggapai masa depan, semuanya seolah tingg