Mila terduduk lesu setelah mengetahui jika menantunya belum siap memberikan cucu. "Usia Nadia memang masih muda, jauh dengan Abi jadi pasti pemikiran mereka juga berbeda, hanya saja ... kenapa Nadia tidak bilang pada Abi jika tidak ingin cepat-cepat mengandung, mengapa harus sembunyi-sembunyi meminum pil KB?"Kecewa Mila bukan hanya karena Nadia belum siap memberinya cucu, hal ini masih bisa dimaklumi, tapi yang membuatnya sangat kecewa adalah sikap tidak terbuka Nadia pada Abimana yang jelas suaminya.Mila menghampiri Saraswati yang sedang merajut. "Nek ..., apakah Nadia pernah menyembunyikan sesuatu di hadapan nenek? Maaf ya, saya bertanya seperti ini, tujuan saya hanya ingin mengenal Nadia lebih jauh," kekehnya setelah mengatakan alasan masuk akal dan jauh dari kata dicurigai.Saraswati menyimpan kain rajutannya seiring terkekeh, "Nadia anak yang baik dan jujur, Nadia tidak pernah menyembunyikan apapun dari nenek, mungkin hanya hal yang sangat privasi yang tidak akan diceritakan."
Pagi ini Abimana masih belum kembali, maka Nadia masih memiliki ruangan untuk bernapas. Gadis ini sarapan bersama keluarga suaminya sedangkan sang nenek masih di pasar bersama bibi karena wanita tua itu ingin membeli makanan tradisional. "Abi bilang akan pulang siang ini, Nadia tunggu Abi di restoran ya karena Abi sudah menyewanya." Kalimat lembut Mila."Siang ini jam berapa ma, dan di restoran mana?" sahut Nadia di sela-sela menyuap."Mungkin nanti Abi akan menghubungi Nadia, Nadia siap-siap saja."Tarikan napas tipis menjadi penguat hati. "Iya."Setibanya di kampus Nadia tidak segera menemui Amira karena rupanya sahabatnya terserang demam, maka dirinya hanya bersama Devan walau tidak selalu karena Devan punya perkumpulan sendiri, sama hanyanya dengan dirinya. "Sepi deh kalau tidaka ada Amira kan jadinya tidak bisa curhat.""Bisa kok curhat sama Devan yang ganteng. Wkwk.""Apa ya yang harus saya curhat kan sama kamu, sepertinya otak saya tiba-tiba blank deh," kekeh menggemaskan Nadia
Abimana mendesah pelan bersama tatapan sendu, pria ini berbicara dengan volume rendah seiring menatap Nadia yang berusaha mengelabuinya. "Saya tidak keberatan kalau kamu belum mau mengandung anak kita, tapi satu yang saya harapkan dari kamu, terbuka. Hanya itu."Mendengar untaian kalimat Abimana membuat Nadia malu karena kesekian kalinya kebohongannya terbongkar, gadis ini menundukan wajahnya cukup lama, kemudian memberanikan diri menatap Abimana. "Saya memang tidak bisa terbuka sama kamu, apalagi tentang pil itu karena saya yakin kamu tidak akan setuju!""Saya setuju, saya tidak akan memaksa kamu mengandung anak kita kalau kamu belum siap." Suara lembut Abimana di balik kecewa berlipat ganda.Nadia kembali terpaku seiring menurunkan wajahnya perlahan. "Apa kamu tidak mau tahu alasan saya tidak mau hamil sekarang?" Gadis ini tidak menatap lawan bicaranya."Apa?" Abimana sudah menerka-nerka jika Nadia tidak ingin membangun masa depan dengannya, tapi dirinya tetap ingin mendengarkan ala
Tepatnya setelah langit berubah lembayung, Abimana mengangkat kelopak matanya perlahan. Pantulan cahaya lampu yang menyilaukan membuatnya menutup indera penglihatan menggunakan sebelah telapak tangan."Sore menjelang malam," sapa hangat Nadia seiring menyajikan teh hangan di atas nakas yang terletak di sisi tempat tidur. Abimana segera memalingkan tatapan ke arah suara indah istrinya seiring memerhatikan gadis itu dengan mata sifit khas bangun tidur."Apa hari sudah malam?" Suara pertama Abimana kala melihat penampilan berbeda Nadia, pria ini pikir istrinya sedang mencoba menguji ketebalan imannya."Tidak, baru pukul setengah enam, tapi mungkin akan hujan jadi langit lebih cepat gelap," tutur Nadia seiring memasang senyuman cerah di hari yang gelap.Abimana segera memposisikan diri, terduduk di tepian ranjang menatap Nadia. "Kamu membeli gaun?""Yups, benar sekali! Hihi ...." Tawa menggemaskan Nadia.Abimana mengucek sebelah matanya perlahan sebelum kembali membidik lembut ke arah Nad
Pada malam harinya tubuh Nadia seakan remuk hingga gadis ini tidak mampu menutup matanya. "Abi, kamu terlalu binal, sakit tahu!" omelannya seiring mengusap-usap bagian punggung dan pinggul."Siapa yang binal, kamu juga menikmatinya kan." Seringai genit Abimana tidak akan pernah luntur selama Nadia masih terlihat menggoda.Nadia tidak menggubris jawaban Abimana karena hanya akan memperpanjang topik tidak bermanfaat menurutnya. Kala hendak memejamkan mata, serentak otaknya memberitahukan hal yang sangat penting. "Abi, tadi kamu tidak memakai pengaman kan!" Wajahnya menegang, sedangkan pria yang diajak bicara hanya bersikap santai."Tidak, saya lupa, kejadian tadi terlalu dadakan, saya tidak sempat mempersiapkan benda seperti itu.""Abi ...!" kesal Nadia memakai suara bervolume lebih tinggi dari biasanya."Mengapa marah? Saya manusia biasa bisa lupa dan khilaf." Masih santai Abimana bahkan menambah senyuman misterius."Tidak bisa begitu," keluh Nadia, kemudian hendak bangkit dari tempat
Riana baru saja kembali ke perusahaan setelah sekitar dua jam setengah meninggalkan gedung Family Owned Company. "Maaf tuan, jika anda menunggu terlalu lama." Wanita ini menunduk dengan segala rasa hormat di hadapan Abimana."Apa kata dokter tentang kandungan Tania?" Bukan maksud Abimana peduli pada mantan kekasihnya, tapi karena dianggap terlalu manja dan sangat tidak propesional karena bermaksud melibatkan Nadia."Kandungannya baik-baik saja, tuan, hanya saja Tania sedikit mengalami stress, mungkin karena tidak mendapatkan kasih sayang suami." Riana menurunkan wajahnya dengan sangat kala membahas pendamping, tetapi bukan maksudnya menyindir Abimana atau membela Tania, justru dia sedang berakting peduli supaya tuan muda di hadapannya menilainya sebagi wanita paling manusiawi."Sudah jelas dia hamil karena Kafka!" rutuk Abimana seiring memandangi laptopnya guna mengalihkan perhatian dari Riana."Mohon maaf, tuan." Riana memasang suara dan wajah bak angel."Iya." Singkat Abimana menand
Abimana kembali ke perusahaan untuk mengerjakan banyak hal penting, dirinya akan mengurus Tania setelah urusan bisnis selesai. "Hubungi Tania, katakan tunggu saya di rumahnya!" titahnya pada Riana.Eu, di rumah!Alih-alih segera mengerjakan perintah dari sang tuan, justru Riana segera mengembangkan prasangka negatif intinya takut kehilangan Abimana. "Ke-napa di rumah, tuan? Yang saya tahu Tania jarang sekali di rumah," dustanya untuk mencegah pertemuan Abimana dan Tania.Abimana menyahut kalimat Riana, tetapi tidak menatapnya sama sekali, dirinya selalu disibukan dengan pekerjaan. "Lakukan saja."Riana ingin menolak, tapi jika tidak melakukan perintah Abimana mungkin belangnya akan terbongkar dan berakhir pemecatan. Maka, dengan berat hati Riana mengabarkan Tania. Jadi, setelah urusan di perusahaan selesai Abimana segera mengunjungi Tania, membawa koper berukuran sedang. "Ini uang cash, saya akan menanggung biaya hidup kamu sampai melahirkan, tapi jaga baik-baik bayinya jangan sampai
Abimana dan Nadia hadir di hadapan Tania setelah mendengar raungan tangisan di ruang tamu. "Astaga!" Pria ini segera memegangi pelipisnya saat melihat Tania berada dalam pelukan Mila."Duduklah," ucap Mila pada Abimana dan Nadia, sedangkan Wira tetap memasang wajah geram."Ada apa ini? Tania, saya sudah katakan saya akan menanggung semua biaya hidup kamu dan apa kamu lupa pada perjanjian kita, apa kamu tidak takut mendapatkan denda satu milyar!" Dengusan mengiringi kalimat Abimana.Segera, Tania melepaskan tubuh Mila yang sejak tadi dipeluknya, beralih menatap Abimana dengan mata berkaca-kaca. "Saya tidak pernah menginginkan uang kamu, saya hanya inginkan pertanggung jawaban kamu."Alih-alih Abimana, Wira yang menunjukan berangnya, suaranya begitu memekik, "Hentikan omong kosong kamu itu, wanita jalang!"Segera tatapan Mila melebar, tidak menyangka jika suaminya bisa seemosional ini. "Pa, sabar sebentar.""Mana bisa sabar, wanita itu sangat licik dan berbisa!" tunjuk Wira pada Tania d