SUAMI DARI MASA LALU
Part 6"Maaf Nak Bima. Umi telah membatalkan semuanya, Abi tak bisa berbuat apa-apa. Kamu tahu sendiri Umi bagaimana, 'bukan?""Tolonglah, Bi. Saya mencintai Annisa. Dengarkan penjelasan saya dulu. Saya hanya menolong wanita itu karena ia hampir terjatuh. Tak ada niat lain dan saya pastikan kalau sifat saya sudah berubah."Abi menghela napas panjang, lelaki yang rambutnya sudah memutih semua itu menggeleng pelan."Abi percaya, Bima. Tapi semua tergantung pada Umi. Annisa harus menuruti perkataan Uminya kalau tak ingin dikatakan anak durhaka."Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mempertahankan pernikahanku. Dengan langkah gontai aku keluar rumah Annisa.Sesampai di pintu pagar aku menoleh ke belakang, tepatnya ke jendela kamar samping rumah berarsitektur kuno itu. Annisa berdiri di sana dengan air mata berderai sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan.Tak disangka kejadian yang hanya sekejab mata antara aku dan Bu Ralin berakibat fatal bagi pernikahanku. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah istilah yang patut disematkan padaku saat ini. Dikeluarkan dari pekerjaan ditambah rencana pernikahanku yang gagal.[Maafkan Kakak Annisa, mungkin kita memang tak jodoh. Perempuan baik sepertimu memang pantas mendapatkan lelaki baik juga. Semua yang Kakak berikan tak usah dikembalikan. Pakailah untuk kebutuhanmu]Sejak kami saling serius untuk menikah, aku sudah menyimpan sedikit demi sedikit uang yang rencananya akan kami jadikan modal usaha. Serta sebuah cincin emas pengikat hubungan kami.Aku mengirim pesan ke nomor Annisa yang tak aktif, kuyakin dia pasti membukanya esok atau lusa.**Kulajukan mobil sangat pelan dengan tatapan kosong hingga tanpa kusadari mobil satu-satunya peninggalan Papa itu sampai di pasar utama.Sebuah teriakan minta tolong menyadarkan alam bawah sadarku. Bergegas aku menepi melihat sebuah toko bangunan yang tengah dirampok."Hei! Lepaskan lelaki tua itu?" teriakku pada empat lelaki berbadan tegap, dua diantaranya bertatoo disekujur tubuh.Tanganku gatal karena sudah lama tak digunakan untuk berkelahi. Ilmu bela diri kalau tak dipergunakan bisa hilang kemampuannya.Keempat preman itu terbahak-bahak."Lihat! Ada pahlawan kesiangan mau cari mati padahal tak ada satu pun yang berani mendekat. Cepat urus dia." Lelaki kepala plontos memberi kode pada dua temannya untuk menyerangku.Sekilas kulirik sekeliling, orang yang lalu lalang dan toko disekitar nya tak ada yang peduli, entah dimana rasa kemanusiaan mereka.Kedua preman menyerang penuh ambisi menghabisi. Serangan dan pukulan yang dilayangkan kedua preman itu dapat kutangkis dengan baik. Tak menyiakan kesempatan, sebuah peluang hadir. Aku berhasil membekuk dan melancarkan pukulan ke ulu hati keduanya. Belum sempat berdiri, pukulan telak kembali kulayangkan. Mereka berdua roboh membuat dua preman lagi geram dan berlari ke arahku membantu temannya."Kurang ajar!"Diserang dari empat arah membuatku sedikit kewalahan hingga dua dari mereka mengeluarkan sebilah pisau. Satu dari pisau itu berhasil merobek lenganku, Luka cukup dalam menganga di sana. Aku terpojok dan tersurutu mundur. Beruntung pemilik toko menelepon polisi, bunyi sirine membubarkan keempat preman pasar itu."Kau tak apa-apa anak muda?"Pemilik toko yang berjalan terpincang-pincang mendekatiku. Wajahnya penuh luka memar, kurasa dia membela diri dari perampok yang ingin menjarah tokonya."Mari kita ke dalam, akan kuobati lukamu."Dibantu dua polisi aku dipapah memasuki toko bahan bangunan ini."Salah seorang dari mereka adalah mantan karyawan yang saya berhentikan paksa. Mungkin karena sakit hati dia balas dendam," terang pak tua itu sambil menyiapkan kotak p3k.Aku merintih ketika dia menggunakan kain kasa bercampur alkohol untuk membersihkan luka kemudian mengoles obat luka di sana. Dengan telaten ia membalut lenganku hingga nyerinya berkurang."Wajah Bapak juga memar, biar saya bantu kompres," tawarku menggeser duduk mendekatinya."Tidak usah. Aku bisa melakukannya sendiri." Lelaki tua itu bangkit menuju kulkas di samping lemari tinggi besar yang berisi alat-alat kebutuhan bangunan. Ia mengeluarkan sebuas es batu, mengambil sebuah palu untuk menghancurkan bongkahan es kemudian meletakkan di dalam wadah plastik."Syukurlah ada kamu yang datang, kalau tidak habis semua uang yang akan saya belanjakan esok hari. Namamu siapa, Nak?" tanyanya sembari mengopres wajahnya sendiri dengan handuk kecil yang tadi dikalungkan di lehernya."Saya Bima, Pak.""Oh. Saya Sudibyo, panggil saja Pak Udi. Tinggal dimana?""Jalan Pattimura.""Oh. Tak terlalu jauh dari sini, ya." Lelaki itu diam mengamati wajahku."Wajahnya terlihat kusut, ada masalah ya, Nak?" selidiknya.Aku menunduk menghindari tatapan lelaki tua itu. Aku berpikir sendiri apakah dampak sebuah masalah itu berdampak ke wajahku?"Tak apa kalau tak mau cerita. Bapak doakan semoga masalahmu cepat teratasi."Tiba-tiba wajah Pak Udi menyerngit, ia menuju kursi panjang dari bambu lalu berbaring di sana, buru-buru aku mendekatinya."Bapak kenapa?""Kepalaku pusing mungkin efek pukulan para preman tadi. Padahal besok harus membeli bahan," keluhnya sembari memijit kepalanya."Karyawan Bapak mana?""Karyawan perempuan sudah pulang, laki-laki tadi merupakan karyawan yang menyelewengkan uang pelanggan makanya saya pecat." Raut wajah Pak Udi berubah murung.Terbersit dalam benakku untuk sementara bekerja di sini sambil melamar kerja lain via online."Bolehkah saya melamar kerja di sini, Pak?" Pak Udi menoleh, sudut bibirnya terangkat sempurna."Benarkah? Saya sangat senang sekali kalau memang Nak Bima mau bekerja di sini. Saya butuh karyawan baik seperti Nak Bima." Lelaki dengan rambut putih itu mendekapku."Saya sangat berhutang budi pada Nak Bima." Pak Udi melepaskan pelukannya, menatapku dengan linangan air mata."Mulai besok Nak Bima langsung bekerja, ya," ujar Pak Udi bersemangat.**Seperti permintaan Pak Udi, esok paginya aku sampai di toko. Kusapa seorang wanita berhijab hitam yang tengah membuka toko."Selamat pagi, Mbak. Perkenalkan saya Bima, karyawan baru Pak Udi." Aku mengulurkan tangan ke arah wanita yang menatapku tak berkedip."Hallo, Mbak ... " Kutarik tanganku yang mengambang di udara."E-eh, iya, Mas. Aku Nita bagian depan, penerima pelanggan. Kapan melamarnya, Mas? Kemarin perasaan tak ada," tanyanya ingin tahu."Kemarin sore. Pak Udi kapan datangnya?" Aku celingukan ke dalam mencari sosok lelaki tua pemilik toko ini."Eh, Mas Bima, Ya? Mari masuk. Pak Udi sudah menelepon saya tadi, beliau tak enak badan. Jadi saya yang akan menemani Mas Bima berbelanja bahan toko yang habis." Wanita lain muncul dari dalam dan langsung mengajakku masuk meninggalkan wanita tadi."Oh, ya, kenalkan aku Maya, bagian gudang.""Saya Bima." Kami berjabat tangan. Maya tersenyum dikulum, lama dia baru melepaskan jabatan tangan kami."Maaf, Mbak Maya ... ""Oh, maaf, Mas Bima."Pipi perempuan itu merona, ia buru-buru menuju laci dan mengeluarkan catatan.Tiba-tiba dari arah pintu Pak Udi muncul dengan langkah tergesa."Maya! Kau masuk ke dalam, biar aku yang langsung menemani Bima membeli barang kebutuhan toko." Pak Udi mengambil alih catatan dari tangan Maya."Nita, kau jaga kasir," perintahnya pada wanita yang di luar tadi."Maaf Nak Bima, Bapak terlambat. Kita langsung berangkat saja, tak bisa meninggalkan mereka berdua berlama-lama ... Tak serasi, sering bertengkar. Mau saya pecat salah satunya nanti." Pak Udi terus bicara sampai ke mobil pickup yang dibawanya."Biar saya saja yang bawa, Pak," pintaku. Kulihat wajah lelaki itu pucat dengan mata yang sayu. Kuyakin ia tak enak badan, tapi dipaksakan juga bekerja."Tak usah, Bapak sanggup, Kok."Pak Udi mulai melajukan kendaraan roda empat dengan bak terbuka itu. Pandangannya lurus ke depan fokus mengemudi, sesekali di usapnya keringat di dahi."Usia berapa Nak Bima? Sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba tanpa hilang fokus ke depan."Tiga puluh dua, Pak ... "Aku ragu untuk mengatakan baru gagal menikah, sungguh hal yang memalukan."Sudah punya istri?" Kembali Pak Udi bertanya seiring melewati lampu merah yang menyala, kami berhenti."Belum."Pak Udi menoleh cepat memperbaiki duduknya."Betulkah? Ya Allah, sebuah kebetulan yang tak disangka. Maukah kamu menikah dengan anak gadis saya?""Apa? Ma-maksud Bapak?""Iya. Kalau kamu belum punya pasangan, maukah menikahi anak saya?"Tbc...SUAMI DARI MASA LALU Part 7**Aku masih bergelung di bawah selimut padahal sinar matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Perlahan kusibak selimut tebal yang sekian hari menemani tidur malamku itu. Menapak kaki dengan malas di lantai lalu melangkah menuju jendela untuk membuka tirai. "Lin, maukah kamu menjadi pasangan Alex saat mengikuti pembukaan restoran barunya?" pinta Nyonya Lim semalam. Aku tahu keluarga Pak Lim ingin mendekatkan aku dan Alex, walau mereka tak ingin memaksa dengan alasan perbedaan agama diantara kami. Namun, semakin hari mereka ingin mengabaikan perbedaan itu. "Tak ada salahnya dicoba, kami pun ikhlas kalau Alex mengikuti keyakinanmu jika memang dia nyaman denganmu."Kata-kata itu yang kupikirkan semalaman hingga membuat insomnia ku merajalela. Deringan ponsel mengalihkan pandanganku dari bangunan berjejer di bawah lantai dua puluh ini. "Sebentar lagi saya sampai, kamu handle dulu, ya." Aku mengakhiri panggilan dari Hani. Sedetik kemudian pang
SUAMI DARI MASA LALU Part 8Pov Bima**"Masuk, Nak." Kujejalkan kaki memasuki rumah besar dan luas tapi bercorak kuno itu. Cat dindingnya yang berwarna putih sudah banyak yang mengelupas butuh dicat kembali. Di ruang tamu rumah itu aku disuguhkan aneka perabotan yang juga termakan usia, hanya tirai jendela dan pintu yang mengikuti model jaman sekarang. "Rumah lama, Nak. Kami membelinya puluhan tahun lalu dari orang lain. Rumah yang banyak kenangan sehingga saya enggan mengganti segala sesuatu yang berkaitan dengan almarhum istri saya," ujar Pak Udi melihatku memandang sekeliling. "Tunggu saya buatkan kopi.""Tak usah, Pak, hanya merepotkan Bapak saja," larangku. Namun, Pak Udi tak menggubris, dengan jalan terpincang-pincang ia memasuki ruang dalam. Tak beberapa lama dia muncul dengan nampan di tangan, buru-buru aku mengambil alih nampan itu sebab ia agak kewalahan. "Dicoba, Nak. Kopi saya terkenal enak ... Kata anak saya," kekeh Pak Udi. Aku menyeruput kopi dari pinggiran gel
Pov Bima**"Masuk, Nak." Kujejalkan kaki memasuki rumah besar dan luas tapi bercorak kuno itu. Cat dindingnya yang berwarna putih sudah banyak yang mengelupas butuh dicat kembali. Di ruang tamu rumah itu aku disuguhkan aneka perabotan yang juga termakan usia, hanya tirai jendela dan pintu yang mengikuti model jaman sekarang. "Rumah lama, Nak. Kami membelinya puluhan tahun lalu dari orang lain. Rumah yang banyak kenangan sehingga saya enggan mengganti segala sesuatu yang berkaitan dengan almarhum istri saya," ujar Pak Udi melihatku memandang sekeliling. "Tunggu saya buatkan kopi.""Tak usah, Pak, hanya merepotkan Bapak saja," larangku. Namun, Pak Udi tak menggubris, dengan jalan terpincang-pincang ia memasuki ruang dalam. Tak beberapa lama dia muncul dengan nampan di tangan, buru-buru aku mengambil alih nampan itu sebab ia agak kewalahan. "Dicoba, Nak. Kopi saya terkenal enak ... Kata anak saya," kekeh Pak Udi. Aku menyeruput kopi dari pinggiran gelas. Betul, terasa nikmat dan
Part 10Pov Raline**Pak Lim sedang menatap layar ponselnya ketika aku masuk. Pria bermata sipit itu menyuruh duduk tanpa melepas pandangannya dari layar. Aku jengah dengan kesibukannya dan mengabaikanku yang sedari tadi duduk di sini. "Sorry, Lin. Ada hal penting yang ingin dibicarakan Alex." Sudah kuduga ini yang akan disampaikannya sebab aku telah memblokir nomor Alex. Lemah sekali dia melibatkan orang tua dalam masalahnya, dasar anak mami! Makiku dalam hati. "Kalian harus menyelesaikan kesalahan pahaman ini. Kau tahu, Mama Alex sampai tak tidur memikirkan ini.""Apa, Pak Lim? Sampai segitunya?" tanyaku tak percaya. "Iya. Alex telah menceritakan semua pada kami. Nah, itu dia datang." Pak Lim menunjuk ke pintu. Aku mendengar langkah kaki Alex memasuki ruangan ini. Ia duduk di sampingku sama-sama menghadap Pak Lim. "Aku tinggal, silahkan kalian bicara berdua." Pak Lim berdiri lalu berderap ke luar. Hening, hanya detak jarum jam di dinding terdengar sebagai irama kesunyian dia
Part 11**Aku melukis wajah dibalik topi dengan kacamata hitam itu dibenakku. Perlahan ia berjalan ke arahku. "Hallo Raline, apa kabar? Masih berniat menghindariku." Akhirnya aku menyadari siapa yang berdiri di hadapanku sekarang. Kututup pintu mobil yang sempat kubuka tadi. "Kau berhasil menghancurkan karirku, Ngga. Tapi sayang tidak sepenuhnya," ucapku datar. "Ya, paling tidak itu hukuman bagi orang yang suka mempermainkan perasaan orang lain." Rangga mencebik. Aku mendesah, dalam situasi seperti ini tak ada jalan lain selain mengalah. "Baiklah! aku minta maaf, Rangga. Aku ingin berdamai dan tak ingin memperpanjang perdebatan kita.""Apa maksudmu?" Rangga memasang topinya miring seolah mengejekku. "Jauhi aku! Karena aku akan menikah, kalau tidak ... " Aku mengeluarkan ponsel dari balik blazer, menscroll album mencari kartu mati untuk Rangga. Kuperlihatkan sebuah foto yang mampu membuat wajah Rangga pias, ia langsung membuang wajah dari foto itu. Diperbaikinya letak topi dan
**Baru kali ini aku pulang ke Surabaya pakai acara dijemput sebab Ayah bersikeras agar aku bertemu langsung dengan calon suamiku itu. Suasana bandara yang ramai sudah menjadi ciri khas setiap aku pulang sehingga aku tak canggung untuk pulang sendiri. Setelah melewati bagasi mengambil koper, aku melangkah tegap menuju ruang kedatangan. Beberapa orang nampak berdiri di depan pintu membawa tanda untuk dikenali orang yang akan mereka jemput. Aku mencari-cari laki-laki yang menjemputku itu diantara kerumunan orang yang memadati antrian penjemputan. Namun, tak kutemukan orang yang disebut ciri-cirinya oleh Kak Mila. "Tinggi, tegap agak berisi. Memakai kemeja kotak-kotak putih biru dipadu celana jeans hitam.""Kenapa dia tak menelepon saja kalau sudah sampai, Kak?" tanyaku sebelum pesawat landing. "Hapenya ketinggalan di toko, tak mungkin dia balik, nanti malah terlambat menjemputmu."Aku menuju ke sisi kiri antrian kedatangan, menyandarkan tubuh pada tembok agar tak terlihat oleh taxi
**Pov Bima"Pak Udi sakit." Begitu kabar yang kudengar pagi ini dari Maya. Pak Udi memang sudah lama tak datang ke toko, beliau menyerahkan semua wewenang kepadaku sehingga aku terpaksa membatalkan niat mencari kerja lain. Dengan gaji yang lumayan diberikannya pada, aku sudah bisa mengumpulkan uang untuk pernikahan itu. Sebenarnya untuk masalah uang tentu bukan hal yang penting bagiku. Warisan yang ditinggalkan Ayah sudah cukup memenuhi kebutuhanku dan Ibu, tapi setidaknya uang yang kuhasilkan sendiri dari keringatku sendiri. Aku berniat nanti sore menjenguk beliau sekalian menyerahkan neraca akhir bulan. "Mas, aku kok nggak habis pikir kenapa Mas mau menerima perjodohan dengan anaknya Pak Udi?" Nita tiba-tiba bertanya saat sedang bersama-sama menata barang yang baru masuk. "Entah! Sudah jodoh kali, Nita," jawabku sembari menata steling besar tempat berbagai macam cat. "Mas sudah pernah bertemu sebelumnya?" Aku menjeda menyusun rak atas yang ketinggian. "Belum. Hanya sekedar b
**Mala menatap rintik hujan yang kembali turun dengan pandangan kosongnya. Wanita yang kuyakini masih waras itu mendesah beberapa kali. Dengan setia aku menunggu ia bercerita tentang gadis yang sering datang berkunjung ke rumah Pak Udi setiap weekend. "Aku ingin menemuinya, tapi rasa bersalah terlalu besar. Aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan tanpa berani menyapa." Mala mengalihkan pandangannya ke arahku. "Dan anehnya sekarang dia malah menjadi calon istrimu." Mala tertawa sumbang. "Aku akan datang ke pesta pernikahan kalian nanti untuk sekedar minta maaf. Selamat, ya, semoga dengan menikahinya karma buruk tak berlaku padamu... Tak sepertiku yang mengalami hal buruk terus menerus dalam hidupku." Mala mengusap sudut matanya lalu tersenyum lebar kemudian berdiri melangkah tertatih meninggalkanku. "Kuantar kau pulang, Mala," ucapku mensejajari langkahnya. "Pulang kemana?" tanyanya padaku. Aku jadi kebingungan mendapat pertanyaan yang aneh itu. "Ke rumahmu."Mala membuang waj
**RALINEBukan hanya tubuhku yang sakit, tapi hatiku hancur berkeping-keping. Dua jam sudah aku berendam, meratap di dalam air bathup yang dingin hingga jari tangan dan kakiku keriput. Kubiarkan air keran itu hidup hingga meluber ke lantai kamar mandi walau terdengar sekilas bunyi dering ponsel yang tertelan bunyi keran yang mengalir. Dadaku semakin sesak mengingat kejadian yang menimpaku. Semakin berusaha kulupakan semakin berat napas melewati tenggorokan hingga kesulitan bernapas dan air mata kembali membanjir seiring air yang meluber dari bathup yang melimpah. Apa nanti yang akan kukatakan pada Bima mengenai istrinya yang sudah dua kali dilecehkan Dion dan kali ini lebih parah apalagi statusku adalah istri Bima tapi Dion ikut mencicipi tubuhku. Kembali air mata yang mengambang di pelupuk mataku. Kupukul tubuhku dengan perasaan jijik sambil berteriak. "Awas kau Dion! Aku akan membalas semua perbuatanmu! Tunggu Dion! Tunggu!"Merasa puas meluapkan semua perasaan, perlahan aku ban
DionMalas, begitu Bos menyuruhku untuk tugas ke Surabaya lagi. Aku sudah terlalu nyaman hidup di Jakarta yang glamor. Tapi, karena tak ada yang kenal wilayah Surabaya sepertiku, jadilah aku berada di sini sekarang. Bertemu dengan masa lalu dan teman-teman sekolah termasuk Bima. Pria gagah itu semakin matang saja, tapi sayang masih lajang. Aku menertawakannya dalam hati, apa beda dengan diriku?Aku sudah mulai menaruh rasa iri pada Bima sejak sekolah menengah atas. Mulai dari cewek-cewek yang mengidolakannya, prestasi yang bagus dan sejumlah keberuntungan yang pantas menumbuhkan rasa iri. "Dia dipecat dari perusahaannya di Jakarta.""Pernikahannya gagal.""Sekarang bekerja di toko bangunan."Berseliweran berita tentang Bima yang singgah di telingaku saat kumpul dengan para alumni dan aku tersenyum puas. Akhirnya Bima mendapatkan hal buruk juga, jangan selalu keberuntungan terus yang berpihak padanya. Ketika itu aku menunggu pelangganku di sebuah kafe aku melihat Anita, tetanggaku s
**RALINEBau peralatan sembahyang keluarga Pak Lim menguar dari bilik rawat itu. Rupanya Nyonya Lim sedang sembayang. Aku menunggu sampai perempuan paruh baya itu selesai. "Raline? Kapan kamu sampai? Ayo, masuk." Kak Moi mendapatiku berdiri menyandar tiang penyangga. "Baru sampai kok, Kak. Nyonya lagi sembahyang, saya tak ingin mengganggu," jawabku keberatan. "Nggak, apa. Ayo!" Kak Moi meraih tanganku memasuki ruang inap. Nyonya Lim melirik lalu menghentikan kegiatannya. Perempuan paruh baya itu menatapku dengan berkaca-kaca, segera dirangkulnya diriku dan menangis dipelukanmuku cukup lama. "Kami senang kamu datang, Lin. Mudah-mudahan Bapak segera sadar."Nyonya Lim menuntun tanganku mendekati ranjang Pak Lim yang banyak selang. Kepala dan kaki lelaki paruh baya itu diperban. Aku melirik monitor yang bergerak lambat. "Pah, ini Raline sudah datang! Bangunlah," ucap Nyonya Lim menutup mulutnya menahan tangis. Tetiba ruangan itu begitu sunyi yang terdengar hanyalah bunyi monitor.
*RalineKandungan ini begitu kuat, segala cara telah kucoba. Memakan buah nanas muda dan terakhir adalah minum jamu buatan Mbok Jum, tetangga komplek ini yang berjualan jamu di pasar. Sore itu sepulang kerja, Lidia memanggilku. "Lin! Sudah lama tak singgah, mampir dulu," ajak Lidia di balik pagarnya.Aku yang bawaannya malas terpaksa mengiyakan, tak enak dia seperti sengaja menungguku. Kebetulan Bima belum pulang juga. "Bagaimana dengan Dion? Apa hubungan kalian berjalan dengan lancar?" tanya Lidia menyelidik. Aku mengedikkan bahu. "Ya, begitulah. Ada apa memanggilku?"tanyaku tak ingin berlama-lama di sini sebab Perutku serasa diaduk-aduk ketika menci*um aroma farfum Lidia yang menyengat. "Kamu kenapa? Kok menutup mulut?" tatap Lidia heran, tapi kemudian dia tersenyum. "Hayo, kamu hamil ya? Persis seperti aku waktu itu. Mencium bau apa saja mual. Tapi aku nggak pengen, kubuang aja."Hatiku tergelitik mendengar cerita Lidia. "Kamu buang pake apa?" Aku tak berani menatapnya ta
**Pov Bima"Hendra sudah cerita semuanya dan aku meradang." Mama Hendra menatap tajam ke dalam bola mataku. "Aku ingin melaporkan istrimu itu atas tuduhan penyalahgunaan undang-undanh ITE. Mana dia? Pasti sekarang ia takutkan?" Mama Hendra melirik pintu kamar.Aku hanya diam tak melakukan pembelaan terhadap Raline, aku ingin ia dapat pelajaran dari kejadian ini. Akan tetapi mengingat ia sedang hamil memaksaku ikut bicara. "Maafkan, Raline, Bu. Apa kita tak bisa menempuh jalan damai?" Mama Hendra mendesah, sedikit membenahi posisi duduknya. Sesekali ia melirik ke pintu kamar yang tertutup. "Bim, kamu tahu keadaan Hendra, Bukan? Sudah kemana-mana aku membawanya berobat. Kalau biaya sudah tak terkatakan ... " Mama Hendra menjeda ucapannya. Sebutir air mata jatuh menimpa pipinya yang keriput. Hatiku ikut pedih mendengarnya. Hendra telah kehilangan Ayahnya sejak duduk dibangku esempe, hanya Mamanya yang berjuang untuk hidup mereka dan sekarang Mama Hendra sudah pensiun, mereka hanya
**Pov Bima"Raline!" Aku menghentikan pemilik gocar yang mendorong Raline. "Terus jalan, Pak!" pukas Raline. Aku menahan laju kursi roda itu. "Kamu mau apa? Urus saja selingkuhanmu itu," ucap Raline dengan tatapan entah. Ada sebening kaca di sudut matanya tapi kemarahan juga bergelayut di mata itu. "Cemburu, kah ia?""Dia karyawanku yang mengalami kecelakaan kerja," jawabku menghalau kecurigaan Raline. "Bagus! Lebih penting karyawan daripada istri sendiri, ya?""Istri? Loh, kamu sendiri yang bilang kita hidup sendiri-sendiri, Bukan?"Raline diam, tapi kaca di sudut mata menetes, buru-buru disekanya dan menyuruh Bapak itu untuk melanjutkan jalannya kursi roda. 'Astaghfirullah, apa yang telah kukatakan dalam keadaan Raline yang sedang sakit itu.'Aku lekas menggantikan Bapak gocar itu setelah membayar ongkos gocar-nya. Semoga Maya tak mengapa menungguku.Lekas kudorong kursi menuju ruang UGD ketika kuperhatikan sekilas wajah Raline yang pucat pasi.Sesampainya di pintu ugd, seoran
**Nindi menyentuh bahuku yang terduduk di lantai kamar mandi granit berwarna hitam yang dingin. Perlahan ia memegang ketiak lalu mengangkatku susah payah. Kulihat sebelumnya Nindi mengambil test pack itu, mengamati dan membuangnya ke tempat sampah. Aku didudukkan di sofa jati berukiran emas di pinggirannya. "Apa salahnya kalau kamu hamil? Toh, kamu punya suami?" Nindi merapikan anak rambutku yang berserakan. Cepat aku menoleh padanya. "Apa betul aku hamil?"Nindi mengedikkan bahu. "Entah! Aku belum pernah melihat orang menggunakannya. Garis duanya pun masih samar," komentar Nindi yang melegakan sedikit kekalutan hatiku. "Kau belum menjawab kenapa tak mau hamil anak suamimu?" Nindi menatapku menunggu cerita yang keluar dari mulutku.Aku tak punya siapa lagi yang bisa dipercaya. Sahabat? Hanya Nindi yang masih berempati padaku. Satu lagi Anita. Eh, Anita sekarang apa kabar? Dia tak pernah lagi menghubungiku padahal kami satu kota sekarang. Nindi menyentuh tanganku hingga cerita i
**Kelopak mataku yang berwarna pink muda dengan bulu mata panjang dan lentik membuka perlahan. Bola mata indah yang kuhiasi soflen berwarna orange itu memutar kesekeliling. "Kau sudah sadar, Raline!" Suara khas lembut dan keibuan itu memaksaku menoleh. "Nyonya Kim? Kenapa aku ada di sini? Ini di mana?" Kucecar Nyonya Lim dengan pertanyaan yang bersileweran di kepalaku. "Kau di kamar Moi. Tadi kamu tiba-tiba pingsan. Kamu belum makan dari kemarin, ya?"Aku mengingat semalam memang tak makan dan langsung tidur sampai hari ini belum ada satu butir pun masuk ke perutku. "Sebaiknya Nyonya ke depan mendampingi pengantin, saya sudah merasa baik," ucapku melihat Nindi berdiri di depan pintu masuk. "Kamu yakin? tanya wanita berkebaya creamy itu memastikan. "Iya, Nyonya. Ada teman saya di luar, ia bisa membawa saya pulang." Aku menunjuk ke luar diikuti tatapan Nyonya Lim. "Baiklah, Raline. Kalau kau masih merasa belum baik istirahatlah di sini sampai esok."Nyonya Lim menawarkan kebaika
**Pov BimaKuketuk berkali-kali kamar Raline memastikan ia ada di dalam. Namun, tak sedikitpun pintu itu terkuak mengisyaratkan ada orang di dalam. 'Kemana Raline? Bagaimana kalau Ayah datang, aku harus bilang apa?"Aku mengacak rambut kesal, kebiasaannya pergi tanpa bicara minimal kirim pesan walau aku tak dianggap. Padahal sebentar lagi Ayah sampai. Kucoba mengirim pesan menanyakan di mana dia berada, tapi centang satu, begitu pula panggilan hanya memanggil tak berdering. Aku memilih duduk di teras menunggu kedatangan Ayah sambil mencari alasan tentang keberadaan Raline. "Hallo, Mas, Raline ada?" Seorang wanita memakai rok span pendek berdiri di depan pintu gerbang sambil tersenyum. "Tidak ada, Mbak. Ada apa, ya?" tanyaku tanpa bangkit dari kursi yang kududuki, malas melihat penampilan yang merusak pandangan mataku. "Saya tetangga depan rumah, Mas. Boleh saya masuk?"Tanpa menunggu jawabanku, wanita itu membuka sendiri pintu gerbang lalu melangkah masuk. Gawat kalau Ayah meli