**Baru kali ini aku pulang ke Surabaya pakai acara dijemput sebab Ayah bersikeras agar aku bertemu langsung dengan calon suamiku itu. Suasana bandara yang ramai sudah menjadi ciri khas setiap aku pulang sehingga aku tak canggung untuk pulang sendiri. Setelah melewati bagasi mengambil koper, aku melangkah tegap menuju ruang kedatangan. Beberapa orang nampak berdiri di depan pintu membawa tanda untuk dikenali orang yang akan mereka jemput. Aku mencari-cari laki-laki yang menjemputku itu diantara kerumunan orang yang memadati antrian penjemputan. Namun, tak kutemukan orang yang disebut ciri-cirinya oleh Kak Mila. "Tinggi, tegap agak berisi. Memakai kemeja kotak-kotak putih biru dipadu celana jeans hitam.""Kenapa dia tak menelepon saja kalau sudah sampai, Kak?" tanyaku sebelum pesawat landing. "Hapenya ketinggalan di toko, tak mungkin dia balik, nanti malah terlambat menjemputmu."Aku menuju ke sisi kiri antrian kedatangan, menyandarkan tubuh pada tembok agar tak terlihat oleh taxi
**Pov Bima"Pak Udi sakit." Begitu kabar yang kudengar pagi ini dari Maya. Pak Udi memang sudah lama tak datang ke toko, beliau menyerahkan semua wewenang kepadaku sehingga aku terpaksa membatalkan niat mencari kerja lain. Dengan gaji yang lumayan diberikannya pada, aku sudah bisa mengumpulkan uang untuk pernikahan itu. Sebenarnya untuk masalah uang tentu bukan hal yang penting bagiku. Warisan yang ditinggalkan Ayah sudah cukup memenuhi kebutuhanku dan Ibu, tapi setidaknya uang yang kuhasilkan sendiri dari keringatku sendiri. Aku berniat nanti sore menjenguk beliau sekalian menyerahkan neraca akhir bulan. "Mas, aku kok nggak habis pikir kenapa Mas mau menerima perjodohan dengan anaknya Pak Udi?" Nita tiba-tiba bertanya saat sedang bersama-sama menata barang yang baru masuk. "Entah! Sudah jodoh kali, Nita," jawabku sembari menata steling besar tempat berbagai macam cat. "Mas sudah pernah bertemu sebelumnya?" Aku menjeda menyusun rak atas yang ketinggian. "Belum. Hanya sekedar b
**Mala menatap rintik hujan yang kembali turun dengan pandangan kosongnya. Wanita yang kuyakini masih waras itu mendesah beberapa kali. Dengan setia aku menunggu ia bercerita tentang gadis yang sering datang berkunjung ke rumah Pak Udi setiap weekend. "Aku ingin menemuinya, tapi rasa bersalah terlalu besar. Aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan tanpa berani menyapa." Mala mengalihkan pandangannya ke arahku. "Dan anehnya sekarang dia malah menjadi calon istrimu." Mala tertawa sumbang. "Aku akan datang ke pesta pernikahan kalian nanti untuk sekedar minta maaf. Selamat, ya, semoga dengan menikahinya karma buruk tak berlaku padamu... Tak sepertiku yang mengalami hal buruk terus menerus dalam hidupku." Mala mengusap sudut matanya lalu tersenyum lebar kemudian berdiri melangkah tertatih meninggalkanku. "Kuantar kau pulang, Mala," ucapku mensejajari langkahnya. "Pulang kemana?" tanyanya padaku. Aku jadi kebingungan mendapat pertanyaan yang aneh itu. "Ke rumahmu."Mala membuang waj
**Pov RalineAku terbangun di ruangan serba putih, bau obat-obatan menyengat ke indra penciumanku. Kutatap tubuh yang masih mengenakkan kebaya putih lengkap. "Apa yang terjadi denganku," gumamku. "Kamu sudah sadar, Lin?" Aku menoleh ke arah suara di bawah kakiku. Kak Mila duduk bersidekap di sana. "Apa yang terjadi, Kak?" Aku berinsut mencoba duduk walau kepalaku masih pusing. "Kau pingsan, kata Dokter akibat terlalu lelah dan tensimu yang rendah. Apa kau sudah merasa baikan?" Kak Mila berjalan ke sisi kiriku. "Hmm, tak terlalu pusing lagi.""Tunggu aku panggilkan perawat biar kamu diperiksa," ujar Kak Mila memutar tubuhnya. "Kak ... Tunggu! Aku mau bicara sebentar." Kak Mila mengurungkan niatnya lalu menarik sebuah kursi untuk duduk di sampingku. "Kakak tahu Bima itu siapa?"Kak Mila menggeleng. "Dia dan kawan-kawannya yang menjadi penyebab kesengsaraan dalam hidupku," paparku pada Kak Mila. Raut wajahnya berubah menjadi serius, ia semakin mendekatkan kursinya padaku. "Ma
**Pov BimaLelaki itu ada diantara para tamu yang hadir untuk mengucapkan selamat. Ia memakai baju batik coklat dipadu jeans hitam. Rambutnya dikucir ke atas hingga terkesan rapi. Aku masih memandang gerak-geriknya sejak awal masuk. Ia melangkah tegap ke depan menaiki panggung setelah tamu sudah mulai sepi naik ke panggung. "Hallo, Bro. Akhirnya status lo berganti juga, tapi kenapa lo cuma sendiri, mana gadis cupu itu?" tanyanya celingukan. "Aku tak mengundang lo, Bro. Siapa yang menyuruh lo datang?" Bukan tak suka atau membencinya, tapi kelakuannya yang pernah menjebakku itu yang membuatku demikian. Dion, sahabat dekatku sejak esempe hingga kuliah pun kami bareng hanya beda jurusan. "Gue disuruh Hendra. Ia masih belum pulih setelah jatuh dari kamar mandi."Jadi itu rupanya penyebab Hendra masuk rumah sakit lagi. Aku membuang muka ketika Dion mendekat ingin memberi selamat. "Sebaiknya lo pergi, lo bukan tamu undangan di sini," ucapku tanpa memandangnya dan membiarkan tangan Di
**Pov RalineAku menggeliat bangkit dari ranjang, bangkit dan mendapati Bima tengah membaca alquran di atas sajadah di lantai.Setelah insiden semalam aku jadi semakin membenci Bima. Walau halal untuk bersentuhan dan kemunculan geleyar aneh, aku menampik berdekatan dengannya.Aku melirik jam dinding yang menunjukkan angka enam pagi. Di luar sudah terdengar keramaian suara kerabat Ayah yang menggelar karpet bersama-sama tidur di ruang tamu. Dari halaman pun sudah terjadi kesibukan pembongkaran tenda pelaminan. "Sudah jam berapa ini? Kau tak sholat."Bukan urusanmu. Kita hidup masing-masing," dengusku. "Sekarang kau adalah tanggung jawab dunia dan akhiratku. Aku wajib membimbingmu mencari keridhoan ilahi dan bila ada kemungkaran yang kau lakukan aku wajib mengingatkan," terang Bima lembut mungkin berharap terketuk pintu hatiku. "Dari awal sudah kukatakan pernikahan ini hanya di atas kertas, hak dan kewajiban tak termasuk di dalamnya. Satu lagi jangan mengatur hidupku." Aku beranjak
**Pov Bima"Nak Abim, batalkan saja pengambilan tiket itu.""Kenapa pak?""Raline tak mengambil cuti pernikahan rupanya. Bapak takut nanti kalian tak fokus bulan madunya karena terganggu masalah kantor Raline."Aku yakin hal itu pasti dilakukan Raline agar tak menjadi bahan gunjingan di kantor, walaupun dia sudah pindah ke Surabaya sekalipun tetap saja gosip pasti beredar mengenai pernikahan Bu direktur dan mantan manager keuangan yang dipecat paksa karena kelakuannya. "Kau jadi mengambil tiket itu?" tanya Raline ketika turun dari mobil. Dia nampak kesusahan dengan kebaya ketat yang dipakainya. Ada rasa kasihan dan ingin menolong tapi kuurungkan ketika melihat wajah juteknya padaku. "Sudah," jawabku pura-pura. Ingin kulihat reaksinya besok bagaiamana mengetahui kami tak jadi berangkat. "Tolong jaga sopan santunmu pada keluargaku." Aku memperingatkan gadis bermata biru karena soflens yang dipakainya sebelum memasuki pekarangan rumah yang telah dihias sedemikian rupa, walau tak seme
Pov RalineSebuah mini bus menyalip begitu kencang sehingga membuat aku gugup hilang konsentrasi. Beruntung aku membanting stir ke sisi kiri yang berupa rerumputan hijau yang dibatasi kawat besi. Mobil menabrak pagar itu sebelumnya aku sudah menginjak rem. "Sudah kukatakan jangan ngebut kau tak mau dengar!" bentak Bima kalut. "Kau tak apa-apa? Ada yang sakit atau luka?" tanyanya cemas. Aku menggeleng, baru kali ini seumur-umur membawa kendaraan aku mengalami kecelakaan. Lelaki itu lekas turun memeriksa keadaan mobil. Beberapa motor berhenti memperhatikan kami. "Anda tidak apa-apa, Pak?" tanya salah seorang dari mereka. "Nggak, apa-apa. Kami baik-baik saja." Bima kembali ke dalam, memperhatikan aku yang masih mengatur detak jantungku yang menggila. "Itu akibat tak mau mendengarkan perkataan suami." Ia meraih tisue menyeka peluh di dahiku dan kutepis dengan kasar. "Cari kesempatan!" bentakku mengeram. "Sini pindah, biar aku yang nyetir," ujar Bima keluar dari mobil lagi. Aku m
**RALINEBukan hanya tubuhku yang sakit, tapi hatiku hancur berkeping-keping. Dua jam sudah aku berendam, meratap di dalam air bathup yang dingin hingga jari tangan dan kakiku keriput. Kubiarkan air keran itu hidup hingga meluber ke lantai kamar mandi walau terdengar sekilas bunyi dering ponsel yang tertelan bunyi keran yang mengalir. Dadaku semakin sesak mengingat kejadian yang menimpaku. Semakin berusaha kulupakan semakin berat napas melewati tenggorokan hingga kesulitan bernapas dan air mata kembali membanjir seiring air yang meluber dari bathup yang melimpah. Apa nanti yang akan kukatakan pada Bima mengenai istrinya yang sudah dua kali dilecehkan Dion dan kali ini lebih parah apalagi statusku adalah istri Bima tapi Dion ikut mencicipi tubuhku. Kembali air mata yang mengambang di pelupuk mataku. Kupukul tubuhku dengan perasaan jijik sambil berteriak. "Awas kau Dion! Aku akan membalas semua perbuatanmu! Tunggu Dion! Tunggu!"Merasa puas meluapkan semua perasaan, perlahan aku ban
DionMalas, begitu Bos menyuruhku untuk tugas ke Surabaya lagi. Aku sudah terlalu nyaman hidup di Jakarta yang glamor. Tapi, karena tak ada yang kenal wilayah Surabaya sepertiku, jadilah aku berada di sini sekarang. Bertemu dengan masa lalu dan teman-teman sekolah termasuk Bima. Pria gagah itu semakin matang saja, tapi sayang masih lajang. Aku menertawakannya dalam hati, apa beda dengan diriku?Aku sudah mulai menaruh rasa iri pada Bima sejak sekolah menengah atas. Mulai dari cewek-cewek yang mengidolakannya, prestasi yang bagus dan sejumlah keberuntungan yang pantas menumbuhkan rasa iri. "Dia dipecat dari perusahaannya di Jakarta.""Pernikahannya gagal.""Sekarang bekerja di toko bangunan."Berseliweran berita tentang Bima yang singgah di telingaku saat kumpul dengan para alumni dan aku tersenyum puas. Akhirnya Bima mendapatkan hal buruk juga, jangan selalu keberuntungan terus yang berpihak padanya. Ketika itu aku menunggu pelangganku di sebuah kafe aku melihat Anita, tetanggaku s
**RALINEBau peralatan sembahyang keluarga Pak Lim menguar dari bilik rawat itu. Rupanya Nyonya Lim sedang sembayang. Aku menunggu sampai perempuan paruh baya itu selesai. "Raline? Kapan kamu sampai? Ayo, masuk." Kak Moi mendapatiku berdiri menyandar tiang penyangga. "Baru sampai kok, Kak. Nyonya lagi sembahyang, saya tak ingin mengganggu," jawabku keberatan. "Nggak, apa. Ayo!" Kak Moi meraih tanganku memasuki ruang inap. Nyonya Lim melirik lalu menghentikan kegiatannya. Perempuan paruh baya itu menatapku dengan berkaca-kaca, segera dirangkulnya diriku dan menangis dipelukanmuku cukup lama. "Kami senang kamu datang, Lin. Mudah-mudahan Bapak segera sadar."Nyonya Lim menuntun tanganku mendekati ranjang Pak Lim yang banyak selang. Kepala dan kaki lelaki paruh baya itu diperban. Aku melirik monitor yang bergerak lambat. "Pah, ini Raline sudah datang! Bangunlah," ucap Nyonya Lim menutup mulutnya menahan tangis. Tetiba ruangan itu begitu sunyi yang terdengar hanyalah bunyi monitor.
*RalineKandungan ini begitu kuat, segala cara telah kucoba. Memakan buah nanas muda dan terakhir adalah minum jamu buatan Mbok Jum, tetangga komplek ini yang berjualan jamu di pasar. Sore itu sepulang kerja, Lidia memanggilku. "Lin! Sudah lama tak singgah, mampir dulu," ajak Lidia di balik pagarnya.Aku yang bawaannya malas terpaksa mengiyakan, tak enak dia seperti sengaja menungguku. Kebetulan Bima belum pulang juga. "Bagaimana dengan Dion? Apa hubungan kalian berjalan dengan lancar?" tanya Lidia menyelidik. Aku mengedikkan bahu. "Ya, begitulah. Ada apa memanggilku?"tanyaku tak ingin berlama-lama di sini sebab Perutku serasa diaduk-aduk ketika menci*um aroma farfum Lidia yang menyengat. "Kamu kenapa? Kok menutup mulut?" tatap Lidia heran, tapi kemudian dia tersenyum. "Hayo, kamu hamil ya? Persis seperti aku waktu itu. Mencium bau apa saja mual. Tapi aku nggak pengen, kubuang aja."Hatiku tergelitik mendengar cerita Lidia. "Kamu buang pake apa?" Aku tak berani menatapnya ta
**Pov Bima"Hendra sudah cerita semuanya dan aku meradang." Mama Hendra menatap tajam ke dalam bola mataku. "Aku ingin melaporkan istrimu itu atas tuduhan penyalahgunaan undang-undanh ITE. Mana dia? Pasti sekarang ia takutkan?" Mama Hendra melirik pintu kamar.Aku hanya diam tak melakukan pembelaan terhadap Raline, aku ingin ia dapat pelajaran dari kejadian ini. Akan tetapi mengingat ia sedang hamil memaksaku ikut bicara. "Maafkan, Raline, Bu. Apa kita tak bisa menempuh jalan damai?" Mama Hendra mendesah, sedikit membenahi posisi duduknya. Sesekali ia melirik ke pintu kamar yang tertutup. "Bim, kamu tahu keadaan Hendra, Bukan? Sudah kemana-mana aku membawanya berobat. Kalau biaya sudah tak terkatakan ... " Mama Hendra menjeda ucapannya. Sebutir air mata jatuh menimpa pipinya yang keriput. Hatiku ikut pedih mendengarnya. Hendra telah kehilangan Ayahnya sejak duduk dibangku esempe, hanya Mamanya yang berjuang untuk hidup mereka dan sekarang Mama Hendra sudah pensiun, mereka hanya
**Pov Bima"Raline!" Aku menghentikan pemilik gocar yang mendorong Raline. "Terus jalan, Pak!" pukas Raline. Aku menahan laju kursi roda itu. "Kamu mau apa? Urus saja selingkuhanmu itu," ucap Raline dengan tatapan entah. Ada sebening kaca di sudut matanya tapi kemarahan juga bergelayut di mata itu. "Cemburu, kah ia?""Dia karyawanku yang mengalami kecelakaan kerja," jawabku menghalau kecurigaan Raline. "Bagus! Lebih penting karyawan daripada istri sendiri, ya?""Istri? Loh, kamu sendiri yang bilang kita hidup sendiri-sendiri, Bukan?"Raline diam, tapi kaca di sudut mata menetes, buru-buru disekanya dan menyuruh Bapak itu untuk melanjutkan jalannya kursi roda. 'Astaghfirullah, apa yang telah kukatakan dalam keadaan Raline yang sedang sakit itu.'Aku lekas menggantikan Bapak gocar itu setelah membayar ongkos gocar-nya. Semoga Maya tak mengapa menungguku.Lekas kudorong kursi menuju ruang UGD ketika kuperhatikan sekilas wajah Raline yang pucat pasi.Sesampainya di pintu ugd, seoran
**Nindi menyentuh bahuku yang terduduk di lantai kamar mandi granit berwarna hitam yang dingin. Perlahan ia memegang ketiak lalu mengangkatku susah payah. Kulihat sebelumnya Nindi mengambil test pack itu, mengamati dan membuangnya ke tempat sampah. Aku didudukkan di sofa jati berukiran emas di pinggirannya. "Apa salahnya kalau kamu hamil? Toh, kamu punya suami?" Nindi merapikan anak rambutku yang berserakan. Cepat aku menoleh padanya. "Apa betul aku hamil?"Nindi mengedikkan bahu. "Entah! Aku belum pernah melihat orang menggunakannya. Garis duanya pun masih samar," komentar Nindi yang melegakan sedikit kekalutan hatiku. "Kau belum menjawab kenapa tak mau hamil anak suamimu?" Nindi menatapku menunggu cerita yang keluar dari mulutku.Aku tak punya siapa lagi yang bisa dipercaya. Sahabat? Hanya Nindi yang masih berempati padaku. Satu lagi Anita. Eh, Anita sekarang apa kabar? Dia tak pernah lagi menghubungiku padahal kami satu kota sekarang. Nindi menyentuh tanganku hingga cerita i
**Kelopak mataku yang berwarna pink muda dengan bulu mata panjang dan lentik membuka perlahan. Bola mata indah yang kuhiasi soflen berwarna orange itu memutar kesekeliling. "Kau sudah sadar, Raline!" Suara khas lembut dan keibuan itu memaksaku menoleh. "Nyonya Kim? Kenapa aku ada di sini? Ini di mana?" Kucecar Nyonya Lim dengan pertanyaan yang bersileweran di kepalaku. "Kau di kamar Moi. Tadi kamu tiba-tiba pingsan. Kamu belum makan dari kemarin, ya?"Aku mengingat semalam memang tak makan dan langsung tidur sampai hari ini belum ada satu butir pun masuk ke perutku. "Sebaiknya Nyonya ke depan mendampingi pengantin, saya sudah merasa baik," ucapku melihat Nindi berdiri di depan pintu masuk. "Kamu yakin? tanya wanita berkebaya creamy itu memastikan. "Iya, Nyonya. Ada teman saya di luar, ia bisa membawa saya pulang." Aku menunjuk ke luar diikuti tatapan Nyonya Lim. "Baiklah, Raline. Kalau kau masih merasa belum baik istirahatlah di sini sampai esok."Nyonya Lim menawarkan kebaika
**Pov BimaKuketuk berkali-kali kamar Raline memastikan ia ada di dalam. Namun, tak sedikitpun pintu itu terkuak mengisyaratkan ada orang di dalam. 'Kemana Raline? Bagaimana kalau Ayah datang, aku harus bilang apa?"Aku mengacak rambut kesal, kebiasaannya pergi tanpa bicara minimal kirim pesan walau aku tak dianggap. Padahal sebentar lagi Ayah sampai. Kucoba mengirim pesan menanyakan di mana dia berada, tapi centang satu, begitu pula panggilan hanya memanggil tak berdering. Aku memilih duduk di teras menunggu kedatangan Ayah sambil mencari alasan tentang keberadaan Raline. "Hallo, Mas, Raline ada?" Seorang wanita memakai rok span pendek berdiri di depan pintu gerbang sambil tersenyum. "Tidak ada, Mbak. Ada apa, ya?" tanyaku tanpa bangkit dari kursi yang kududuki, malas melihat penampilan yang merusak pandangan mataku. "Saya tetangga depan rumah, Mas. Boleh saya masuk?"Tanpa menunggu jawabanku, wanita itu membuka sendiri pintu gerbang lalu melangkah masuk. Gawat kalau Ayah meli