Danu menatapku, begitu juga aku, sejenak kami saling pandang. Namun, secepatnya aku mengalihkan pandangan dari pemuda itu.
“Bapak ini ngomong apa,” ucapku sedikit kesal.“Bapak ini gimana, ya jelas anak Bapak yang cantik itu ndak mau sama aku.” Danu terkekeh, tapi bisa kulihat ia salah tingkah.“Bapak serius lho.” Bapak menatapku dan Danu bergantian, memang tak ada raut bercanda di wajahnya.“Bapak sama ibuk kan udah tua, nanti siapa yang jaga Nisa? Dia itu sendirian, enggak punya saudara. Bapak pengen lihat dia menikah,” ujar bapak serius.Wajahnya yang terlihat sudah keriput termakan usia tak sedikitpun memperlihatkan raut wajah bercanda. “Ibuk juga sakit-sakitan mikirin anak gadisnya,” sambung bapak, tangannya menggenggam lembut jari jemariku yang memilin ujung baju. Aku tak bisa berkata-kata, menolak pun tak mungkin. Aku hanya bisa pasrah, mungkin pilihan bapak ini yang terbaik untukku.“Tapi kan, aku enggak punya apa-apa dan siapa-siapa Pak, aku ini sebatang kara,” lirih Danu, ia menunduk melas.Bapak tersenyum menepuk pelan pundak Danu. “Itu ndak penting, bapak tahu kamu laki-laki baik-baik, kamu pasti bisa jaga Nisa, makanya bapak pengen ngambil mantu kamu.” Bapak tertawa tipis.Danu sepertinya tak kuasa menolak, ia menyetujui permintaan bapak untuk segera meminangku. Sementara bapak pulang lebih dulu dengan senyum sumringah, tak sabar ingin mengabarkan hal itu kepada ibu.“Apa ndak apa-apa, Mbak?” tanya Danu, memecah keheningan kami beberapa saat setelah bapak meninggalkan saung tempat kami beristirahat.Aku menatapnya sejenak, sedikit ada keraguan dalam dadaku. Apa mungkin aku melaksanakan pernikahan tanpa cinta ini? Tapi, untuk apa cinta jika pada akhirnya akan menyakiti layaknya tujuh pria yang telah melamarku sebelumnya?“Gimana menurutmu?” Aku balik bertanya.“Ya kalau aku sih, seneng aja,” jawabnya dengan tawa renyah.“Kamu pikirin aja dulu lah, aku berharap pernikahan sekali seumur hidup. Kamu sendiri pasti udah denger bagaimana orang sekampung memanggil dan gosipin aku sebagai perawan tua.” Aku beranjak, bersiap meninggalkan Danu.Ya, meski pernikahan tanpa cinta, aku berharap hanya menikah sekali seumur hidup, bersyukur jika Tuhan memberikan cinta di antara kami esok jika dia benar-benar ingin menikah denganku.….Minggu malam tak kusangka Danu datang membawa sekotak cincin emas, entah dari mana ia mendapatkan itu. Lelaki berambut gondrong itu mengatakan siap menerima permintaan bapak dan menikah denganku secepatnya. Aku tak terkejut, justru was-was melanda hati, takut kalau-kalau pernikahan ini mungkin akan kembali gagal.Bapak dan Ibu sengaja merahasiakan hal ini, hingga sehari sebelum menikah, Ibu baru memberitahukan kepada kerabat dan tetangga untuk membantu membuat hidangan selamatan, sesuai tradisi di desa kami.“Beneran Nisa mau nikah, Rum?” tanya Bik Marti, tetangga sebelah.Ibu mengangguk membenarkan ucapan Bik Marti. “Alhamdulilah, semoga jodoh terbaik,” jawab Ibu.“Sama siapa? Pemuda yang di rumahmu itu? Sebenarnya dia siapa? Kok Nisa mau, nikah sama orang yang enggak jelas asal usulnya,” cecar Bik Marti yang kudengar begitu jelas dari kamarku.“Udah pilihan bapaknya, Mbak,” ibu menjawab dengan tenang.Keduanya kemudian berlalu menuju dapur mempersiapkan sayur mayur yang akan diolah, sementara aku lebih senang mengurung diri di kamar. Jika aku keluar, yang aku dengar hanyalah omongan panas dan nyinyir dari para tetangga.Mondar-mandir berjalan di depan cermin, jantungku berdetak tidak karuan. Berulang kutatap jam yang tergantung di dinding, waktu terasa begitu lambat, padahal aku ingin hari ini cepat berlalu.Tak seperti acara akad yang dilengkapi hiasan serta banyak pasang mata menyaksikan, acara akad pernikahanku hanya tetangga dekat yang menghadiri dan kerabat. Aku pun tak berniat memesan perias, rasa trauma membuatku berdandan seadanya.Aku menunggu di kamar seorang diri. Semakin mendekati waktu yang ditentukan, jantungku berdetak kencang seolah ingin melompat keluar. Duduk tak tenang, berdiri pun tak nyaman, hawa panas membuatku berkeringat, padahal kipas angin menyala begitu kencangnya.Pintu kamar diketuk, gegas kuhampiri dan membukanya. “Deswa,” lirihku. Kutarik cepat tangan sepupuku itu.“Dingin banget tangan kamu Mbak, kayak mayit aja.” Dia meremas tanganku.Dingin, katanya, padahal aku sendiri merasa gerah.“Takut banget, lihat ini jantungku udah mau copot.” Kutempelkan tangan Deswa di dadaku.“Ya ampun, tenang aja lah.” Deswa terkekeh pelan.“Kamu ini kayak enggak tahu aja, setiap mau nikah ada aja yang gagalin, aku takut ngecewain Bapak sama Ibu lagi.” Aku menunduk lesu.“Udah percaya aja, semua pasti baik-baik aja.” Deswa menenangkan.Aku kembali berdiri, kenapa pak penghulu lama sekali? Aku kembali melirik jam dinding, sudah lewat pukul tujuh, padahal acara akad seharusnya dimulai sepuluh menit yang lalu. Aku terduduk lemas, keringat dingin membasahi dahiku.“Sabar Mbak, udah jangan cemas.” Deswa mengusap punggung. “Bentar aku lihat keadaan di luar.”Aku mengangguk lemah membiarkan Deswa keluar. Kurebahkan tubuh, menutup wajah dengan bantal, rasanya aku tak ingin bangun. Jika sampai kali ini gagal, aku tidak ingin menikah, biarlah aku menjadi perawan tua seumur hidup, rutukku dalam hati.Beberapa saat berkelut dengan pikiran, tubuhku diguncang pelan oleh Deswa.“Mbak, kok malah tidur sih,” omelnya sembari terus mengguncang pelan tubuhku.Padahal aku sedang berusaha menyembunyikan tangis, mengatur nafas agar ia tak tahu, air mataku sudah menetes.“Mbak bangun dong, itu pak penghulunya udah dateng tinggal nunggu manten lakinya,” ungkap Deswa yang semakin membuatku tak ingin menampakkan wajah.'Mungkin Danu sudah kabur karena berubah pikiran' batinku, bodohnya aku masih saja percaya dengan lelaki, menyebalkan.“Memangnya untuk ke sini menempuh jarak sejauh dari kota? Padahal, tempat tinggalnya aja enggak sampe dua menit juga sampai. Aku tahu pasti si Danu udah kabur, enggak mungkin juga dia mau nikah sama--” belum selesai aku mengomel, suara bariton pemuda itu terdengar jelas dari kamar.Dia mengucap salam dan meminta maaf karena terlambat. Aku mematung mendengar suara itu, rupanya ia tak main-main.“Tuh, kan. Mbak ini terlalu pesimis.” Deswa mendorong pelan tubuhku. “Ayo cepetan bangun, itu hijabnya di benerin,” tuturnya sambil menarik tanganku yang tetap tak beranjak.“Mbak!” panggilnya kesal.Akhirnya aku menurut, beralih duduk di depan meja rias membiarkan Deswa mendandaniku. Aku duduk bagai patung, menajamkan telinga mendengar setiap bait kata ijab kabul yang diucapkan Danu. Gema kata ‘sah’ terdengar, aku menunduk lega. Meskipun aku tak tahu siapa dia, dari mana asalnya, satu yang pasti, aku percaya pilihan bapak. Selain itu, mulai sekarang aku harus menghormati Danu, karena dia suamiku.Deswa membawaku keluar, berjalan pelan menghampiri Danu dan menyambut uluran tangannya serta mencium punggung tangan yang sekarang berubah sedikit lebih gelap itu. Dulu, saat ia pertama kali dibawa bapak ke rumah, kulitnya putih bersih, tak ada sedikitpun goresan, mulus lebih dari kulitku, tak seperti sekarang.Setelah acara makan-makan selesai aku membantu di dapur, rupanya Ranti juga datang, pikirku ia tak akan memiliki muka untuk menginjakkan kaki di rumahku.“Halah palingan nikah paksaan, lihat aja satu bulan juga nanti pasti cere,” cibirnya yang kudengar sangat jelas meski ia berbisik dengan beberapa ibu-ibu yang ada di sana.“Sayang ya, sekolah tinggi-tinggi punya gelar. Eh, nikahnya malah sama laki enggak jelas,” jawab Buk Dewi.Perempuan berambut lurus dan badan kurus kering itu memang terkenal dengan mulut nyinyirnya. Tak heran ia akan senang menggosip setiap kali berkumpul dengan ibu-ibu. Sialnya rumah Bu Dewi tepat berada di depan rumahku, mana mungkin ibu tidak memintanya membantu, bisa panjang mulutnya mengomel tanpa henti.Aku tak ingin merusak suasana kebahagiakan bagi bapak dan ibu, lebih memilih meninggalkan mereka. Toh, hanya perlu membuktikan ucapan Ranti tak benar.“Mana mungkin nyaingin Roy, mereka nikah juga pasti karen Nisa sakit hati enggak jadi nikah sama Roy, makannya desak mau nikah sama siapa aja yang datang,” cela Buk Sari, mama Bang Roy. Suara gemerincing gelang yang hampir memenuhi kedua tangan itu tak kalah berisik dari mulutnya. Setiap berbicara ia pasti mengguncang tangannya agar gelang-gelang itu terus berdenting. Entah apa maksudnya, mungkin agar terlihat lawan bicaranya, padahal tanpa melakukan itu semua orang juga tahu keluarganya terpandang di desa kami.Aku berusaha tak menggubris ucapannya, asyik memilah sayur di gerobak Mang Jaka, penjual sayur yang selalu setia berkeliling di depan rumah setiap pagi. “Eh, Neng Nisa, denger-denger udah nikah yak, kok enggak ngundang sih?” goda Mang Jaka, aku hanya tersenyum ramah menanggapinya.“Gimana mau ngundang sih Mang, dia aja enggak ngadain pesta. Malu lah, takut kali nanti nikahnya gagal lagi, atau mungkin calonnya enggak punya duit makannya cuma akad aja. Aku denger juga maharnya
“Siapa mereka?” tanyaku setelah kami berhasil bersembunyi di kebun pisang.Alih-alih menjawab, Danu membekap mulutku agar aku tak mengeluarkan suara, rupanya dua orang itu masih berada di sekitar persembunyian kami.Mas Danu melihat sekeliling setelah beberapa saat. Pikiranku mulai tak tenang, melayang entah kemana. Apa dia musuhnya, apa dia pencuri? Apalagi... setelah Mas Danu membelikanku banyak hal di pasar tadi, jangan-jangan uangnya bukan punya dia!? Ah, jiwa penasaranku sudah memberontak tak karuan meminta jawaban, ingin aku pertanyakan banyak hal kepadanya.“Udah aman,” ujarnya sambil menarik perlahan tanganku agar mengikutinya.“Siapa mereka, Mas? Kenapa kita lari?” tanyaku, dadaku masih berdegup kencang, nafas tersengal tak beraturan.“Bukan siapa-siapa, kamu enggak usah khawatir,” jawab Mas Danu enteng, ia terus berjalan pelan menggandeng tanganku sembari melihat kanan dan kiri.Memintaku untuk tidak khawatir, tetapi jelas ia sendiri merasa khawatir jika ditemukan oleh merek
“Mas,” kupanggil Mas Danu yang masih asyik mencangkul di tengah sawah. Berulang kupanggil sepertinya lelaki itu tak mendengar. Hati-hati berjalan di pinggiran sawah menghampiri Mas Danu, kutepuk perlahan pundaknya, terkejut melihatku hampir saja membuatnya terjungkal.“Loh Mbak, ngapain panas-panas kesini,” ujarnya.“Mbak-mbak, aku ini bukan mbakmu,” sungutku kesal. Menggaruk kepala yang jelas terlihat tak gatal itu, meringis memperlihatkan baris giginya yang rapi. Mas Danu salah tingkah, gegas keluar dari sawah dan mengikutiku yang berjalan lebih dulu menuju saung tempat biasanya dia beristirahat.“Jujur sama aku Mas, kamu dapat uang darimana buat lunasin hutang Ibuk? Itu enggak sedikit, terus Bik Ratna juga bilang katanya kamu kasih uang lebih. Jangan bilang kamu ngutang Mas,” cecarku tanpa menunggu ia duduk lebih dulu.“Ngutang apa sih Dek, itu uang hasil kerja aku,” jawabnya meyakinkan.Aku menyipitkan mata, kerja? Aku tahu apa pekerjaanya, mana mungkin tiga bulan dia bisa mendap
Aku terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Mas Danu. Lelaki di depanku itu memang tak pernah kutahu asal usulnya, tak pernah kutanya bagaimana kisah hidupnya. Entah dia benar-benar kehilangan ingatan atau enggan memberitahukan kehidupannya lantaran ada suatu masalah, serta bapak tak pernah mendapatkan kepastian medis kalau Mas Danu benar-benar kehilangan ingatan. Namun, mendengar ucapannya sedikit ada yang mengiris hatiku. Dia mau menikahiku yang sudah terbilang tak lagi muda, jika dibanding dirinya yang tampan dan pasti umurnya lebih muda dariku harusnya dia yang malu. Terlebih, jika dilihat bukan seperti dari kalangan orang desa. Kulit lelaki yang lebih halus dariku, aku tahu betul dia bukanlah lelaki yang pernah bekerja keras.“Ngapain aku malu, bukannya bapak yang milih kamu, udah pasti bagi bapak kamu terbaik buat aku,” jawabku.Hening, tak ada lagi pembicaraan diantara kami, aku bergelut dengan pikiranku sendiri sementara Mas Danu entah sedang fokus menyetir sepedanya at
Mas Danu menautkan alisnya. “Beneran enggak papa?” tanyanya memastikan.Aku mengangguk lemah, lekas menuju ranjang dan merebahkan tubuh, menarik selimut hingga menutup seluruh tubuhku, menyisakan wajah. Kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkan secara perlahan.“Dek,” panggilnya.Tak ingin memutar badan, aku berdehem menjawab ucapanya.“Hem, ada apa?”“Soal tadi, kamu jangan ambil hati ya, aku enggak mungkin jujur sama Bapak,”Mas Danu duduk di bawah ranjang.Karena kamarku yang tidak terlalu luas membuatnya tidur tepat di samping ranjangku dengan alas kasur lantai.Aku mengangguk lemah. “Lagi pula itu hak kamu Mas, aku udah jadi istrimu,” lirihku. Aku tak mungkin egois, bagaimanapun dia sudah suamiku, sepantasnya meminta haknya dan aku tidak boleh menolak.“Aiu enggak mungkin ngelakuin itu kalau kamu enggak rela, nanti aku dituduh kasus pemerkosaan,” candanya diikuti tawa.Aku terdiam. Jaman sekarang mana ada lelaki yang tahan, pikirku. Dulu, saat hari pernikahanku dengan Bang Roy
DUA TAHUN BERLALU“Tuh kan, untung aja anakku nikah sama orang lain, kalau nikah sam Anisa udah pasti enggak punya anak,” caci Bu Sari.“Nisa kok belum ngisi sih? Kalian enggak ada rencana buat periksa gitu ke dokter? Nih lihat, aku aja udh hamil anak kedua.” Ranti mengelus perutnya meski masih rata, tetapi sepertinya ia memang sedang hamil terlihat dari wajah pucatnya. Senyum mengejek ia sunggingkan.“Iya sih, itu anakku juga udah ngisi,” timpal Bik Santi. Beberapa ibu-ibu lain hanya tersenyum menanggapi ucapan mereka.Aku menghela nafas dan tetap menebar senyum. “Enggak papa, mungkin memang belum waktunya. Yang penting enggak hamil duluan,” balasku.Kulirik Ranti, ia memalingkan pandangan sesekali mentapku penuh kekesalan. “Ya udah aku pamit duluan ya Buk, udah siang mau buatin makanan buat Mas Danu.” Aku berlalu dari kerumunan ibu-ibu yang sedang berbelanja.Sudah dua tahun pernikahanku dengan Mas Danu, tetapi sepertinya Tuhan memang belum mempercayakan kepada kami seorang anak. Ak
Danu Pov Flash Back…“Jangan sampai dia lepas.” Dari balik rimbunnya pohon aku mendengar suara Andara, adik tiriku itu memberi perintah untuk anak buahnya. Menendang batu yang ada di bawah kakinya,kesal karena gagal membunuhku hari ini, sepertinya tak menyurutkan akal untuk menghabisiku dilain waktu.Dadaku terasa sesak, nafas susah sekali keluar, tertatih aku berjalan menuju gudang belakang rumah ditambah penerangan yang hanya mengandalkan temaram dari lampu di rumah utama membuatku harus benar-benar berhati-hati melangkah agar tak menimbulkan banyak suara, gudang itu telah lama tak terpakai. Aroma kayu lapuk memenuhi indra penciumanku setelah berhasil masuk. Terus menyusuri gudang besar tepat dulu almarhum mama menggunakannya untuk membuat banyak pakaian.“Aku harus pergi malam ini juga,” gumamku seorang diri.Sepeninggal papa, Mama Clara yang kupikir menyayangiku dengan tulus, tapi tak ubahnya hanya seekor srigala berbulu domba. Sepupu mama itu menikahi papa setelah mama kandungk
Duduk seorang diri di rumah yang tak terlalu besar, rumah kayu yang hanya tersedia tempat tidur dan ruang tamu sempit, berbanding terbalik dengan istana yang selalu kutempati. Namun, disini aku merasa aman, udara segar pedesaan membuatku sedikit merasa tenang. Aku tinggal di rumah milik Bapak Artha, lelaki yang menyelamatkanku. Sementara ini aku bisa istirahat untuk memulihkan tubuh lebih dulu, setelah itu akan mencari gubuk di tengah hutan seperti yang dikatakan Bik Icha.Ketukan di pintu menyadarkan lamunan, kembali kusimpan surat dari Bik Icha yang belum sempat kubuka, lantas membuka pintu. Seorang gadis berdiri dengan mangkuk di tangannya. “Disuruh Bapak ngantar makanan,” ucapnya sembari menyodorkan mangkuk yang ia pegang. Gadis ayu dengan rambut panjang lurus tergerai, semerbak aroma parfum strawberry tercium. Terlihat ada kesedihan di matanya. Aku mengambil mangkuk dari tangannya, “Makasih Mbak, enggak perlu repot-repot,” ucapku. Tak menjawab, ia pergi begitu saja. Bisa aku
Aroma kayu putih memenuhi penciumanku. Tepukan di pipi mulai kurasa.“Mbak, Mbak Nisa gak papa? Ya ampun, Mbak.” Bik Hanum terlihat begitu khawatir berusaha menyadarkanku sepenuhnya.Kulihat sekeliling, foto-foto itu sudah tak berserakan mungkin mereka sudah membereskannya.“Pelan-pelan Mbak.” Bik Hanum membantuku terbangun. “Tri ambilkan minum,” perintahnya kepada Bik Lastri yang duduk di sampingnya memijat kakiku.“Ini Mbak minum dulu.” Menyodorkan segelas air kepadaku. Gegas kuteguk air dalam gelas hingga tandas.“Antar aku ke tempat Mas Danu, Bik,” pintaku. Otakku mulai memutar semua gambar-gambar kejadian yang baru saja terjadi, untaian kata-kata dari Deswa kembali terngiang. Aku harus menyaksikan sendiri.“Tapi Mbak, maaf apa enggak sebaiknya nunggu Den Rangga dulu?”Bik Hanum menunduk, sepertinya menyembunyikan sesuatu. Apa orang-orang bawaan Mas Danu semua tahu akulah yang dia sembunyikan?Aku menatap tajam Bik Hanum yang masih menunduk.“Iya Mbak, sebaiknya nunggu Den Rangga
“kabarnya sih kalau enggak dibalikin secepatnya dia mau dipenjara,” sambung Bik Dewi.“Kasihan ya, bik. Anaknya masih kecil-kecil,” ucapku tulus.“Halah, ngapain kamu kasihan sama dia, dulu juga dia enggak kasihan sama kamu. Itu namanya karma Nis,” cetus Bik Dewi kembali mengingatkanku kelakuannya yang membuat keluargaku malu dan menjadi bahan gibah sekampung.Tak ingin terlalu lama menggosip dengan Bik Dewi, gegas kucari alasan untuk segera pergi.“He, iya udahlah bik, namanya juga hidup. Aku pergi dulu ya, bik. Mau jalan-jalan biar sehat.”“Iya, bener tuh. Lagi hamil harus banyak gerak jangan ndekem aja di rumah,” tuturnya. Aku tersenyum dan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Mendung sore di penghujung bulan, rintik hujan tiba-tiba datang. Gegas kuputar badan, mempercepat langkah kembali ke rumah. “Duh, mbak kok ujan-ujanan sih, nanti kalau mbak sakit kami yang dimarah Den Rangga,” Bik Ratih berlari tergopoh setelah melihatku di depan pagar, membawakan payung
….Aku duduk di teras rumah, menyesap secangkir susu ibu hamil dilengkapi dengan buah buahan. Kuusap perut yang telah membuncit. Sudah empat bulan Mas Danu tidak pulang, kerinduan kami hanya bisa tersalurkan melalui panggilan video call. Rumah yang kini telah berdiri megah terasa begitu sepi meski ada dua orang pembantu dan beberapa satpam yang diminta Mas danu untuk menjaga. Padahal aku tak perlu mendapatkan penjagaan yang begitu ketat tetapi suamiku itu memaksa. Bahkan di setiap sudut rumah terpasang CCTV, entah apa yang dia khawatirkan padahal disini tak mungkin ada orang yang akan berniat jahat.Ponsel disampingku bergetar, kulihat layar dan segera menggeser tombol hijau. Memperlihatkan wajah Mas Danu. Aku tersenyum menyambutnya.“Udah sarapan Sayang?” tanyanya.Aku mengangguk. “Mas dikantor? Udah sarapan?”Ingin sekali aku menjadi istri sepenuhnya seperti dulu, menyiapkan makanan untuknya, menyiapkan pakaiannya. Namun, aku harus bersabar, setelah mengatakan alasannya tak ingin me
“150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi
“Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat
“Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “
Aku dan Mas Danu berjalan beriringan setelah mencuci dari sungai, sesekali tertawa berserita bagaimana dulu aku sok jual mahal kepadanya. Alhasil aku pula yang harus merayu untuk melakukan ritual malam pertama. Jika mengingat hal itu aku seperti ingin menyembunyikan wajah dari Mas Danu.“Udahlah Mas, jangan diinget-inget terus.” Aku berjalan lebih dulu, ngambek menjadi salah satu jurus pamungkas menyembunyikan rasa amalu.Mas Danu mempercepat lengakh mengejarku. “Nanti kita ceritain ke anak-anak,” ledeknya di sela tawa.“Awas aja kalau sampai bocor ke anakku.” Aku mengacungkan jari mengancam. mas danu tertawa, terus menggodaku. Di depan rumah kami berpapasan dengan Bik Dewi yang sedang menyapu halaman. “Dih, makin mesra aja kalian,” cetusnya.“Eh Bik, pagi-pagi udah nyapu, rajin banget. biasanya nunggu Indah.” Aku tersenyum ramah, sudah pasti ucapanku itu akan membautnya kesal. Memang bukan rahasia umum lagi Bik Dewi akan menunggu menantunya untuk beberes rumah. Terkadang masak pu
Bapak tersenyum melihat menantu kesayangannya, memeluk erat seakan enggan melepas. Kusiapkan teh hangat dan cemilan. Singkong rebus, apa mungkin Mas Danu masih mau memakan makanan desa itu? Kembali kutaruh singkong rebus yang ada di dalam nampan, urung kubawa keluar.Sedikit kikuk, karena aku seperti tak menghadapi orang lain. Aku hanya menunduk duduk di depan Mas Danu dan lelaki yang mengenalkan dirinya candra tersebut.Mas Danu beralih, kini ia telah duduk disampingku, mengusap lembut perutku yang masih rata. Senyum mengembang sempurna disudut bibirnya, lesung pipi menambah manis wajahnya. Jantungku berdetak lima kali lebih cepat. Setelah satu minggu, wajah yang kurindu kini terpampang jelas di depan mata, tapi anehnya aku merasa kikuk sebab dia seperti orang lain, apa hanya karena penampilannya?“Papa datang,” lirihnya. Berulang diciumnya perutku.“Ehem.” Aku berdehem, melihat Candra dan bapak senyum-senyum sendiri memperhatikan tingkah Mas Danu, tetapi sepertinya pria itu tak kun
Kubuka dompet yang tak terlalu besar, menghela nafas berat melihat isinya yang hanya tinggal uang pecahan lima ribuan.“Nis,” panggil bapak. Gegas kututup kembali dompetku lalu menghampiri bapak, tak ingin bapak tahu kesusahan yang sedang kualami.“Iya Pak, ada apa?” Aku bersimpuh di bawah bapak yang sedang duduk di kursi roda. Bapak mengeluarkan uang seratus ribuan, lalu meraih tanganku dan meletakkan uang itu.“Ini bayar arisanmu, jangan pakai mas kawinmu,” titahnya.Aku menghitung uang tersebut. “Bapak dapat uang sebanyak ini dari mana? Kalau ada uang, lebih baik buat kontrol Bapak besok.” Aku mengembaikan uang tersebut.Kalaupun ada uang memang seharusnya digunakan untuk kontrol bapak besok pagi, karena memang sudah jadwalnya.“Danu kasih ini buat pegangan bapak, kamu pakai aja dulu buat bayar arisan. Enggak usah mikirin bapak, itu kewajibanmu lebih penting Nduk.” Bapak mengusap pucuk kepalaku. Tak kuasa kutahan tangis. “Ya udah Nisa pakai dulu, besok untuk berobat Bapak, aku j