“Mas,” kupanggil Mas Danu yang masih asyik mencangkul di tengah sawah. Berulang kupanggil sepertinya lelaki itu tak mendengar.
Hati-hati berjalan di pinggiran sawah menghampiri Mas Danu, kutepuk perlahan pundaknya, terkejut melihatku hampir saja membuatnya terjungkal.“Loh Mbak, ngapain panas-panas kesini,” ujarnya.“Mbak-mbak, aku ini bukan mbakmu,” sungutku kesal.Menggaruk kepala yang jelas terlihat tak gatal itu, meringis memperlihatkan baris giginya yang rapi. Mas Danu salah tingkah, gegas keluar dari sawah dan mengikutiku yang berjalan lebih dulu menuju saung tempat biasanya dia beristirahat.“Jujur sama aku Mas, kamu dapat uang darimana buat lunasin hutang Ibuk? Itu enggak sedikit, terus Bik Ratna juga bilang katanya kamu kasih uang lebih. Jangan bilang kamu ngutang Mas,” cecarku tanpa menunggu ia duduk lebih dulu.“Ngutang apa sih Dek, itu uang hasil kerja aku,” jawabnya meyakinkan.Aku menyipitkan mata, kerja? Aku tahu apa pekerjaanya, mana mungkin tiga bulan dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu.“Bohong kamu Mas.”“Ya udah kalau enggak percaya.” Alih-alih menjelaskan, Mas Danu justru duduk mengibas topinya memandang hamparan sawah yang terbentang bak lapangan hijau, padi bergoyang karena tiupan angin yang lumayan kencang.“Aku serius Mas, kalau kamu minjam uang dari orang lain, udah ayok kita bayar aja, jangan ngutang-ngutang. Aku enggak papa, aku bisa bayar utang Ibuk, lagian itu bukan tanggung jawabmu.” Kugoyang pelan lengannya, berharap lelaki yang baru meminangku sehari lalu mau mendengar apa yang aku katakan.“Udah kamu enggak usah khawatir, jangan pikirin uang itu, yang pasti aku enggak ngutang.” Mas Danu tersenyum menatapku, kali pertama tatapan mata kami berpadu lama. Ada getaran dalam dadaku. Gegas aku memalingkan wajah.Aku mendengus kesal, percuma kucecar habis, sepertinya Mas Danu memang enggan mengatakan apapun kepadaku. Alhasil aku pulang tanpa berhasil mendengar penjelasannya.….Hari berlalu, pesta pernikahanku dan Mas Danu hari ini akan diselenggarakan. Aku menatap gaun pengantin yang kukenakan, masih ada sedikit sayatan luka ketika mengingat seharusnya beberapa waktu lalu aku menggunakan gaun ini dan bersanding dengan Bang Roy.Perlahan aku keluar dibantu asisten make up pengantin, tatapn sinis dari Ranti terlihat jelas, tak ingin memperlihatkan wajah sedih kupasang senyum manis saat menatapnya. Aku harus bisa membuktikan, dibanding Bang Roy pasti pilihan bapak jauh lebih baik, meski aku sendiri tak yakin.“Halah percuma juga pesta mewah-mewah mending tuh duit buat bekal nanti aja. Kan, suaminya sebatang kara,” cibir Ranti yang kudengar begitu jelas saat lewat tepat di depannya.Pastilah ia sengaja mengencangkan suara agar aku mendengar dengan jelas cibirannya.Disamping ibu mertuanya menatapku dari atas hingga bawah, tatapan tak suka jelas terlihat. Seharusnya aku yang memiliki dendam kepada mereka, tetapi anehnya justru mereka yang membenciku, bukankah sesuatu hal yang terbalik? Mereka yang bersalah mereka pula yang seolah telah disakiti.“Udahlah disini mana ada yang bisa nandingin Roy, apalagi suami si Nisa, secuil kuku Roy pun jelas tak ada,” ucap Bu Sari.Tak menghiraukan ucapannya, aku berlalu masih terus mengukir senyum di depan mereka. Gambaran kebahagiaan di wajahku tak boleh pudar, kali ini mereka harus tetap melihat wajah bersinar penuh kebahagiaan.Duduk bersanding dengan Mas Danu, menatap tamu yang silih berganti menyalami kami. Kali ini aku tak mengundang teman-temanku saat bekerja, tak ada kesempatan, pernikahan dengan Mas Danu yang tak terencana membuatku malas untuk mengundang teman-temanku.“Mbak pasti sedih kan, nikahnya sama aku,” ucap Mas Danu tiba-tiba.“Jangan panggil aku mbak, udah aku bilang kan, aku ini bukan mbakmu, aku ini istrimu,” sungutku kesal.Brulang kukatakan untuk memanggilku selayaknya seorang istri, tetapi tetap saja dia ngeyel. Entah karena sudah terbiasa atau terlalu canggung, terkadang memanggilku ‘dek’, terkadang memanggilku ‘mbak’ seperti adikku saja.“Eh iya maaf, Dek.” Mas Danu meringis kembali memperlihatkan baris giginya.“Bagiku kebahagiaan Bapak dan Ibuk lebih penting dari apapun,” jawabku.Sekarang yang terlintas dalam benakku hanya kebahagiaan bapak dan kesehatan ibu, perihal hatiku kuserahkan kepada pemiliknya, yang maha membolak balikkan hati. Jika Tuhan berkenan, pastilah akan tumbuh cinta dalam hubungan kami. Meski begitu, aku berharap pernikahan satu seumur hidup, walau tak tahu bagaimana endingnya nanti.“Kalau Dek Nisa kemarin menolak udah pasti aku enggak berani selancang ini.” Mas Danu mengalihkan pandangan yang semula menatapku, tatapan lurus kedepan, senyumnya menciut. Aku tahu ia menyetujui permintaan bapak untuk meminangku karena balas budi kepada bapak yang telah menyelamatkannya dan memberikan tempat tinggal.“Udahlah Mas, kamu enggak perlu begitu, aku sendiri tahu alasanmu menerima permintaan Bapak.” Kuberikan senyuman tulus untuknya.Kecanggungan diantara kami perlahan memudar, aku pun harus berlapang dada menerima Mas Danu sekarang yang telah menjadi suamiku, bagaimanapun aku harus memerankan peran seorang istri dengan tulus.….Selesai pesta yang ibu menyuruhku ke rumah Bik Santi, rencana ingin menjual sembako hasi hajatan yang lumayan banyak. Mas Danu mengantar dengan sepeda bututnya, meski bapak menyuruh untuk menggunakan motor, tetapi ia lebih memilih menggunakan sepeda. Sore hari sedikit mendung, Mas Danu mengayuh sepedanya sedikit lebih cepat takut jika hujan segera turun.Kueratkan pegangan di bajunya saat jalanan menurun. “Pelan-pelan aja Mas,” lirihku.“Takut hujan Dek, nanti kamu kehujanan, harusnya tadi bisa aku aja yang pergi, kamu enggak perlu ikut.”Memang tadi Mas Danu menawarkan dirinya sendiri yang pergi, tetapi aku tak ingin ia menjadi bahan olok-olok ibu-ibu berbelanja di kios Bik Santi. Bagaimanapun mana tega aku melihat suamiku menjadi bahan candaan.Benar saja sampai di kios Bik Santi ramai ibu-ibu sedang berbelanja, gegas aku turun dan menghampiri Mang Udin karena Bik Santi sedang melayani pembeli.“Mang disuruh Ibuk nanyain, sembakonya jadi apa enggak?” tanyaku.Mang Udin menghentikan aktivitasnya melihat-lihat beras yang baru saja di turunkan dari mobil.“Banyak, Nis?”“Alhamdulillah Mang.”“Widih, dapet banyak nih.”Aku memutar badan melihat sumber suara, Ranti baru saja turun dari mobil bersama Bang Roy.“Pesta si Anisa rame, ya kalau dapat banyak udah pasti.” Bik Santi menghampiri. Menyerahkan sekantong besar kresek kepada Ranti. “Ini tadi pesenan mertuamu, berasnya udah ada, rencana mau diambil kapan?” sambung Bik Santi.“Sore ini habis jalan-jalan nanti sekalian mampir Bik, ini mau anter tempah mbah dulu. Soalnya udah jadi kebiasaan kalau mau puasa nganter sembako,” Bang roy menjawab sombong.Tak ingin terlalu lama berada diantara mereka. “Ya udah Mang, kapan mau diambil nanti biar disiapin. Aku pulang dulu.” Aku berpamitan.“Sore nanti biar diambil Tono.”Setelah mendengar jawaban Mang Udin, aku pergi.Baru sampai di tempat Mas Danu menunggu, Bang Roy menghampiri kami bersama Ranti.“Oh, ini suamimu Nis,” ucap Bang Roy, melihat Mas Danu dari atas hingga bawah, tatapannya menghina, senyum mengejek ia sunggingkan.“Kenapa emang, masalah,” jawabku ketus.“Bener kata istriku, enggak ada sebanding sama aku.” Bang Roy terkekeh, diikuti Ranti.Aku pun ikut tertawa. “Emang enggak sebanding dengan kalian yang murahan,” cibirku. Kulihat wajah masam mereka, aku tersenyum puas. “Yuk Mas, enggak ada gunanya ngladeni mereka, enggak dapat duit,” sambungku mengajak Mas Danu lekas pergi.Mas Danu menurut memutar sepedanya dan bergegas pergi setelah aku naik.“Maaf ya, Dek,” ucapnya memecah keheningan diantara kami setelah beberapa saat.“Kenapa minta maaf?” Tak ingin terlalu menanggapi ucapan Mas Danu, aku masih kesal dengan Bang Roy dan Ranti, memikirkan car membalas mereka.“Kamu pasti malu punya suami kaya aku, miskin dan sebatang kara. Kalau kamu mau, kamu bisa milih orang lain,” ujarnya yang membuatku seketika memandang bahunya. Bahu dengan baju lusuh itu terus bergoyang mengikuti gerak kaki yang mengayuh sepeda.Aku terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Mas Danu. Lelaki di depanku itu memang tak pernah kutahu asal usulnya, tak pernah kutanya bagaimana kisah hidupnya. Entah dia benar-benar kehilangan ingatan atau enggan memberitahukan kehidupannya lantaran ada suatu masalah, serta bapak tak pernah mendapatkan kepastian medis kalau Mas Danu benar-benar kehilangan ingatan. Namun, mendengar ucapannya sedikit ada yang mengiris hatiku. Dia mau menikahiku yang sudah terbilang tak lagi muda, jika dibanding dirinya yang tampan dan pasti umurnya lebih muda dariku harusnya dia yang malu. Terlebih, jika dilihat bukan seperti dari kalangan orang desa. Kulit lelaki yang lebih halus dariku, aku tahu betul dia bukanlah lelaki yang pernah bekerja keras.“Ngapain aku malu, bukannya bapak yang milih kamu, udah pasti bagi bapak kamu terbaik buat aku,” jawabku.Hening, tak ada lagi pembicaraan diantara kami, aku bergelut dengan pikiranku sendiri sementara Mas Danu entah sedang fokus menyetir sepedanya at
Mas Danu menautkan alisnya. “Beneran enggak papa?” tanyanya memastikan.Aku mengangguk lemah, lekas menuju ranjang dan merebahkan tubuh, menarik selimut hingga menutup seluruh tubuhku, menyisakan wajah. Kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkan secara perlahan.“Dek,” panggilnya.Tak ingin memutar badan, aku berdehem menjawab ucapanya.“Hem, ada apa?”“Soal tadi, kamu jangan ambil hati ya, aku enggak mungkin jujur sama Bapak,”Mas Danu duduk di bawah ranjang.Karena kamarku yang tidak terlalu luas membuatnya tidur tepat di samping ranjangku dengan alas kasur lantai.Aku mengangguk lemah. “Lagi pula itu hak kamu Mas, aku udah jadi istrimu,” lirihku. Aku tak mungkin egois, bagaimanapun dia sudah suamiku, sepantasnya meminta haknya dan aku tidak boleh menolak.“Aiu enggak mungkin ngelakuin itu kalau kamu enggak rela, nanti aku dituduh kasus pemerkosaan,” candanya diikuti tawa.Aku terdiam. Jaman sekarang mana ada lelaki yang tahan, pikirku. Dulu, saat hari pernikahanku dengan Bang Roy
DUA TAHUN BERLALU“Tuh kan, untung aja anakku nikah sama orang lain, kalau nikah sam Anisa udah pasti enggak punya anak,” caci Bu Sari.“Nisa kok belum ngisi sih? Kalian enggak ada rencana buat periksa gitu ke dokter? Nih lihat, aku aja udh hamil anak kedua.” Ranti mengelus perutnya meski masih rata, tetapi sepertinya ia memang sedang hamil terlihat dari wajah pucatnya. Senyum mengejek ia sunggingkan.“Iya sih, itu anakku juga udah ngisi,” timpal Bik Santi. Beberapa ibu-ibu lain hanya tersenyum menanggapi ucapan mereka.Aku menghela nafas dan tetap menebar senyum. “Enggak papa, mungkin memang belum waktunya. Yang penting enggak hamil duluan,” balasku.Kulirik Ranti, ia memalingkan pandangan sesekali mentapku penuh kekesalan. “Ya udah aku pamit duluan ya Buk, udah siang mau buatin makanan buat Mas Danu.” Aku berlalu dari kerumunan ibu-ibu yang sedang berbelanja.Sudah dua tahun pernikahanku dengan Mas Danu, tetapi sepertinya Tuhan memang belum mempercayakan kepada kami seorang anak. Ak
Danu Pov Flash Back…“Jangan sampai dia lepas.” Dari balik rimbunnya pohon aku mendengar suara Andara, adik tiriku itu memberi perintah untuk anak buahnya. Menendang batu yang ada di bawah kakinya,kesal karena gagal membunuhku hari ini, sepertinya tak menyurutkan akal untuk menghabisiku dilain waktu.Dadaku terasa sesak, nafas susah sekali keluar, tertatih aku berjalan menuju gudang belakang rumah ditambah penerangan yang hanya mengandalkan temaram dari lampu di rumah utama membuatku harus benar-benar berhati-hati melangkah agar tak menimbulkan banyak suara, gudang itu telah lama tak terpakai. Aroma kayu lapuk memenuhi indra penciumanku setelah berhasil masuk. Terus menyusuri gudang besar tepat dulu almarhum mama menggunakannya untuk membuat banyak pakaian.“Aku harus pergi malam ini juga,” gumamku seorang diri.Sepeninggal papa, Mama Clara yang kupikir menyayangiku dengan tulus, tapi tak ubahnya hanya seekor srigala berbulu domba. Sepupu mama itu menikahi papa setelah mama kandungk
Duduk seorang diri di rumah yang tak terlalu besar, rumah kayu yang hanya tersedia tempat tidur dan ruang tamu sempit, berbanding terbalik dengan istana yang selalu kutempati. Namun, disini aku merasa aman, udara segar pedesaan membuatku sedikit merasa tenang. Aku tinggal di rumah milik Bapak Artha, lelaki yang menyelamatkanku. Sementara ini aku bisa istirahat untuk memulihkan tubuh lebih dulu, setelah itu akan mencari gubuk di tengah hutan seperti yang dikatakan Bik Icha.Ketukan di pintu menyadarkan lamunan, kembali kusimpan surat dari Bik Icha yang belum sempat kubuka, lantas membuka pintu. Seorang gadis berdiri dengan mangkuk di tangannya. “Disuruh Bapak ngantar makanan,” ucapnya sembari menyodorkan mangkuk yang ia pegang. Gadis ayu dengan rambut panjang lurus tergerai, semerbak aroma parfum strawberry tercium. Terlihat ada kesedihan di matanya. Aku mengambil mangkuk dari tangannya, “Makasih Mbak, enggak perlu repot-repot,” ucapku. Tak menjawab, ia pergi begitu saja. Bisa aku
Setelah berbincang sedikit dengan Pak Artha gegas aku menuju sungai tempat dimana banyak orang mandi, tak terbiasa dengan keadaan desa membuatku berulang kali terpeleset di pinggir sungai. Kuamati sekeliling, tak ada penutup, mau tak mau aku harus mandi di tempat terbuka seperti ini. Diseberang yang tak terlalu jauh terlihat banyak ibu-ibu sedang mencuci pakaian, kulihat pula Nisa datang membawa pakaian kotor. Bisik-bisik ibu-ibu yang ada di sebelahnya membuatnya gegas menyelesaikan pekerjaan tanpa berlama-lama. Aku hanya bisa mengamati gadis itu pergi dengan wajah menunduk. Miris sekali, padahal bukan dirinya yang salah.Setelah menyelesaikan mandi gegas aku pergi, berniat mencari pondok di tengah hutan. Aku sempat bertanya kepada Pak Artha mengenai hutan yang tak jauh dari desa. Kata Pak Artha, tak ada yang berani masuk hutan tersebut, selain semak belukar warga desa enggan berurusan dengan binatang buas. Nyaliku sedikit menciut, tetapi demi mengetahui semuanya kukumpulkan tekad unt
Duduk termenung menatap rindangnya pohon liar, sesekali tatapanku beralih pada diri sendiri. Kulit yang dulu putih bersih kini telah berubah menghitam. Sembari mengumpulkan rencana, aku memilih tetap bersembunyi. Kepada siapa lagi aku harus meminta bantuan, sedang orang-orang kepercayaan papa yang selalu kuanggap baik mereka semua bersekongkol dengan Mama Clara.Sudah tiga bulan aku tinggal di rumah Pak Artha, setiap ada waktu aku selalu pergi ke gubuk tua itu untuk menyusun rencana, memulai permainan balas dendam dengan mereka. Aku tak peduli jika hanya aku yang haru menghadapi mereka, tetapi nyawa tetaplah harus dibalas nyawa.Ponsel di tanganku bergetar, aku tidak tahu siapa yang menelpon dengan nomor baru. Kugeser tombol hijau tanpa mengeluarkan suara.“Halo, Bos Rangga,” ucapnya dari seberang telepon. Aku kenal sekali dengan suara itu. Revan, pemuda itu apa masih bernyawa? Terakhir ia menghadang anak buah Andara untuk menyelamatkanku.“Revan,” panggilku cepat.“Syukurlah, Bos. D
“Siapa mereka Mas?” tanya Nisa setelah kami sampai di rumah sakit, bapak pun terlihat menagih jawaban dariku. Pertanyaan berulang itu belum kujawab sejak di rumah tadi.Aku membawa Nisa berjalan di taman rumah sakit, sementara bapak beristirah di temani dua pengawalku.“Aku harus pergi ke kota sebentar Dek,” ucapku membuatnya menghentikan langkah, menatapku tanpa sepatah katapun.Ia menunduk, tapi bisa kulihat matanya mengembun. Kuraih kedua tangannya menggenggam erat. “Cuma sebentar, nanti kalau udah selesai urusanku pasti aku pulang.” Aku meyakinkan.“Apa Mas udah inget semuanya? Apa ingatan Mas udah kembali?” Mengangkat wajah dengan suara parau. Aku mengangguk lemah, tetap berpura-pura jika selama ini aku hilang ingatan.“Cuma sebentar, aku pasti kembali setelah semua urusanku selesai,” kembali kuulang kata-kata itu agar ia tak perlu khawatir.Kami duduk di bangku taman rumah sakit, dersik angin malam membelai kulit. Kubelai lembut rambut panjangnya. Dia telah menerimaku apa adany
Aroma kayu putih memenuhi penciumanku. Tepukan di pipi mulai kurasa.“Mbak, Mbak Nisa gak papa? Ya ampun, Mbak.” Bik Hanum terlihat begitu khawatir berusaha menyadarkanku sepenuhnya.Kulihat sekeliling, foto-foto itu sudah tak berserakan mungkin mereka sudah membereskannya.“Pelan-pelan Mbak.” Bik Hanum membantuku terbangun. “Tri ambilkan minum,” perintahnya kepada Bik Lastri yang duduk di sampingnya memijat kakiku.“Ini Mbak minum dulu.” Menyodorkan segelas air kepadaku. Gegas kuteguk air dalam gelas hingga tandas.“Antar aku ke tempat Mas Danu, Bik,” pintaku. Otakku mulai memutar semua gambar-gambar kejadian yang baru saja terjadi, untaian kata-kata dari Deswa kembali terngiang. Aku harus menyaksikan sendiri.“Tapi Mbak, maaf apa enggak sebaiknya nunggu Den Rangga dulu?”Bik Hanum menunduk, sepertinya menyembunyikan sesuatu. Apa orang-orang bawaan Mas Danu semua tahu akulah yang dia sembunyikan?Aku menatap tajam Bik Hanum yang masih menunduk.“Iya Mbak, sebaiknya nunggu Den Rangga
“kabarnya sih kalau enggak dibalikin secepatnya dia mau dipenjara,” sambung Bik Dewi.“Kasihan ya, bik. Anaknya masih kecil-kecil,” ucapku tulus.“Halah, ngapain kamu kasihan sama dia, dulu juga dia enggak kasihan sama kamu. Itu namanya karma Nis,” cetus Bik Dewi kembali mengingatkanku kelakuannya yang membuat keluargaku malu dan menjadi bahan gibah sekampung.Tak ingin terlalu lama menggosip dengan Bik Dewi, gegas kucari alasan untuk segera pergi.“He, iya udahlah bik, namanya juga hidup. Aku pergi dulu ya, bik. Mau jalan-jalan biar sehat.”“Iya, bener tuh. Lagi hamil harus banyak gerak jangan ndekem aja di rumah,” tuturnya. Aku tersenyum dan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Mendung sore di penghujung bulan, rintik hujan tiba-tiba datang. Gegas kuputar badan, mempercepat langkah kembali ke rumah. “Duh, mbak kok ujan-ujanan sih, nanti kalau mbak sakit kami yang dimarah Den Rangga,” Bik Ratih berlari tergopoh setelah melihatku di depan pagar, membawakan payung
….Aku duduk di teras rumah, menyesap secangkir susu ibu hamil dilengkapi dengan buah buahan. Kuusap perut yang telah membuncit. Sudah empat bulan Mas Danu tidak pulang, kerinduan kami hanya bisa tersalurkan melalui panggilan video call. Rumah yang kini telah berdiri megah terasa begitu sepi meski ada dua orang pembantu dan beberapa satpam yang diminta Mas danu untuk menjaga. Padahal aku tak perlu mendapatkan penjagaan yang begitu ketat tetapi suamiku itu memaksa. Bahkan di setiap sudut rumah terpasang CCTV, entah apa yang dia khawatirkan padahal disini tak mungkin ada orang yang akan berniat jahat.Ponsel disampingku bergetar, kulihat layar dan segera menggeser tombol hijau. Memperlihatkan wajah Mas Danu. Aku tersenyum menyambutnya.“Udah sarapan Sayang?” tanyanya.Aku mengangguk. “Mas dikantor? Udah sarapan?”Ingin sekali aku menjadi istri sepenuhnya seperti dulu, menyiapkan makanan untuknya, menyiapkan pakaiannya. Namun, aku harus bersabar, setelah mengatakan alasannya tak ingin me
“150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi
“Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat
“Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “
Aku dan Mas Danu berjalan beriringan setelah mencuci dari sungai, sesekali tertawa berserita bagaimana dulu aku sok jual mahal kepadanya. Alhasil aku pula yang harus merayu untuk melakukan ritual malam pertama. Jika mengingat hal itu aku seperti ingin menyembunyikan wajah dari Mas Danu.“Udahlah Mas, jangan diinget-inget terus.” Aku berjalan lebih dulu, ngambek menjadi salah satu jurus pamungkas menyembunyikan rasa amalu.Mas Danu mempercepat lengakh mengejarku. “Nanti kita ceritain ke anak-anak,” ledeknya di sela tawa.“Awas aja kalau sampai bocor ke anakku.” Aku mengacungkan jari mengancam. mas danu tertawa, terus menggodaku. Di depan rumah kami berpapasan dengan Bik Dewi yang sedang menyapu halaman. “Dih, makin mesra aja kalian,” cetusnya.“Eh Bik, pagi-pagi udah nyapu, rajin banget. biasanya nunggu Indah.” Aku tersenyum ramah, sudah pasti ucapanku itu akan membautnya kesal. Memang bukan rahasia umum lagi Bik Dewi akan menunggu menantunya untuk beberes rumah. Terkadang masak pu
Bapak tersenyum melihat menantu kesayangannya, memeluk erat seakan enggan melepas. Kusiapkan teh hangat dan cemilan. Singkong rebus, apa mungkin Mas Danu masih mau memakan makanan desa itu? Kembali kutaruh singkong rebus yang ada di dalam nampan, urung kubawa keluar.Sedikit kikuk, karena aku seperti tak menghadapi orang lain. Aku hanya menunduk duduk di depan Mas Danu dan lelaki yang mengenalkan dirinya candra tersebut.Mas Danu beralih, kini ia telah duduk disampingku, mengusap lembut perutku yang masih rata. Senyum mengembang sempurna disudut bibirnya, lesung pipi menambah manis wajahnya. Jantungku berdetak lima kali lebih cepat. Setelah satu minggu, wajah yang kurindu kini terpampang jelas di depan mata, tapi anehnya aku merasa kikuk sebab dia seperti orang lain, apa hanya karena penampilannya?“Papa datang,” lirihnya. Berulang diciumnya perutku.“Ehem.” Aku berdehem, melihat Candra dan bapak senyum-senyum sendiri memperhatikan tingkah Mas Danu, tetapi sepertinya pria itu tak kun
Kubuka dompet yang tak terlalu besar, menghela nafas berat melihat isinya yang hanya tinggal uang pecahan lima ribuan.“Nis,” panggil bapak. Gegas kututup kembali dompetku lalu menghampiri bapak, tak ingin bapak tahu kesusahan yang sedang kualami.“Iya Pak, ada apa?” Aku bersimpuh di bawah bapak yang sedang duduk di kursi roda. Bapak mengeluarkan uang seratus ribuan, lalu meraih tanganku dan meletakkan uang itu.“Ini bayar arisanmu, jangan pakai mas kawinmu,” titahnya.Aku menghitung uang tersebut. “Bapak dapat uang sebanyak ini dari mana? Kalau ada uang, lebih baik buat kontrol Bapak besok.” Aku mengembaikan uang tersebut.Kalaupun ada uang memang seharusnya digunakan untuk kontrol bapak besok pagi, karena memang sudah jadwalnya.“Danu kasih ini buat pegangan bapak, kamu pakai aja dulu buat bayar arisan. Enggak usah mikirin bapak, itu kewajibanmu lebih penting Nduk.” Bapak mengusap pucuk kepalaku. Tak kuasa kutahan tangis. “Ya udah Nisa pakai dulu, besok untuk berobat Bapak, aku j