Mas Danu menautkan alisnya. “Beneran enggak papa?” tanyanya memastikan.
Aku mengangguk lemah, lekas menuju ranjang dan merebahkan tubuh, menarik selimut hingga menutup seluruh tubuhku, menyisakan wajah. Kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkan secara perlahan.“Dek,” panggilnya.Tak ingin memutar badan, aku berdehem menjawab ucapanya.“Hem, ada apa?”“Soal tadi, kamu jangan ambil hati ya, aku enggak mungkin jujur sama Bapak,”Mas Danu duduk di bawah ranjang.Karena kamarku yang tidak terlalu luas membuatnya tidur tepat di samping ranjangku dengan alas kasur lantai.Aku mengangguk lemah. “Lagi pula itu hak kamu Mas, aku udah jadi istrimu,” lirihku.Aku tak mungkin egois, bagaimanapun dia sudah suamiku, sepantasnya meminta haknya dan aku tidak boleh menolak.“Aiu enggak mungkin ngelakuin itu kalau kamu enggak rela, nanti aku dituduh kasus pemerkosaan,” candanya diikuti tawa.Aku terdiam. Jaman sekarang mana ada lelaki yang tahan, pikirku. Dulu, saat hari pernikahanku dengan Bang Roy telah ditentukan bahkan Bang Roy meminta hal itu lebih cepat, tetapi tentu saja aku tak memberikan hal berharga milikku sebelum kami sah, hingga kami ribut besar. Namun, demi menjaga nama baik aku tetap bungkam hingga Tuhan menunjukkan hal busuknya sehingga kami harus berpisah.Aku terbangun, duduk di tepi ranjang. Kuambil bantal tepat disamping Mas Danu yang telah kupersiapkan setiap kali ia hendak tidur.Meletakkan diatas kasur disampingku. “Bagaimana kalau kita mulai tidur bareng?” Kubuang rasa gengsi, bagaimanapun aku tak ingin orang tuaku malu jika aku terus menahan ego, membiarkan lelaki yang telah sah menikahiku tak mendapatkan haknya.Mas Danu menatapku yang masih tersenyum. Entah apa yang dia pikirkan. “Kalau kamu keberatan enggak perlu lakuin ini,” ucapnya setelah beberapa detik terdiam.Tak menjawab kuraih tangannya dan mengajaknya duduk diatas. “Aku minta maaf, tapi aku berharap hubungan kita berkembang, bukan hanya sekedar Bapak dan Ibuk.”“Apa kamu enggak nyesel?” tanyanya penuh penekanan, tak sedikitpun pandangannya berpaling dariku.Aku menggeleng lemah, sudah kubulatkan tekad untuk membuka hati, berharap rasa ini dapat segera tumbuh diantara kami.“Jangan maksa, kamu bisa dapat lelaki yang lebih mapan, bisa memenuhi segala kebutuhan kamu tanpa susah. Nanti perlahan kita bicarakan sama Bapak,” tuturnya.Kulepaskan pegangan tanganku di dengannya, memutar badan, perlahan kuusap dada. Aku bukan tipe wanita yang gemar membujuk, biasanya gengsiku akan lebih tinggi.“Aku ini malu, aku udah numpang sama bapak sekarang malah disuruh nikahin anaknya, padahal aku ini enggak punya apa-apa, seolah dunia menertawakanku karena numpang hidup sama Bapak. Kalau Dek Nisa bisa bertahan, aku mau merantau dulu ke kota, aku pasti lakuin tugasku sebagai suami seutuhnya setelah mendapatkan pekerjaan yang layak,” sambungnya.Hatiku terenyuh, benarkah yang dia katakan, mungkin hanya sebuah alibi saja untuk meninggalkan rumah ini? Atau sebenarnya dia sudah menahan untuk pergi setelah bapak memintanya menikahiku. Kenapa tiba-tiba hatiku kesal mendengar ucapan Mas Danu yang hendak pergi.“Kalau mau pergi, enggak usah balik lagi kesini,” sungutku lalu pergi meninggalkan Mas Danu di dalam kamar, menutup pintu sedikit keras, berjalan cepat menuju dapur.Kuambil segelas air dingin, meneguknya hingga tandas. “Dasar laki-laki enggak peka, bisa-bisanya malah mau pergi. Kalau emang enggak mau harusnya dia nolak sejak awal.” Kuusap wajah kasar.Padahal sudah kuberi lampu hijau, tapi dia tetap tak peka.Rasa tak rela melepasnya tiba-tiba saja menyelimuti hati, rasa khawatir dia tak akan kembali memenuhi dada. Entah apa yang terjadi padaku. Aku kembali ke kamar setelah beberapa saat duduk seorang diri di dapur. Kulihat Mas Danu sudah terlelap di tempatnya, tak mengindahkan ucapanku untuk tidur seranjang denganku.Tiba-tiba mataku mengembun, padahal aku sering mengabaikannya tetapi sekarang kenapa aku takut ia akan pergi. Kurebahkan tubuh, menyeka air mata yang sempat lolos, kupejamkan mata berharap kantuk segera datang agar asa kesal di dadaku tak semakin dalam. Hingga aku benar-benar terlelap terbuai mimpi.Suara kicau burung bersahutan, mengerjapkan mata perlahan. Terkejut saat melihat Mas Danu terlelap disampingku. Kututup mulut agar suara tak keluar. Sejenak kutatap wajah tampannya. Tanpa sadar senyum tersungging di bibirku. Aku pikir, dia akan mengabaikan permintaanku. Kutepuk pipi pelan, menyadarkan diri agar tak terus tersenyum seperti orang tak waras. Walau begitu tetap saja bibir ini terus mengukir senyum meski kutahan. Beranjak perlahan dari tempat tidur agar tak membangunkannya. Namun, baru beberapa langkah, Mas Danu menghentikanku.“Loh udah bangun Dek, kok enggak bangunin aku,” ucapnya.Kupaksa menaruh wajah datar, sok jual mahal kembali. “Ehem… enggak, masih pagi banget,” jawabku.Kupercepat langkah meninggalkan kamar, tak menghiraukan panggilannya. Jangan sampai Mas danau melihat pipiku bersemu merah.Di dapur ibu sudah bangun lebih dulu, memetik sayuran yang akan dia masak.“Ngapain kamu senyum-senyum sendiri Nis? Masih waras kamu?” tanya ibu yang sontak membuatku menyusutkan senyum.Sepertinya aku memang sudah gila, mana mungkin hanya karena hal sepele seperti itu membuatku ingin terus mengukir senyum.“Masak apa Buk?”Tak ingin menanggapi pertanyaan ibu, kualihkan pembicaraan meski aku tahu ibu akan memasak sayur kangkung. Meraih baskom berisi kangkung dan mencucinya. “Biar Nisa yang masak,” sambungku.Memang biasanya ibu yang memasak setiap pagi, sedangkan aku menyiapkan makanan untuk siang dan malam. Sebenarnya aku ingin mengambil alih perihal memasak, tetapi ibu menolak. Katanya, agar ibu telah tiada aku tidak akan pernah melupakan rasa masakan ibu. Kali ini ibu menurut, meninggalkan dapur menuju tempat favoritnya, halaman belakang. Ya, apalagi jika bukan untuk merawat tanaman-tanamannya itu.“Masak apa Dek?”Aku hampir meloncat karena terkejut melihat Mas Danu telah berdiri di sampingku. Kupikir ia masih dikamar. Biasanya memang jika sore hari dia akan membantuku memasak. Meski selalu kutolak tetap saja tak mau mendengarkan.“Mas, jangan sering ngegetin, lama-lama aku jantungan,” omelku.“He … maaf.” Digaruknya kepala yang jelas tak gatal itu.Kuhentikan kegitanaku membilas kangkung. Manatap Mas Danu yang sedang mengiris bawang merah.“Mas,” panggilku.“Hemm,” dia menjawab tanpa menoleh.“Beneran mau pergi ke kota?” tanyaku, perihal ucapannya semalam masih menggangguku. “Bagaimana sama Bapak? Aku enggak mau nanti terjadi apa-apa sama Ibuk kalau mantu kesayangannya pergi,” ujarku.Sebenarnya aku sendiri tak rela ia pergi, ibu dan bapak hanya alasan. Tentu saja aku malu jika kukatakan, aku tak rela dia pergi.“Bilang aja kamu gak rela,” ledeknya, seolah mengerti isi hatiku.“Apa sih, aku ini mikirin Bapak sama Ibuk,” kilahku memalingkan wajah dan sedikit senyum tersungging di bibir.“Gimana, mau pergi tapi aku enggak bisa ninggalin istriku,” candanya disertai tawa.Diam-diam aku tersenyum mendengar ucapannya. Itu artinya, dia tidak akan pergi bukan. Beberapa bulan bersama aku baru menyadari dia begitu perhatian kepadaku. Setelah menjadi istrinya aku semakin sadar, sejak dulu dia penuh dengan rasa hormat kepada wanita. Setelah menikah ia baru berani menatap mataku lama, padahal ia sering membantu mengerjakan pekerjaan rumah, tak membiarkan aku mencuci seorang diri di sungai, ia selalu menjagaku dari jauh. Bahkan hingga detik ini menyentuhku pun ia seperti takut, padahal kami sudah sah. Saat aku menangis seorang diri karena pernikahanku dan Bang Roy gagal, dialah orang yang mendengar keluh kesahku, menemaniku menangis hingga tengah malam. Dadaku berdebar setiap kali ia menatapku.DUA TAHUN BERLALU“Tuh kan, untung aja anakku nikah sama orang lain, kalau nikah sam Anisa udah pasti enggak punya anak,” caci Bu Sari.“Nisa kok belum ngisi sih? Kalian enggak ada rencana buat periksa gitu ke dokter? Nih lihat, aku aja udh hamil anak kedua.” Ranti mengelus perutnya meski masih rata, tetapi sepertinya ia memang sedang hamil terlihat dari wajah pucatnya. Senyum mengejek ia sunggingkan.“Iya sih, itu anakku juga udah ngisi,” timpal Bik Santi. Beberapa ibu-ibu lain hanya tersenyum menanggapi ucapan mereka.Aku menghela nafas dan tetap menebar senyum. “Enggak papa, mungkin memang belum waktunya. Yang penting enggak hamil duluan,” balasku.Kulirik Ranti, ia memalingkan pandangan sesekali mentapku penuh kekesalan. “Ya udah aku pamit duluan ya Buk, udah siang mau buatin makanan buat Mas Danu.” Aku berlalu dari kerumunan ibu-ibu yang sedang berbelanja.Sudah dua tahun pernikahanku dengan Mas Danu, tetapi sepertinya Tuhan memang belum mempercayakan kepada kami seorang anak. Ak
Danu Pov Flash Back…“Jangan sampai dia lepas.” Dari balik rimbunnya pohon aku mendengar suara Andara, adik tiriku itu memberi perintah untuk anak buahnya. Menendang batu yang ada di bawah kakinya,kesal karena gagal membunuhku hari ini, sepertinya tak menyurutkan akal untuk menghabisiku dilain waktu.Dadaku terasa sesak, nafas susah sekali keluar, tertatih aku berjalan menuju gudang belakang rumah ditambah penerangan yang hanya mengandalkan temaram dari lampu di rumah utama membuatku harus benar-benar berhati-hati melangkah agar tak menimbulkan banyak suara, gudang itu telah lama tak terpakai. Aroma kayu lapuk memenuhi indra penciumanku setelah berhasil masuk. Terus menyusuri gudang besar tepat dulu almarhum mama menggunakannya untuk membuat banyak pakaian.“Aku harus pergi malam ini juga,” gumamku seorang diri.Sepeninggal papa, Mama Clara yang kupikir menyayangiku dengan tulus, tapi tak ubahnya hanya seekor srigala berbulu domba. Sepupu mama itu menikahi papa setelah mama kandungk
Duduk seorang diri di rumah yang tak terlalu besar, rumah kayu yang hanya tersedia tempat tidur dan ruang tamu sempit, berbanding terbalik dengan istana yang selalu kutempati. Namun, disini aku merasa aman, udara segar pedesaan membuatku sedikit merasa tenang. Aku tinggal di rumah milik Bapak Artha, lelaki yang menyelamatkanku. Sementara ini aku bisa istirahat untuk memulihkan tubuh lebih dulu, setelah itu akan mencari gubuk di tengah hutan seperti yang dikatakan Bik Icha.Ketukan di pintu menyadarkan lamunan, kembali kusimpan surat dari Bik Icha yang belum sempat kubuka, lantas membuka pintu. Seorang gadis berdiri dengan mangkuk di tangannya. “Disuruh Bapak ngantar makanan,” ucapnya sembari menyodorkan mangkuk yang ia pegang. Gadis ayu dengan rambut panjang lurus tergerai, semerbak aroma parfum strawberry tercium. Terlihat ada kesedihan di matanya. Aku mengambil mangkuk dari tangannya, “Makasih Mbak, enggak perlu repot-repot,” ucapku. Tak menjawab, ia pergi begitu saja. Bisa aku
Setelah berbincang sedikit dengan Pak Artha gegas aku menuju sungai tempat dimana banyak orang mandi, tak terbiasa dengan keadaan desa membuatku berulang kali terpeleset di pinggir sungai. Kuamati sekeliling, tak ada penutup, mau tak mau aku harus mandi di tempat terbuka seperti ini. Diseberang yang tak terlalu jauh terlihat banyak ibu-ibu sedang mencuci pakaian, kulihat pula Nisa datang membawa pakaian kotor. Bisik-bisik ibu-ibu yang ada di sebelahnya membuatnya gegas menyelesaikan pekerjaan tanpa berlama-lama. Aku hanya bisa mengamati gadis itu pergi dengan wajah menunduk. Miris sekali, padahal bukan dirinya yang salah.Setelah menyelesaikan mandi gegas aku pergi, berniat mencari pondok di tengah hutan. Aku sempat bertanya kepada Pak Artha mengenai hutan yang tak jauh dari desa. Kata Pak Artha, tak ada yang berani masuk hutan tersebut, selain semak belukar warga desa enggan berurusan dengan binatang buas. Nyaliku sedikit menciut, tetapi demi mengetahui semuanya kukumpulkan tekad unt
Duduk termenung menatap rindangnya pohon liar, sesekali tatapanku beralih pada diri sendiri. Kulit yang dulu putih bersih kini telah berubah menghitam. Sembari mengumpulkan rencana, aku memilih tetap bersembunyi. Kepada siapa lagi aku harus meminta bantuan, sedang orang-orang kepercayaan papa yang selalu kuanggap baik mereka semua bersekongkol dengan Mama Clara.Sudah tiga bulan aku tinggal di rumah Pak Artha, setiap ada waktu aku selalu pergi ke gubuk tua itu untuk menyusun rencana, memulai permainan balas dendam dengan mereka. Aku tak peduli jika hanya aku yang haru menghadapi mereka, tetapi nyawa tetaplah harus dibalas nyawa.Ponsel di tanganku bergetar, aku tidak tahu siapa yang menelpon dengan nomor baru. Kugeser tombol hijau tanpa mengeluarkan suara.“Halo, Bos Rangga,” ucapnya dari seberang telepon. Aku kenal sekali dengan suara itu. Revan, pemuda itu apa masih bernyawa? Terakhir ia menghadang anak buah Andara untuk menyelamatkanku.“Revan,” panggilku cepat.“Syukurlah, Bos. D
“Siapa mereka Mas?” tanya Nisa setelah kami sampai di rumah sakit, bapak pun terlihat menagih jawaban dariku. Pertanyaan berulang itu belum kujawab sejak di rumah tadi.Aku membawa Nisa berjalan di taman rumah sakit, sementara bapak beristirah di temani dua pengawalku.“Aku harus pergi ke kota sebentar Dek,” ucapku membuatnya menghentikan langkah, menatapku tanpa sepatah katapun.Ia menunduk, tapi bisa kulihat matanya mengembun. Kuraih kedua tangannya menggenggam erat. “Cuma sebentar, nanti kalau udah selesai urusanku pasti aku pulang.” Aku meyakinkan.“Apa Mas udah inget semuanya? Apa ingatan Mas udah kembali?” Mengangkat wajah dengan suara parau. Aku mengangguk lemah, tetap berpura-pura jika selama ini aku hilang ingatan.“Cuma sebentar, aku pasti kembali setelah semua urusanku selesai,” kembali kuulang kata-kata itu agar ia tak perlu khawatir.Kami duduk di bangku taman rumah sakit, dersik angin malam membelai kulit. Kubelai lembut rambut panjangnya. Dia telah menerimaku apa adany
(Nisa Pov)“Kirimkan aku uang dan datanglah ke alamat yang telah kukirim.” Tak sengaja kudengar Mas Danu berbicara dengan seseorang, siapa yang dia perintahkan untuk mengirim uang? Rasa ingin tahu dan penasaran menyeruak ingin segera menuntut jawab. Siapa sebenarnya lelaki yang telah menikahiku dua tahun lalu itu? Apa sekarang ingatannya telah kembali? Semua pertanyaan telah kussun sempurna’. Jangan sampai kali ini Mas Danu mengelak, mungkin mengatakan orang itu gila atau kurang kerjaan, karena jelas-jelas aku dengar pembicaraan mereka, dan Mas Danu lah yang mengirim perintah.Namun semua pertanyaan belum sempat kukeluarkan karena sibuk mengurus bapak. Sehari setelahnya datang seorang pria dengan setelan jas lengkap, jelaslah lelaki itu bukan lelaki biasa, dan lebih mengejutkan lagi dia memanggil Mas Danu bos. Tepat, seperti yang aku pikirkan, selama ini kecurigaanku tak salah. Sepertinya suamiku bukanlah orang biasa, tapi kenapa? Kenapa Ia tak pernah jujur? Aku semakin takut, takut
“Mbak Nisa, mana suamimu? Kok, beberapa hari ini aku lihat dia enggak ada keluar atau ke sawah Buk Dewi?” Ranti yang sedang berjalan-jalan pagi sembari mendorong stroller anaknya berhenti tepat di depan rumah, menghampiriku yang sedang menyapu halaman. Sepertinya niat sekali ingin mencari informasi.“Emang kenapa kamu nyariin suamiku? Ada perlu apa?” ketusku tanpa melihatnya.“Gimana ya, aku khawatir aja, takutnya kamu ditinggal minggat karena kamu enggak hamil-hamil,” cibirnya tanpa sedikitpun mempedulikan perasaanku. Aku lupa, jika dia peduli dengan perasaan orang sudah pasti sejak dulu ia tak berbuat hal menjijikkan dengan Bang Roy. Meskipun tidak ada lagi sedikitpun rasa kepada Bang Roy, tetap saja mengingat hal itu membuatku geram.“Mau ditinggal minggat atau enggak emang ngerugiin kamu, kamu urus ajalah suamimu itu ketimbang ngurusin orang lain, aku denger suamimu ada main serong sama janda baru itu.” Aku tertawa mengejek.Kabar-kabar tentang Bang Roy yang sedang dekat dengan j
Aroma kayu putih memenuhi penciumanku. Tepukan di pipi mulai kurasa.“Mbak, Mbak Nisa gak papa? Ya ampun, Mbak.” Bik Hanum terlihat begitu khawatir berusaha menyadarkanku sepenuhnya.Kulihat sekeliling, foto-foto itu sudah tak berserakan mungkin mereka sudah membereskannya.“Pelan-pelan Mbak.” Bik Hanum membantuku terbangun. “Tri ambilkan minum,” perintahnya kepada Bik Lastri yang duduk di sampingnya memijat kakiku.“Ini Mbak minum dulu.” Menyodorkan segelas air kepadaku. Gegas kuteguk air dalam gelas hingga tandas.“Antar aku ke tempat Mas Danu, Bik,” pintaku. Otakku mulai memutar semua gambar-gambar kejadian yang baru saja terjadi, untaian kata-kata dari Deswa kembali terngiang. Aku harus menyaksikan sendiri.“Tapi Mbak, maaf apa enggak sebaiknya nunggu Den Rangga dulu?”Bik Hanum menunduk, sepertinya menyembunyikan sesuatu. Apa orang-orang bawaan Mas Danu semua tahu akulah yang dia sembunyikan?Aku menatap tajam Bik Hanum yang masih menunduk.“Iya Mbak, sebaiknya nunggu Den Rangga
“kabarnya sih kalau enggak dibalikin secepatnya dia mau dipenjara,” sambung Bik Dewi.“Kasihan ya, bik. Anaknya masih kecil-kecil,” ucapku tulus.“Halah, ngapain kamu kasihan sama dia, dulu juga dia enggak kasihan sama kamu. Itu namanya karma Nis,” cetus Bik Dewi kembali mengingatkanku kelakuannya yang membuat keluargaku malu dan menjadi bahan gibah sekampung.Tak ingin terlalu lama menggosip dengan Bik Dewi, gegas kucari alasan untuk segera pergi.“He, iya udahlah bik, namanya juga hidup. Aku pergi dulu ya, bik. Mau jalan-jalan biar sehat.”“Iya, bener tuh. Lagi hamil harus banyak gerak jangan ndekem aja di rumah,” tuturnya. Aku tersenyum dan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Mendung sore di penghujung bulan, rintik hujan tiba-tiba datang. Gegas kuputar badan, mempercepat langkah kembali ke rumah. “Duh, mbak kok ujan-ujanan sih, nanti kalau mbak sakit kami yang dimarah Den Rangga,” Bik Ratih berlari tergopoh setelah melihatku di depan pagar, membawakan payung
….Aku duduk di teras rumah, menyesap secangkir susu ibu hamil dilengkapi dengan buah buahan. Kuusap perut yang telah membuncit. Sudah empat bulan Mas Danu tidak pulang, kerinduan kami hanya bisa tersalurkan melalui panggilan video call. Rumah yang kini telah berdiri megah terasa begitu sepi meski ada dua orang pembantu dan beberapa satpam yang diminta Mas danu untuk menjaga. Padahal aku tak perlu mendapatkan penjagaan yang begitu ketat tetapi suamiku itu memaksa. Bahkan di setiap sudut rumah terpasang CCTV, entah apa yang dia khawatirkan padahal disini tak mungkin ada orang yang akan berniat jahat.Ponsel disampingku bergetar, kulihat layar dan segera menggeser tombol hijau. Memperlihatkan wajah Mas Danu. Aku tersenyum menyambutnya.“Udah sarapan Sayang?” tanyanya.Aku mengangguk. “Mas dikantor? Udah sarapan?”Ingin sekali aku menjadi istri sepenuhnya seperti dulu, menyiapkan makanan untuknya, menyiapkan pakaiannya. Namun, aku harus bersabar, setelah mengatakan alasannya tak ingin me
“150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi
“Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat
“Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “
Aku dan Mas Danu berjalan beriringan setelah mencuci dari sungai, sesekali tertawa berserita bagaimana dulu aku sok jual mahal kepadanya. Alhasil aku pula yang harus merayu untuk melakukan ritual malam pertama. Jika mengingat hal itu aku seperti ingin menyembunyikan wajah dari Mas Danu.“Udahlah Mas, jangan diinget-inget terus.” Aku berjalan lebih dulu, ngambek menjadi salah satu jurus pamungkas menyembunyikan rasa amalu.Mas Danu mempercepat lengakh mengejarku. “Nanti kita ceritain ke anak-anak,” ledeknya di sela tawa.“Awas aja kalau sampai bocor ke anakku.” Aku mengacungkan jari mengancam. mas danu tertawa, terus menggodaku. Di depan rumah kami berpapasan dengan Bik Dewi yang sedang menyapu halaman. “Dih, makin mesra aja kalian,” cetusnya.“Eh Bik, pagi-pagi udah nyapu, rajin banget. biasanya nunggu Indah.” Aku tersenyum ramah, sudah pasti ucapanku itu akan membautnya kesal. Memang bukan rahasia umum lagi Bik Dewi akan menunggu menantunya untuk beberes rumah. Terkadang masak pu
Bapak tersenyum melihat menantu kesayangannya, memeluk erat seakan enggan melepas. Kusiapkan teh hangat dan cemilan. Singkong rebus, apa mungkin Mas Danu masih mau memakan makanan desa itu? Kembali kutaruh singkong rebus yang ada di dalam nampan, urung kubawa keluar.Sedikit kikuk, karena aku seperti tak menghadapi orang lain. Aku hanya menunduk duduk di depan Mas Danu dan lelaki yang mengenalkan dirinya candra tersebut.Mas Danu beralih, kini ia telah duduk disampingku, mengusap lembut perutku yang masih rata. Senyum mengembang sempurna disudut bibirnya, lesung pipi menambah manis wajahnya. Jantungku berdetak lima kali lebih cepat. Setelah satu minggu, wajah yang kurindu kini terpampang jelas di depan mata, tapi anehnya aku merasa kikuk sebab dia seperti orang lain, apa hanya karena penampilannya?“Papa datang,” lirihnya. Berulang diciumnya perutku.“Ehem.” Aku berdehem, melihat Candra dan bapak senyum-senyum sendiri memperhatikan tingkah Mas Danu, tetapi sepertinya pria itu tak kun
Kubuka dompet yang tak terlalu besar, menghela nafas berat melihat isinya yang hanya tinggal uang pecahan lima ribuan.“Nis,” panggil bapak. Gegas kututup kembali dompetku lalu menghampiri bapak, tak ingin bapak tahu kesusahan yang sedang kualami.“Iya Pak, ada apa?” Aku bersimpuh di bawah bapak yang sedang duduk di kursi roda. Bapak mengeluarkan uang seratus ribuan, lalu meraih tanganku dan meletakkan uang itu.“Ini bayar arisanmu, jangan pakai mas kawinmu,” titahnya.Aku menghitung uang tersebut. “Bapak dapat uang sebanyak ini dari mana? Kalau ada uang, lebih baik buat kontrol Bapak besok.” Aku mengembaikan uang tersebut.Kalaupun ada uang memang seharusnya digunakan untuk kontrol bapak besok pagi, karena memang sudah jadwalnya.“Danu kasih ini buat pegangan bapak, kamu pakai aja dulu buat bayar arisan. Enggak usah mikirin bapak, itu kewajibanmu lebih penting Nduk.” Bapak mengusap pucuk kepalaku. Tak kuasa kutahan tangis. “Ya udah Nisa pakai dulu, besok untuk berobat Bapak, aku j