"Tuan Fic. Apa kau tidak salah?" Jefri sedikit terbelalak, saat mengangkat sebuah kartu nama yang baru saja dilempar di atas meja.
"Aku ingin kau menyelidiki wanita itu lebih jauh. Siapa dia. Hem. Bukan kau, tapi kita."Jefri mengangguk, sedikit merasa heran tapi tidak berani bertanya lebih lanjut. Sepanjang hidupnya, yang ia tau, Presdir Fico Albarez tidak pernah peduli dengan wanita.Tanpa menoleh, Fico Albarez berbicara. "Aku pernah melihatnya tanpa sengaja. Setelah itu, hati ku selalu berontak, untuk mengetahui latar belakang wanita itu." Jefri langsung mengerti, dan segera mengangguk. Ini adalah kejadian beberapa hari yang lalu, sebelum Erina memasuki Restoran mahal menemui Agam. Pada hari itu, Fico Albarez yang sudah meminjamkan uang sepuluh juta kepada Erina.Pagi ini Erina sudah berada di kantor. Beberapa rekan menatapnya dengan sedikit asing. Lalu terdengar berbisik bisik."Dia gagal menikah.""Kasihan Sekali."Mungkin mereka sudah mendengar kabar buruk tentang Erina.Erina tidak ingin peduli, terus melangkah menuju ruangan kerjanya. Disana Oca dan Melda sudah menyambut dengan ceria. Oca menarik tangan Erina, Melda menarik kursi."Senang sekali, si tengil akhirnya bangun dari mimpi buruknya." "Sialan!" Hanya itu jawaban dari mulut Erina. "Erina Clarissa Handoyo." Bos memanggil Erina. Belum sempat dia berdiri, Bos sudah menghampiri, melempar sebuah map ke atas meja tepat di hadapannya. Lalu menarik kursi dan duduk dihadapan Erina."Aku tau kau sedang gundah gulana. Tapi kau adalah Reporter andalan stasiun kita. Jadi, ku harap kau bisa profesional." Erina menarik nafas berat, sambil membuka map."Aku tidak bisa berjanji untuk kali ini." Bos tertawa. "Itu akibat Kau tidak percaya padaku! Tunangan mu itu adalah pria brengsek! Haha. Salahmu sendiri!" "Bos. Jangan membicarakan itu." Bisik Oca. "Eh, iya." Bos menutup mulutnya. "Ah, baiklah Erina. Tidak ada penolakan. Atau karirmu akan berakhir." Bos melotot untuk memberi sedikit ancaman Erina."Tapi aku takut tidak fokus." "Hahaha.." bos kembali tertawa menoleh pada Oca dan Melda."Kalian dengar? Wanita tengil yang biasa kuat ini sok lemah hanya gara gara cinta buta!" "Jangan begitu Bos. Kau tidak pernah merasakan putus cinta sih. Itu sangat menyakitkan!" Protes Melda.Bos melotot. "Kau mau menghinaku? Mentang mentang aku jomblo?""Hehe. Itu memang kenyataan. Kalau jomblo, mana bisa tau sakitnya putus cinta." Celetuk Oca."Kau ini!" Bos memukul ringan kepala Oca.Erina terkikik kecil, mereka benar-benar menghiburnya. Tidak sia sia, pagi ini dia pergi ke Kantor."Ah.. Baiklah. Maafkan aku Erina. Lalu bagaimana? Kau bisa pergi?" Tanya Bos."Kenapa tidak yang lain saja? Yang lain, pasti menunggu kesempatan ini.""Kau gila ya? Hanya kau yang diinginkan Galaxy Group. Kau mau membuat Stasiun Televisi kita ini bangkrut? Dengan mengirim orang lain selain yang mereka tunjuk? Galaxy Group mempunyai kekuasaan dan kekuatan penuh di bumi yang kita injak ini. Dengan mudahnya, mereka bisa menggulingkan Perusahaan kita ini kalau tidak tepat janji!" Erina membelalak, "Kenapa aku yang ditunjuk? Apa alasannya?" "Haha.. Karena kau adalah Reporter terhandal Stasiun kita. Sudahlah. Mereka tidak mau diganti, atau acara akan dibatalkan! Kita akan merugi Erina.. Ayolah. Lakukan sesuatu untuk mengangkat lebih tinggi kejayaan Stasiun kita ini." Bos merengek seperti anak kecil.Erina akhinya mengangguk. " Baiklah. Aku akan usahakan." "Begitu dong." Bos langsung bernafas lega."Kau tenang saja, mereka berdua sudah aku siapkan untuk meringankan pekerjaanmu." Bos tertawa lagi. Lalu beranjak pergi.Sepeninggal Bos, Oca dan Melda melonjak girang. "Kita akan bertemu dengan Presdir Galaxy Group! Ya Ampun.. Seperti mimpi!" Melda mencubit pipinya sendiri."Erin, ini adalah kesempatan emas. Sekian banyak Reporter disini, hanya kita yang diberi kesempatan ini." Oca mengguncang bahu Erina.Erina hanya tersenyum saja. Tidak merasa sebahagia Mereka."Erin. Kenapa tidak senang? Kau masih memikirkan Agam? Dengan bertemu Presdir Galaxy Group, kau akan sedikit terhibur." Erina masih tersenyum saja. Dalam hati, dia kembali sedih. Bukan Agam yang ia sedihkan tapi,Baru saja Erina melamun, Ponselnya berdering. Nama pemanggil kali ini membuatnya jantungnya berdetak lebih cepat. Dia segera menyisih, untuk mengangkat telepon."Ibu.""Aku sudah ada di luar kantor mu. Cepat keluar sebelum aku masuk!"Erina langsung menoleh kepada kedua temannya yang menatapnya. "Aku keluar dulu sebentar." Mereka mengangguk. "Sabar ya Erin, pasti akan ada jalan untukmu." Erina tidak menjawab, segera melangkah keluar untuk menemui Ibu.Ibu sudah menunggu di luar gerbang dengan Alika. "Ibu." Belum sempat Erina menyambut tangan ibu, ibu sudah menarik tangannya terlebih dahulu. "Kami menunggumu nanti malam. Jika kau tidak datang ke rumah, maka aku akan menyeretmu dari Kontrakan mu itu!""Ibu, tapi.." "Tidak ada tapi tapi. Aku sudah tau semuanya. Pernikahan mu gagal bukan? Jadi bagaimana? Kau tidak punya alasan lagi untuk menolak. Atau kau mampu membayar hutang bapakmu hah!" Ibu mengancam.Erina hanya menunduk. Benar saja, dia sudah tidak punya alasan untuk menolak keinginan wanita yang sudah dipanggilnya Ibu itu."Kita pulang Bu. Biarkan Erina berpikir bagaimana caranya dia untuk membalas Budi kepada keluarga kita." Ucap Alika. Sorot matanya begitu sinis kepada Erina."Kau dengar itu Erina. Berpikirlah, kau hidup dari siapa dan besar dari mana? Kau itu juga terlalu murahan. Jadi jangan sok jual mahal. Tidak akan ada pria manapun yang mau menikahimu. Seharusnya kau bersyukur, Tuan Danies mau melamarmu!" Ibu menunjuk dada Erina. Lalu melenggang pergi bersama Alika.Erina ingin menangis rasanya. Tapi itu hanya buang energi saja. Apalagi banyak mata yang sedang memperhatikannya. Erina memilih meraih Ponselnya. Mengirim pesan singkat untuk Oca. "Aku pulang. Sampaikan pada Bos!" ___Sampai malam hari, Erina tidak menuruni kasurnya. Pikirannya sungguh kacau. Membolak-balik tubuhnya. Ketukan pintu terdengar, kembali membuat jantung Erina berdesir.Belum sempat dia beranjak, suara teriakan ibu sudah terdengar nyaring.Dengan hati penuh gelisah, Erina terpaksa turun untuk membukakan pintu."Dasar Anak tidak tahu diri!" Ibu langsung menarik kasar lengan Erina dibantu oleh Alika. "Ayo ikut!" "Ibu, aku tidak mau!" Erina mempertahankan dirinya. Di ujung sana sudah ada seorang pria menunggu di sisi sebuah Mobil bersama dua Pengawal Pria.Ibu menoleh pada Pria itu dan memanggil. "Tuan Danies. Tolong bantu. Bawa saja dia!" Pria yang dipanggil itu langsung mendekat bersama pengawalnya. Menyeret paksa Erina."Lepas! Lepaskan aku!" Erina memberontak."Ibu! Tolong aku. Aku tidak mau ikut dia!" Tapi mereka tidak peduli. Ibu hanya tersenyum senang melihat Erina di seret. Alika pun sama saja. Lalu satu orang membuka pintu belakang mobil."Lepaskan dia!" Tiba tiba seorang pria dari dalam sebuah mobil berteriak. Semua orang menoleh. Pria itu menuruni mobil bersama seseorang yang lain."Jangan ganggu dia!" Tiba tiba Pria itu menarik tangan Erina dan membawanya dekat dengannya."Kau siapa? Berani sekali! Aku ibunya! Jangan ikut campur urusan kami orang asing!" Ibu menunjuk ke arah Pria itu.Dengan wajah datar, pria itu menoleh pada Erina. Tentu Erina masih mengenali pria itu dengan baik. Walau tidak sempat mengenal siapa namanya."Dia tanggung jawabku sekarang. Karena aku, calon suaminya. Jadi semua urusannya adalah urusanku juga." Semua orang terkejut tak terkecuali Erina. Apa apaan ini? Belum sempat Erina protes, Pria itu sudah kembali berbicara, tapi kali ini pada seorang pria yang datang bersamanya tadi."Jefri. Bayar semua hutang Ayah Erina." Kembali mereka dibuat terkejut. Belum hilang rasa terkejut mereka, Pria itu kembali berbicara pada pria di sebelahnya. "Bayar dua kali lipat." Jefri segera mengangguk, merogoh cek kosong dan pena dari balik jasnya. Lalu menulis nominal yang bahkan tidak ada yang menyebutkan berapa. Jefri melempar cek itu ke arah Danies yang langsung menangkapnya. Matanya seketika membelalak, seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Nominal itu tertera dengan jelas dua kali lipat dari hutang Ayah Erina."Jangan pernah mengganggu dia lagi. Karena mulai besok, Erina akan menikah denganku. Kalian paham? Atau kalian akan berurusan denganku." "Ayo masuk!" Pria itu menarik tangan Erina untuk kembali ke kontrakannya.Jefri tidak ikut serta, dia sengaja ingin memastikan mereka semua pergi dari kontrakan Erina.Erina menurut saat Fic mendorong tubuhnya untuk masuk ke dalam kontrakannya sendiri. Fic ikut masuk, kemudian duduk di Sofa tanpa disuruh.Erina menatap Pria dengan wajah datar itu, lalu ikut duduk di hadapannya. Mereka terdiam cukup lama. Erina merasa aneh, kenapa pria ini bisa tau tempat tinggalnya. Dan untuk apa dia kesini? Apa untuk menagih uangnya? Tapi kenapa malah kembali mengeluarkan uang. Uang yang begitu besar. Berkali kali lipat dari yang waktu ini.Erina kemudian membuka suara."Tuan, Terima Kasih sudah menolongku kembali." Fico Albarez hanya mengangguk tanpa melihatnya."Tapi, bagaimana caraku untuk mengembalikan uangmu. Itu terlalu banyak."Fic menoleh sebentar setelah itu membuang ratapannya kembali."Menikahlah denganku besok. Maka kau tidak perlu membayarnya."Seketika Erina terperangah. "Menikah?" Dia seperti tidak percaya."Kenapa?" Sekarang Fic menoleh untuk menatapnya."Bukankah kau membutuhkan pernikahan? Kau gagal menikah bukan? Seharusnya kau menikah beberapa
Ketika meletakkan Kartu itu di telapak tangan Erina, kulit mereka bersentuhan. Erina bisa merasakan suhu badan Fico lebih tinggi dari suhu badan dirinya. Rasanya seperti menembus kulitnya, membuat Erina sedikit kehilangan akal."Baiklah kalau begitu." Biar bagaimanapun juga Erina berpikir, jika mereka sudah menjadi pasangan, Pasangan pengantin baru yang seharusnya bahagia bukan? Erina tidak ingin merusak niat baik Fico hanya karena hal kecil seperti ini. Dia akhirnya menerima Kartu itu."Aku masih ada kerjaan sore ini. Maafkan aku tidak bisa mengantarmu." Ucap Fic dengan nada yang masih terdengar datar."Oh. Tidak mengapa. " Sahut Erina. Dia juga tidak berharap, jika pria itu benar-benar akan mencintainya atau menganggapnya seorang istri yang sesungguhnya. Jadi dia tidak merasa kecewa sedikitpun."Oh iya. Mengenai Alamat Rumahku, em.." Fic nampak berpikir sebentar.Lalu melanjutkan bicaranya. "Setelah pekerjaanku selesai, aku akan menghubungimu. Beri saja aku nomor ponselmu." Erina
Pagi Ini Erina sudah berada di kantornya. Melihat Oca dan Melda. Kedua temannya itu berdandan berlebihan tidak seperti biasanya. Menatap sedikit kesal.ke arah dirinya."Kau ini! Kenapa berpenampilan seperti ini?" Oca mendekat sambil menarik ujung kaos yang dikenakan Erina.Erina hanya mengenakan kaos putih pendek yang dibalut Jas kerja dengan tergantung kartu nama tanda pengenal di lehernya. Mengenakan celana Jeans warna hitam sesuai dengan warna Jas dan sepatu berwarna Putih. "Memangnya harus bagaimana?" Jawab Erina."Yang akan kita temui kali ini adalah Presdir nomor satu di dunia. Bagaimana mungkin kamu hanya berpenampilan sesederhana ini?" Oca sangat memprotes.Erina menarik nafas. "Kita ini mau bekerja. Siapapun yang akan kita temui. Jadi, ini adalah pakaian kerja kita yang sebenarnya. Bukan mau pergi ke pesta!" Bantah Erina. "Ah.. Terserah kau saja!" Oca kesal."Eh, tapi bagaimana penampilan ku hari ini? Aku cantik tidak?" Oca bertanya pada Erina."Sangat cantik." Erina menjaw
Fic masih menatap Erina yang tiba tiba memerah wajahnya. "Ayo silahkan duduk!" Erina masih terpaku, sampai Melda menariknya. "Erin! Kamu kenapa bengong?""I, iya." Erina tersadar dan mengikuti pergerakan mereka duduk di sofa.Fic duduk tepat di hadapan mereka bertiga. Baru saja Melda ingin berbicara, seorang pria datang memasuki ruangan dan memanggil Presdir Albarez."Tuan Presdir." Tangannya membawa tumpukkan berkas dan menaruhnya di meja kerja. "Usai Wawancara ini, ada tamu penting yang ingin bertemu." Fic hanya mengangguk. Erina sempat melirik pria tadi, dia masih mengenal dengan baik pria yang baru saja datang itu, dia adalah pria yang sudah dilihatnya beberapa kali bersama suaminya.Setelah Jefri keluar, Melda membuka suara. "Presdir Albarez. Bisakah kita memulainya sekarang?" "Silahkan." Fic menjawab, hanya melirik sedikit pada Erina dan kembali acuh tak acuh seperti tidak saling mengenal. Erina sampai berpikir, apakah dia suaminya atau bukan. Atau hanya kebetulan mirip?
Saat di Toilet, Erina kembali membuka Paperbag. Mengambil kotak di dalamnya dan membuka. Ada beberapa kunci disana. Erina menarik nafas. Belum sempat dia menetralkan jantungnya, Ponselnya berdering. Peminjam! Kontak Fic yang dulu sempat diberi nama itu yang memanggil. Erina sempat heran, dari mana dia tau nomor ponselnya? Bukankah kemarin dia belum sempat untuk memberikannya?Erina menggeser tombol untuk mengangkat. "Bagaimana?" Suara Fic terdengar."Apanya yang bagaimana?" Sebenarnya Erina sudah paham apa yang dimaksud suaminya, tetapi karena Erina tiba tiba merasa tegang, dia ingin mengusir dahulu dengan berbasa basi."Apa aku perlu menyuruh Jefri untuk menjemputmu?" "Tidak. Aku bisa datang sendiri nanti setelah selesai jam kerja.""Baiklah. Kalau begitu hati hati. Aku akan mengirimkan alamatnya." Panggilan terputus tanpa sempat Erina bertanya lagi. Hanya selang beberapa detik, Pesan masuk ke dalam Aplikasi WhatsApp. Pesan dari Fic berisi Alamat Rumah.Erina meneliti. Erina ta
Kamar yang begitu luas. Ini mungkin seukuran kontrakan Erina. Ranjang tidur yang sangat besar dan lemari lemari besar juga terdapat disana.Semua barang bahkan meja rias begitu juga dengan Sofanya, tidak ada yang murahan. Semua serba barang kelas atas.Erina melangkah mendekati Ranjang. Duduk disana dengan mata yang memutar. Dia masih seperti bermimpi berada disini. Akan tinggal seatap bahkan satu kamar dengan seorang Pria.Erin. Dia suamimu! Sudah sewajarnya! Erina mengusap wajahnya dengan kasar. Merogoh kunci yang dia dapat dari Fic siang tadi."Lalu kunci ini untuk apa?" Erina mengamati. Erina berpikir ini adalah kunci duplikat Mansion dan kamar ini. Tapi untuk apa Fic memberikan padanya, jika Mansion dan kamar ini tidak dikunci?Erina tidak ingin memikirkan. Malah melirik cincin yang melingkar dijarinya. Erina menyentuh dengan tangan kanan."Apa kira kira cincin ini pantas untuk seorang Fico Albarez?" Cincin yang dia beli tidak sesuai dengan keadaan suaminya, Erina menyadari itu
Erina menutup lemari. Dia kembali mengingat, jika mempunyai banyak pertanyaan di hati mengenai Boneka itu. Pertanyaan yang belum sempat mendapatkan jawaban sampai detik ini. Meskipun boneka itu miliknya, Erina tidak dapat mengingat boneka itu didapatkan dari mana. Erina tidak tahu apa apa, yang dia tahu hanyalah, jika keluarga Handoyo sudah membesarkannya. Dia adalah anak pembawa sial! Hanya itu yang sering dia dengar dari umpatan Ibu padanya. Handoyo harus kehilangan banyak uang demi kesembuhan Erina saat Koma. Handoyo duduk di kursi roda sekarang dan Erina yang disalahkan. Ibu, Alika dan Lena membencinya. Dia dianggap anak pembawa sial.Erina hanya bisa memegang dadanya, merasakan nyeri di hatinya mengingat betapa banyak kesulitan yang harus dijalani. Bahkan sampai detik ini, sepertinya kesulitan akan terus berlanjut. Pintu dibuka seseorang membuat Erina terkejut. Fic melangkah masuk dengan wajah yang datar."Mana Cincinnya, boleh aku melihat?" Erina mengangguk, menarik laci d
Erina terbangun di pagi hari. Melirik kasur sebelahnya yang sudah kosong. Menatap dahulu bajunya. Ini masih lengkap. Lalu meraba tubuhnya." Semalam, tidak terjadi apa apa padaku kan?"Erina terkejut saat mendengar pintu kamar mandi terbuka."Nyonya? Anda sudah bangun?" Melan keluar dari kamar mandi."Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Mari silahkan." "Seharusnya tidak perlu serepot itu." Erina beranjak dari Ranjang."Itu sudah menjadi tugasku, atau aku akan kehilangan pekerjaan." Erina menoleh. "Benarkah akan seperti itu?""Tentu saja. Maka biarkan aku melayanimu Nyonya." Erina hanya menarik nafas, dan masuk ke kamar mandi. "Dasar orang kaya." Dia mengeluh sambil memulai mandi.Usai mandi Erina masih melihat Melan berdiri disana. "Silahkan Nyonya."Apalagi ini? Melan mengambilkan pakaian kerja Erina bahkan pakaian dalamnya. "Biarkan aku sendiri!" Erina merasa tidak enak, saat Melan hendak membantu. Melan mengangguk, lalu mengambil sepatu.Erina bertanya ketika sepatu yang d
Saat Aisyah melihat genggaman tangan Putranya pada jari jemari Alexa, dia sudah dapat mengerti jika kedatangan Elang untuk menemuinya kali ini sepertinya bukan untuk urusan pekerjaan. Tapi ada hal lain.Apalagi ketika mereka menyambutnya di bawah tangga tanpa melepaskan genggaman tangan mereka, Aisyah makin yakin dengan dugaannya.Dia menatap dingin pada mereka, seolah olah meminta penjelasan dari mereka. Padahal dalam hatinya, dia cukup tersenyum senang.Pernah bahkan seringkali malah, Aisyah mengkhawatirkan Putranya itu.Memikirkan Kapan Elang akan menyusul adiknya? Mengkhawatirkan, Apakah ada yang mau menerima Elang yang pernah berada di dunia gelap?Adakah keluarga yang mau dengan tulus menerima Elang, seperti keluarga Albarez yang bisa menerima Zha dengan tulus?Begitu banyak kekhawatiran Aisyah saat merenungkan nasib percintaan Putranya kelak. Tapi ketika melihat apa yang ada di hadapannya itu, hatinya mendadak lega seketika.Alexa!Benar! Gadis itu sangat tepat untuk Putranya.
Pagi berikutnya,Elang mengajak Alexa untuk menemui Ibunya.Sebelum datang berkunjung, Elang terlebih dulu menghubungi Aisyah.Elang sedikit terkejut saat Ibunya mengatakan jika Ibunya sekarang sudah pindah dan tinggal di rumah utama. Memang benar, Aisyah sekarang tinggal bersama beberapa orang pelayan dan anak buahnya di Rumah Besar milik Tuan Glendale.Sudah ada satu bulanan dia tinggal disini. Sebenarnya dia tidak ingin lagi masuk ke rumah ini. Mengingat begitu banyak kenangan pahit yang pernah terjadi di rumah ini. Tetapi entah kenapa, pada akhirnya dia sendiri memutuskan untuk tinggal disini.Atau mungkin Aisyah hanya ingin mengingat semua kenangan masa lalu.Disinilah dia dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan kelembutan oleh kedua orang tuanya. Meskipun pada saat itu dia tahu jika kedua orang tuanya, Ayah dan Ibunya itu bukanlah orang tua biasa seperti orang tua teman temannya. Tapi orang tuanya adalah seorang ketua mafia. Aisyah sadar jika dirinya adalah pu
Ketika mendengar Elang mengatakan kata kencan, Alexa tidak bisa untuk tidak membulatkan kedua matanya. Tentu saja dia terkejut, "Apa yang kamu katakan Elang? Kencan? Siapa yang kencan?"Elang belum menjawab, dia malah tertawa kecil terlebih dahulu, kemudian berkata, "Yang kencan ya kita, memang kenapa? Aku mengajakmu keluar untuk kencan. Kamu keberatan?"Sumpah demi apapun, saat ini wajah Alexa memerah. Jantungnya berdegup keras. Dia langsung merasa gugup.Biasanya dia akan diajak keluar oleh Elang untuk melakukan sebuah pekerjaan. Kalau dulu saat dia masih berada di Klan Selatan, dia hanya tahu, keluar hanya untuk menyelesaikan misi. Jadi bagaimana dia tidak gugup, saat tiba tiba saja Elang mengatakan jika akan berkencan dengan dirinya?Sungguh, hati gadis ini merasa seperti terbang diatas awan."Hei, kenapa malah melamun? Kamu keberatan ku ajak pergi kencan?" Elang bertanya lagi, itu membuat Alexa tersentak dari lamunannya. Wajahnya semakin memerah."Bukan begitu. Tapi aku, aku han
Saat ini Halilintar masih bersama Zha di kamar Mereka. Mereka melepaskan rindu dan keresahan hati mereka yang sempat mereka rasakan tadi. Beberapa saat kemudian Zha menanyakan Zhilan dan Zhelin padq Halilintar."Apa Mereka rewel dan membuatmu kewalahan Hal?" Zha bertanya.Halilintar menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, "Tidak Zha. Apa kamu tahu, Mereka sangatlah pengertian. Mereka sama sekali tidak rewel, seperti tahu jika orang tuanya sedang ada masalah.""Sungguh kah?" Zha senang mendengarnya dan segera menghampiri Ranjang si kembar. Dia menatap dua putri kembarnya yang masih terlelap.Zha mengambil Zhilan dan menggendong bayi itu. Mata Zha berkaca-kaca. Dia bersyukur bisa kembali lagi kesini. Hampir saja dia tidak bisa melihat tumbuh kembang mereka, jika saja Victor membawanya ke kantor polisi dan dia di penjara.Kehidupan Mereka akan jauh lebih menyedihkan dibanding hidup Zha. Mereka akan mendengar jika lahir dari seorang wanita pembunuh dan kini ibunya mendekam di penjara.
Halilintar masih seperti tidak percaya dengan apa yang ia lihat. "Zha! Benarkah ini kamu? Atau aku hanya sedang bermimpi?" Halilintar merasa jika ini mungkin hanyalah mimpi karena dia terlalu memikirkan Zha seharian ini. Tapi dia tersentak dan sadar ketika Zha menyentuh pipinya dan bersuara."Hall! Ini aku. Aku telah kembali untuk kalian." Zha mengusap air mata pria itu yang masih membekas di sana.Halilintar tercengang lalu segera berteriak,"Zha.." Halilintar menarik kasar tubuh Zha dan memeluknya dengan begitu erat."Kamu kembali untuk kami? Benarkah ini?" tanya Halilintar di sela isakannya seperti tidak percaya dengan semua ini."Maafkan aku yang sudah berniat meninggalkan kalian. Aku tidak akan pergi lagi Hall. Mulai sekarang aku akan disisi kalian." jawab Zha juga ikut terisak di pelukan suaminya.Halilintar menarik tubuh Zha yang tampak lemas kedalam kamar. Lalu membawanya duduk di sofa. Berkali kali mengusap wajah istrinya dan menghujaninya dengan kecupan hangat."Ceritakan p
Tidak ada yang tidak terkejut dengan ucapan Aisyah barusan saat dia memerintah Elang untuk mengumpulkan anak buah Zha dari Poison Of Death dan dari anak buah klan Selatan milik almarhum Ardogama dulu.Semua orang terkejut, terlebih lagi Elang. Dia tidak menyangka jika Ibunya akan berkata demikian dan bahkan berpikir hingga sejauh itu.Elang masih merasa tak percaya dan langsung mengguncang bahu ibunya."Ibu, apa yang kamu bicarakan? Ibu tidak boleh melakukan itu. Kita tidak boleh membangun kembali Klan Jangkar Perak. Aku juga tidak mau mengingkari janjiku pada Ayah!" ucap Elang."Tapi keadaan ini terdesak Elang. Kita harus menyelamatkan adikmu. Apa kamu mau adik kamu Zha membusuk di penjara?" tegas Aisyah.Elang menggelengkan kepala, "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan mengeluarkan Zha dari penjara Bu, percayalah. Tapi jika untuk membangun Klan Jangkar Perak kembali, aku tidak setuju. Zha juga pasti akan kecewa pada kita, jika kita melakukan itu." balas Elang. Saat ini,
Kedua pria bapak beranak itu telah melangkah meskipun dengan perasaan yang mulai tidak tenang dengan kedatangan Victor kali ini.Aaron maupun Halilintar sama sama menatap Victor yang sudah berdiri di depan pintu, dan yang membuat mereka semakin tidak tenang adalah kali ini Victor datang tidak sendiri melainkan ada tiga polisi di belakang Victor.Victor memberi salam, mengangguk hormat dan melangkah, "Selamat siang Tuan Aaron Albarez dan Halilintar. Maaf jika kami mengganggu waktu kalian." ucap Victor."Selamat siang juga detektif Victor. Silahkan masuk." sahut Aaron. Meskipun Victor adalah anak dari Kim, tetapi Aaron sangat menghormati karena pria muda yang berdiri di hadapannya itu adalah Seorang Detektif. Victor juga sangat menghormati keluarga ini, mungkin jika bukan karena tugas dan bukan karena tanggung jawabnya mungkin saat ini Victor pun tidak akan ada disini dengan membawa Sebuah kepentingan seperti ini. Sebelum datang kemari hari ini, Victor juga sempat Dilema. Tetapi ini
Setelah beberapa saat Halilintar berbicara pada Zha, Dokter meminta izin untuk memeriksa keadaan Zha kembali guna memastikan keadaan Zha.Mereka menyingkir, memberi ruang untuk dokter dan Tim. Zha diperiksa kembali, pemeriksaan yang sangat teliti. Dan Dokter tidak menemukan hal yang perlu dikhawatirkan lagi. Keadaan kondisi Zha dinyatakan telah membaik.Semua orang bernafas lega sekarang. Dokter juga bernafas lega. Dia merasa seperti telah terlepas dari rantai besi yang membelenggu lehernya. Segera memberi perintah pada tim untuk memindahkan Zha ke ruangan rawat inap.Setelah Zha sudah dipindahkan, Dokter berpamitan. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi pada keadaan Nona Zha. Jadi kalau begitu, saya akan permisi. Saya akan tetap kembali lagi secara rutin untuk memeriksa kembali perkembangan kesehatan Nona Zha dengan berkala." dokter berkata pada mereka khususnya pada Halilintar.Halilintar mengangguk, "Terima kasih Dokter, atas semua usaha kalian. Benar benar terima kasih."Dok
"Dokter..! Dokter.! Apa yang terjadi pada istri ku? Buka .!!!" Halilintar menggedor gedor pintu.Tidak ada yang mempedulikan Halilintar meskipun dia sudah berteriak kencang dan menggedor gedor pintu. Tim Dokter didalam sana sedang bekerja seoptimal mungkin untuk melakukan transfusi darah pada Zha dengan memburu waktu yang tersisa."Hall, tenanglah. Mereka sedang berusaha. Jangan mengganggu konsentrasinya tim dokter. Istrimu pasti baik baik saja. Ayo kembali." Aaron lagi lagi berusaha untuk menenangkan hati Putranya, kemudian menarik tangan Halilintar kembali ke bangku panjang."Pa, pasti terjadi sesuatu pada Zha Pa.! Mereka semua terlihat panik!" kata Halilintar."Tidak Hall, mereka sedang mengejar sisa waktu yang dimiliki Zha. Bisakah kau berpikir jernih dulu dan jangan selalu berprasangka buruk?!!" tegas Aaron, membuat Halilintar mendongak menatap wajah Ayahnya."Maafkan aku Pa, aku sungguh panik." jawab Halilintar mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.Aaron tahu jika H