Erina menutup lemari. Dia kembali mengingat, jika mempunyai banyak pertanyaan di hati mengenai Boneka itu. Pertanyaan yang belum sempat mendapatkan jawaban sampai detik ini. Meskipun boneka itu miliknya, Erina tidak dapat mengingat boneka itu didapatkan dari mana. Erina tidak tahu apa apa, yang dia tahu hanyalah, jika keluarga Handoyo sudah membesarkannya. Dia adalah anak pembawa sial! Hanya itu yang sering dia dengar dari umpatan Ibu padanya. Handoyo harus kehilangan banyak uang demi kesembuhan Erina saat Koma. Handoyo duduk di kursi roda sekarang dan Erina yang disalahkan. Ibu, Alika dan Lena membencinya. Dia dianggap anak pembawa sial.Erina hanya bisa memegang dadanya, merasakan nyeri di hatinya mengingat betapa banyak kesulitan yang harus dijalani. Bahkan sampai detik ini, sepertinya kesulitan akan terus berlanjut. Pintu dibuka seseorang membuat Erina terkejut. Fic melangkah masuk dengan wajah yang datar."Mana Cincinnya, boleh aku melihat?" Erina mengangguk, menarik laci d
Erina terbangun di pagi hari. Melirik kasur sebelahnya yang sudah kosong. Menatap dahulu bajunya. Ini masih lengkap. Lalu meraba tubuhnya." Semalam, tidak terjadi apa apa padaku kan?"Erina terkejut saat mendengar pintu kamar mandi terbuka."Nyonya? Anda sudah bangun?" Melan keluar dari kamar mandi."Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Mari silahkan." "Seharusnya tidak perlu serepot itu." Erina beranjak dari Ranjang."Itu sudah menjadi tugasku, atau aku akan kehilangan pekerjaan." Erina menoleh. "Benarkah akan seperti itu?""Tentu saja. Maka biarkan aku melayanimu Nyonya." Erina hanya menarik nafas, dan masuk ke kamar mandi. "Dasar orang kaya." Dia mengeluh sambil memulai mandi.Usai mandi Erina masih melihat Melan berdiri disana. "Silahkan Nyonya."Apalagi ini? Melan mengambilkan pakaian kerja Erina bahkan pakaian dalamnya. "Biarkan aku sendiri!" Erina merasa tidak enak, saat Melan hendak membantu. Melan mengangguk, lalu mengambil sepatu.Erina bertanya ketika sepatu yang d
Fic melirik keluar, melihat Jefri yang masih menunggu seseorang. Melan terlihat berlari menghampiri Jefri, mengulurkan sesuatu pada Jefri yang langsung menyimpannya di balik jasnya. Jefri segera menyusul Fic ke dalam mobil dan tanpa menunggu perintah Sang Sekretaris itu menjalankan mobil.Sebenarnya jalan ke kantor mereka dan Stasiun Televisi tempat Erina bekerja tidaklah searah, tapi Jefri sengaja menuju tempat Erina bekerja terlebih dahulu.Sepanjang perjalanan tidak ada suara dari mereka bertiga selain hanya kesunyian. Erina sesekali melirik wajah datar Fic yang seperti acuh tak acuh itu. Begitu banyak keraguan yang menumpuk di hati Erina. Tentang pengakuan Fic yang menyukai dirinya, Erina bahkan tidak percaya sedikitpun. Sikap Fic yang berubah ubah. Tiba tiba dingin, tiba tiba lembut dan kemudian kembali acuh tak acuh.Jefri Menghentikan mobil lebih jauh dari depan Stasiun Televisi."Turunlah. Kami akan menjemput mu lagi nanti. Jadi jangan naik Taksi." Suara Fic terdengar memberi
Sebenarnya ini belum jam pulang, tapi Oca dan Melda sudah bersiap untuk pulang. Dengan minggir melipir tanpa sepengetahuan Erina. Hanya berpamitan dengan Bos dan mengatakan jika ada sesuatu yang mengharuskan mereka pulang lebih awal. Bos mengiyakan saja.Sekarang ini mereka sudah duduk di dalam sebuah Restoran yang cukup megah. Beberapa pelayan sibuk menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka. Mereka sampai kebingungan."Eh, ini pesanan siapa? Kami tidak memesan!" Melda berbicara cukup keras. Bukan masalah siapa yang memesan, mereka lebih khawatir kepada harga makanan dan minuman di restoran ini. Itu pasti sangat mahal!"Ini pesanan Tuan Itu, spesial untuk Nona berdua." Pelayan wanita menunjuk dengan hormat kepada seseorang yang baru saja masuk.Oca seketika berdiri. "Itu Sekretarisnya Presdir Albarez! Astaga Melda, dia benar benar menemui kita!" Melda langsung menarik Lengan Oca agar duduk kembali. "Suaramu bodoh! Ini memalukan!" "Eh, iya maaf. Aku terkejut. Bagaimana penampilank
Jefri baru saja datang dan ingin menemui Fic. Tetapi saat dia melangkah menuju pintu Ruangan Presdir, dia melihat seorang Pria yang tidak asing baginya sedang berjalan menghampirinya."Apa Tuan Muda Albarez ada?""Tuan Muda Mahendra. Tuan Fic ada di Ruangannya, tetapi.." Mahendra mendorong tubuh Jefri yang menghalangi langkahnya. "Aku sudah mengabarinya jika akan berkunjung. Jadi, MINGGIRLAH!"Sebenarnya Jefri sudah berniat untuk menarik dan mengusir Mahendra dari sini, tetapi pintu sudah terbuka dan Fic terlihat berdiri disana."Wah, Tuan muda Albarez! Sepertinya kau terlihat lebih baik sekarang." "Jika hanya ingin mencari keributan, sebaiknya kau pergi saja." Fic hendak menutup pintu tetapi Mahendra menahannya dan ikut melangkah masuk. Jefri sendiri sengaja menunggu di luar pintu."Aku mendengar kabar jika Tuan Muda Albarez sudah menikah. Benar begitu?""Apa pedulimu!" Hanya itu jawaban dari Fic, lalu kembali sibuk dengan Laptopnya."Miris sekali. Kau bahkan tidak mengadakan pes
Jefri membukakan pintu kamar. Lalu segera pergi setelah menutup pintu. Menyerahkan semua urusan kepada Fic saja. Fic membaringkan tubuh Erina dengan hati hati. Fic tidak peduli lagi dengan jantungnya yang berdegup saat harus membuka satu persatu pakaian gadis itu.Fic berusaha secepat mungkin mengganti pakaian Erina yang basah, dan berusaha untuk menghindari pandangan matanya. "Erina. Sadarlah." Fic mengusap usap telapak tangan Erina dengan kedua tangannya agar hangat.Terdengar pintu dibuka. Fic menoleh. "Tuan. Bagaimana keadaannya?" Jefri sudah melangkah masuk."Dia belum sadar.""Apa perlu memanggil Dokter?""Besok pagi saja. Ini sudah terlalu malam. Biarkan Erina beristirahat dulu."Jefri hanya mengangguk, kemudian melangkah menuju Sofa. Fic yang melihat itu mengikuti."Bagaimana?" Fic duduk di hadapannya."Beberapa hari lagi, Dokter akan memberi kabar." Fic terdengar menarik nafas resah. Kemudian dia bertanya lagi mengenai pertemuan Jefri dengan kedua teman Erina tadi. Jefri
Pagi sudah merambat ke siang. Walaupun begitu tidak ada satupun yang berani mengetuk pintu Kamar Fic. Sedangkan Dua orang di dalam sana masih tertidur. Lalu terlihat Erina mulai membuka matanya perlahan. Dia merasakan Ada sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya. Erina menoleh, menyadari jika semalam dia sampai terlelap di dekapan Fic. Erina menyisihkan tangan Fic dan bangun dengan sangat pelan. Erina memandangi wajah Pria yang masih pulas itu. Wajah itu terlihat polos jika dalam keadaan tidur seperti ini, begitu sangat manis dalam pandangan Erina berbeda sekali saat dia dalam keadaan tidak tidur.Jangan pergi lagi! Erina teringat kata kata terakhir Fic sebelum berangkat tidur. Sebenarnya dia sempat bertanya, tetapi Fic sudah tertidur begitu saja. Erina tidak ingin memikirkan hal itu karena menganggap jika Fic hanyalah mengigau. Erina terkejut saat melihat Jam sudah lebih dari pukul Sembilan. Dia segera beranjak dan pergi mandi. Kali ini dia tidak lupa, membawa sekalian pakaia
Melan masuk untuk mengambil bekas makanan mereka. Sementara Fic menyiapkan obat untuk Erina. "Jika kamu tidak mau ke Rumah sakit' atau Dokter kemari, beristirahat saja. Aku akan bekerja di kamar ini sambil menemanimu."Erina hanya mengangguk saja, kemudian melangkah untuk mengganti pakaian kantornya dengan pakaian biasa. Itu dilakukan Erina di dalam kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, Erina melihat Fic sudah membuka Laptop di atas meja. Erina menghampiri dan duduk di sampingnya. Tangan Fic begitu terlihat lincah. Lalu pandangan Erina beralih ke wajah pria itu. Dia sangat tampan. Pelan pelan, ada rasa terpesona dihati Erina, kemudian Erina merasa bersyukur. Bagaimana tidak, semua ini seperti sebuah anugerah. Dia dipertemukan dan mendadak menikah dengan Pria yang begitu tampan dan kaya raya seperti ini.Mana mungkin ada wanita yang akan menolak menjadi Istrinya? Tetapi Erina masih saja ragu. Pasti ada alasan kuat mengapa Fic bisa menikahinya. Lalu dia kembali teringat tentang k