Jangan lupa tinggalkan komentar, dan juga follow akun IG @popy--yanni untuk melihat visual Rania dan Devan.
Rania panik, juga kalut, mendapati Devan dan juga Dion, yang saling adu jotos hanya karena diri nya. Rania meneriaki kedua pria itu. "Aku mohon hentikan---!" teriaknya histeris, marah, kecewa, sedih, melebur jadi satu menyelimuti wajah wanita berambut hitam legam itu. Suara teriakkan Rania memalingkan wajah Devan juga Dion, pada asal suara. Amarah yang meletup-letup di dalam diri kedua pria itu menguap. Namun, sekejap mimik wajah kedua nya berubah saat mendapati Rania yang tiba-tiba meringis sembari menyentuh perut nya, Dion dan Devan segera menghampiri. "Rania, kau baik-baik saja?" tanya Dion, panik juga khawatir sudah menyelimuti wajah pria itu. Dion segera memegang tangan Rania dengan posesif, dan apa yang pria itu lakukan membuat Devan yang berada di sebelah nya begitu terbakar oleh api cemburu. Pria itu nampak tidak terima dengan apa yang Dion lakukan pada Rania. "Jangan menyentuh nya!" hardik Devan dengan nada penuh emosi, dengan kasar pria itu melepaskan genggaman tang
Wijaya Group Berdiri, dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celana--Devan tengah menikmati keindahan kota J disiang hari yang dihiasi gedung-gedung pencakar langit. Lama menatap, membawa pikiran Devan pada kejadian kemarin. "Bagaimana cara nya, aku harus bisa meyakinkan Rania--kalau aku benar-benar ingin kembali bersama nya," gumam Devan. Devan kembali termenung, larut dalam dunia nya sendiri. Dan, itu kembali menghantarkan ingatan pria itu pada perkatan Dion kemarin. Saya tulus mencintai Rania, dan ingin menikahinya. Devan mengusap wajah nya kasar, semakin frustasi membayangkan jika Dion benar-benar menikahi Rania dan tentu pria itu akan menjadi ayah dari anaknya nanti. "Tidak! Dion tidak boleh menikahi Rania, dan kalau dia menikahi Rania tentunya, anakku akan mengenal Dion sebagai ayah nya, bukan aku!" gerutu Devan, pria itu segera berbalik menghampiri meja kerja-Devan mengambil jas yang menggelantung membalutkan ke tubuh, dan berlalu pergi dari dalam ruangan set
"Tidak!" Sarah bersuara dengan tegas, "Pernikahan ini akan tetap berlanjut!" lanjut Sarah dengan suara bergetar menahan tangis, bola mata nya pun telah berkaca-kaca.Devan mendesahkan napas nya kasar, pria itu nampak frustasi dengan penolakan dari Sarah. Dia bingung--bagaimana cara nya meyakinakan wanita itu agar mau mengakhiri hubungan mereka. "Rania sedang mengandung Sarah, dia jauh lebih membutukan aku dibandingkan diri mu!" Suara Devan sudah merangkak naik, wajah nya mengeras--iris hitam Devan telah menggelap akan emosi yang sudah ada. Sarah terkekeh--tertahan, ada rasa menggelitik-ada pula perasaan marah. Hatinya semakin berkeping-keping, air mata yang ditahan nya kuat-kuat kini sudah meluncur membasahi kedua pipi nya. "Terus, bagaimana dengan diri-ku, Devan---? Bagaimana dengan diriku?" ujar Sarah dengan setengah teriakkan, butir-butir bening itu semakin saja deras mengalir. Wajah Devan kian mengeras, keras kepala Sarah yang tetap ingin mempertahankan hubungan ini membuat De
Ada perasaan kaget, ada juga perasaan menggelitik yang terselip, Deni seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Seorang Devan Wijaya yang selalu mengutamakan harga diri di atas segalahnya, kini bersimpu--memohon cinta di depan wanita yang merupakan saudari nya. "Kasian juga Tuan Devan. Dia begitu mencintai Rania, namun--terpaksa harus berpisah akibat ulah kakek nya sendiri," gumam Deni, wajah pria itu telah berubah sendu, dia menatap iba pada Tuan nya itu. Sementara Devan, pria itu masih setia berlutut--memohon agar Rania mau kembali bersama nya. "Aku-mohon, Rania--kembalilah bersamaku. Setidak nya lakukanlah ini demi anak kita," ujar Devan dengan lirih, pria itu memelaskan wajah--menatap Rania dengan penuh harap. "Kita sudah bercerai-Devan, apakah kau lupa itu?! Lagi pula, kau dan Sarah akan menikah!" tukas Rania dengan nada penuh amarah, akan melangkah masuk ke dalam rumah, namun-cekalan tangan Devan menghentikan alunan langkah kaki wanita itu. "Tidak akan pernah a
Seperti tidak percaya dengan apa yang dia dengar--mimik wajah papa Akio berubah kaget setelah mendengar kalimat yang baru saja mengalir dari mulut anak perempuannya--Rania."Kau, ingin pergi dari sini?" tanya papa Akio yang kembali memastikan ucapan putrinya itu.Menunduk, Rania mengangguk pelan--berusaha menyembunyikan kesedihan di wajah. Dia benar-benar ingin pergi sejauh mungkin, dan memulai kehidupan yang baru bersama anak nya nanti."Katakan. Apakah, ini karena Devan?" tanya papa Akio setelah sekian detik lama nya, iris hitam pria Jepang itu begitu dalam dan tajam menatap Rania yang masih setia menundukkan wajah nya. Rania menengadah--manik hitam legam nya--begitu lekat-lekat menatap bola mata sipit papa Akio setelah mendengar pertanyaan yang baru saja dia layangkan. "Aku hanya ingin memulai kehidupan yang baru bersama anakku, itu saja!" Rania bersuara dengan tegas, sebisa mungkin dia menyembunyikan kesedihan di wajah.Papa Akio bergeming, sembari mendesahkan napas nya berat. S
Beberapa hari kemudianSebuah mobil mewah melaju pelan--memasuki pekarangan rumah yang ditempati Rania. Mendapati kondisi rumah yang dalam keadaan gelap, membuat mimik wajah Devan berubah seketika."Seperti nya Rania, tidak ada-Tuan," ujar Deni memberitahu, sembari menatap Tuan nya dari kaca spion dalam mobil.Devan bergeming--namun pandangan itu tetap tertuju pada kediaman sederhana yang berada di depan nya. Membuka pintu mobil, pria itu segera berlalu dari dalam. Melangkahkan kaki nya dengan pelan, dalam diri Devan telah dipenuhi berbagai tanda tanya. Rania sedang bepergian sebentar? Atau, kembali bersembunyi dari nya. "Apakah, dia pernah menghubungi mu sebelum nya?" tanya Devan tiba-tiba. "Saya dan Rania, terakhir berkomunikasi dua hari yang lalu.""Coba, kau hubungi dia!" titah Devan tegas, dan langsung di iyakan oleh pria itu. Melakukan panggilan ke luar pada Rania, namun--kekecewaan harus Deni terima sebab nomor telepone milik Rania tidak aktif. "Rania,
Berkali-kali Sarah menghapus jejak pena, saat jari-jari lentik itu menggoreskan di atas lembaran putih tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Suasana di dalam ruangan begitu khusuk, Sarah begitu fokus pada apa yang tengah dia lakukan, yaitu mendesain sebuah kalung yang akan dia luncurkan sebagai koleksi terbaru dari Sarah colection. Suara ketukkan menyapa pintu ruangan--Sarah yang tengah sibuk dengan kegiatan nya--seketika menengadah, dan membawa pandangan nya pada pintu ruangan. "Masuk---," ujar Sarah dengan setengah teriakkan, wanita itu kembali menunduk-menatap lembaran di atas meja. Suara pintu terbuka, Sarah mengangkat wajah dan mendapati kedatangan salah satu karyawan wanita nya. Wanita itu terperanjat, sebab karyawan nya datang dengan membawa sebuah bucket bunga mawar berwarna merah darah. "Dari Pak Devan?" tanya Sarah menebak, wanita cantik itu memperlambat setiap kata yang mengalir dari mulut nya. "Bukan Nona. Di sini tidak ada nama dari siapa pengirim nya," sahut
Hari ini adalah hari pernikahan seorang Devan Wijaya. Pernikahan kedua bagi Devan, namun yang pertama bagi Sarah. Tidak seperti pernikahan pertama nya yang ditutupi, dan tidak banyak orang yang mengetahuinya, kali ini berbeda. Hampir sebagian stasiun televisi menyiarkan pernikahan Sarah dan Devan yang dilangsungkan hari ini, dan pernikahan ini digelarkan secara meriah. Kediaman milik Rasty. "Papa----Mama-----," panggil Rasty dengan teriakkan, saat menonton sebuah berita di televisi pagi ini. "Ada apa, Rasty?" tanya mama Anita cepat, wajah itu nampak panik. "Iya, ada apa-Rasty? Apakah, ada sesuatu yang terjadi?" tanya papa Hendra--menatap putri nya dengan lamat-lamat. "Tuh!" ujar Sarah, sembari membuang pandangan nya ke arah televisi, dan apa yang wanita itu lakukan turut mengalihkan wajah kedua orang tua nya. "Devan, akan menikah hari ini?" gumam mama Anita. Terkejut, sembari memandang tidak percaya pada layar televisi. "Iya. Dia, akan menikahi tunangan nya hari ini," tut