"Apakah plat nomernya sama dengan yang saya kirim?""Tidak, Tuan."Mathew mengangguk. Kejadian memang kemarin, tapi baru hari ini Mathew mencari tahu. Sebetulnya sudah lebih dulu mengintrogasi sang istri, tapi tidak ada jawaban serius. Maka dari itu, bertanya pada Steven dan George pilihan tepat. Awalnya Mathew menerka serta menebak kalau cerita hampir terserempetnya Sheilla karena ulah orang-orang Xaview atau bahkan Maurena.Akan tetapi, jawaban Steven seperti mematahkan dugaan Mathew. Walaupun begitu, bukankah bisa saja mereka pakai kendaraan lain supaya aksinya lebih mulus?"Kalian hanya menjaga satu wanita, apa tidak bisa mengawal dengan sempurna? Beda hal jika aku meminta kalian mengawal lima atau sepuluh orang. Satu saja kalian keteteran, tidak sanggup?" Mathew menatap dua pria di depannya secara bergantian. Keduanya memang sudah mengaku salah serta meminta maaf, tapi tetap saja bagi Mathew mereka seperti menyepelekan."Baik, Tuan, setelah ini saya pastikan jika nona Sheilla aka
Seolah kehilangan sosok Sheilla yang biasanya, sejak turun mobil sampai masuk ke dalam area kantor Mathew terus dibuat heran oleh tingkah Sheilla. Bukan bergelayutan manja di tangan, bukan pula tiba-tiba menari. Tetapi dari pintu utama, setiap sapaan yang terlontar, wanita di sampingnya sangat niat membalas.Mathew tidak bilang itu tingkah buruk, hanya saja ... heranPintu lift terbuka, Sheilla lebih dulu masuk. Saking dibuatnya bingung Mathew sampai tidak sadar kalau Sheilla tidak menarik ujung jas hitam yang dia kenakan. Lebih cocok terlihat anak menarik ayah memang daripada menarik suami. Di dalam lift hanya ada mereka berdua, maka dari itu Sheilla yang masih dengan senyumnya leluasa menatap sang suami."Aku khawatir," celetuk Mathew."Khawatir? Khawatir apa? Apa dunia akan musnah?" Sheilla menerjap, menatap polos pria di depannya. Sejak perjalanan dari rumah Mathew memang sedikit berbeda di mata Sheilla. Bukan berbeda yang berubah bentuk menjadi hulk, tetapi lebih banyak diam.Jaw
'Memang kamu di mana, Sheil? Perlu aku jemput atau bagaimana? Kalau mau dijemput, aku bisa.''Aku tahu kantor Mathew dari Arvel.'Read.Dua balasan pesan baru itu hanya Sheilla baca. Bukan sombong atau bagaimana, tetapi otak dan hatinya tengah bimbang. Entahlah, rasanya Sheilla paling tidak bisa menolak keinginan orang lain, tetapi kalau dia nekat urusannya akan panjang dengan Mathew.Lalu ... harus Sheilla jawab apa pesan dari Maurena tadi?Layar ponsel meredup, Sheilla meletakkan benda pipih itu di atas meja. Karena tak ada keinginan untuk membalas, Sheilla memilih menghempas kembali punggungnya kesanggahan kursi. Entah kenapa tiba-tiba otak Sheilla berfikir negatif tentang Maurena. Awalnya Sheilla menganggap biasa, tetapi seiring berjalannya waktu, wanita itu terkesan ingin selalu mendekat.Padahal ... keduanya tidak ada history pertemuan di waktu dulu.Tok..tok..tok!Suara ketukan serta pintu terbuka membuat lamunan Sheilla buyar. Di ambang pintu sana berdiri sesosok pria lumayan
"Sudah aku bilang, dan apa perkataanku benar.""Hujan. Apa harus kita berangkat?"Sesaat terjadi keheningan. Sheilla yang merasa ocehannya tak dianggap sontak menoleh ke arah belakang. Di atas sofa empuk sana suaminya tengah duduk sambil menyeruput kopi miliknya. Tatapan keduanya beradu, akan tetapi sepertinya Mathew enggan menjawab."Kau tidak dengar aku?" Kedua mata Sheilla memicing menatap Mathew."Dari banyaknya pertanyaan, jawabannya hanya satu."Sheilla menerjap, otaknya berusaha menelaah jawaban sang suami barusan. Diam buat jengkel, bersuara membuat otak lag. Itulah Mathew di mata Sheilla saat ini. Sheilla yang sejak tadi berdiri di depan jendela kini menghampiri dan duduk di samping Mathew."Apa yang kau risaukan, Sheilla? Kita pergi naik mobil, bukan naik motor apa lagi jalan kaki. Apa naik mobil tetap kehujanan?"Hari ini memang hujan mengguyur cukup lama. Sejak pukul lima, sampai sekarang hampir jam sembilan hujan tidak berhenti. Suasana dingin seperti ini cocok dipakai un
Pemeriksaan sudah berlangsung selama sepuluh menit. Selama sepuluh menit itu pula Sheilla menangkap raut wajah serta senyum lebar dari dokter yang kini sedang menyentuh perutnya. Sebelum melakukan USG, Sheilla memang habis melakukan tes darah serta urin terlebih dahulu. Sheilla tidak menyangka jika kontrol kehamilan memang sepanjang ini.Setelah serangkaian tes serta pemeriksaan usai, Sheilla dibantu Mathew turun dari atas kasur. Jujur saja saat ini Sheilla sangat kepo dengan apa yang akan dokter katakan. Karena sejak tadi dokter cantik itu terus mengumbar senyum manis penuh arti. Tentu Sheilla penasaran.Kini Sheilla dan Mathew duduk menghadap dokter yang sedang menulis sesuatu di kertas. Selagi menunggu, Mathew tidak melepaskan genggamannya pada tangan Sheilla. Mathew juga yakin jika buah hatinya baik-baik saja di dalam perut sang istri.Tok..tok..tok!"Silahkan masuk."Bukan hanya sang dokter, Sheilla serta Mathew pun ikut menoloh ke arah pintu. Di sana seorang perawat berdiri, dia
"Aku ingin mundur.""Aku tidak mau mengorbankan nyawa, karna nyawaku lebih berharga."Suara decihan terdengar disusul gebrakan meja. Maurena yang sejak awal menekan diri agar tidak terpancing emosi berusaha tetap tenang. Sudah dibilang, menghadapi manusia seperti pria di depannya perlu kesabaran super tebal."Berani kau membantah perintahku, Maurena?""Kenapa harus tidak berani? Aku tidak mau ikut campur, kau bisa menyuruh orang lain selain diriku!" sahut Maurena. Bukan apa-apa, sebagai seorang wanita, insting Maurena mengatakan situasi dirinya mulai tidak aman.Beribu kata manis yang Xavier lontarkan tak lagi menenangkan. Lebih dari itu Maurena takut mati muda karena harus mengusik Mathew melalui Sheilla. Selain itu, selama kenal Sheilla, wanita itu sangat baik. Tanpa menunggu sahutan lainnya Maurena pergi meninggalkan ruangan.Saat membuka pintu Maurena dibuat kaget mendengar suara gebrakan di belakang. Tidak perlu menoleh, dia sudah tahu barang apa yang Xavier tendang. Tapi sudahla
Sepuluh panggilan tak terjawab from : Sheilla Watson.Tubuh baru duduk, punggung baru bersandar, kening Daisy mengerut membaca deretan notifikasi di layar ponsel miliknya. Bukan hanya panggilan, beberapa pesan pun masuk secara beruntut. Bukan berniat acuh apa lagi mengulang kesalahan masalalu, hanya saja sejak kemarin Daisy tak sempat membuka ponsel.Pekerjaan banyak plus menumpuk membuatnya lupa dengan benda pipih itu.Sebelum membalas deretan pesan sang putri, Daisy kembali bangkit lalu berjalan menuju dapur. Diambilnya dua minuman kaleng dingin, setelah itu dia kembali duduk manis di sofa. Alih-alih membalas, Daisy langsung menelepon Sheilla untuk bertanya langsung.Panggilan pertama tidak ada respon, tetapi Daisy tetap mencoba sampai tiga kali. Tiga panggilan yang tidak digubris membuat Daisy menjeda untuk mencoba lagi. Selagi menunggu, jari-jari Daisy berkelana membaca berita yang sedang viral. Dari banyaknya berita ada salah satu yang buat Daisy kaget.Salah satu berita itu men
"Mamahmu tadi telepon. Memang ada apa? Kenapa kau tidak mengangkat panggilannya? Bukannya sejak kemarin kau terus meneleponnya?"Tanpa menghentikan gerakan tangannya Sheilla mengangkat wajah lalu menoleh ke arah samping. Seperti hari-hari biasanya, mau sarapan atau makan malam mereka hanya berdua. Walaupun kelihatannya sepi, tetapi keduanya tidak ambil pusing.Merasa tak mendapat jawaban Mathew pun menoleh. Keduanya yang sama-sama menoleh membuat tatapan mereka beradu. Sebelah alis Mathew terangkat, dia menunggu apa jawaban sang istri. Karena rasanya tak mungkin Sheilla tak mendengar."Tidak mau menjawab? Masih kesal soal kepulanganku yang telat? Kal–""Aku hanya kesal sama Mama. Sedikit, sih, tapi, tetap saja kesal. Kau tahu sendiri sejak kemarin aku berusaha menghubungi tetapi tidak ada respon. Tadi, sekalinya direspon Mama nanya ada apa. Terus katanya tumben. Loh, memang aku salah, Math kalau menelepon tanpa ada hal urgent?" Garpu serta sendok yang tadi Sheilla genggam dia letakkan