"Sudah aku bilang, dan apa perkataanku benar.""Hujan. Apa harus kita berangkat?"Sesaat terjadi keheningan. Sheilla yang merasa ocehannya tak dianggap sontak menoleh ke arah belakang. Di atas sofa empuk sana suaminya tengah duduk sambil menyeruput kopi miliknya. Tatapan keduanya beradu, akan tetapi sepertinya Mathew enggan menjawab."Kau tidak dengar aku?" Kedua mata Sheilla memicing menatap Mathew."Dari banyaknya pertanyaan, jawabannya hanya satu."Sheilla menerjap, otaknya berusaha menelaah jawaban sang suami barusan. Diam buat jengkel, bersuara membuat otak lag. Itulah Mathew di mata Sheilla saat ini. Sheilla yang sejak tadi berdiri di depan jendela kini menghampiri dan duduk di samping Mathew."Apa yang kau risaukan, Sheilla? Kita pergi naik mobil, bukan naik motor apa lagi jalan kaki. Apa naik mobil tetap kehujanan?"Hari ini memang hujan mengguyur cukup lama. Sejak pukul lima, sampai sekarang hampir jam sembilan hujan tidak berhenti. Suasana dingin seperti ini cocok dipakai un
Pemeriksaan sudah berlangsung selama sepuluh menit. Selama sepuluh menit itu pula Sheilla menangkap raut wajah serta senyum lebar dari dokter yang kini sedang menyentuh perutnya. Sebelum melakukan USG, Sheilla memang habis melakukan tes darah serta urin terlebih dahulu. Sheilla tidak menyangka jika kontrol kehamilan memang sepanjang ini.Setelah serangkaian tes serta pemeriksaan usai, Sheilla dibantu Mathew turun dari atas kasur. Jujur saja saat ini Sheilla sangat kepo dengan apa yang akan dokter katakan. Karena sejak tadi dokter cantik itu terus mengumbar senyum manis penuh arti. Tentu Sheilla penasaran.Kini Sheilla dan Mathew duduk menghadap dokter yang sedang menulis sesuatu di kertas. Selagi menunggu, Mathew tidak melepaskan genggamannya pada tangan Sheilla. Mathew juga yakin jika buah hatinya baik-baik saja di dalam perut sang istri.Tok..tok..tok!"Silahkan masuk."Bukan hanya sang dokter, Sheilla serta Mathew pun ikut menoloh ke arah pintu. Di sana seorang perawat berdiri, dia
"Aku ingin mundur.""Aku tidak mau mengorbankan nyawa, karna nyawaku lebih berharga."Suara decihan terdengar disusul gebrakan meja. Maurena yang sejak awal menekan diri agar tidak terpancing emosi berusaha tetap tenang. Sudah dibilang, menghadapi manusia seperti pria di depannya perlu kesabaran super tebal."Berani kau membantah perintahku, Maurena?""Kenapa harus tidak berani? Aku tidak mau ikut campur, kau bisa menyuruh orang lain selain diriku!" sahut Maurena. Bukan apa-apa, sebagai seorang wanita, insting Maurena mengatakan situasi dirinya mulai tidak aman.Beribu kata manis yang Xavier lontarkan tak lagi menenangkan. Lebih dari itu Maurena takut mati muda karena harus mengusik Mathew melalui Sheilla. Selain itu, selama kenal Sheilla, wanita itu sangat baik. Tanpa menunggu sahutan lainnya Maurena pergi meninggalkan ruangan.Saat membuka pintu Maurena dibuat kaget mendengar suara gebrakan di belakang. Tidak perlu menoleh, dia sudah tahu barang apa yang Xavier tendang. Tapi sudahla
Sepuluh panggilan tak terjawab from : Sheilla Watson.Tubuh baru duduk, punggung baru bersandar, kening Daisy mengerut membaca deretan notifikasi di layar ponsel miliknya. Bukan hanya panggilan, beberapa pesan pun masuk secara beruntut. Bukan berniat acuh apa lagi mengulang kesalahan masalalu, hanya saja sejak kemarin Daisy tak sempat membuka ponsel.Pekerjaan banyak plus menumpuk membuatnya lupa dengan benda pipih itu.Sebelum membalas deretan pesan sang putri, Daisy kembali bangkit lalu berjalan menuju dapur. Diambilnya dua minuman kaleng dingin, setelah itu dia kembali duduk manis di sofa. Alih-alih membalas, Daisy langsung menelepon Sheilla untuk bertanya langsung.Panggilan pertama tidak ada respon, tetapi Daisy tetap mencoba sampai tiga kali. Tiga panggilan yang tidak digubris membuat Daisy menjeda untuk mencoba lagi. Selagi menunggu, jari-jari Daisy berkelana membaca berita yang sedang viral. Dari banyaknya berita ada salah satu yang buat Daisy kaget.Salah satu berita itu men
"Mamahmu tadi telepon. Memang ada apa? Kenapa kau tidak mengangkat panggilannya? Bukannya sejak kemarin kau terus meneleponnya?"Tanpa menghentikan gerakan tangannya Sheilla mengangkat wajah lalu menoleh ke arah samping. Seperti hari-hari biasanya, mau sarapan atau makan malam mereka hanya berdua. Walaupun kelihatannya sepi, tetapi keduanya tidak ambil pusing.Merasa tak mendapat jawaban Mathew pun menoleh. Keduanya yang sama-sama menoleh membuat tatapan mereka beradu. Sebelah alis Mathew terangkat, dia menunggu apa jawaban sang istri. Karena rasanya tak mungkin Sheilla tak mendengar."Tidak mau menjawab? Masih kesal soal kepulanganku yang telat? Kal–""Aku hanya kesal sama Mama. Sedikit, sih, tapi, tetap saja kesal. Kau tahu sendiri sejak kemarin aku berusaha menghubungi tetapi tidak ada respon. Tadi, sekalinya direspon Mama nanya ada apa. Terus katanya tumben. Loh, memang aku salah, Math kalau menelepon tanpa ada hal urgent?" Garpu serta sendok yang tadi Sheilla genggam dia letakkan
Dini hari pagi ini Sheilla semakin sadar. Apa-apa yang keluar dari mulut Mathew memang tidak ada kata bercanda. Seperti beberapa jam sebelumnya, dia dibuat kewalahan karena melayani napsu sang suami. Walaupun tanpa diingatkan soal kandungan, pria itu tetap tidak perduli dan tetap melakukan apa yang hatinya mau.Jari telunjuk Sheilla terulur mengusap pelan hidung mancung milik Mathew. Sekilas Sheilla melirik jam, ternyata masih pukul tiga pagi. Tubuhnya memang lelah, tapi entah kenapa dia terbangun jam segini. Sedangkan Mathew ... wajahnya terlihat amat sangat damai. Apa dia sudah bermimpi jauh?Puas memandangi wajah suaminya tubuh Sheilla kembali terlentang, matanya menatap langit-langit atap kamar. Cukup lama Sheilla terdiam, setelah itu dia duduk. Niat hati ingin minum karena tenggorokannya kering, tetapi air di gelas sudah habis. Sheilla menghela napas, rasanya sangat enggan kalau turun ke bawah. Tapi kalau tidak ... mana sanggup kehausan sampai pagi?!Sheilla melirik Mathew bernia
"Kamu masih marah?""Lagipula, apa yang ha–oke, oke, Mama minta maaf."Lewat ekor mata Sheilla melirik ke arah depan, arah di mana sang mama tengah duduk santai. Saking santainya, wanita itu tetap melanjutkan makan makanan miliknya. Sheilla menghela napas, dia pun bingung dengan dirinya sendiri."Ini oleh-oleh buat kamu semua. Tapi tidak, ada untuk Mathew juga. Niatnya mau belikan untuk anakmu, tapi masih terlalu dini dan ... belum tahu jenis kelaminnya apa." Lagi, suara Daisy terdengar. "Nan–"BRAK!Belum selesai Daisy melanjutkan kata-katanya, dia sudah lebih dulu dibuat kaget oleh ulah Sheilla. Bukan menyahut atau mencela, tetapi gebrakan pada meja yang membuatnya kaget serta beberapa orang menoleh menatap keduanya."Astaga, Sheilla, kamu apa-apaan, sih? Mama sudah minta maaf, Mama mengaku salah. Memang tidak ada salahnya kamu telepon tanpa ada hal urgent." Tangan Daisy terulur, menarik pelan lengan Sheilla agar duduk kembali.Sheilla manut, tetapi kepalanya menggeleng membuat keni
Tiga bulan menjalani kehamilan mampu membuat Sheilla pengap. Masih terlalu dini memang, tapi entah kenapa rasa lelah sudah menghantui beberapa minggu belakangan. Walaupun begitu Sheilla masih bisa tersenyum karena pusat perhatian Mathew tertuju padanya. Jika kemarin-kemarin prioritasnya kantor, kali ini berbeda.Terkadang pula melihat perut yang tak lagi rata membuat Sheilla tidak menyangka. Ah, ternyata memang benar, kehamilannya itu asli.Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Jika biasanya Sheilla masih bergelut di dalam selimut, kali ini justru dia bagun lebih dulu daripada Mathew. Tubuhnya sudah wangi, sudah rapih pula walaupun tidak ada agenda ke luar rumah. Hampir sepuluh menit berlalu, tetapi Sheilla masih betah memandangi wajah Mathew. Pria itu masih terlelap damai karena semalam dia begadang mengerjakan kerjaannya.Tangan Sheilla terulur. Jari telunjuknya menoel pelan hidung mancung milik Mathew. Tak jarang Sheilla pun insecure kerena merasa suaminya itu lebih sempurna diba