"Jawab yang betul, apa kau hamil?"
"Sshh, aduh, sakit!"Suara decakan kembali terdengar, akan tetapi kegemasannya tidak langsung luruh. Disisa-sisa kesabaran yang ada Mathew semakin memojokkan tubuh Sheilla. Kedua tangan tercekal, tubuh terhimpit, membuat Sheilla mati langkah.Pria yang Sheilla hadapi memang bukan penjahat, bukan pula perampok. Akan tetapi, pria yang selama beberapa bulan ini resmi menjadi suami super posesifnya. Merasa tak punya celah, Sheilla menghela napas.Sejak kepulangannya dari Swiss–satu minggu yang lalu, Sheilla memang merasa ada keanehan pada tubuhnya. Berawal dari acuh, tidak menganggap pusing, tapi lusa kemarin dirinya sukses dibuat jantungan.Garis dua.Garis itulah yang tertera setelah Sheilla mendapat desakan dari Daisy untuk mengecek. Jika di luar sana banyak yang mendambakan moment ini tapi sayangnya tidak berlaku untuk Sheilla. Otaknya sudah pening, itu artinya saar mereka bulan madu, sudah ada janin yang berkembang.Melihat sang istri terdiam Mathew mengangkat dagunya. Tatapan mereka bertemu, detik kemudian cengiran Sheilla tak bisa ditahan lagi. Otak Sheilla sudah pening, sudah tidak bisa mikir, bahkan dia lelah menangis saat tahu Tuhan kembali mempercayainya untuk menjadi ibu."Kau....""Apa? Kau puas sekarang?" sahut Sheilla memotong ucapan Mathew. Rasanya memang sulit berkelit, ditambah Sheilla tahu kalau ini ulah Daisy. Padahal sejak awal Sheilla sudah mewanti-wanti untuk tutup mulut.Bukankah itu sangat menyebalkan?Seringai serta tatapan Mathew kembali membuat Sheilla mencak-mencak. Sepertinya memang hanya dia wanita yang tak mengharapkan anak dalam pernikahan. Persetan tidak tahu terima kasih, tetap saja Sheilla kesal."Lepas, menjauh dari tubuhku! Aku kesal, aku tidak mau lihat wajahmu!" Sebisa mungkin Sheilla melepaskan cekalan kuar di pergelangan tangannya. Entah sudah berapa lama, yang jelas cukup panas.Mendengar perintah itu tidak Mathew gubris. Alih-alih menuruti, pria itu justru mendaratkan beberapa kecupan di leher jenjang Sheilla. Akibat dari tindakan Mathew itu tubuh Sheilla bergeliat layaknya cacing kepanasan karena geli."Mathew, stop!""Jaga anakku baik-baik, tapi ada satu yang harus kau ingat, Sheilla," bisik Mathew tepat di telinga Sheilla. Sheilla tidak berkutik, dia menunggu apa yang akan pria itu katakan lagi.Sesaat suasana kamar berubah panas, padahal di depan sana cuaca sangat mendung."Hamil bukan alasan kau tidak bisa melayaniku."Glek!Perkataan singkat, jelas, padat."Awas!" Hempasan keras Sheilla, lalu disusul dorongan, membuat tubuh Mathew menjauh darinya. Seperti biasa, kekesalan Sheilla selalu berbanding terbalik dengan Mathew. Pria itu kini tertawa sembari bersedekap dada.Satu langkah Mathew mundur, akan tetapi tatapannya masih terus tertuju pada wanita cantik di depannya. Ditatap lekat dari atas sampai bawah sontak membuatnya salah tingkah. Sial memang, tidak seharusnya Sheilla merasakan itu."Layani aku malam ini, pakai pakaian yang menantang. Tenang, semua sudah aku siapkan, kau tinggal eksekusi." Mathew mengedipkan matanya. Setelah mengatakan itu Mathew berlalu ke luar dari kamar. Bukan marah, hanya saja dia enggan terkena omelan sang istri.Mulut Sheilla mengatup, tangannya tanpa sadar mengusap perut ratanya. Kalau otaknya tidak salah ingat, saat ini kandungannya masuk tujuh minggu."Oh, ayolah, apa ada bayi di perutku? Apa aku akan jadi ibu seperti mama?" Sheilla berugam frustasi.Menikah, hamil, jadi ibu.Astaga, mimpi buruk!***"Jadi, semua sudah deal?"Dua pria berpakaian formal kompak mengangguk. Salah satu dari mereka mematikan layar laptop, lalu fokus pada pembahasan. Sangat lelah sebetulnya, akan tetapi dia juga tahu yang kini dihadapi bosnya."Untuk material, semua aman ya?""Sampai saat ini semuanya aman, Tuan."Senyum puas Mathew terpancar. Orang-orang di kantornya memang orang terpecaya plus bisa diandalkan satu sama lain. Seharusnya hari ini Mathew ke kantor, tetapi tadi pagi dia mendapat kabar dari Daisy jika Sheilla positif hamil.Perjalanan pernikahan ini memang mengalir layaknya air. Sekalipun ada desakan tak kasat mata, Mathew bisa menarik kembali Sheilla ke dalam dekapannya. Karena sampai kapanpun dia tak akan melepaskan wanita itu.Dari arah lain, Sheilla menghembuskan napas lelahnya. Kurang lebih dua puluh menit dia duduk di anak tangga terakhir. Bukan tanpa alasan, dia menatap tiga sosok pria yang sejak tadi asik berdiskusi. Selain kapasitas otaknya rendah soal kantor, Sheilla teramat enggan tahu isi pembahasan mereka.Hanya saja ... rasa bosan menghantui Sheilla."Ada siapa di depan, Bi?""Itu, ada driver antar makanan, Tuan."Kening Mathew mengerut, dia juga berusaha mengingat apa tadi pesan makanan? Dan seingatnya ... tidak."Bibi Rubby, itu pesananku, bukan bom. Tadi aku pesan pizza sama pasta." Sheilla bangkit berdiri, membuat semua mata tertuju padanya.Tidak ada yang berubah dari Sheilla, bahkan saat ini dia hanya menggunakan dress selutut tanpa lengan. Dress ketat itu tentu membuat lekukan tubuh Sheilla terlihat sempurna. Lagipula Mathew tidak pernah mempersalahkan, hanya saja ... apa wanita itu tidak melihat di sini ada tamu?"Bi, berikan lalu ajak Sheilla ke kamar. Seperti biasa, cek terlebih dahulu sebelum dia memakannya," kata Mathew yang langsung mendapat anggukan dari Rubby.Rubby Margareth–asisten rumah tangga yang baru masuk beberapa hari belakangan. Selain Rubby, ada satu asisten rumah tangga serta dua satpan. Setidaknya rumah ini tidak terlalu sepi jika Mathew di kantor atau urusan lainnya.Walaupun baru masuk, masih meraba, tetapi saat bertemu Sheilla Rubby tidak terlalu canggung. Selain sifatnya yang apa adanya, di mata Rubby sosok Sheilla sangat manja, mirip putrinya.Kedua mata Sheilla menyipit, lalu dia mengikuti Rubby yang mengajaknya ke atas."Nona, mau Bibi buatkan cokelat panas?"Sheilla menggeleng seraya menjawab, "tidak, Bi, nanti saja. Aku mau makan pizza dulu."Rubby tertawa kecil, tangannya terulur mengusap punggung majikan mudanya itu. Saat Sheilla hendak masuk, dia dibuat bingung kenapa Rubby tidak ikut. Justru wanita paruh baya itu sibuk melihat paper bag bawaannya."Bibi, jangan dengarkan apa kata Mathew, dia berlebihan. Makanan ini aku pesan sendiri, mana mungkin ada racun." Sheilla mendengus kesal, lalu mengambil paksa paper bag itu dari tangan Rubby.Berbeda dengan kekesalan Sheilla, di bawah Mathew kembali berdiskusi dengan Victor dan juga Fredy. Masalah kantor memang aman, kini Mathew kembali membahas soal Alexander."Sekretaris tuan Alexander menitip pesan, jika tuan Alexander ingin bertemu anda. Saya belum menjawab apapun sebelum Tuan memutuskan," ujar Victor seperti tahu apa yang akan bosnya bahas."Kosongkan jadwal pagi saya, lalu malam ini kau bilang kalau besok pagi saya mau bertemu. Dan kamu Ferdy, tetap awasi pengeluaran uang kantor, lusa saya minta rekapan data dua tahun belakangan." Perintah serta tatapan tegas Mathew layangkan kepada dua karyawannya itu.Dreet...dreet...dreet.Chat from : Sheilla Watson.Sebelah alis Mathew terangkat menatap nama yang tertera di layarnya. Tidak salah baca, itu memang nama istrinya. Tapi ada apa?***"Ada apa?""Kau ... tidak ikhlas?"Kedua mata Mathew menyipit mendengar sahutan sang istri. Pertanyaan apa, dijawab apa. Tanpa merubah posisi Mathew melipat kedua tangannya di dada. Sudah lima menit dia berdiri setelah mendapar pesan, tapi sampai detik ini Sheilla belum buka suara mau apa."Kalau aku mau sesuatu, kau bisa wujudkan? Permintaan simple, kau pasti bisa." Sheilla menaik-naikan alisnya menatap Mathew. Anggap saja saat ini Sheilla tengah menguji kesabaran sang suami.Tubuh Mathew membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan Sheilla. Dari jarak yang lumayan dekat Mathew bisa melihat binar kecil di mata indah itu. Entah dari mana usulnya, seulas senyuman tipis tercetak di wajah Mathew."Bahkan kau belum menjawab pertanyaanku, Sheilla Watson.""Pertanyaan? Pertanyaan apa?""Kau benar-benar hamil?"Seketika Sheilla bungkam mendengarnya. astaga, ternyata sejak tadi otak suamunya tidak langsung menangkap pembahasan? Wajah Mathew yang semakin dekat, refleks membuat tangan Sheilla sigap
"Eughh, aku lelah! Kenapa rasanya sangat menyiksa?""Aku mengutuk kehadiranmu!"Rasa ngantuk yang dibarengi mual begitu menyiksa Sheilla pagi ini. Hari masih teramat pagi, saking paginya matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Jika biasanya jam segini Sheilla masih asik di dalam selimut, tidak dengan hari ini. Mual hebatlah yang memaksa wanita cantik itu bergegas lari ke kamar mandi.Tubuh lemas Sheilla bersandar ke dinding, tatapannya terus tertuju pada pantulan dirinya di cermin. Perutnya memang masih terlihat rata, pasti tidak lama akan membesar. Itu artinya ... apa harus tersiksa seperti ini setiap hari sampai anaknya lahir?"Diminum dulu."Kelopak mata Sheilla terbuka, seketika dia dihadapi segelas air mineral di depan mata. Sheilla menoleh, kini tatapannya tertuju pada sosok pria yang notabenya adalah suami. Sheilla yang enggan ribut mengambil gelas itu lalu meneguk air hangat pemberian Mathew sampai setengah.Tenggorokan yang awalnya tercekak, kini kembali sejuk. Dirasa cuk
"Selamat pagi, Tuan.""Selamat pagi, tuan Mathew."Deretan sapaan terus Mathew dengar sejak kakinya melangkah masuk ke dalam kantor. Sudah pukul sembilan, jam kerja sudah dimulai, wajar saja para karyawannya full. Sapaan yang didapat hanya Mathew respon dengan anggukan kepala.Setelah cuti bulan madu, cuti istirahat, kini Mathew kembali beraktifitas seperti semula. Wajah boleh saja terlihat tenang, tetapi sudut bibir Mathew menyunjingkan senyuman saat dia teringat jika Sheilla sedang mengandung calon buah hatinya. Usia yang sudah menginjak kepala tiga memang sudah waktunya Mathew melahirkan penerus karirnya kelak."Victor, bawa semua berkas yang perlu saya cek. Jangan lupa materi meeting siang nanti," ujar Mathew saat dia tak sengaja papasan dengan sang asisten. Anggukan Victor membuat Mathew tidak menunggu jawaban pria itu dan langsung berlalu pergi.Langkah kaki Mathew membawa dirinya masuk ke dalam ruangan lalu tanpa berlama-lama dia duduk di kursi kebangsaannya. Sembari menunggu V
"Rena, jadi ada apa? Kenapa kamu ajak aku ke sini? Padahal kita bisa ngobrol di rumah. Selain itu, kenapa juga aku harus bohong sama Mathew? Dia itu menyebalkan, bahaya kalau tahu."Lagi, wanita di depan Sheilla hanya diam sambil memakan cake pesanannya. Entah apa yang ada di dalam otaknya, yang jelas matanya terus mengamati."Maurena!""Astaga, Sheill, kamu kenapa? Emang salah ya kalau aku ajak kamu jalan-jalan? Kamu ngga boring di rumah? Di jalan tadi aku udah bilang ngga sengaja lewat kawasan rumahmu, jadi aku mampir."Kedua mata Sheilla menyipit. Jawabannya tidak aneh, tidak pula mengandung rasa curiga. Tapi tunggu dulu."Kamu tahu rumahku dari mana, Ren?""Arvel."Tepat sesuai dugaan. Mata yang awalnya menyipit kini berputar jengah. Entahlah, walaupun sudah lama berlalu, tetap saja rasa kesal Sheilla pada sosok Arvel masih sangat ada. Belum lagi tingkahnya yang menyebalkan, semakin memperkeruh kebencian.Sheilla menghempas punggungnya ke sanggahan kursi, kedua tangannya terlipat
Makan malam memang sudah usai, akan tetapi Sheilla masih merenung memikirkan semuanya. Jika biasanya Sheilla enggan berfikir yang menjurus masa bodo, kali ini tidak. Bukan hanya itu, otak mungil Sheilla kini sedang menerka apa yang membuat dirinya dicap pembohong.Heningnya ruang tamu membuat desahan frustasi Sheilla terdengar. Kalau memang iya Mathew tahu kejadian tadi siang, tamat sudah riwayatnya.Setelah ini ... apa dia akan dikembalikan kepada sang ayah?! Tidak, tidak! Itu mimpi buruk! Pasca memantapkan keputusan memilih Mathew, hubungan Sheilla terhenti dengan Aledander—ayahnya.'Kalau begitu, mulai sdetik ini stop memanggil saya dengan sebutan Ayah. Ah, iya, semua fasilitas akan saya tarik. Silahkan ke luar, bawa sisa semua bajumu.'Kata-kata itu kembali terngiang bahkan tak jarang membuat Sheilla meringis. Sheilla kembali menghela napas sembari memijat keningnya yang berdenyut. Sejenak melupakan sang ayah, kini Sheilla kembali memikirkan Mathew. Saat sedang asik berfikir sekel
Walaupun mata masih berat untuk terbuka, akan tetapi rasa penasaran Sheilla teramat kuat. Bukan karena ada hal mistis, tetapi hembusan napas yang terasa di wajah. Perlahan kelopak mata Sheilla terbuka, sesaat dia terdiam tanpa bergerak sedikitpun. Tepat di depannya terpampang wajah damai milik Mathew.Bukan hanya hembusan napas, pelukan erat yang Sheilla rasakan membuatnya tak bisa bergerak bebas. Alih-alih berusaha melepaskan, Sheilla justru tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.Hangat.Nyaman.Tenang.Tiga perasaan itu muncul serempak di dalam hati Sheilla. Untuk hari ini, bolehkah Sheilla merasa beruntung karena bertemu Mathew? Ah, entahlah, Sheilla sedang enggan berfikir.Bak anak bayi, Sheilla terus mendusel mencari kenyamanan di dada bidang milik sang suami. Tanpa Sheilla sadari, Sejak tadi Mathew sudah bangun. Akan tetapi, Mathew tetap diam tanpa mengeluarkan suara. Biarkan saja istrinya itu melakukan hal yang dia mau.Tubuh keduanya kembali merapat, disusul kelopak mata ya
"Aku bosan. Sungguh, aku bosan melihat wajahmu sepanjang hari! Apa tidak bisa sehari saja aku tidak melihat?""Lalu sekarang kau mengacuhkan aku? Untuk apa semua ini? Kupikir manusia sibuk sepertimu tak akan melakukan hal unfaedah seperti ini."'Kau sunggu berisik, Sheilla Watson!'Mendengar sahutan itu bibir Sheilla mengerucut. Walaupun keduanya terhalang jarak, tetapi tetap saja Sheilla merasa kesal. Bagaimana tidak kesal, sejak tadi Mathew menganggu dengan telepon dan juga video call. Sheilla yang terlanjur lelah pada akhirnya mengangkat panggilan itu.Saat sedang kesal-kesalnya, Sheilla teringat sesuatu. Hal itu membuat senyumnya merekah lebar. Sebelum memulai, Sheilla mengambil posisi duduk sembari menguncir rambut."Kau sudah tidak marah padaku? Oh, iya, mana bisa seorang Mathew sanggup mendiamkanku."'Jangan terlalu percaya diri.'Senyum Sheilla seketika berubah jadi tawa. Di sebrang sana Mathew memang sibuk menghadap laptop, tetapi bisa-bisanya tetap ingin video call. Dimana l
"Mama ... apa Mama sedih melihat berita akhir-akhir ini? Apa keputusanku salah, Mah?"Posisi Sheilla yang tengah rebahan di paha membuat Daisy merunduk agar bisa menatap sang putri. "Itu keputusan tepat, Sheill. Memang kamu bisa bertahan hidup dalam lingkaran toxic seumur hidup? Kamu berhak bahagia, dan mungkin Mathew yang akan memimpin. Percayalah, sebenarnya keputusan bercerai sudah sejak dulu dibahas."Sheilla terdiam, tatapannya masih terus tertuju pada Daisy. Tidak ada raut sedih, wanita itu justru tersenyum sambil mengusap pucuk kepalanya. Hal sederhana, tetapi mampu membuat hati Sheilla berdesir."Mama? Apa Mama ingat kapan terakhir kita sedekat ini? Kapan pula aku bisa leluasa melihat wajah Mama?""Yang pasti cukup lama, ya? Maaf, tapi sekarang bisa kita perbaiki. Kapanpun kamu butuh, Mana akan ada setiap saat," sahut Daisy gugup.Tidak ada jawaban apapun dari Sheilla, dia juga bisa melihat raut tidak enak di wajah sang mama. Sepertinya rasa bersalah akan masalalu tetap bersem