"Eughh, aku lelah! Kenapa rasanya sangat menyiksa?"
"Aku mengutuk kehadiranmu!"Rasa ngantuk yang dibarengi mual begitu menyiksa Sheilla pagi ini. Hari masih teramat pagi, saking paginya matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Jika biasanya jam segini Sheilla masih asik di dalam selimut, tidak dengan hari ini. Mual hebatlah yang memaksa wanita cantik itu bergegas lari ke kamar mandi.Tubuh lemas Sheilla bersandar ke dinding, tatapannya terus tertuju pada pantulan dirinya di cermin. Perutnya memang masih terlihat rata, pasti tidak lama akan membesar. Itu artinya ... apa harus tersiksa seperti ini setiap hari sampai anaknya lahir?"Diminum dulu."Kelopak mata Sheilla terbuka, seketika dia dihadapi segelas air mineral di depan mata. Sheilla menoleh, kini tatapannya tertuju pada sosok pria yang notabenya adalah suami. Sheilla yang enggan ribut mengambil gelas itu lalu meneguk air hangat pemberian Mathew sampai setengah.Tenggorokan yang awalnya tercekak, kini kembali sejuk. Dirasa cukup, Sheilla memberikan gelas itu pada Mathew."Butuh ke rumah sakit? Kenapa tidak membangunkanku?""Untuk apa aku membangunkanmu?"Mathew tertawa kecil. Alih-alih merasa kesal, pria itu justru merengkuh tubuh mungil sang istri ke dalam dekapannya. Tidak ada penolakan, Sheilla menerima pelukan hangat dari Mathew. Cukup lama keduanya saling berpelukan sampai Sheilla kembali melepaskan karena rasa mual yang muncul."Apa semua orang hamil seperti ini? Kenapa banyak wanita ingin hamil setelah menikah? Hamil itu menyusahkan, menyiksa!" Sheilla kembali mencak-mencak, tangannya tak sungkan memukul dada bidang milik Mathew. Apa yang Sheilla katakan memang seperti yamg dia rasakan saat ini.Memang dimana enaknya hamil?"Itu menurutmu, menurut otak dangkalmu. Sayangnya, wanita dewasa serta bijaksana tidak akan berfikir random seperti tadi. Memang apa yang diharapkan setelah menikah? Tentu keturunan untuk menjadi penerus," ucap Mathew dengan sabar dan tenang. Menanggapi otak Sheilla yang masih remaja memang susah ditebak.Mendengar kata demi kata yang Mathew lontarkan membuat otak serta mulut Sheilla buntu. Jawabannya tidak salah, justru lebih banyak benarnya. Akan tetapi bukan Sheilla namanya kalau menolak paham. Bagi pasangan siap moment ini sangat dinanti bahkan ada yang bertahun-tahun."Tapi dalam perjalanan hidupku, menikah dan memiliki anak bukan prioritas! Semua perjalanku terhambat karna mengenalkau!" Tangan bebas Sheilla mencubit kecil pinggang Mathew sampai pria itu mengaduh kesakitan. Walaupun rasanya perih, tawa Mathew tetap saja terdengar renyah di telinga Sheilla.***"Hari ini kau ke kantor? Atau mau ke mana?""Bagaimana denganmu?"Kedua tangan Sheilla berhenti mendadak saat sedang mengoles selai. Sesaar tatapannya tertuju pada pria yang kini duduk di sampingnya. Menyebalkan memang, halal sekali untuk dipukul. Memang ... apa pantas pertanyaan dibalas pertanyaan?Melihat wajah Sheilla berubah Mathew ketawa seraya berkata, "hari masih pagi, kau terlalu sensitif. Tentu pagi ini aku ke kantor karna ada beberapa meeting serta pekerjaan yang belum aku cek. Kenapa? Kau mau ke mana? Jangan main kucing-kucingan, karna satu langkah kau ke luar, aku tetap tahu."Sheilla menghembuskan napasnya.Menyebalkan.Bukankah itu menyebalkan?Tiada hari tanpa menyebalkan serta ancaman.Tidak membalas, Sheilla memilih melanjutkan kegiatannya memberi roti tawar dengan selai cokelat. Itu bukan untuknya, tetapi Mathew yang meminta. Setelah selesai, roti itu Sheilla taruh di piring. Berbeda dengan kelahapan Mathew, sedangkan Sheilla tidak nafsu makan."Jadi, kau mau ke mana? Jadi kuliah?"Sheilla berdecak. "Bagaimana bisa aku kuliah dalam kondisi hamil?""Ya sudah, nanti saja setelah lahiran," sahut Mathew santai.Keheningan kembali menyapa saat Sheilla membiarkan suaminya menikmati sarapan. Sebetulnya dia sendiri tidak ada agenda ke mana-mana, tidak ingin pergi juga. Hanya saja, entah kenapa Sheilla kefikiran dengan Daisy serta Chelsea yang mengajaknya bertemu. Entah mana dulu yang Sheilla ingin temui."Berita perceraian orang tuamu sedang ramai, bagaimana menurutmu? Mamahmu baik-baik saja?" Disela-sela suapan Mathew berranya.Lagi-lagi Sheilla menolak paham, wanita itu mendelikan bahu tanda acuh. Selagi otaknya merancang jawaban, Sheilla meminum cokelat panas miliknya. Sesekali lewat ekor mata Sheilla melirik Mathew. Tidak ada ekspresi apapun dari pria itu, wajahnya tetap sama."Apa-apa yang sudah hancur memang tak selamanya bisa didaur ulang. Salah satunya pecahan kaca. Mau seusaha apapun, pecahan itu tidak akan bisa utuh kembali selayaknya kaca pada umumnya.""Entah, aku bingung, tidak paham. Apa harus aku merasa senang? Atau sedih?" Kedua tangan Sheilla menopang dagu, tatapannya masih tertuju pada Mathew. Sheilla penasaran, apa lagi yang akan pria itu katakan.Selain menyebalkan, Sheilla tidak bisa munafik jika otak serta pembawaan Mathew jauh sangat matang di luar perkiraan otaknya."Rasakan saja keduanya. Hatimu gamang karna tidak mendapat peran mereka sejak dulu. Jadi, wajar saja."Bibir mungil Sheilla mengerucut, otak mininya kini sedang mencerna perkataan Mathew. Omongan Mathew memang menohok hati, sayang semuanya fakta. Tubuh Sheilla menegak kembali, tetapi mulutnya tidak memberi jawaban apapun."Aku tidak mau ikut campur urusan mereka, lagipula bukankah sekarang aku bukan putrinya? Entah pilihanku waktu itu benar atau tidak, yang jelas...." Kata-kata Sheilla terhenti, sedangkan Mathew menunggu apa yang akan wanita itu katakan lagi."Memilih bersamamu sepertinya opsi terbaik daripada aku harus jadi gembel." Sangat di luar perkiraan, Sheilla tersenyum lebar sambil memakan anggur segar yang sangat menggodanya.Kurang lebih setengah jam menghabiskan waktu di meja makan, Mathew bergegas pergi ke kantor. Setelah mengantar serta memastikan, Sheilla kembali masuk. Sheilla tidak langsung masuk ke dalam, tetapi dia duduk di teras sembari memperhatikan Yuki—asisten rumah tangganya yang kedua. Dibandingkan Rubby, umur Yuki jauh lebih muda sekitar dua puluh empat tahun, bahkam lebih tua dia daripada Sheilla sendiri."Nona, mau dibuatkan sesuatu?"Lamunan Sheilla buyar, tatapannya beralih ke sebelah kiri. Tepat di sampingnya Rubby berdiri sambil menatapnya teduh. Melihat Rubby mengingatkan Sheilla pada sosok Emma—wanita yang sejak dulu mengurus dirinya dengan baik."Tidak, Bi, aku tidak mau apa-apa. Ah, iya, bagaimana kesan Bibi bekerja di sini? Senang atau menyesal?"Rubby terdiam. Beberapa detik terdiam, wanita paruh baya itu menjawab, "tidak ada kata menyesal, nona Sheilla. Terlebih Bibi memang membutuhkan uang. Bertemu dengan tuan Mathew membuat harapan Bibi kembali terang. Kalian berdua orang baik, Bibi tidak menyesal."Jawaban simple namun sukses membuat hati Sheilla terenyuh. Baru ingin menjawab, suara klakson serta gerbang terbuka mengalihkan fokus Sheilla. Siapa yang datang? Apa mungkin ada barang tertinggal maka dari itu Mathew kembali? Sheilla masih tidak beranjak, dia menunggu orang di luar sana masuk.Bukan hanya Sheilla, Rubby pun ikut penasaran siapa yang bertamu."Hai, Sheill!"***"Selamat pagi, Tuan.""Selamat pagi, tuan Mathew."Deretan sapaan terus Mathew dengar sejak kakinya melangkah masuk ke dalam kantor. Sudah pukul sembilan, jam kerja sudah dimulai, wajar saja para karyawannya full. Sapaan yang didapat hanya Mathew respon dengan anggukan kepala.Setelah cuti bulan madu, cuti istirahat, kini Mathew kembali beraktifitas seperti semula. Wajah boleh saja terlihat tenang, tetapi sudut bibir Mathew menyunjingkan senyuman saat dia teringat jika Sheilla sedang mengandung calon buah hatinya. Usia yang sudah menginjak kepala tiga memang sudah waktunya Mathew melahirkan penerus karirnya kelak."Victor, bawa semua berkas yang perlu saya cek. Jangan lupa materi meeting siang nanti," ujar Mathew saat dia tak sengaja papasan dengan sang asisten. Anggukan Victor membuat Mathew tidak menunggu jawaban pria itu dan langsung berlalu pergi.Langkah kaki Mathew membawa dirinya masuk ke dalam ruangan lalu tanpa berlama-lama dia duduk di kursi kebangsaannya. Sembari menunggu V
"Rena, jadi ada apa? Kenapa kamu ajak aku ke sini? Padahal kita bisa ngobrol di rumah. Selain itu, kenapa juga aku harus bohong sama Mathew? Dia itu menyebalkan, bahaya kalau tahu."Lagi, wanita di depan Sheilla hanya diam sambil memakan cake pesanannya. Entah apa yang ada di dalam otaknya, yang jelas matanya terus mengamati."Maurena!""Astaga, Sheill, kamu kenapa? Emang salah ya kalau aku ajak kamu jalan-jalan? Kamu ngga boring di rumah? Di jalan tadi aku udah bilang ngga sengaja lewat kawasan rumahmu, jadi aku mampir."Kedua mata Sheilla menyipit. Jawabannya tidak aneh, tidak pula mengandung rasa curiga. Tapi tunggu dulu."Kamu tahu rumahku dari mana, Ren?""Arvel."Tepat sesuai dugaan. Mata yang awalnya menyipit kini berputar jengah. Entahlah, walaupun sudah lama berlalu, tetap saja rasa kesal Sheilla pada sosok Arvel masih sangat ada. Belum lagi tingkahnya yang menyebalkan, semakin memperkeruh kebencian.Sheilla menghempas punggungnya ke sanggahan kursi, kedua tangannya terlipat
Makan malam memang sudah usai, akan tetapi Sheilla masih merenung memikirkan semuanya. Jika biasanya Sheilla enggan berfikir yang menjurus masa bodo, kali ini tidak. Bukan hanya itu, otak mungil Sheilla kini sedang menerka apa yang membuat dirinya dicap pembohong.Heningnya ruang tamu membuat desahan frustasi Sheilla terdengar. Kalau memang iya Mathew tahu kejadian tadi siang, tamat sudah riwayatnya.Setelah ini ... apa dia akan dikembalikan kepada sang ayah?! Tidak, tidak! Itu mimpi buruk! Pasca memantapkan keputusan memilih Mathew, hubungan Sheilla terhenti dengan Aledander—ayahnya.'Kalau begitu, mulai sdetik ini stop memanggil saya dengan sebutan Ayah. Ah, iya, semua fasilitas akan saya tarik. Silahkan ke luar, bawa sisa semua bajumu.'Kata-kata itu kembali terngiang bahkan tak jarang membuat Sheilla meringis. Sheilla kembali menghela napas sembari memijat keningnya yang berdenyut. Sejenak melupakan sang ayah, kini Sheilla kembali memikirkan Mathew. Saat sedang asik berfikir sekel
Walaupun mata masih berat untuk terbuka, akan tetapi rasa penasaran Sheilla teramat kuat. Bukan karena ada hal mistis, tetapi hembusan napas yang terasa di wajah. Perlahan kelopak mata Sheilla terbuka, sesaat dia terdiam tanpa bergerak sedikitpun. Tepat di depannya terpampang wajah damai milik Mathew.Bukan hanya hembusan napas, pelukan erat yang Sheilla rasakan membuatnya tak bisa bergerak bebas. Alih-alih berusaha melepaskan, Sheilla justru tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.Hangat.Nyaman.Tenang.Tiga perasaan itu muncul serempak di dalam hati Sheilla. Untuk hari ini, bolehkah Sheilla merasa beruntung karena bertemu Mathew? Ah, entahlah, Sheilla sedang enggan berfikir.Bak anak bayi, Sheilla terus mendusel mencari kenyamanan di dada bidang milik sang suami. Tanpa Sheilla sadari, Sejak tadi Mathew sudah bangun. Akan tetapi, Mathew tetap diam tanpa mengeluarkan suara. Biarkan saja istrinya itu melakukan hal yang dia mau.Tubuh keduanya kembali merapat, disusul kelopak mata ya
"Aku bosan. Sungguh, aku bosan melihat wajahmu sepanjang hari! Apa tidak bisa sehari saja aku tidak melihat?""Lalu sekarang kau mengacuhkan aku? Untuk apa semua ini? Kupikir manusia sibuk sepertimu tak akan melakukan hal unfaedah seperti ini."'Kau sunggu berisik, Sheilla Watson!'Mendengar sahutan itu bibir Sheilla mengerucut. Walaupun keduanya terhalang jarak, tetapi tetap saja Sheilla merasa kesal. Bagaimana tidak kesal, sejak tadi Mathew menganggu dengan telepon dan juga video call. Sheilla yang terlanjur lelah pada akhirnya mengangkat panggilan itu.Saat sedang kesal-kesalnya, Sheilla teringat sesuatu. Hal itu membuat senyumnya merekah lebar. Sebelum memulai, Sheilla mengambil posisi duduk sembari menguncir rambut."Kau sudah tidak marah padaku? Oh, iya, mana bisa seorang Mathew sanggup mendiamkanku."'Jangan terlalu percaya diri.'Senyum Sheilla seketika berubah jadi tawa. Di sebrang sana Mathew memang sibuk menghadap laptop, tetapi bisa-bisanya tetap ingin video call. Dimana l
"Mama ... apa Mama sedih melihat berita akhir-akhir ini? Apa keputusanku salah, Mah?"Posisi Sheilla yang tengah rebahan di paha membuat Daisy merunduk agar bisa menatap sang putri. "Itu keputusan tepat, Sheill. Memang kamu bisa bertahan hidup dalam lingkaran toxic seumur hidup? Kamu berhak bahagia, dan mungkin Mathew yang akan memimpin. Percayalah, sebenarnya keputusan bercerai sudah sejak dulu dibahas."Sheilla terdiam, tatapannya masih terus tertuju pada Daisy. Tidak ada raut sedih, wanita itu justru tersenyum sambil mengusap pucuk kepalanya. Hal sederhana, tetapi mampu membuat hati Sheilla berdesir."Mama? Apa Mama ingat kapan terakhir kita sedekat ini? Kapan pula aku bisa leluasa melihat wajah Mama?""Yang pasti cukup lama, ya? Maaf, tapi sekarang bisa kita perbaiki. Kapanpun kamu butuh, Mana akan ada setiap saat," sahut Daisy gugup.Tidak ada jawaban apapun dari Sheilla, dia juga bisa melihat raut tidak enak di wajah sang mama. Sepertinya rasa bersalah akan masalalu tetap bersem
"Pilih apa yang ingin kau mau."Tunggu.Suara siapa itu?Tubuh Sheilla refleks berputar menghadap ke belakang. Kini tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sesosok pria tak asing tengah tersenyum padanya. Kening Sheilla mengerut, dalam diamnya dia masih memastikan kebenarannya."Jayden?"Pria yang dipanggil Jayden itu tersenyum lebar. Sudah sangat lama, pada akhirnya dia mendengar namanya disebut kembali oleh sang mantan. Ada rasa sesal di dalam hati Jayden. Andai kejadian waktu itu tidak terjadi, mungkin saat ini Sheilla masih menjadi miliknya."Aku serius, kalau kamu mau salah satu tas itu, ambil saja, nanti aku yang bayar. Jangan negatif thinking, anggap saja sebagai permintaan maaf."Kening mulus Sheilla mengerut mendengar perkataan Jadyen. Apa katanya tadi? Sebagai permintaan maaf? Apa telinganya tidak salah mendengar?"Sheill?"Sheilla berdecak, tangannya menghempas tangan Jayden yang ingin menyentuhnya. Steven dan George pun melakukan hal sama, dengan gerakan cepat mereka menarik
"Apa kau tidak lelah bekerja? Tidak lelah menatap laptop?""Laptop yang membuatmu batal menemuiku sama mama di restoran?""Issh, jawab!"Konsentrasi Mathew pecah. Tatapan yang awalnya fokus pada laptop kini beralih pada sosok wanita di sampingnya. Wajahnya terlihat kesal, bibir mungilnya mengerucut persis anak SD marah karena tak dibelikan keinginannya."Kenapa menatapku seperti itu? Aku bosan didiamkan, lagipula untuk apa kau menyuruhku ke sini? Padahal setelah makan aku ingin pulang bersama mama. Kau itu pekerja, bukan siswa sekolahan, tuan Mathew Smith." Tangan Sheilla terulur, mencubit pelan hidung mancung milik suaminya itu.Berawal dari Daisy memberitahu Mathew akan menyusul, tapi tak lama suaminya itu menelepon menyuruh Sheilla untuk ke kantor. Sejujurnya Sheilla malas, dia pun agak risih menjadi bahan tatapan orang-orang di kantor ini. Tapi setelah mendapat ancaman, alhasil Sheilla datang diantar Daisy. Sedangkan wanita itu langsung kr kantor karena ada tamu mendadak."Bosan d