"Tunggu, Sheilla!"Entah itu panggilan keberapa, yang jelas bukan pertama kali telinga Sheilla dengar. Tanpa memperdulikan suaminya di belakang, Sheilla terus melangkah menuju pintu utama. Kurang dua langkah, tiba-tiba Sheilla memekik karena lengannya ditarik kasar dari belakang. Sontak hal itu membuat rasa kesal Sheilla semakin memuncak."Tidak wanita tadi, tidak kau, kenapa kalian menyebalkan?!""Aku berkali-kali memanggilmu, tetapi kau seolah tuli. Apa memang telingamu tuli?" balas Mathew tak kalah sengit.Mendengar itu bibir Sheilla mengerucut sembari mengehempas tamgan Mathew dari lengannya. Akan tetapi usaha Sheilla sia-sia, tenaga Mathew jauh lebih besar darinya. Sheilla diam, kedua matanya menyipit menatap wajah kesal sang suami. Aneh memang, kenapa pria itu ikut kesal?"Kau mau ke mana? Aku tidak mengizinkan kau untuk pergi, Sheilla. Ah, atau kau cemburu? Ayolah, itu tidak seperti yang kau lihat. Di–""Hah? Aku? Aku cemburu? Hahaha, kau terlalu pede, Mathew Smith!" potong She
"Mau ke mana?"Sheilla meringis, langkah kakinya seketika terhenti mendengar pertanyaan tak asing di telinganya. Seperkian detik kaget, detik betikutnya Sheilla berusaha menetralkan dirinya. Masih sambil memegang piring tubuhnya berputar."Mau ke mana?" tanya Mathew lagi. Sebelah alisnya terangkat, kedua tangannya bersedekap dada menatap wanita yang kini tengah berdiri.Masih hening, tak ada jawaban apapun dari Sheilla. Sambil menunggu jawaban sang istri Mathew meminum kopi miliknya. Keduanya memang sudah pulang sejak dua jam yang lalu bahkan sudah bersih-bersih dilanjutkan makan malam yang tertunda."Menurutmu aku mau ke mana? Apa aku terlihat ingin pergi ke mall? Pantai? Atau menghadiri pemakaman?"Jawaban di luar perkiraan itu sukses membuat Mathew menggeram kesal. Sebelum mulutnnya terbuka untuk menyahut, Sheilla sudah lebih dulu terkekeh geli. Dua langkah dia maju, tubuhnya sedikit merunduk lalu mengecup singkat kedua pipi Mathew. Sedangkan Mathew, pria itu masih diam menerima ke
Sekilas Mathew mengecup bibir Sheilla lalu berkata, "seluruh tubuhmu sangat manis, itu alasan kenapa aku tidak sabar ingin selalu mencicipi."Tepat setelah mengatakan itu Mathew kembali mengecup bibir Sheill. Tanpa perlu memberi kode, Sheilla dengan senang hati membuka mulut membiarkan Mathew menjelajah lebih dalam. Entah pakai guna-guna apa, yang jelas tubuh Sheilla selalu luluh jika sudah mendapat sentuhan dari Mathew.Suara sesapan terdengar di dalam kamar, lidah keduanya saling membelit satu sama lain. Tinggi tubuh keduanya yang berbeda, membuat Sheilla sedikit berjinjit. Disela-sela pangutan Mathew terkekeh, dia merasa jika Sheilla tidak mau kehilangan pangutan panas itu.Berawal mengusap tengkuk, tangan Mathew kini turun mengusap punggung lalu perut. Kegiatan itu dia lakukan sembari menggiring tubuh mungil Sheilla ke arah ranjang."Sudah setidak sabar itu?" Mathew terkekeh, kedua tangannya memegang pundak Sheilla agar wanita itu duduk di tepi kasur. Masih dalam mulut terkunci Sh
Berbeda dengan pagi biasanya, hari ini Sheilla bangun lebih dulu. Walaupun tubuhnya masih terasa lelah, tetapi dia sudah rapih. Selesai memakai bedak Sheilla merangkak naik ke atas kasur. Sudah jam tujuh pagi, tetapi suaminya belum bangun. Selain itu, Sheilla juga enggan membangunkan. Karena jika pria itu bangun, pasti akan bersiap ke kantor.Masih dalam posisi duduk Sheilla menatap lekat wajah damai suaminya itu. Ide-ide jahil memang sudah terlintas, tetapi tangannya masih berusaha menahan. Sheilla sedikit merunduk, satu kecupan dia sematkan di kedua pipi Mathew. Merasa dua kecupan itu tidak ada respon, Sheilla kembali mengecup kening dan berakhir bibir.Puas mengecupi wajah Mathew tubuh Sheilla kembali menegak. Suaminya tidak bangun, bahkan tidak bergerak. Deru napas damai membuat Sheilla yakin kalau suaminya masih asik berada di dalam mimpi.Tangan Sheilla kembali terulur, kali ini menoel pipi Mathew sambil terkekeh kecil lalu berkata, "harusnya aku yang lelah, tapi kau yang terlih
Sheilla menghela napas membaca dua pesan terbaru dari sahabatnya itu. Ingin protes, tetapi urusan kuliah. Dengan berat hati Sheilla membalas, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapan Sheilla tertuju pada gerbang yang terbuka.Apa ada tamu?Pintu gerbang terbuka, mobil berwarna putih masuk dan berhenti di halaman. Sheilla masih diam sampai orang di dalam mobil itu keluar."Hai, Sheilla!""Mama Elena," guman Sella. Senyum yang awalnya redup, kini kembali merekah. Sheilla bangkit, menghampiri lalu memeluk Elena hangat.Sejak masuknya mobil memang Sheilla bisa menebak jika itu Elena. Hanya saja dia ingin memastikan. Dan lihatlah sekarang, tebakannya benar, yang datang adalah Elena–mertuanya. Sejak resmi menikah dengan Mathew perhatian Elena kepada Sheilla memang sangat besar, bahkan Sheilla lebih merasa Elena selalu memantau daripada Daisy.Apapun itu, Sheilla tidak mau membandingkan. Masih sambil memeluk dia menggelengkan kepala supaya fikiran negatif itu musnah dari otak. Puas be
Chat from : Mama.Mama : 'Apa hari ini ada meeting penting? Istrimu tidak enak badan, harusnya kamu temani.'Mama : 'Mama mau ajak ke rumah sakit, tapi Sheilla tidak mau.'Read.Dua pesan baru yang ternyata dari Elena membuat Mathew terdiam. Apa matanya tidak salah membaca? Sheilla sakit? Bukan tidak percaya dengan Elena, hanya saja tadi Sheilla terlihat baik. Lebih dari itu brownis yang entah dari siapa sudah disingkirkan sebelum istrinya itu makan.Tiga balasan sudah Mathew kirim. Tanpa menunggu balasan dia memasukan kembali ponselnya ke dalam jas. Alih-alih bergegas pulang, Mathew justru kembali menghempas punggungnya ke sanggahan kursi. Tidak ada lagi sahutan atau pembahasan, ketiganya kompak terdiam. Saat ini Mathew memang berada di markas, beda hal dengan izin yang Mathew katakan pada Sheilla."Walaupun banyak yang mengincar, tetapi aku yakin lewat perantara. Mana mungkin mereka langsung menyerang Mathew? Itu sama saja bunuh diri." Setelah lama terdiam, kini Calvin angkat bicara
"Tadi Mama lihat ada brownis di dapur. Itu kamu yang beli? Tapi Bibi bilang disuruh buang oleh Mathew?"Brownis.Kening mulus Sheilla mengerut mendengar pertanyaan Elena. Sesaat wanita cantik itu terdiam sambil terus menerima suapan demi suapan sup yang Elena berikan. Ketika ingatannya pulih, Sheilla ber-oh ria."Aku juga tidak tahu itu dari siapa. Awalnya aku fikir dari Mama. Kalau bukan, ya mama Daisy. Tapi karna tidak ada nama pengirim, Mathew sudah berfikir negatif makanya disuruh buang. Padahal sayang, kelihatannya juga enak," jawab Sheilla apa adanya.Elena masih diam, dia tidak langsung menjawab penuturan menantunya itu. Bukan apa-apa, Elena paham betul bagaimana sikap dan tindakan Mathew. Putranya tidak akan bertindak jika tidak ada hal aneh yang mengusik hati. Tatapan keduanya sempat beradu, namun Elena hanya tersenyum. Cukup banyak Sheilla makam sup buatannya membuat Elena puas."Mama, aku kenyang.""Buat nanti lagi, ya? Di dapur juga masih ada, nanti Mama minta Bibi untuk p
"Aku tidak ada waktu untuk ke luar, Freya. Ikut aku, kita bicara di ruanganku saja." Tanpa aba-aba Mathew menarik lengan Freya menuju ruangannya.Banyak pasang mata menatap namun tak digubris oleh Mathew. Lagipula hanya tatapan sekilas, karena detik selanjutnya mereka memilih tidak ingin menatap lebih lanjut. Mereka seakan sadar diri dengan posisi.Tanpa melepaskan cekalan Mathew menggiring Freya masuk ke dalam ruangan. Setibanya di dalam, Mathew melepaskan lalu memberi jarak agar tidak terlalu dekat."Katakan, ada apa kau kemari lagi, Frey?""Wanita kemarin, ap–""Istriku." Tanpa aba-aba Mathew memotong perkataan Freya. Karena apapun dan sepanjang apapun wanita di depannya bersua, Mathew sudah tahu ke mana arah tujuannya.Mulut Freya mengatup. Satu jawaban simple, namun sangat kena di hati. Tatapan Freya masih tertuju kepada pria di depannya. Raut wajahnya serius, tak nampak ada kebohongan di sana. Seketika hati Freya tersentil dengan pengakuan Mathew.Benarkah pria itu sudah menikah