Walaupun mata masih berat untuk terbuka, akan tetapi rasa penasaran Sheilla teramat kuat. Bukan karena ada hal mistis, tetapi hembusan napas yang terasa di wajah. Perlahan kelopak mata Sheilla terbuka, sesaat dia terdiam tanpa bergerak sedikitpun. Tepat di depannya terpampang wajah damai milik Mathew.Bukan hanya hembusan napas, pelukan erat yang Sheilla rasakan membuatnya tak bisa bergerak bebas. Alih-alih berusaha melepaskan, Sheilla justru tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.Hangat.Nyaman.Tenang.Tiga perasaan itu muncul serempak di dalam hati Sheilla. Untuk hari ini, bolehkah Sheilla merasa beruntung karena bertemu Mathew? Ah, entahlah, Sheilla sedang enggan berfikir.Bak anak bayi, Sheilla terus mendusel mencari kenyamanan di dada bidang milik sang suami. Tanpa Sheilla sadari, Sejak tadi Mathew sudah bangun. Akan tetapi, Mathew tetap diam tanpa mengeluarkan suara. Biarkan saja istrinya itu melakukan hal yang dia mau.Tubuh keduanya kembali merapat, disusul kelopak mata ya
"Aku bosan. Sungguh, aku bosan melihat wajahmu sepanjang hari! Apa tidak bisa sehari saja aku tidak melihat?""Lalu sekarang kau mengacuhkan aku? Untuk apa semua ini? Kupikir manusia sibuk sepertimu tak akan melakukan hal unfaedah seperti ini."'Kau sunggu berisik, Sheilla Watson!'Mendengar sahutan itu bibir Sheilla mengerucut. Walaupun keduanya terhalang jarak, tetapi tetap saja Sheilla merasa kesal. Bagaimana tidak kesal, sejak tadi Mathew menganggu dengan telepon dan juga video call. Sheilla yang terlanjur lelah pada akhirnya mengangkat panggilan itu.Saat sedang kesal-kesalnya, Sheilla teringat sesuatu. Hal itu membuat senyumnya merekah lebar. Sebelum memulai, Sheilla mengambil posisi duduk sembari menguncir rambut."Kau sudah tidak marah padaku? Oh, iya, mana bisa seorang Mathew sanggup mendiamkanku."'Jangan terlalu percaya diri.'Senyum Sheilla seketika berubah jadi tawa. Di sebrang sana Mathew memang sibuk menghadap laptop, tetapi bisa-bisanya tetap ingin video call. Dimana l
"Mama ... apa Mama sedih melihat berita akhir-akhir ini? Apa keputusanku salah, Mah?"Posisi Sheilla yang tengah rebahan di paha membuat Daisy merunduk agar bisa menatap sang putri. "Itu keputusan tepat, Sheill. Memang kamu bisa bertahan hidup dalam lingkaran toxic seumur hidup? Kamu berhak bahagia, dan mungkin Mathew yang akan memimpin. Percayalah, sebenarnya keputusan bercerai sudah sejak dulu dibahas."Sheilla terdiam, tatapannya masih terus tertuju pada Daisy. Tidak ada raut sedih, wanita itu justru tersenyum sambil mengusap pucuk kepalanya. Hal sederhana, tetapi mampu membuat hati Sheilla berdesir."Mama? Apa Mama ingat kapan terakhir kita sedekat ini? Kapan pula aku bisa leluasa melihat wajah Mama?""Yang pasti cukup lama, ya? Maaf, tapi sekarang bisa kita perbaiki. Kapanpun kamu butuh, Mana akan ada setiap saat," sahut Daisy gugup.Tidak ada jawaban apapun dari Sheilla, dia juga bisa melihat raut tidak enak di wajah sang mama. Sepertinya rasa bersalah akan masalalu tetap bersem
"Pilih apa yang ingin kau mau."Tunggu.Suara siapa itu?Tubuh Sheilla refleks berputar menghadap ke belakang. Kini tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sesosok pria tak asing tengah tersenyum padanya. Kening Sheilla mengerut, dalam diamnya dia masih memastikan kebenarannya."Jayden?"Pria yang dipanggil Jayden itu tersenyum lebar. Sudah sangat lama, pada akhirnya dia mendengar namanya disebut kembali oleh sang mantan. Ada rasa sesal di dalam hati Jayden. Andai kejadian waktu itu tidak terjadi, mungkin saat ini Sheilla masih menjadi miliknya."Aku serius, kalau kamu mau salah satu tas itu, ambil saja, nanti aku yang bayar. Jangan negatif thinking, anggap saja sebagai permintaan maaf."Kening mulus Sheilla mengerut mendengar perkataan Jadyen. Apa katanya tadi? Sebagai permintaan maaf? Apa telinganya tidak salah mendengar?"Sheill?"Sheilla berdecak, tangannya menghempas tangan Jayden yang ingin menyentuhnya. Steven dan George pun melakukan hal sama, dengan gerakan cepat mereka menarik
"Apa kau tidak lelah bekerja? Tidak lelah menatap laptop?""Laptop yang membuatmu batal menemuiku sama mama di restoran?""Issh, jawab!"Konsentrasi Mathew pecah. Tatapan yang awalnya fokus pada laptop kini beralih pada sosok wanita di sampingnya. Wajahnya terlihat kesal, bibir mungilnya mengerucut persis anak SD marah karena tak dibelikan keinginannya."Kenapa menatapku seperti itu? Aku bosan didiamkan, lagipula untuk apa kau menyuruhku ke sini? Padahal setelah makan aku ingin pulang bersama mama. Kau itu pekerja, bukan siswa sekolahan, tuan Mathew Smith." Tangan Sheilla terulur, mencubit pelan hidung mancung milik suaminya itu.Berawal dari Daisy memberitahu Mathew akan menyusul, tapi tak lama suaminya itu menelepon menyuruh Sheilla untuk ke kantor. Sejujurnya Sheilla malas, dia pun agak risih menjadi bahan tatapan orang-orang di kantor ini. Tapi setelah mendapat ancaman, alhasil Sheilla datang diantar Daisy. Sedangkan wanita itu langsung kr kantor karena ada tamu mendadak."Bosan d
"Tunggu, Sheilla!"Entah itu panggilan keberapa, yang jelas bukan pertama kali telinga Sheilla dengar. Tanpa memperdulikan suaminya di belakang, Sheilla terus melangkah menuju pintu utama. Kurang dua langkah, tiba-tiba Sheilla memekik karena lengannya ditarik kasar dari belakang. Sontak hal itu membuat rasa kesal Sheilla semakin memuncak."Tidak wanita tadi, tidak kau, kenapa kalian menyebalkan?!""Aku berkali-kali memanggilmu, tetapi kau seolah tuli. Apa memang telingamu tuli?" balas Mathew tak kalah sengit.Mendengar itu bibir Sheilla mengerucut sembari mengehempas tamgan Mathew dari lengannya. Akan tetapi usaha Sheilla sia-sia, tenaga Mathew jauh lebih besar darinya. Sheilla diam, kedua matanya menyipit menatap wajah kesal sang suami. Aneh memang, kenapa pria itu ikut kesal?"Kau mau ke mana? Aku tidak mengizinkan kau untuk pergi, Sheilla. Ah, atau kau cemburu? Ayolah, itu tidak seperti yang kau lihat. Di–""Hah? Aku? Aku cemburu? Hahaha, kau terlalu pede, Mathew Smith!" potong She
"Mau ke mana?"Sheilla meringis, langkah kakinya seketika terhenti mendengar pertanyaan tak asing di telinganya. Seperkian detik kaget, detik betikutnya Sheilla berusaha menetralkan dirinya. Masih sambil memegang piring tubuhnya berputar."Mau ke mana?" tanya Mathew lagi. Sebelah alisnya terangkat, kedua tangannya bersedekap dada menatap wanita yang kini tengah berdiri.Masih hening, tak ada jawaban apapun dari Sheilla. Sambil menunggu jawaban sang istri Mathew meminum kopi miliknya. Keduanya memang sudah pulang sejak dua jam yang lalu bahkan sudah bersih-bersih dilanjutkan makan malam yang tertunda."Menurutmu aku mau ke mana? Apa aku terlihat ingin pergi ke mall? Pantai? Atau menghadiri pemakaman?"Jawaban di luar perkiraan itu sukses membuat Mathew menggeram kesal. Sebelum mulutnnya terbuka untuk menyahut, Sheilla sudah lebih dulu terkekeh geli. Dua langkah dia maju, tubuhnya sedikit merunduk lalu mengecup singkat kedua pipi Mathew. Sedangkan Mathew, pria itu masih diam menerima ke
Sekilas Mathew mengecup bibir Sheilla lalu berkata, "seluruh tubuhmu sangat manis, itu alasan kenapa aku tidak sabar ingin selalu mencicipi."Tepat setelah mengatakan itu Mathew kembali mengecup bibir Sheill. Tanpa perlu memberi kode, Sheilla dengan senang hati membuka mulut membiarkan Mathew menjelajah lebih dalam. Entah pakai guna-guna apa, yang jelas tubuh Sheilla selalu luluh jika sudah mendapat sentuhan dari Mathew.Suara sesapan terdengar di dalam kamar, lidah keduanya saling membelit satu sama lain. Tinggi tubuh keduanya yang berbeda, membuat Sheilla sedikit berjinjit. Disela-sela pangutan Mathew terkekeh, dia merasa jika Sheilla tidak mau kehilangan pangutan panas itu.Berawal mengusap tengkuk, tangan Mathew kini turun mengusap punggung lalu perut. Kegiatan itu dia lakukan sembari menggiring tubuh mungil Sheilla ke arah ranjang."Sudah setidak sabar itu?" Mathew terkekeh, kedua tangannya memegang pundak Sheilla agar wanita itu duduk di tepi kasur. Masih dalam mulut terkunci Sh
"Menjauh dan pergi dari hadapan saya.""Kasih saya waktu untuk bic–""NOW!"Bentakan tak terbantahkan itu menggema di ruang tamu. Akan tetapi walaupun begitu nyali Mathew tidak menciut. Walaupun hatinya sangat berat untuk ke sini dan bertemu Alexander, semua ini Mathew lakukan demi Sheilla yang akan melahirkan sore hari ini."Sheilla, putri anda, dia akan melahirkan sore ini. Persalinan normalnya batal karena ada beberapa kendala, maka dari itu dia harus melakukan caesar demi keselamatannya dan juga kedua anak kami. Sheilla ingin dan berharap anda datang. Setidaknya temuilah dia sebentar," ujar Mathew dengan penuh kesabaran. Untuk saat ini dia harus menghilangkan keegoisannya.Mendengar permintaan Mathew barusan Alexander tertawa. Masih dengan tatapan remehnya dia menjawab, "putri? Apa telinga saya tidak salah mendengar? Sejak dia ke luar dari rumah ini, dia resmi bukan putri saya! Dia sendiri yang mengambil keputusan itu, dan dia pula yang harus bertanggung jawab."Masih keras kepala
Hari masih terbilang masih pagi. Bagaimana tidak, matahari belum sepenuhnya terbit menyinari bumi. Tapi seperti biasa, Sheilla sudah terbangun karena tidurnya tidak nyenyak. Bahkan semalam Sheilla hanya bisa tidur satu jam paling lama. Posisi tidur yang serba salah, perut sakit, semua beradu menjadi satu. Andai bisa berteriak, mungkin mulutnya sudah menyuarakan kata nyarah puluhan kali.Sheilla menghembuskan napasnya perlahan. Sebelum beranjak dari tempat tidur wanita itu mengamati wajah suaminya yang masih terlelap. Mathew terlihat sangat damai, semalam juga dia ditemani pria itu begadang karena tidak bisa tidur. Maka dari itu Sheilla tidak ada niat membangunkan, biarkan saja suaminya tidur. Tangan Sheilla terulur mengusap pipi Mathew."Maaf ya kalau selama ini aku selalu ngerepotin. Makasih kamu masih mau memperjuangkan aku. Aku sadar belum bisa jadi istri yang baik, tapi akan selalu aku usahakan. Begitupun nanti, aku akan belajar jadi ibu yang baik untuk anak kita," ujar Sheilla pe
Setelah tiga hari berada di rumah sakit kini Sheilla sudah diperbolehkan untuk pulang. Selama di rumah sakit, Mathew lah yang setia menunggu serta merawat dengan tulus. Sheilla sendiri sampai detik ini masih bingung. Bingung ingin merespon apa. Mathew memang tidak membahas apapun soal kejadian di rumah ayahnya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal.Infusan sudah dilepas, baju sudah ganti, kini Sheilla tinggal menunggu Mathew yang sedang mengurus administrasi serta mengambil obat. Sheilla turun dari tempat tidur, kakinya melangkah menuju jendela. Dari atas Sheilla bisa melihat kendaraan berlalu-lalang."Sudah bukan waktunya berfikir soal masalah kemarin. Itu sudah berlalu, sekarang fikirkan saja anak kita. Kau akan segera melahirkan, jadi jangan banyak fikiran. Aku di sini, bersamamu, selamanya. Iya, selamanya. Sudah aku bilang, apapun yang sudah menjadi milikku akan kembali pada tuannya. Sudahlah, lupakan ayahmu."Tubuh Sheilla berputar, dia menatap pria yang kini berdiri tepat ri de
"Jadi maksudnya ... ini semua?"Rasa kaget kini menyelimuti hati Daisy. Bukan hanya Daisy, tetapi Elena juga. Keduanya baru saja mendengar rekaman dari ponsel Mathew. Dalam rekaman itu sangat jelas disebut kaau dalang dari kekisruhan ini adalah Alexander."Iya, mantan suami anda.""Math, kamu serius?" Elena meraih tangan Mathew, menunggu jawaban detail dari mulut putranya sendiri.Bukan lagi rekaman, kini Mathew mengeluarkan kertas dari dalam sakunya. Kertas itu dia berikan kepada Elena agar kedua wanita di dekatnya membuka sendiri tanpa perlu dia jelaskan. Mathew sudah teramat lelah dengan semua drama ini, ingin rasanya dia cepat-cepat mengakhiri."Tapi saat ini Sheilla sedang menginap di rumah ayahnya. Mathew, kamu bisa hari ini juga jemput Sheilla. Mama akan dampingi kamu untuk ke sana. Ternyata semuanya benar. Ini semua ulah Alexander." Daisy berdecak tidak percaya. Padahal selama sebulan kebelakangan dia sudah menilai beda mantan suaminya itu.Akan tetapi semua dugaan baik Daisy
“Alexander!”“Alexander siapa yang kau maksud? Di dunia ini banyak nama Alexander. Maka dar—”“Alexander Harrvad Watson! Dia yang menyuruh saya untuk melakukan ini semua. Dia juga yang menyuruh serta membayar kalau saya berhasil menaruh bayi itu di depan rumah anda. Sungguh, apa yang saya katakana benar adanya. Tuan Alexander juga yang menyuruh saya pergi dari kota ini sebelum anda mencari tahu.”Mendengar itu Mathew sempat terdiam sesaat. Bukan kaget, justru yang ada di dalam hati Mathew diisi oleh kemarahan. Ternyata dugaannya beberapa hari ini benar adanya. Awalnya Mathew mengira dalang dibalik ini semua adalah Freya, tapi setelah berfikir ulang kecurigaan Mathew tertuju pada Alexander. Dan sial, ternyata semua benar adanya.“Sialan!” umpat Mathew.Semua informasi yang dia tunggu-tunggu sudah didapat. Tanpa mengatakan apapun Mathew berdiri meninggalkan wanita yang masih tersungkur di lantai. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan dia papasan dengan Arvel. Hanya dengan saling tata
“Sialan!”BRAK!Umpatan yang dibarengi gebrakan meja membuat Arvel dan juga Calvin terlonjak kaget. Boleh saja keduanya kaget, pasalnya mereka sedang fokus menatap layar laptop yang menampilkan beberapa video. Calvin melirik Arvel, pria itu yang tahu kode sang sahabat langsung mendelikkan bahu. Toh dia juga sama-sama tidak tahu.“Lagi-lagi mengibarkan bendera perang,” ujar Mathew lagi.Arvel beranjak dari kursi menghampiri Mathew. Tepukan kecil dia sematkan di pundak sahabatnya itu. “Ada apa lagi, Math? Semua hampir rampung, sabar sedikit apa tidak bisa?”Tanpa menjawab Mathew memberikan ponselnya kepada Arvel agar pria itu melihatnya sendiri. Sambil menunggu apa respon Arvel, Mathew menghabiskan minuman sodanya yang tinggal setengah. Rasa tidak sabar kini bersemayam di dalam hati Mathew. Ingin rasanya dia segera menutaskan masalah yang ada lalu membawa Sheilla ke dalam dekapannya.“Siapa yang menaikkan berita ini, Math? Kenapa bisa tercium media?” tanya Arvel tanpa mengalikan tatapan
“Apa kau benar-benar sudah lupa denganku? Hufft, menyedihkan sekali hidupmu, Sheilla.” Tanpa menghentikan acara nyemil Sheilla manatap laptop di depannya. Entah dari mana asalnya, yang jelas kini sebuah berita terpampang nyata di matanya. Awalnya Sheilla ingin melewati berita tersebut, tetapi saat tidak sengaja membuka isinya Sheilla terdiam dengan isi otak yang bercabang. “Sangat serasi,” guman Sheilla melihat beberapa foto di depannya. Bukan lagi menonton drama apalagi melihat foto artis. Akan tetapi, yang sedang Sheilla lihat adalah berita berisikan nama serta foto Mathew dengan Freya. Berita itu memang memuat soal pekerjaan mereka, tetapi tetap saja Sheilla merasa ada yang aneh dengan hatinya saat ini. Apakah … ini cemburu? Sheilla sadar sudah cukup lama dia menutup diri dan juga komunikasi dengan Mathew. Tapi dibalik itu, hubungan Sheilla dengan sang ayah mulai dekat. Saking dekatnya Sheilla beberapa kali sempat menginap walaupun endingnya dijemput paksa oleh Daisy. Entah dal
"Kapan hasil tes DNA-nya keluar, Math?""Kemungkinan 2 hari lagi, Mah. Selagi nunggu, aku sedang menyelidiki siapa dalang dari semua kekisruhan ini. Aku ingin semua cepat terungkap agar bisa menjemput Sheilla. Karna tidak lama lagi dia akan melahirkan."Elena mengangguk. Dia paham apa maksud perkataan putranya itu. Memang sudah dua minggu lebih menantunya pergi dari rumah ini. Dan selama itu juga Mathew tidak tinggal diam. Hanya saja bukti yang pria itu dapat belum sepenuhnya."Mama doakan apapun langkah yang sedang kamu jalani saat ini. Pesan Mama hanya satu, Math, jaga dirimu baik-baik. Sebisa mungkin hindari apapun yang akan membahayakan dirimu. Ingat, tugasmu sekarang membawa Sheilla pulang." Tangan Elena terulur mengusap lembut punggung putranya.Tidak mau munafik, Elena sangat kagum melihat bagaimana putranya menyelesaikan masalah. Pria itu tidak gegabah, tetapi melakukannya secara struktur. Dan itu membuat Elena teringat dengan ... Hannon–mantan suaminya. Dari sisi manapun kedu
"Mama, perut aku sakit."Baru Daisy ingin menutup pintu kamar, rintihan Sheilla terdengar. Maka dari itu dia mengurungkan niat lalu menghampiri Sheilla yang sudah terbalut selimut tebal. Tanpa perlu penjelasan Daisy tahu rasanya menjadi Sheilla saat ini. Semua akan terasa serba tidak enak.Daisy duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur mengusap kening Sheilla yang dipenuhi keringat. Suhu ruangan dingin, tetapi tidak berlaku untuk tubuh Sheilla."Mama, kenapa sakit sekali? Apa malam ini aku akan melahirkan? Benar-benar sakit!" Sheilla kembali berujar dengan suara gemetar. Kedua tangan di dalam selimut terkepal kuat merasakan sakit di perutnya.Daisy menggeleng seraya menjawab, "belum, belum waktunya kamu lahiran. Itu namanya kontraksi palsu, dan memang sering dan akan tetap terjadi sampai persalinan tiba. Tapi kalau memang sakitnya tidak bisa kamu tahan, kita bisa ke rumah sakit untuk priksa dan jaga-jaga. Tapi kalau kata Mama ya kontraksi palsu, dan pasti tidak perlu masuk rumah sakit