"Selamat pagi, Tuan."
"Selamat pagi, tuan Mathew."Deretan sapaan terus Mathew dengar sejak kakinya melangkah masuk ke dalam kantor. Sudah pukul sembilan, jam kerja sudah dimulai, wajar saja para karyawannya full. Sapaan yang didapat hanya Mathew respon dengan anggukan kepala.Setelah cuti bulan madu, cuti istirahat, kini Mathew kembali beraktifitas seperti semula. Wajah boleh saja terlihat tenang, tetapi sudut bibir Mathew menyunjingkan senyuman saat dia teringat jika Sheilla sedang mengandung calon buah hatinya. Usia yang sudah menginjak kepala tiga memang sudah waktunya Mathew melahirkan penerus karirnya kelak."Victor, bawa semua berkas yang perlu saya cek. Jangan lupa materi meeting siang nanti," ujar Mathew saat dia tak sengaja papasan dengan sang asisten. Anggukan Victor membuat Mathew tidak menunggu jawaban pria itu dan langsung berlalu pergi.Langkah kaki Mathew membawa dirinya masuk ke dalam ruangan lalu tanpa berlama-lama dia duduk di kursi kebangsaannya. Sembari menunggu Victor, hal pertama yang Mathew lakukan adalah membuka email. Di sana cukup banyak pesan yang belum sempat dia lihat.Suara ketukan pintu terdengar yang langsung mendapat sahutan dari Mathew. Tatapan pria itu tidak beralih karena Mathew tahu yang datang pasti Victor."Selamat pagi, Tuan. Ini semua yang Tuan minta sudah saya siapkan. Ada beberapa berkas yang perlu ditandatangani, semua sudah saya tinjau terlebih dahulu. Selain itu, ada beberapa tawaran masuk, namun belum saya berikan jawaban." Victor meletakkan empat dokumen bawaannya, lalu satu langkah dia mundur.Mathew melirik, secepat kilat dia mengambil dokumen-dokumen itu. Dibacanya dengan seksama, teliti, lalu tanpa ragu pria itu membubuhkan tandatangannya. Ada beberapa nama perusahaan yang tidak asing, hal itu memicu sudut bibir Mathew tertarik."Sudah saya tandatangani semua, kau bisa membawanya lagi." Mathew melempat kecil kertas-kertas di tangannya. Dengan sigap Victor mengambil.Setelah semua urusannya selesai Victor meninggalkan ruangan Mathew. Dari yang Mathew baca, ada dua investor baru ingin bergabung. Dan setahunya, investor besar itu juga menjalin kerjasama dengan perusahan Alexander."Well, mari kita lihat siapa yang akan menang, Alexander," guman Mathew.Status mertua dan menantu saat ini hanya formalitas bagi Mathew. Iya, hari ini, tapi tidak tahu hari-hari yang akan datang. Entah permusuhan keduanya semakin berlanjut atau mengikis dengan sendirinya.***Rutinitas yang sudah berubah menjadi kebiasaan tak membuat Mathew mengeluh. Sejak kedatangannya pagi tadi, hingga kini menjelang makan siang, pria itu masih sangat fokus dengan pekerjaan. Selain pekerjaan mandiri, Marhew sempat mengikuti rapat dengan beberapa divisi kantornya.Andai rasa lapar tidak ada, mungkin sekeluarnya dari ruang meeting dia kembali menghadap laptop. Akan tetapi, perutnya tidak bisa dibohongi. Selain rasa lapar, ada satu hal yang sebetulnya mengganggu sejak tadi.Sheilla.Iya, Sheilla.Entah wanita itu mau apa, yang jelas dia menelepon sampai sepuluh kali bahkan lebih. Tanpa merubah posisi tubuhnya Daisy mengangkat panggilan tersebut. Sengaja dia diam, karena di sebrang sana suara Sheilla sudah lebih dulu terdengar.Kira-kira, ocehan apa lagi yang akan istrinya sampaikan?'Kenapa kau lama sekali mengangkat teleponku?!'"....."'Sekarang kau berubah bisu? Begitukah? Jangan menyesal jika di rumah nan—'"Aku sedang kerja, lalu meeting. Di depan para klien apa pantas aku mengangkat telepon sekalipun itu dari kau? Kau ... anak raja?"Suara dengusan khas orang kesal terdengar, sontak Mathew tertawa. Rasa lelah serta kepenatannya seketika musnah setelah dia mendengar lalu menggoda istrinya yang emosian. Kata-katanya tadi tidak sepenuhnya salah, hanya saja akan menyebalkan di telinga Sheilla.'Aku mau pergi, maka dari itu aku meneleponmu. Jangan melarangku! Karna, umhh, aku sudah di jalan.'Sesaat Mathew terdiam, keningnya mengerut mendengar penuturan lancar dari sang istri. Pergi? Mau pergi ke mana wanita itu?"Kau sedang dengan siapa? Mau ke mana?"Cukup lama Mathew menunggu jawaban. Di sebrang sana Sheilla seperti menunggu konfirmasi seseorang. Karena semakin wanita itu gugup, Mathew semakin yakin ada yang disembunyikan. Apa lagi selama kenal Sheilla, Mathew bisa mengamati jika wanita itu tidak pandai berbohong."Jangan macam-macam denganku, atau kau akan tahu akibatnya. Jawab, pergi dengan siapa?"'Chelsea! Iya, aku ada janji sama Chelsea. Tidak lama, hanya makan siang. Kalau begitu aku matikan dulu, kau juga jangan lupa makan supaya tidak marah-marah.'Tut!Aneh.Mathew menarik benda pipih itu dari telinga, lalu memasukannya ke dalam saku. Tak lama mobilnya berhenti tepat di parkiran resto. Cukup jauh dari kantor memang, karena makan siang ini dia juga akan bertemu koleganya.Sekeluarnya dari mobil langkah pasti Mathew memasuki restoran. Restoran siang ini cukup ramai karena memang jam makan siang. Tidak sedikit pasang mata menatap, beberapa teguran, tetapi dengan gagahnya Mathew tetap berjalan sambil menyunjingkan senyum sebagai respon."Reservasi atas nama tuan Justin di mana?""Ah, anda tuan Mathew Smith?"Mathew mengangguk.Pelayan pria di samping Mathew sempat mundur selangkah, tanpa berlama-lama dia mengarahkan Mathew menuju ruangan yang terletak di dalam. Sedang asik berjalan, tiba-tiba saja dari arah berlawanan ada seorang wanita menabrak tubuh Mathew.Kemeja putih yang awalnya bersih seketika berubah cokelat. Mathew melirik kemejanya, dia mengacuhkan permohonan maaf dari sang wanita. Kalau seperti ini, bagaimana bisa dia bertemu koleganya?"Kau! Jalanan sangat terbuka lebar, apa harus menabrak? Terlebih ini restoran tempat makan, bukan taman bermain yang bisa kau gunakan untuk berlari!" bentak Mathew. Bukan hanya sang wanita, pegawai serta beberapa pengunjung langsung memusatkan perhatiannya. Tidak ada yang berani ikut campur, mereka hanya memasang telinga dan mata.Bentakan tegas serta keras Mathew membuat nyali wanita itu semakin ciut. Berkali-kali mulutnya mengucap maaf saking takutnya. Perlahan, dengan nyali seadanya dia mengangkat wajah menatap Mathew di depannya."Apa? Mau buat pembelaan apa?""S-saya ... saya minta maaf.""Maafmu tidak mengembalikan kebersihan bajuku!" Setelah mengatakan itu Mathew berlalu pergi. Niat untuk masuk seketika dia urungkan karena ingin kembali ke parkiran.Beruntung, di mobil dia selalu menyiapkan pakaian.Di tempat lain, Sheilla tengah fokus menatap wanita yang duduk di depannya. Sejak tadi dia menahan greget karena tak kunjung mendapat jawaban. Ditambah suara kericuhan yang entah dari mana membuat emosinya hampir meluap."Astaga, kok bisa ribut di tempat ramai seperti ini!" geram Sheilla sambil menggelengkan kepala. Telinganya memang mendengar, tetapi dia tidak kepo mencari tahu.Lagipula untuk apa kepo urusan orang? Tidak penting."Rena, jadi ada apa? Kenapa kamu ajak aku ke sini? Padahal kita bisa ngobrol di rumah. Selain itu, kenapa juga aku harus bohong sama Mathew? Dia itu menyebalkan, bahaya kalau tahu."***"Rena, jadi ada apa? Kenapa kamu ajak aku ke sini? Padahal kita bisa ngobrol di rumah. Selain itu, kenapa juga aku harus bohong sama Mathew? Dia itu menyebalkan, bahaya kalau tahu."Lagi, wanita di depan Sheilla hanya diam sambil memakan cake pesanannya. Entah apa yang ada di dalam otaknya, yang jelas matanya terus mengamati."Maurena!""Astaga, Sheill, kamu kenapa? Emang salah ya kalau aku ajak kamu jalan-jalan? Kamu ngga boring di rumah? Di jalan tadi aku udah bilang ngga sengaja lewat kawasan rumahmu, jadi aku mampir."Kedua mata Sheilla menyipit. Jawabannya tidak aneh, tidak pula mengandung rasa curiga. Tapi tunggu dulu."Kamu tahu rumahku dari mana, Ren?""Arvel."Tepat sesuai dugaan. Mata yang awalnya menyipit kini berputar jengah. Entahlah, walaupun sudah lama berlalu, tetap saja rasa kesal Sheilla pada sosok Arvel masih sangat ada. Belum lagi tingkahnya yang menyebalkan, semakin memperkeruh kebencian.Sheilla menghempas punggungnya ke sanggahan kursi, kedua tangannya terlipat
Makan malam memang sudah usai, akan tetapi Sheilla masih merenung memikirkan semuanya. Jika biasanya Sheilla enggan berfikir yang menjurus masa bodo, kali ini tidak. Bukan hanya itu, otak mungil Sheilla kini sedang menerka apa yang membuat dirinya dicap pembohong.Heningnya ruang tamu membuat desahan frustasi Sheilla terdengar. Kalau memang iya Mathew tahu kejadian tadi siang, tamat sudah riwayatnya.Setelah ini ... apa dia akan dikembalikan kepada sang ayah?! Tidak, tidak! Itu mimpi buruk! Pasca memantapkan keputusan memilih Mathew, hubungan Sheilla terhenti dengan Aledander—ayahnya.'Kalau begitu, mulai sdetik ini stop memanggil saya dengan sebutan Ayah. Ah, iya, semua fasilitas akan saya tarik. Silahkan ke luar, bawa sisa semua bajumu.'Kata-kata itu kembali terngiang bahkan tak jarang membuat Sheilla meringis. Sheilla kembali menghela napas sembari memijat keningnya yang berdenyut. Sejenak melupakan sang ayah, kini Sheilla kembali memikirkan Mathew. Saat sedang asik berfikir sekel
Walaupun mata masih berat untuk terbuka, akan tetapi rasa penasaran Sheilla teramat kuat. Bukan karena ada hal mistis, tetapi hembusan napas yang terasa di wajah. Perlahan kelopak mata Sheilla terbuka, sesaat dia terdiam tanpa bergerak sedikitpun. Tepat di depannya terpampang wajah damai milik Mathew.Bukan hanya hembusan napas, pelukan erat yang Sheilla rasakan membuatnya tak bisa bergerak bebas. Alih-alih berusaha melepaskan, Sheilla justru tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.Hangat.Nyaman.Tenang.Tiga perasaan itu muncul serempak di dalam hati Sheilla. Untuk hari ini, bolehkah Sheilla merasa beruntung karena bertemu Mathew? Ah, entahlah, Sheilla sedang enggan berfikir.Bak anak bayi, Sheilla terus mendusel mencari kenyamanan di dada bidang milik sang suami. Tanpa Sheilla sadari, Sejak tadi Mathew sudah bangun. Akan tetapi, Mathew tetap diam tanpa mengeluarkan suara. Biarkan saja istrinya itu melakukan hal yang dia mau.Tubuh keduanya kembali merapat, disusul kelopak mata ya
"Aku bosan. Sungguh, aku bosan melihat wajahmu sepanjang hari! Apa tidak bisa sehari saja aku tidak melihat?""Lalu sekarang kau mengacuhkan aku? Untuk apa semua ini? Kupikir manusia sibuk sepertimu tak akan melakukan hal unfaedah seperti ini."'Kau sunggu berisik, Sheilla Watson!'Mendengar sahutan itu bibir Sheilla mengerucut. Walaupun keduanya terhalang jarak, tetapi tetap saja Sheilla merasa kesal. Bagaimana tidak kesal, sejak tadi Mathew menganggu dengan telepon dan juga video call. Sheilla yang terlanjur lelah pada akhirnya mengangkat panggilan itu.Saat sedang kesal-kesalnya, Sheilla teringat sesuatu. Hal itu membuat senyumnya merekah lebar. Sebelum memulai, Sheilla mengambil posisi duduk sembari menguncir rambut."Kau sudah tidak marah padaku? Oh, iya, mana bisa seorang Mathew sanggup mendiamkanku."'Jangan terlalu percaya diri.'Senyum Sheilla seketika berubah jadi tawa. Di sebrang sana Mathew memang sibuk menghadap laptop, tetapi bisa-bisanya tetap ingin video call. Dimana l
"Mama ... apa Mama sedih melihat berita akhir-akhir ini? Apa keputusanku salah, Mah?"Posisi Sheilla yang tengah rebahan di paha membuat Daisy merunduk agar bisa menatap sang putri. "Itu keputusan tepat, Sheill. Memang kamu bisa bertahan hidup dalam lingkaran toxic seumur hidup? Kamu berhak bahagia, dan mungkin Mathew yang akan memimpin. Percayalah, sebenarnya keputusan bercerai sudah sejak dulu dibahas."Sheilla terdiam, tatapannya masih terus tertuju pada Daisy. Tidak ada raut sedih, wanita itu justru tersenyum sambil mengusap pucuk kepalanya. Hal sederhana, tetapi mampu membuat hati Sheilla berdesir."Mama? Apa Mama ingat kapan terakhir kita sedekat ini? Kapan pula aku bisa leluasa melihat wajah Mama?""Yang pasti cukup lama, ya? Maaf, tapi sekarang bisa kita perbaiki. Kapanpun kamu butuh, Mana akan ada setiap saat," sahut Daisy gugup.Tidak ada jawaban apapun dari Sheilla, dia juga bisa melihat raut tidak enak di wajah sang mama. Sepertinya rasa bersalah akan masalalu tetap bersem
"Pilih apa yang ingin kau mau."Tunggu.Suara siapa itu?Tubuh Sheilla refleks berputar menghadap ke belakang. Kini tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sesosok pria tak asing tengah tersenyum padanya. Kening Sheilla mengerut, dalam diamnya dia masih memastikan kebenarannya."Jayden?"Pria yang dipanggil Jayden itu tersenyum lebar. Sudah sangat lama, pada akhirnya dia mendengar namanya disebut kembali oleh sang mantan. Ada rasa sesal di dalam hati Jayden. Andai kejadian waktu itu tidak terjadi, mungkin saat ini Sheilla masih menjadi miliknya."Aku serius, kalau kamu mau salah satu tas itu, ambil saja, nanti aku yang bayar. Jangan negatif thinking, anggap saja sebagai permintaan maaf."Kening mulus Sheilla mengerut mendengar perkataan Jadyen. Apa katanya tadi? Sebagai permintaan maaf? Apa telinganya tidak salah mendengar?"Sheill?"Sheilla berdecak, tangannya menghempas tangan Jayden yang ingin menyentuhnya. Steven dan George pun melakukan hal sama, dengan gerakan cepat mereka menarik
"Apa kau tidak lelah bekerja? Tidak lelah menatap laptop?""Laptop yang membuatmu batal menemuiku sama mama di restoran?""Issh, jawab!"Konsentrasi Mathew pecah. Tatapan yang awalnya fokus pada laptop kini beralih pada sosok wanita di sampingnya. Wajahnya terlihat kesal, bibir mungilnya mengerucut persis anak SD marah karena tak dibelikan keinginannya."Kenapa menatapku seperti itu? Aku bosan didiamkan, lagipula untuk apa kau menyuruhku ke sini? Padahal setelah makan aku ingin pulang bersama mama. Kau itu pekerja, bukan siswa sekolahan, tuan Mathew Smith." Tangan Sheilla terulur, mencubit pelan hidung mancung milik suaminya itu.Berawal dari Daisy memberitahu Mathew akan menyusul, tapi tak lama suaminya itu menelepon menyuruh Sheilla untuk ke kantor. Sejujurnya Sheilla malas, dia pun agak risih menjadi bahan tatapan orang-orang di kantor ini. Tapi setelah mendapat ancaman, alhasil Sheilla datang diantar Daisy. Sedangkan wanita itu langsung kr kantor karena ada tamu mendadak."Bosan d
"Tunggu, Sheilla!"Entah itu panggilan keberapa, yang jelas bukan pertama kali telinga Sheilla dengar. Tanpa memperdulikan suaminya di belakang, Sheilla terus melangkah menuju pintu utama. Kurang dua langkah, tiba-tiba Sheilla memekik karena lengannya ditarik kasar dari belakang. Sontak hal itu membuat rasa kesal Sheilla semakin memuncak."Tidak wanita tadi, tidak kau, kenapa kalian menyebalkan?!""Aku berkali-kali memanggilmu, tetapi kau seolah tuli. Apa memang telingamu tuli?" balas Mathew tak kalah sengit.Mendengar itu bibir Sheilla mengerucut sembari mengehempas tamgan Mathew dari lengannya. Akan tetapi usaha Sheilla sia-sia, tenaga Mathew jauh lebih besar darinya. Sheilla diam, kedua matanya menyipit menatap wajah kesal sang suami. Aneh memang, kenapa pria itu ikut kesal?"Kau mau ke mana? Aku tidak mengizinkan kau untuk pergi, Sheilla. Ah, atau kau cemburu? Ayolah, itu tidak seperti yang kau lihat. Di–""Hah? Aku? Aku cemburu? Hahaha, kau terlalu pede, Mathew Smith!" potong She