Nama yang terucap bukanlah namanya. Benedict belum mengantuk, jadi dia bisa yakin kalau nama yang dingengungkan oleh Aliesha adalah nama sepupunya.Ben serta merta menjauhi tubuh Aliesha, merasa telah dibohongi oleh wanita yang telah mencuri hatinya."Noah..." Tangan Aliesha mencari-cari lengan yang tadinya menghangatkan tubuhnya.Entah sekarang sudah berada di mana. Tempat di sebelahnya kosong dan terasa dingin.Rupanya Ben keluar dari kamarnya lalu bertemu tak sengaja dengan Noah yang baru saja sampai dari bandara.Tangannya masih membawa koper dan jaket terselip di lengan kanannya."Kenapa pulang jam segini?" Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan waktu lewat jam 12 malam."Delay." Itu saja jawaban Noah dan terus melangkah dengan kopernya."Jangan tidur dulu, aku mau bicara!"Semenjak Ben menjalankan misi mendekati Aliesha, kedekatan persaudaraan mereka telah lenyap. Dulu sebelum ini, keduanya seper
"Mengapa Kakek membawa mereka ke sini?"Tentu Noah merasa janggal dengan apa yang dilakukan kakeknya terhadap dua bayi yang masih tak punya dosa itu."Aku hanya ingin membuat Aliesha betah berada di sini. Jadi, aku mengambil mereka. Ini yang membuat Aliesha merasa sedih terus dan terlihat murung setiap kali dia kembali dari menjenguk keluarganya." Kata Kakeknya penuh dengan kebajikan.Apa iya? Noah masih meragukan apa yang sebenarnya ada dalam benak lelaki tua itu."Dan kamu tahu, anak-anak ini sangat nakal. Seharian mereka hanya menangis dan minum susu. Hehehe... aku ingat waktu kamu kecil dulu. Nakalnya juga seperti ini." Ucapnya lalu meninggalkan Noah sendirian dengan mereka.Jangan-jangan kakeknya tahu soal anak ini...Tangis mereka pecah lagi. Sepertinya mereka lapar?Babysitter segera menyiapkan satu botol susu untuk mereka masing-masing. Tak lama kemudian tangisnya terhenti.Noah memandangi keduanya yang sekarang s
Pengakuan Noah membuat Aliesha tak mampu berkata-kata. Apa maksudnya dia mengatakan hal itu pada saat siatuasinya sudah seperti ini. Aliesha jelas tak mungkin lagi bisa dia miliki. Harusnya Noah sadar dengan hal itu. Pengakuan yang mengejutkan dirinya. Kalau tidak digenggamnya dengan erat, anaknya yang digendong bisa saja terjatuh. "Noah, aku... Kupikir apa yang dikatakan Kakek adalah hal yang terbaik untukmu. Sudah saatnya kamu mencari pendamping dan menata hidupmu." Itu saja yang sekarang bisa Aliesha katakan pada lelaki muda di sampingnya. "Jadi, kamu setuju kalau aku menjalin hubungan dengan keluarga relasi Kakekku?" Noah mendekat pada Aliesha. Sekarang dia sudah meletakkan bayinya ke ranjang. Tak tahu apakah kalimat yang diucapkan Aliesha sudah cukup jelas atau belum sebenarnya. Hatinya sudah menutup pintu dari Noah. "Kalau aku tidak setuju, memangnya apa kamu akan menurutiku? Menurutku itu hal yang sia-sia, Noah. Aku sudah tidak ada kaitannya dengan kamu lagi." Kata Aliesh
"Aliesha! Kamu tidak apa-apa?" Noah cepat berlari membantu Aliesha untuk mengumpulkan pecahan-pecahan gelas yang berserakan.Karena tergesa-gesa, salah satu pecahan kecil itu mengenai jari telunjuknya. Kulitnya terkelupas dan mengeluarkan darah.Untuk menghentikan tetesan darah yang tak kunjung berhenti, Noah menarik tangannya lalu memasukkannya ke dalam mulut."No-ah?" Aliesha tak kuasa menahan sakit di jarinya."Diamlah dulu!" Noah berusaha untuk menghentikan darah itu."Sakiiit..." Aliesha memandangi jarinya yang kini masih di mulut Noah.Kedua pasang mata itu saling menatap satu sama lain. Seolah saling berbicara dengan kata-kata tak berbunyi yang mereka sendiri pahami. Aliesha terlihat menahan air matanya."Noah, berhentilah..." Ricky menyuruhnya untuk melepaskan jari itu. Jarak antara mereka berdua terlalu dekat layaknya sepasang kekasih yang terjerat magnet dan Ricky merasa kurang nyaman melihar keduanya seintim itu."Noah, lepaskan jari Aliesha sekarang juga!" Nada bicaranya
Tak terasa sudah menjelang malam hari namun suaminya tak juga kunjung kembali.Ke mana perginya Benedict setelah senja tadi berpamitan untuk keluar sebentar? Nyatanya dia sudah pergi lebih dari enam jam."Suamimu belum kembali juga?" Kakeknya bertanya pada Aliesha yang sibuk menata gambar untuk pekerjaan besok.Sinar wajahnya meredup. Hatinya gelisah seolah-olah dia sedang menahan sesuatu."Belum, Kek. Katanya tadi keluar ada perlu." Seru Aliesha masih berkutat dengan kertas-kertas rencana desainnya. Sesekali dia mengecek apakah letak stop kontak dalam rancangannya sudah benar-benar sesuai dengan kondisi real di rumah apa belum."Katakan padanya untuk segera pulang. Aku mau bicara dengannya." Kakeknya berlalu menuju ke ruang kerjanya di dekat ruang makan."Baik, Kek. Akan segera saya kabari dia." Aliesha memainkan jemarinya untuk mengirimkan pesan pada suaminya setelah dua kali menelpon tak juga ada jawaban."Ke mana dia malam-malam begini?" Aliesha bergumam sendirian. Sulit sekali me
"Aku tidak perlu tahu soal hal itu. Cukup beri tahu passcode saja sudah cukup." Aliesha berhasil membuka layar yang terkunci.Lalu dia pun mengambil gambar beberapa buah meliputi tampak sisi kanan, kiri dan beberapa detail yang penting. Dia juga membubuhkan catatan ukuran serta beberapa point lain untuk mempermudah dirinya menerapkan desainnya."Sudah selesai. Terima kasih, Noah." Dia mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik.Sempat tangan mereka tak sengaja bersentuhan.Pikiran Noah sudah tak bisa dia ajak kompromi lagi. Sejuta mantra dia ucapkan agar jangan sampai dia melakukan hal bodoh pada Aliesha.Tetap saja tangan dan kakinya tak berakal. Keduanya melesat cepat menangkap tubuh Aliesha dan menutup pintu kamar rapat-rapat."Aku tak tahan lama-lama begini, Aliesha. Aku menyiksa diriku sendiri. Sekarang, cepatlah...pergi dari sini." Noah merangkul tubuh wanita itu dari belakang dan membisikkan kata-katanya pada telinga Aliesha."Pergi dari sini. Aku tidak bisa mengontrol diriku k
Lelaki paruh baya itu menoleh ke kanan kirinya.Yang dia lihat bukan pemandangan biasa. Ini adalah istana. Seperti rumah yang dulu pernah ia banggakan. Tapi ukurannya jauh berkali lipat lebih besar lagi."Ini rumah siapa, Noah?" Tanyanya pada Noah yang telah mengantarkannya ke sini."Ayah?!"Baru saat Aliesha mendekatinya, dia baru sadar kira-kira rumah siapa ini."Aliesha, aku tadi bertemu Noah lalu dia mengatakan akan mengantarkanku ke tempatmu." Ayahnya menjelaskan."Noah, kenapa kamu bawa Ayahku ke sini?" Aliesha tentu saja marah karena kalau Ayahnya tahu di mana dia tinggal, pasti akan marah luar biasa.Kakek Noah adalah musuh bebuyutannya."Apa salahnya? Dia kangen sama kamu dan aku tadi menemukannya di tengah jalan raya berjalan sendirian." Kata Noah menjelaskan keadaan yang sebenarnya. "Apa kamu pikir aku tega sama orang tua dan membiarkannya sendirian?"Aliesha terdiam dan masih memegangi lengan ayahnya."Siapa yang Noah maksud?" Tuan Martin bertanya. Dia masih linglung."Bu
Masalah semakin rumit karena tanpa diduga Kakeknya muncul dari balik pintu samping.Beliau memakai tongkat untuk bantuan berjalan karena beberapa hari lalu sempat terjatuh. Sesekali saat berjalan sendirian, alat itu dipakainya untuk membantu keseimbangan."Noah?"Panggilnya lagi.Sang cucu tak menggubris dan terus mengajak Tuan Martin berjalan menuju mobil. Untunglah kakeknya tak memakai kacamata."Tuan, mari segera pergi dari sini." Dengan tergesa-gesa dia membawa Tuan Martin ke mobil didampingi oleh Aliesha.Keduanya tampak khawatir apa yang akan terjadi kalau-kalau kedua musuh bebuyutan ini saling mengenali satu sama lain."Kakekmu bagaimana itu?" Aliesha berbisik."Tenang, dia tidak memakai kacamata, jadi tidak akan terlihat jelas dengan siapa kita sekarang ini. Cepat bawa ayahmu ke mobil dan kita segera pergi dari sini." Kata Noah sambil mempercepat langkahnya."Tapi, aku harus mengawasi tukang-tukang itu bekerja." Aliesha masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa dia tinggalka