"Aliesha! Kamu tidak apa-apa?" Noah cepat berlari membantu Aliesha untuk mengumpulkan pecahan-pecahan gelas yang berserakan.Karena tergesa-gesa, salah satu pecahan kecil itu mengenai jari telunjuknya. Kulitnya terkelupas dan mengeluarkan darah.Untuk menghentikan tetesan darah yang tak kunjung berhenti, Noah menarik tangannya lalu memasukkannya ke dalam mulut."No-ah?" Aliesha tak kuasa menahan sakit di jarinya."Diamlah dulu!" Noah berusaha untuk menghentikan darah itu."Sakiiit..." Aliesha memandangi jarinya yang kini masih di mulut Noah.Kedua pasang mata itu saling menatap satu sama lain. Seolah saling berbicara dengan kata-kata tak berbunyi yang mereka sendiri pahami. Aliesha terlihat menahan air matanya."Noah, berhentilah..." Ricky menyuruhnya untuk melepaskan jari itu. Jarak antara mereka berdua terlalu dekat layaknya sepasang kekasih yang terjerat magnet dan Ricky merasa kurang nyaman melihar keduanya seintim itu."Noah, lepaskan jari Aliesha sekarang juga!" Nada bicaranya
Tak terasa sudah menjelang malam hari namun suaminya tak juga kunjung kembali.Ke mana perginya Benedict setelah senja tadi berpamitan untuk keluar sebentar? Nyatanya dia sudah pergi lebih dari enam jam."Suamimu belum kembali juga?" Kakeknya bertanya pada Aliesha yang sibuk menata gambar untuk pekerjaan besok.Sinar wajahnya meredup. Hatinya gelisah seolah-olah dia sedang menahan sesuatu."Belum, Kek. Katanya tadi keluar ada perlu." Seru Aliesha masih berkutat dengan kertas-kertas rencana desainnya. Sesekali dia mengecek apakah letak stop kontak dalam rancangannya sudah benar-benar sesuai dengan kondisi real di rumah apa belum."Katakan padanya untuk segera pulang. Aku mau bicara dengannya." Kakeknya berlalu menuju ke ruang kerjanya di dekat ruang makan."Baik, Kek. Akan segera saya kabari dia." Aliesha memainkan jemarinya untuk mengirimkan pesan pada suaminya setelah dua kali menelpon tak juga ada jawaban."Ke mana dia malam-malam begini?" Aliesha bergumam sendirian. Sulit sekali me
"Aku tidak perlu tahu soal hal itu. Cukup beri tahu passcode saja sudah cukup." Aliesha berhasil membuka layar yang terkunci.Lalu dia pun mengambil gambar beberapa buah meliputi tampak sisi kanan, kiri dan beberapa detail yang penting. Dia juga membubuhkan catatan ukuran serta beberapa point lain untuk mempermudah dirinya menerapkan desainnya."Sudah selesai. Terima kasih, Noah." Dia mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik.Sempat tangan mereka tak sengaja bersentuhan.Pikiran Noah sudah tak bisa dia ajak kompromi lagi. Sejuta mantra dia ucapkan agar jangan sampai dia melakukan hal bodoh pada Aliesha.Tetap saja tangan dan kakinya tak berakal. Keduanya melesat cepat menangkap tubuh Aliesha dan menutup pintu kamar rapat-rapat."Aku tak tahan lama-lama begini, Aliesha. Aku menyiksa diriku sendiri. Sekarang, cepatlah...pergi dari sini." Noah merangkul tubuh wanita itu dari belakang dan membisikkan kata-katanya pada telinga Aliesha."Pergi dari sini. Aku tidak bisa mengontrol diriku k
Lelaki paruh baya itu menoleh ke kanan kirinya.Yang dia lihat bukan pemandangan biasa. Ini adalah istana. Seperti rumah yang dulu pernah ia banggakan. Tapi ukurannya jauh berkali lipat lebih besar lagi."Ini rumah siapa, Noah?" Tanyanya pada Noah yang telah mengantarkannya ke sini."Ayah?!"Baru saat Aliesha mendekatinya, dia baru sadar kira-kira rumah siapa ini."Aliesha, aku tadi bertemu Noah lalu dia mengatakan akan mengantarkanku ke tempatmu." Ayahnya menjelaskan."Noah, kenapa kamu bawa Ayahku ke sini?" Aliesha tentu saja marah karena kalau Ayahnya tahu di mana dia tinggal, pasti akan marah luar biasa.Kakek Noah adalah musuh bebuyutannya."Apa salahnya? Dia kangen sama kamu dan aku tadi menemukannya di tengah jalan raya berjalan sendirian." Kata Noah menjelaskan keadaan yang sebenarnya. "Apa kamu pikir aku tega sama orang tua dan membiarkannya sendirian?"Aliesha terdiam dan masih memegangi lengan ayahnya."Siapa yang Noah maksud?" Tuan Martin bertanya. Dia masih linglung."Bu
Masalah semakin rumit karena tanpa diduga Kakeknya muncul dari balik pintu samping.Beliau memakai tongkat untuk bantuan berjalan karena beberapa hari lalu sempat terjatuh. Sesekali saat berjalan sendirian, alat itu dipakainya untuk membantu keseimbangan."Noah?"Panggilnya lagi.Sang cucu tak menggubris dan terus mengajak Tuan Martin berjalan menuju mobil. Untunglah kakeknya tak memakai kacamata."Tuan, mari segera pergi dari sini." Dengan tergesa-gesa dia membawa Tuan Martin ke mobil didampingi oleh Aliesha.Keduanya tampak khawatir apa yang akan terjadi kalau-kalau kedua musuh bebuyutan ini saling mengenali satu sama lain."Kakekmu bagaimana itu?" Aliesha berbisik."Tenang, dia tidak memakai kacamata, jadi tidak akan terlihat jelas dengan siapa kita sekarang ini. Cepat bawa ayahmu ke mobil dan kita segera pergi dari sini." Kata Noah sambil mempercepat langkahnya."Tapi, aku harus mengawasi tukang-tukang itu bekerja." Aliesha masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa dia tinggalka
"Aduuuuuh!" Jeritan Noah membuat seisi rumah terasa bergetar. Bagaimana tidak, tendangan Aliesha yang tepat mengenai sasaran seketika merobohkan gelora jiwanya yang sedang memuncak. "Aliesha, kamu sudah kelewatan!" Noah uring-uringan sendiri. Dia memegangi bagian tubuhnya yang kesakitan dan terasa ngilu luar biasa. "Apanya?" Aliesha yang tadinya sempat larut dalam keheningan dan mood untuk melakukan itu, sekarang menjadi berubah drastis dan emosi. "Kamu tega banget sama aku!" Kini ekspresi Noah seperti anak kecil yang baru saja direbut mainannya lalu menerima pukulan dari lawannya. "Aku tidak sengaja! Kamu sih, aku minta untuk berhenti bukannya menjauh malah megang sana-sini..." Aliesha kesal lalu dia mengambil baju yang akan dibawanya ke rumah Benedict. "Tidak sengaja apanya? Mana mungkin tidak sengaja bisa tepat gitu. Kamu banyak alasan. Kalau kamu tidak mau, cukup bilang saja nggak usah pakai menyerang segala... Aduuuh!" Bi Lastri datang mendadak ke kamar tidur Aliesha. "Noa
"Apa ini? Katakan padaku... jangan pura-pura bodoh!" Benedict sekali lagi menunjukkan bukti itu pada sepupunya.Aliesha dan Noah tampak sedang bermesraan di depan jendela kamar rumahnya.Dari bentukan foto itu, terlihat kalau foto itu diambil dari luar rumah. Entah oleh siapa."Ini sudah terjadi lama sekali." Noah berdehem lalu membantah atas apa yang terlihat jelas di foto itu."Hanya orang bodoh yang percaya kalimatmu, Noah." Lalu Ben mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.Dia melemparkannya ke wajah Noah yang masih pucat pasi karena tertangkap basah oleh sepupunya itu."Ini, ambil sekalian dan bawa ke manapun kamu pergi." Sebuah celana dalam milik wanita dia lemparkan ke muka Noah.Saat itu benda tersebut jatuh begitu saja ke lantai dan Noah sengaja menahan diri untuk diam."Kamu..." Noah ingin mengumpat tapi itu hanya akan menambah keruh suasana."Aku menemukannya di kamarmu. Kamu rupanya menyimpan itu... menjijikkan!" Ben kemudian berlalu kembali ke kamarnya.Dia ingin meneruska
"Aliesha, ini aku. Buka pintunya!" Noah mengetuk pintu kamar anak-anaknya pelan. Dia tahu kalau Aliesha bersembunyi di dalam saat Ben mencarinya tadi. Tak ada sahutan dari dalam. Entah apa yang sedang dilakukannya bersama dua bayi kembar itu. "Aliesha, ini aku. Aku... Noah!" Bisiknya lagi dari balik pintu. "Buka pintunya, cepat!" Lalu tangan Aliesha terdengar membuka knop pintunya dengan memutar perlahan. Setelah pintu terbuka sedikit, Noah menerobos masuk. "Apa maumu?" Aliesha tak menyambutnya dengan baik. Dia sudah tak ingin banyak bersinggungan dengan lelaki muda di hadapannya. Seperti dugaannya yang sudah-sudah, Noah tidak membantunya menyelesaikan masalah. Justru selalu memperkeruh keadaan. "Aliesha, dengarkan aku. Kamu harus keluar dari rumah ini." Ucap Noah sambil terlihat khawatir pada sesuatu yang mengejarnya. "Kenapa aku harus keluar dari sini?" Tanya Aliesha sinis. "Kamu dan anak-anak tidak aman berada di sini, Aliesha. Percayalah padaku! Bisa saja sewaktu-waktu Kak