"Apa ini? Katakan padaku... jangan pura-pura bodoh!" Benedict sekali lagi menunjukkan bukti itu pada sepupunya.Aliesha dan Noah tampak sedang bermesraan di depan jendela kamar rumahnya.Dari bentukan foto itu, terlihat kalau foto itu diambil dari luar rumah. Entah oleh siapa."Ini sudah terjadi lama sekali." Noah berdehem lalu membantah atas apa yang terlihat jelas di foto itu."Hanya orang bodoh yang percaya kalimatmu, Noah." Lalu Ben mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.Dia melemparkannya ke wajah Noah yang masih pucat pasi karena tertangkap basah oleh sepupunya itu."Ini, ambil sekalian dan bawa ke manapun kamu pergi." Sebuah celana dalam milik wanita dia lemparkan ke muka Noah.Saat itu benda tersebut jatuh begitu saja ke lantai dan Noah sengaja menahan diri untuk diam."Kamu..." Noah ingin mengumpat tapi itu hanya akan menambah keruh suasana."Aku menemukannya di kamarmu. Kamu rupanya menyimpan itu... menjijikkan!" Ben kemudian berlalu kembali ke kamarnya.Dia ingin meneruska
"Aliesha, ini aku. Buka pintunya!" Noah mengetuk pintu kamar anak-anaknya pelan. Dia tahu kalau Aliesha bersembunyi di dalam saat Ben mencarinya tadi. Tak ada sahutan dari dalam. Entah apa yang sedang dilakukannya bersama dua bayi kembar itu. "Aliesha, ini aku. Aku... Noah!" Bisiknya lagi dari balik pintu. "Buka pintunya, cepat!" Lalu tangan Aliesha terdengar membuka knop pintunya dengan memutar perlahan. Setelah pintu terbuka sedikit, Noah menerobos masuk. "Apa maumu?" Aliesha tak menyambutnya dengan baik. Dia sudah tak ingin banyak bersinggungan dengan lelaki muda di hadapannya. Seperti dugaannya yang sudah-sudah, Noah tidak membantunya menyelesaikan masalah. Justru selalu memperkeruh keadaan. "Aliesha, dengarkan aku. Kamu harus keluar dari rumah ini." Ucap Noah sambil terlihat khawatir pada sesuatu yang mengejarnya. "Kenapa aku harus keluar dari sini?" Tanya Aliesha sinis. "Kamu dan anak-anak tidak aman berada di sini, Aliesha. Percayalah padaku! Bisa saja sewaktu-waktu Kak
Aliesha terburu-buru masuk ke dalam mobil sambil menggendong anaknya yang baru saja berhenti menangis. Mobil melaju keluar dari pelataran rumah. Aliesha tak bisa lagi berpikir jernih harus melakukan apa karena anaknya sudah dijadikan Noah sebagai alat untuk mengancam. Dia tak lagi ingat bahwa Benedict nanti bisa saja memarahinya karena dia terus menerus 'menempel' pada sosok yang dibencinya selama ini. "Noah, mau ke mana kita ini?" Aliesha khawatir karena dia tak tahu ke mana mantan suaminya akan membawanya pergi. Di matanya, sosok Noah sudah berubah drastis tak seperti saat dia kenal dulu. Dulunya Noah adalah sosok pemuda yang jinak dan sangat mudah diajak kerja sama. Sekarang, tak tahu lagi di mana Noah yang dulu. "Kamu diam saja dulu." Kata Noah sambil terus berkonsentrasi mengemudikan mobilnya.Sepertinya jalan yang dilalui mereka ini tak asing bagi Aliesha. Dugaannya betul, sekarang mereka menuju ke area bangunan menjulang tinggi. Ini adalah area perkantoran dan perhotelan.
"Aliesha, mau ikut aku mandi sekarang?" Pertanyaan Noah ini mengejutkannya.Awalnya wanita bermata bulat itu terdiam mematung mendengarkannya, namun setelah menyadari apa maksud yang dikatakan oleh Noah, dia langsung menutupi wajahnya karena malu."Hei... kenapa kamu begitu?" Noah sama sekali tak merasa sedang dalam pelarian."Noah... aku bukan kekasihmu dan bukan lagi istrimu." Dengan sisa-sisa logika yang masih dia miliki, Aliesha mencoba menyadarkan lelaki tampan di depannya itu.Entahlah, saat Noah mengekspose tubuh dalam guyuran keringat begini, dia terlihat macho dan semakin menawan. Melihat lengannya saja tadi Aliesha seperti sudah berhenti berdetak jantung yang di dalam dirinya."Tapi..." Nafas Noah begitu dekat dan sekarang Aliesha yakin bibirnya sudah mendekati telinga kiri ke lehernya. "Kamu adalah tetap ibu dari anak-anakku sampai kapanpun."Aliesha tak kuasa menahan efek kalimat gombalan Noah yang memang sejak dulu dia pandai merayu dan membuatnya tersipu malu."Noah... k
Aliesha tak menanggapi kalimat Noah yang semakin menjurus ke arah yang tak dia inginkan. Selalu saja maunya nyerempet-nyerempet melulu."Aliesha, apa kamu marah dengan candaanku? Jangan tegang begitu, aku hanya bercanda..." Ralatnya karena melihat ekspresi Aliesha yang kurang senang dengan setiap kalimatnya yang terkesan jorok.Padahal itu semua dia lakukan untuk memberikan humor dan hiburan saja. Syukur-syukur jika Aliesha juga mau menimpali dan menyahut."Aliesha..." Panggilnya sambil menjongkokkan tubuhnya agar sejajar dengan posisi Aliesha yang duduk menyusui anaknya."Tidak apa-apa. Itu hakmu untuk berkata semaumu, Noah." Sahutnya sambil menepuk-nepuk punggung bayinya.Noah sekarang merasa tak lebih baik dari sebuah obat nyamuk. Aliesha begitu fokus menyayangi anaknya lantas membiarkannya mengamati kedekatan antara ibu dan anak itu.Noah seakan tak dipedulikan lagi."Kamu tidak marah padaku?" Tanya Noah memastikan kalau ibu muda itu tak marah lagi.Aliesha menggeleng dan itu suda
"Mama... kapan pulang?" Tanya Ben antusias dan seakan mendapatkan support system baru. Mamanya memang jarang berkunjung ke Indonesia karena sebenarnya dia sudah berpisah dengan Papa Benedict sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar."Aku baru landing beberapa jam lalu dan kupikir ini adalah keputusan yang baik karena akhirnya aku bisa menjejakkan kaki di bumi yang sama dengan anakku.." Mamanya memeluk hingga tubuh Ben menekuk agar sejajar dengan ketinggian ibunya."Ma, bagaimana Mama bisa tahu tentang semua hal yang seharusnya luput dari perhatianmu?" Ben penasaran. Selam aini Mamanya tidak pernah sering berada di dekatnya, namun selalu paham pada perkembangan berita terkini di keluarga besar.“Memang apa aku harus terus menerus bersama kalian agar aku tahu apa yang sedang terjadi? Tentu tidak, Ben!” Jawab mamanya dengan bangga pada keahliannya memata-matai keluarga besarnya. Lebih tepatnya keluarga mantan suaminya.Mamanya membenarkan tatanan rambutnya yang sedikit berubah karen
"Jangan berbahagia dulu kamu..." Jelas terdengar suara Eros menimpalinyaLelaki tambun itu rupanya hingga kini masih sakit hati dan ingin membalas dendam pada Aliesha maupun Noah juga."Iya... aku paham kalau sekarang belum saatnya untuk mengibarkan bendera kemenangan. Tapi, bolehkah aku sedikit tertawa karena sepertinya usaha kita membuahkan hasil..." Kata Mama Benedict saat bertelpon ria dengan Eros, musuh menantunya sekaligus anaknya juga.Jika Ben sampai tahu kalau sang mama bekerja sama dengan Eros, mungkin saat ini dia tak akan mendengarkannya lagi. Sejak tahu Eros begitu jahatnya pada Aliesha, Ben sudah memasukkannya ke dalam top list enemy yang harus dijauhi.Lain halnya dengan mamanya, Eros tahu betul bagaimana memanjakan para janda atau wanita yang tengah dirundung kesepian mendalam."Kalau sekedar bahagia sejenak itu boleh saja. Bukankah kamu juga perlu istirahat sebentar sebelum kita memulai melakukan next round, ya kan?" Lelucon yang dikatakan pria bertubuh tambun dan cuk
"Apa maumu?" Dengan sisa-sisa keberanian yang dia miliki, Ben melawan.Lelaki itu tidak lantas menurunkan senjata tapi tetap saja menantang Ben."Mau apa kamu ke sini?" Tanya pria bersenjata itu."Cepat menyingkirlah. Aku tidak ada urusan denganmu. Aku hanya ingin menjemput istriku!" Ben menjawabnya dengan bibir yang sedikit gemetar.Ia mulai diserang rasa takut. Saat anak buahnya akan membalas dengan menodongkan senjata, Ben menyuruh mereka untuk diam dulu dan tidak cepat-cepat membalasnya."Benedict! Nyalimu ternyata hanya setebal sumbu kompor. Hahaha." Muncullah sosok yang merupakan dalang dan pemimpin pria bersenjata."Eros?" Ben terkejut karena setelah berbulan-bulan tak bertemu, tiba-tiba sosok itu muncul lagi."Syukurlah kalau kamu masih ingat padaku!" Kata pria tambun dengan baju bermotif ular di dadanya."Eros, cepat pergi dari sini! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi." Kata Ben mempertegas niat tujuannya datang."Hah. Apanya yang tidak mau berurusan? Anak buahmu tadi seda