Aliesha tak menanggapi kalimat Noah yang semakin menjurus ke arah yang tak dia inginkan. Selalu saja maunya nyerempet-nyerempet melulu."Aliesha, apa kamu marah dengan candaanku? Jangan tegang begitu, aku hanya bercanda..." Ralatnya karena melihat ekspresi Aliesha yang kurang senang dengan setiap kalimatnya yang terkesan jorok.Padahal itu semua dia lakukan untuk memberikan humor dan hiburan saja. Syukur-syukur jika Aliesha juga mau menimpali dan menyahut."Aliesha..." Panggilnya sambil menjongkokkan tubuhnya agar sejajar dengan posisi Aliesha yang duduk menyusui anaknya."Tidak apa-apa. Itu hakmu untuk berkata semaumu, Noah." Sahutnya sambil menepuk-nepuk punggung bayinya.Noah sekarang merasa tak lebih baik dari sebuah obat nyamuk. Aliesha begitu fokus menyayangi anaknya lantas membiarkannya mengamati kedekatan antara ibu dan anak itu.Noah seakan tak dipedulikan lagi."Kamu tidak marah padaku?" Tanya Noah memastikan kalau ibu muda itu tak marah lagi.Aliesha menggeleng dan itu suda
"Mama... kapan pulang?" Tanya Ben antusias dan seakan mendapatkan support system baru. Mamanya memang jarang berkunjung ke Indonesia karena sebenarnya dia sudah berpisah dengan Papa Benedict sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar."Aku baru landing beberapa jam lalu dan kupikir ini adalah keputusan yang baik karena akhirnya aku bisa menjejakkan kaki di bumi yang sama dengan anakku.." Mamanya memeluk hingga tubuh Ben menekuk agar sejajar dengan ketinggian ibunya."Ma, bagaimana Mama bisa tahu tentang semua hal yang seharusnya luput dari perhatianmu?" Ben penasaran. Selam aini Mamanya tidak pernah sering berada di dekatnya, namun selalu paham pada perkembangan berita terkini di keluarga besar.“Memang apa aku harus terus menerus bersama kalian agar aku tahu apa yang sedang terjadi? Tentu tidak, Ben!” Jawab mamanya dengan bangga pada keahliannya memata-matai keluarga besarnya. Lebih tepatnya keluarga mantan suaminya.Mamanya membenarkan tatanan rambutnya yang sedikit berubah karen
"Jangan berbahagia dulu kamu..." Jelas terdengar suara Eros menimpalinyaLelaki tambun itu rupanya hingga kini masih sakit hati dan ingin membalas dendam pada Aliesha maupun Noah juga."Iya... aku paham kalau sekarang belum saatnya untuk mengibarkan bendera kemenangan. Tapi, bolehkah aku sedikit tertawa karena sepertinya usaha kita membuahkan hasil..." Kata Mama Benedict saat bertelpon ria dengan Eros, musuh menantunya sekaligus anaknya juga.Jika Ben sampai tahu kalau sang mama bekerja sama dengan Eros, mungkin saat ini dia tak akan mendengarkannya lagi. Sejak tahu Eros begitu jahatnya pada Aliesha, Ben sudah memasukkannya ke dalam top list enemy yang harus dijauhi.Lain halnya dengan mamanya, Eros tahu betul bagaimana memanjakan para janda atau wanita yang tengah dirundung kesepian mendalam."Kalau sekedar bahagia sejenak itu boleh saja. Bukankah kamu juga perlu istirahat sebentar sebelum kita memulai melakukan next round, ya kan?" Lelucon yang dikatakan pria bertubuh tambun dan cuk
"Apa maumu?" Dengan sisa-sisa keberanian yang dia miliki, Ben melawan.Lelaki itu tidak lantas menurunkan senjata tapi tetap saja menantang Ben."Mau apa kamu ke sini?" Tanya pria bersenjata itu."Cepat menyingkirlah. Aku tidak ada urusan denganmu. Aku hanya ingin menjemput istriku!" Ben menjawabnya dengan bibir yang sedikit gemetar.Ia mulai diserang rasa takut. Saat anak buahnya akan membalas dengan menodongkan senjata, Ben menyuruh mereka untuk diam dulu dan tidak cepat-cepat membalasnya."Benedict! Nyalimu ternyata hanya setebal sumbu kompor. Hahaha." Muncullah sosok yang merupakan dalang dan pemimpin pria bersenjata."Eros?" Ben terkejut karena setelah berbulan-bulan tak bertemu, tiba-tiba sosok itu muncul lagi."Syukurlah kalau kamu masih ingat padaku!" Kata pria tambun dengan baju bermotif ular di dadanya."Eros, cepat pergi dari sini! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi." Kata Ben mempertegas niat tujuannya datang."Hah. Apanya yang tidak mau berurusan? Anak buahmu tadi seda
"Benedict?" Aliesha menurunkan kaca mobil tapi dia tak berani membukakan pintu.Noah sepertinya masih mengawasi gerak geriknya dari dalam toko elektronik hingga sekarang."Aliesha, baby... Aku merindukanmu!" Ben meraih kedua tangan Aliesha kemudian menciumnya dengan erat."Ben... Kenapa kamu di sini? Bagaimana kamu bisa tahu?" Aliesha belum bisa membalas sentuhan suaminya karena masih khawatir kalau sewaktu-waktu Noah kembali dan memergoki suaminya di sini.Apakah ini wajar? Kenapa dia justru lebih takut pada Noah daripada terhadap Ben?"Aku mencarimu berhari-hari, Aliesha...""Sebaiknya kamu pergi dari sini daripada terjadi hal yang tak diinginkan. Cepat pergi dari sini!" Aliesha menyuruh suaminya untuk segera angkat kaki.Dia sempat melihat ada beberapa anak buah Ben yang ikut mengamati dari jauh. Aliesha yakin jika nanti Ben serta Noah bertemu, akan terjadi hal yang tak diinginkan. Bisa jadi akan terjadi kontak fisik di antara keduanya."Kenapa aku harus pergi saat aku bersusah pay
"Mau apa kamu ke sini?" Aliesha risih saat berada di kamarnya, tiba-tiba Noah muncul dalam waktu yang hampir bersamaan. "Aku mau memastikan kalau kamu tidak ketakutan." Kata Noah usil. Tangannya memeriksa apakah kamarnya yang tak pernah dihuni ini berdebu atau tidak. Nyatanya tidak ada debu yang bertengger di perabot maupun tempat tidurnya. Akhirnya dia duduk di ranjang dengan nyaman. "Siapa suruh kamu ikut aku ke sini?" Aliesha menegur. Seharusnya Noah tahu diri untuk tidak mencampuri privasinya. Selama beberapa hari ini Aliesha merasa sudah lebih mirip seperti tawanan dan tak ingin lebih lama lagi berdekatan dengan Noah, setidaknya selama berada di rumah ini. "Aku? Tidak ada yang menyuruhku. Hanya saja aku ingin kita... menjalin persahabatan yang dulu sempat ada. Seperti saat dulu aku menjadi sopirmu, Nona Aliesha!" Noah terkekeh dengan kalimat yang menurutnya dianggap lucu. Tapi, tidak dengan Aliesha. Momen itu adalah memori paling bodoh yang dia miliki. Dengan lugunya dia t
Aliesha memberanikan diri menjawab Ayahnya. "Tidak ada hal yang seperti Ayah duga. Semua baik-baik saja." Kata Aliesha sambil mengelus lengan sang ayah. Dia tak mudah percaya begitu saja terlebih sekarang sepertinya ayahnya sudah lebih waras dari sebelumnya. "Ah yang benar saja kamu?? Aku tadi dengar kamu sama Sari bicara soal rujuk. Apa kamu dan suamimu mau cerai? Nggak malu kawin cerai kawin cerai begitu?" Tanya Ayahnya. Deg. Aliesha kaget. Apa jangan-jangan ingatan ayahnya sudah pulih kembali dan mengingat semua yang pernah terjadi? Sari dan Bi Lastri hanya bisa mengutarakan maaf lewat tatapan mata pada Aliesha. Mereka juga bingung mau berkata apa. "Nggak, Yah. Aku masih nikah sama Benedict." Aliesha menjawab dengan menahan emosinya. "Lha kalau kamu nikah sama Ben, kenapa ke sini sama Noah?" Tanya Ayahnya lagi. Bagaimana dia bisa tahu soal ini? Bukannya tadi seharian dia hanya di kamar dan kata pembantunya sibuk melukis? "Ayah, apa maksudnya bertanya begitu?" Aliesha gugu
"Anuu... aku tadi..."Noah mencari-cari alasan untuk menutup rasa malunya pada Bi Lastri. "Non Aliesha nggak apa-apa?" Bi Lastri meraih tangan Aliesha untuk diajaknya duduk dengan benar di ujung ranjangnya."Aku nggak apa-apa, Bi." Dia nampak kesal karena bukan kali ini saja Noah mempermalukannya di depan orang lain.Noah seketika berdiri di dekat meja. Dia agak malu saat ketahuan orang lain berbuat aneh-aneh pada Aliesha."Noah, aku cuma mau mengingatkan kamu. Kamu sejak dulu aku sudah kenal dan sudah kuanggap seperti anakku sendiri..." Bi Lastri terlihat serius dengan apa yang dia ucapkan.Aliesha ikut menyimak dan baru pertama kalinya dia berkata jujur pada keduanya."Iya, Bi..." Kata Noah menimpali Bi Lastri dengan canggung."Aku tahu kamu masih mencintai Non Aliesha dan cintamu tulus padanya." Ungkapan ini membuat Aliesha maupun Noah terkejut bukan main.Dari mana Bi Lastri tahu soal hal ini?"Aku juga paham kalau kamu menyimpan perasaan itu pun ketika kamu saat itu menjauh dari