"Apa maumu?" Dengan sisa-sisa keberanian yang dia miliki, Ben melawan.Lelaki itu tidak lantas menurunkan senjata tapi tetap saja menantang Ben."Mau apa kamu ke sini?" Tanya pria bersenjata itu."Cepat menyingkirlah. Aku tidak ada urusan denganmu. Aku hanya ingin menjemput istriku!" Ben menjawabnya dengan bibir yang sedikit gemetar.Ia mulai diserang rasa takut. Saat anak buahnya akan membalas dengan menodongkan senjata, Ben menyuruh mereka untuk diam dulu dan tidak cepat-cepat membalasnya."Benedict! Nyalimu ternyata hanya setebal sumbu kompor. Hahaha." Muncullah sosok yang merupakan dalang dan pemimpin pria bersenjata."Eros?" Ben terkejut karena setelah berbulan-bulan tak bertemu, tiba-tiba sosok itu muncul lagi."Syukurlah kalau kamu masih ingat padaku!" Kata pria tambun dengan baju bermotif ular di dadanya."Eros, cepat pergi dari sini! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi." Kata Ben mempertegas niat tujuannya datang."Hah. Apanya yang tidak mau berurusan? Anak buahmu tadi seda
"Benedict?" Aliesha menurunkan kaca mobil tapi dia tak berani membukakan pintu.Noah sepertinya masih mengawasi gerak geriknya dari dalam toko elektronik hingga sekarang."Aliesha, baby... Aku merindukanmu!" Ben meraih kedua tangan Aliesha kemudian menciumnya dengan erat."Ben... Kenapa kamu di sini? Bagaimana kamu bisa tahu?" Aliesha belum bisa membalas sentuhan suaminya karena masih khawatir kalau sewaktu-waktu Noah kembali dan memergoki suaminya di sini.Apakah ini wajar? Kenapa dia justru lebih takut pada Noah daripada terhadap Ben?"Aku mencarimu berhari-hari, Aliesha...""Sebaiknya kamu pergi dari sini daripada terjadi hal yang tak diinginkan. Cepat pergi dari sini!" Aliesha menyuruh suaminya untuk segera angkat kaki.Dia sempat melihat ada beberapa anak buah Ben yang ikut mengamati dari jauh. Aliesha yakin jika nanti Ben serta Noah bertemu, akan terjadi hal yang tak diinginkan. Bisa jadi akan terjadi kontak fisik di antara keduanya."Kenapa aku harus pergi saat aku bersusah pay
"Mau apa kamu ke sini?" Aliesha risih saat berada di kamarnya, tiba-tiba Noah muncul dalam waktu yang hampir bersamaan. "Aku mau memastikan kalau kamu tidak ketakutan." Kata Noah usil. Tangannya memeriksa apakah kamarnya yang tak pernah dihuni ini berdebu atau tidak. Nyatanya tidak ada debu yang bertengger di perabot maupun tempat tidurnya. Akhirnya dia duduk di ranjang dengan nyaman. "Siapa suruh kamu ikut aku ke sini?" Aliesha menegur. Seharusnya Noah tahu diri untuk tidak mencampuri privasinya. Selama beberapa hari ini Aliesha merasa sudah lebih mirip seperti tawanan dan tak ingin lebih lama lagi berdekatan dengan Noah, setidaknya selama berada di rumah ini. "Aku? Tidak ada yang menyuruhku. Hanya saja aku ingin kita... menjalin persahabatan yang dulu sempat ada. Seperti saat dulu aku menjadi sopirmu, Nona Aliesha!" Noah terkekeh dengan kalimat yang menurutnya dianggap lucu. Tapi, tidak dengan Aliesha. Momen itu adalah memori paling bodoh yang dia miliki. Dengan lugunya dia t
Aliesha memberanikan diri menjawab Ayahnya. "Tidak ada hal yang seperti Ayah duga. Semua baik-baik saja." Kata Aliesha sambil mengelus lengan sang ayah. Dia tak mudah percaya begitu saja terlebih sekarang sepertinya ayahnya sudah lebih waras dari sebelumnya. "Ah yang benar saja kamu?? Aku tadi dengar kamu sama Sari bicara soal rujuk. Apa kamu dan suamimu mau cerai? Nggak malu kawin cerai kawin cerai begitu?" Tanya Ayahnya. Deg. Aliesha kaget. Apa jangan-jangan ingatan ayahnya sudah pulih kembali dan mengingat semua yang pernah terjadi? Sari dan Bi Lastri hanya bisa mengutarakan maaf lewat tatapan mata pada Aliesha. Mereka juga bingung mau berkata apa. "Nggak, Yah. Aku masih nikah sama Benedict." Aliesha menjawab dengan menahan emosinya. "Lha kalau kamu nikah sama Ben, kenapa ke sini sama Noah?" Tanya Ayahnya lagi. Bagaimana dia bisa tahu soal ini? Bukannya tadi seharian dia hanya di kamar dan kata pembantunya sibuk melukis? "Ayah, apa maksudnya bertanya begitu?" Aliesha gugu
"Anuu... aku tadi..."Noah mencari-cari alasan untuk menutup rasa malunya pada Bi Lastri. "Non Aliesha nggak apa-apa?" Bi Lastri meraih tangan Aliesha untuk diajaknya duduk dengan benar di ujung ranjangnya."Aku nggak apa-apa, Bi." Dia nampak kesal karena bukan kali ini saja Noah mempermalukannya di depan orang lain.Noah seketika berdiri di dekat meja. Dia agak malu saat ketahuan orang lain berbuat aneh-aneh pada Aliesha."Noah, aku cuma mau mengingatkan kamu. Kamu sejak dulu aku sudah kenal dan sudah kuanggap seperti anakku sendiri..." Bi Lastri terlihat serius dengan apa yang dia ucapkan.Aliesha ikut menyimak dan baru pertama kalinya dia berkata jujur pada keduanya."Iya, Bi..." Kata Noah menimpali Bi Lastri dengan canggung."Aku tahu kamu masih mencintai Non Aliesha dan cintamu tulus padanya." Ungkapan ini membuat Aliesha maupun Noah terkejut bukan main.Dari mana Bi Lastri tahu soal hal ini?"Aku juga paham kalau kamu menyimpan perasaan itu pun ketika kamu saat itu menjauh dari
Suhu udara mulai terasa sejuk. Matahari rupanya sudah mulai muncul dengan malu-malu.Kepalanya masih terasa berat dan perutnya benar-benar kosong sekarang. Entah kenapa ia merasa berat bergerak karena ada sosok yang memeluk dari belakang."Aliesha?" Dia menolehkan kepala dan benar itu adalah wanita yang tadi tampak sangat mengkhawatirkannya.Lidahnya terasa pahit karena memuntahkan semua isi perutnya, bahkan asam lambungnya pun ikut keluar dengan sengaja."Aliesha?!" Ia sebenarnya ingin membangunkannya tapi akhirnya dia pikir itu mengganggu seseorang yang masih beristirahat.Dia membiarkan saja tubuh lemah itu tergolek di ranjang dan membenarkan selimut untuk menutup semua tubuhnya yang terlihat mulus.Hasratnya menggebu hanya saja dia tak punya tenaga untuk menyalurkannya.Yang ingin ia lakukan sekarang adalah mencari makanan untuk mengganjal perut. Itu saja.Dengan langkah kaki yang mengendap agar tak membangunkan Aliesha yang kelelahan menjaganya semalaman."Bi Lastri?" Dia sekaran
Siapa sangka Tuan Martin menanyakan hal yang tak diduga siapapun sebelumnya. Sosok paruh baya itu memang sejak hilang ingatan sering ceplas ceplos saat bertanya pada siapapun.Bi Lastri memandang Noah dan memberikan kode agar tak menjawab dulu sebelum dia menyelesaikan pertanyaan itu."Kenapa diam saja? Aku tanya padamu kapan kamu berhenti pura-pura jadi sopir Aliesha?" Tuan Martin mencondongkan tubuhnya agar semakin dekat dengan lelaki bermata biru ituSosok yang sekarang sedang diberi pertanyaan masih belum memberikan inisiatif untuk menjawab."Aku tahu kalau kamu itu suka sama dia. Cuma ya kamu pura-pura jadi sopirnya biar kamu bisa nempel terus sama dia kan?" Tuan Martin tertawa sendiri.Sama sekali tidak lucu apa yang dia katakan. Huh!Hampir saja jantung Bi Lastri mau copot rasanya ketika tadi mendengar pertanyaan itu. Dia sempat terpikir kalau Tuan Martin sudah sembuh dan ingatannya pulih kembali.Begitu juga Noah yang masih terbengong dengan kelanjutan kalimatnya. Sungguh di l
"Tuan... jangan aneh-aneh. Apa Tuan Martin tahu siapa keluarga Benedict itu?" Bi Lastri keberatan dengan ide majikannya meski mereka itu sepertinya hanya bercanda saja."Tak masalah Tuan. Aku bisa membantumu menyusun rencana!" Di luar dugaan justru mendukung ide gila mantan majikannya itu.Noah terpingkal-pingkal saat melihat Tuan Martin melongo mendengar jawabannya. Entah apa yang sekarang ada dalam benak pikirannya sekarang."Bocah tengil!" Sahut Tuan Martin sambil menggebrak meja makan dengan kedua tangannya. "Gini-gini aku juga masih waras dan tahu kalau tidak mungkin seorang ayah menculik anaknya sendiri. Kamu sudah gila, Noel!"Noel? Sejak kapan namanya mulai berubah?"Saya Noah Tuan! Bukan Noel." Ini sudah terlalu. Tuan Martin makin hari sepertinya berlindung di balik kedok 'amnesia' untuk bertindak sesuka hati tanpa harus khawatir disalahkan. "Hah, sama saja. Noel, Noah sama saja lah itu." Noah hanya bisa geleng-geleng. Untunglah orang ini lupa ingatan, mungkin jika saja tak