Aliesha terburu-buru masuk ke dalam mobil sambil menggendong anaknya yang baru saja berhenti menangis. Mobil melaju keluar dari pelataran rumah. Aliesha tak bisa lagi berpikir jernih harus melakukan apa karena anaknya sudah dijadikan Noah sebagai alat untuk mengancam. Dia tak lagi ingat bahwa Benedict nanti bisa saja memarahinya karena dia terus menerus 'menempel' pada sosok yang dibencinya selama ini. "Noah, mau ke mana kita ini?" Aliesha khawatir karena dia tak tahu ke mana mantan suaminya akan membawanya pergi. Di matanya, sosok Noah sudah berubah drastis tak seperti saat dia kenal dulu. Dulunya Noah adalah sosok pemuda yang jinak dan sangat mudah diajak kerja sama. Sekarang, tak tahu lagi di mana Noah yang dulu. "Kamu diam saja dulu." Kata Noah sambil terus berkonsentrasi mengemudikan mobilnya.Sepertinya jalan yang dilalui mereka ini tak asing bagi Aliesha. Dugaannya betul, sekarang mereka menuju ke area bangunan menjulang tinggi. Ini adalah area perkantoran dan perhotelan.
"Aliesha, mau ikut aku mandi sekarang?" Pertanyaan Noah ini mengejutkannya.Awalnya wanita bermata bulat itu terdiam mematung mendengarkannya, namun setelah menyadari apa maksud yang dikatakan oleh Noah, dia langsung menutupi wajahnya karena malu."Hei... kenapa kamu begitu?" Noah sama sekali tak merasa sedang dalam pelarian."Noah... aku bukan kekasihmu dan bukan lagi istrimu." Dengan sisa-sisa logika yang masih dia miliki, Aliesha mencoba menyadarkan lelaki tampan di depannya itu.Entahlah, saat Noah mengekspose tubuh dalam guyuran keringat begini, dia terlihat macho dan semakin menawan. Melihat lengannya saja tadi Aliesha seperti sudah berhenti berdetak jantung yang di dalam dirinya."Tapi..." Nafas Noah begitu dekat dan sekarang Aliesha yakin bibirnya sudah mendekati telinga kiri ke lehernya. "Kamu adalah tetap ibu dari anak-anakku sampai kapanpun."Aliesha tak kuasa menahan efek kalimat gombalan Noah yang memang sejak dulu dia pandai merayu dan membuatnya tersipu malu."Noah... k
Aliesha tak menanggapi kalimat Noah yang semakin menjurus ke arah yang tak dia inginkan. Selalu saja maunya nyerempet-nyerempet melulu."Aliesha, apa kamu marah dengan candaanku? Jangan tegang begitu, aku hanya bercanda..." Ralatnya karena melihat ekspresi Aliesha yang kurang senang dengan setiap kalimatnya yang terkesan jorok.Padahal itu semua dia lakukan untuk memberikan humor dan hiburan saja. Syukur-syukur jika Aliesha juga mau menimpali dan menyahut."Aliesha..." Panggilnya sambil menjongkokkan tubuhnya agar sejajar dengan posisi Aliesha yang duduk menyusui anaknya."Tidak apa-apa. Itu hakmu untuk berkata semaumu, Noah." Sahutnya sambil menepuk-nepuk punggung bayinya.Noah sekarang merasa tak lebih baik dari sebuah obat nyamuk. Aliesha begitu fokus menyayangi anaknya lantas membiarkannya mengamati kedekatan antara ibu dan anak itu.Noah seakan tak dipedulikan lagi."Kamu tidak marah padaku?" Tanya Noah memastikan kalau ibu muda itu tak marah lagi.Aliesha menggeleng dan itu suda
"Mama... kapan pulang?" Tanya Ben antusias dan seakan mendapatkan support system baru. Mamanya memang jarang berkunjung ke Indonesia karena sebenarnya dia sudah berpisah dengan Papa Benedict sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar."Aku baru landing beberapa jam lalu dan kupikir ini adalah keputusan yang baik karena akhirnya aku bisa menjejakkan kaki di bumi yang sama dengan anakku.." Mamanya memeluk hingga tubuh Ben menekuk agar sejajar dengan ketinggian ibunya."Ma, bagaimana Mama bisa tahu tentang semua hal yang seharusnya luput dari perhatianmu?" Ben penasaran. Selam aini Mamanya tidak pernah sering berada di dekatnya, namun selalu paham pada perkembangan berita terkini di keluarga besar.“Memang apa aku harus terus menerus bersama kalian agar aku tahu apa yang sedang terjadi? Tentu tidak, Ben!” Jawab mamanya dengan bangga pada keahliannya memata-matai keluarga besarnya. Lebih tepatnya keluarga mantan suaminya.Mamanya membenarkan tatanan rambutnya yang sedikit berubah karen
"Jangan berbahagia dulu kamu..." Jelas terdengar suara Eros menimpalinyaLelaki tambun itu rupanya hingga kini masih sakit hati dan ingin membalas dendam pada Aliesha maupun Noah juga."Iya... aku paham kalau sekarang belum saatnya untuk mengibarkan bendera kemenangan. Tapi, bolehkah aku sedikit tertawa karena sepertinya usaha kita membuahkan hasil..." Kata Mama Benedict saat bertelpon ria dengan Eros, musuh menantunya sekaligus anaknya juga.Jika Ben sampai tahu kalau sang mama bekerja sama dengan Eros, mungkin saat ini dia tak akan mendengarkannya lagi. Sejak tahu Eros begitu jahatnya pada Aliesha, Ben sudah memasukkannya ke dalam top list enemy yang harus dijauhi.Lain halnya dengan mamanya, Eros tahu betul bagaimana memanjakan para janda atau wanita yang tengah dirundung kesepian mendalam."Kalau sekedar bahagia sejenak itu boleh saja. Bukankah kamu juga perlu istirahat sebentar sebelum kita memulai melakukan next round, ya kan?" Lelucon yang dikatakan pria bertubuh tambun dan cuk
"Apa maumu?" Dengan sisa-sisa keberanian yang dia miliki, Ben melawan.Lelaki itu tidak lantas menurunkan senjata tapi tetap saja menantang Ben."Mau apa kamu ke sini?" Tanya pria bersenjata itu."Cepat menyingkirlah. Aku tidak ada urusan denganmu. Aku hanya ingin menjemput istriku!" Ben menjawabnya dengan bibir yang sedikit gemetar.Ia mulai diserang rasa takut. Saat anak buahnya akan membalas dengan menodongkan senjata, Ben menyuruh mereka untuk diam dulu dan tidak cepat-cepat membalasnya."Benedict! Nyalimu ternyata hanya setebal sumbu kompor. Hahaha." Muncullah sosok yang merupakan dalang dan pemimpin pria bersenjata."Eros?" Ben terkejut karena setelah berbulan-bulan tak bertemu, tiba-tiba sosok itu muncul lagi."Syukurlah kalau kamu masih ingat padaku!" Kata pria tambun dengan baju bermotif ular di dadanya."Eros, cepat pergi dari sini! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi." Kata Ben mempertegas niat tujuannya datang."Hah. Apanya yang tidak mau berurusan? Anak buahmu tadi seda
"Benedict?" Aliesha menurunkan kaca mobil tapi dia tak berani membukakan pintu.Noah sepertinya masih mengawasi gerak geriknya dari dalam toko elektronik hingga sekarang."Aliesha, baby... Aku merindukanmu!" Ben meraih kedua tangan Aliesha kemudian menciumnya dengan erat."Ben... Kenapa kamu di sini? Bagaimana kamu bisa tahu?" Aliesha belum bisa membalas sentuhan suaminya karena masih khawatir kalau sewaktu-waktu Noah kembali dan memergoki suaminya di sini.Apakah ini wajar? Kenapa dia justru lebih takut pada Noah daripada terhadap Ben?"Aku mencarimu berhari-hari, Aliesha...""Sebaiknya kamu pergi dari sini daripada terjadi hal yang tak diinginkan. Cepat pergi dari sini!" Aliesha menyuruh suaminya untuk segera angkat kaki.Dia sempat melihat ada beberapa anak buah Ben yang ikut mengamati dari jauh. Aliesha yakin jika nanti Ben serta Noah bertemu, akan terjadi hal yang tak diinginkan. Bisa jadi akan terjadi kontak fisik di antara keduanya."Kenapa aku harus pergi saat aku bersusah pay
"Mau apa kamu ke sini?" Aliesha risih saat berada di kamarnya, tiba-tiba Noah muncul dalam waktu yang hampir bersamaan. "Aku mau memastikan kalau kamu tidak ketakutan." Kata Noah usil. Tangannya memeriksa apakah kamarnya yang tak pernah dihuni ini berdebu atau tidak. Nyatanya tidak ada debu yang bertengger di perabot maupun tempat tidurnya. Akhirnya dia duduk di ranjang dengan nyaman. "Siapa suruh kamu ikut aku ke sini?" Aliesha menegur. Seharusnya Noah tahu diri untuk tidak mencampuri privasinya. Selama beberapa hari ini Aliesha merasa sudah lebih mirip seperti tawanan dan tak ingin lebih lama lagi berdekatan dengan Noah, setidaknya selama berada di rumah ini. "Aku? Tidak ada yang menyuruhku. Hanya saja aku ingin kita... menjalin persahabatan yang dulu sempat ada. Seperti saat dulu aku menjadi sopirmu, Nona Aliesha!" Noah terkekeh dengan kalimat yang menurutnya dianggap lucu. Tapi, tidak dengan Aliesha. Momen itu adalah memori paling bodoh yang dia miliki. Dengan lugunya dia t
Beberapa tahun kemudian..."Aku sungguh bangga kepadamu!" Kakek menepuk pundak cucu kebanggaannya yang telah berhasil membuat perusahaannya menjadi semakin besar dan sukses hingga ke kancah internasional."Terima kasih, Kakek. Ini semua tak lepas dari bantuan Kakek serta Ricky juga." Ucap Noah sambil menepuk bahu sepupunya.Keduanya memang diberikan mandat untuk memegang perusahaan milik McLaren yang tak main-main asetnya kini."Sama-sama..." Ricky nampak tersenyum dan rupanya di sebelahnya sudah ada seorang wanita cantik bertubuh seksi yang menggamit lengannya."Apalagi sejak ada Cassandra, kamu semakin bersemangat bekerja, Ricky. Tidak sia-sia perjuanganku menjodohkanmu dengan dia..." Kakeknya tertawa."Kakek, terima kasih sudah memperkenalkan saya pada Ricky. Dia adalah lelaki terbaik dan sempurna yang pernah saya ketahui..." Cassandra mengucapkannya dengan tulus.Sedangkan Noah masiih nampak diam tak bereaksi saat orang di sekelilingnya menikmati perbicangan. Sudah hampir tiga tah
Masih dengan mulut yang terkunci rapat, Tuan Martin tak bisa merespon."Apa katamu?" Itu saja kalimat yang bisa dia katakan saat tahu Noah meminta maaf padanya.Dosanya terlalu banyak, dia harus memastikan Noah meminta maaf dalam hal apa dulu ini."Iya, saya minta maaf telah menuduh Om Martin sebagai penyebab Ben celaka dalam kematiannya itu. Saya mewakili keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya..." Kata Noah sambil menundukkan kepala.Tuan Martin mengamati pemuda itu. Tak ada unsur yang dibuat-buat apa lagi pura-pura. Dia terlihat sangat serius dan tidak main-main.Ini di luar ekspektasinya, jelas tak mungkin seorang searogan dan sesombong Noah mau merendahkan diri untuk meminta maaf."Aku sudah tak bisa percaya apapun yang keluar dari mulutmu, McLaren!" Bentak Tuan Martin.Anehnya, Noah tak bereaksi frontal meski Tuan Martin sudah memancing amarahnya dan bahkan menghina perilakunya saat meminta maaf begitu."Apa yang harus aku lakukan sehingga Om Martin mempercayaiku?" Noah namp
Noah mendengarkan apa yang dijelaskan oleh pihak kepolisian dengan seksama. Rasanya seperti tak percaya saja dengan apa yang mereka jelaskan.Betapa dia selama ini telah merasa bersalah karena meminjam mobil sepupunya itu sementara mobilnya dikenakan oleh Ben."Tidak ada hal yang mencurigakan selain memang proses perbaikan yang belum selesai." Kata polisi itu mengulangi penjelasannya."Lalu, apa sepupu saya tahu soal mobil yang belum selesai itu?" Noah masih penasaran. "Kata pihak bengkel mobil yang menjalankan pembenahan terhadap mobil itu, korban sudah diberi tahu soal pekerjaan yang belum selesai tapi tetap saja katanya ingin dipakai secepatnya dan dia tak bisa menunggu lebih lama lagi." Jawab polisi itu.Tuan Martin dan Noah saling berpandangan karena merasa saling tuduh satu sama lain. Mertua Ben itu masih mengira kalau Noah sengaja menjebak Ben dengan membiarkan mobil yang masih setengah selesai dikerjakan itu agar dikemudikan oleh menantunya.Padahal jelas-jelas hal itu memba
"Noah, apa yang terjadi?" Aliesha bertanya sambil merangkul sosok di depannya itu.Tangannya gemetar karena membayangkan hal yang tak diinginkan."Cepat jaga Nona Aliesha!" Noah mendengar suara beberapa orang yang berlarian di lantai dua namun dia belum berani membuka pintu."Nona Aliesha, ini kami. Jangan keluar dulu karena di luar masih berbahaya." Rupanya itu adalah pengawal ayahnya."Apa yang terjadi?" Noah bertanya dari balik pintu namun masih menjaga jarak agar tak langsung berada di depan pintu. Khawatir kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."Orang yang dulu disuruh menembak mobilmu, Noah, dia membalas akan menembak Tuan Martin. Tapi beruntunglah tembakan itu meleset dan dia sudah ditembak di tempat oleh pengawal lain..." Jelasnya."Saat kami berdua naik ke atas tadi, dia memang akan melarikan diri ke sini, jadi kami berinisiatif untuk mengamankan Nona Aliesha..." Jawab yang lain."Baik, terima kasih. Kami baik-baik saja. Tolong jaga kami selagi... kami masih di dalam
"Kesalah pahaman bagaimana?" Noah mulai terlihat menegang. Dia tak yakin akan siap dengan apa yang akan dia dengar nanti."Saat itu seingatku memang Tuan Martin sudah mengincarmu..." Bi Lastri masih menunggu reaksi Noah.Jika dia rasa nanti Noah akan bereaksi hiper, maka Bi Lastri akan berhenti bercerita."Mengincar?" Noah bertanya namun terlihat kalau dia masih ingin mendengarkan cerita selanjutnya."Setidaknya itu yang bisa aku ceritakan padamu sekarang..." Bi Lastri masih belum mau menceritakan lebih lanjut.Sepertinya memang ada hal yang masih dia tutup-tutupi. Dia ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya."Kumohon ceritakan saja sekarang, Bi. Aku tidak yakin apakah setelah ini kita memiliki waktu atau tidak untuk bertemu." Noah sengaaj menakuti Bi Lastri agar dia memang membuka semua yang ia tahu saat ini juga."Apa maksudmu? Apa setelah ini kamu mau pergi dari sini?" Bi Lastri tentu terkejut."Iya..."Langit yang tadi gelap kini sudah berubah lebih mencekam karena badai yang dira
Noah berjalan keluar dari kamar Aliesha.Pikirannya masih kalut dan berkabut. Antara diri dan nafsunya saling bertarung. Tak seharusnya di saat-saat berkabung begini dia mencari-cari kesempatan untuk mendekati adik iparnya itu."Noah, kamu belum tidur rupanya..." Bi Lastri tampak kaget ketika keluar dari kamar Tuan Martin dan bertemu dengan Noah yang juga baru saja keluar dari kamar Aliesha."Aku? Aku tidak mungkin tidur jam segini. Lagipula Aliesha sudah tertidur jadi aku pikir lebih baik aku keluar dan... sebenarnya aku ingin bicara denganmu!" Kata Noah.Bi Lastri langsung meletakkan telunjuknya di antara dua bibirnya."Sebaiknya jangan di sini. Ayo, kita turun ke bawah saja!"Bi Lastri mengajaknya untuk segera mencari tempat yang lebih privat untuk bicara. Noah tentu saja menurut dan mengikutinya.Setelah mereka sampai di pavilion bawah, Bi Lastri memastikan tidak ada orang yang mengikuti mereka.Lalu dia membuka dan masuk ke dalamnya."Aku sebenarnya ingin mengatakan sesuatu!" Bi
Setelah mendengar permintaan Aliesha untuk membiarkan Noah menemaninya di rumahnya, tentu saja Tuan Martin semakin meradang.Matanya melotot dan menunjuk-nunjuk anak perempuannya itu."Apa maumu? Kamu sudah memasukkan kembali racun dan duri ke dalam rumahku!" Tuan Martin tidak terima.Baginya kalau boleh memilih, hanya Benedict saja yang ia anggap sebagai menantu. Meski dia juga sama-sama berasal dari keluarga musuh bebuyutannya."Aku tidak salah dalam meminta, Ayah. Aku ingin Noah tinggal bersamaku di sini." Aliesha menyeret kopernya dan dibawanya masuk ke dalam dengan susah payah."Noah, kenapa kamu diam saja? Ikuti aku!" Noah hampir tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Baru beberapa detik yang lalu Aliesha seolah menjadi singa yang kepalaran dan hampir mati dengan tak punya tenaga melawan.Kini, tiba-tiba mantan istrinya itu sudah menjelma seperti singa wanita yang pemberani dan siap melawan apapun yang menghadangnya.Noah melihat sekilas wajah Ayah Aliesha yang mas
Aliesha mengaitkan kedua lengannya dan melipatnya di depan dada.Ada rasa berat saat dirinya meninggalkan rumah ini sekarang. Dulu, dia bersikeras ingin segera pergi dari sini dan meneruskan hidupnya di rumah yang berhasil ia bangun dengan mimpinya sambil membesarkan usaha yang dia rintis.Kini, entah sejak kapan rasa memiliki itu mulai muncul.Rasanya berat saat Ben sudah tak ada lagi. Apakah dia masih bisa menyebut sebuah bangunan itu sebagai sebuah rumah? Rasanya tidak saat Ben tak ada lagi di dalamnya.Dan tempat terakhir yang Aliesha rasakan sebagai rumah adalah rumah Kakek, yang dirinya akhrinya terusir juga untuk pergi.Memang tak ada yang abadi di dunia ini.Aliesha tahu itu."Apa kamu baik-baik saja?" Suara Noah yang lagi-lagi membuatnya kembali menjejakkan angannya ke bumi.Wanita berbaju hoodie yang ukurannya oversize itu hanya mengangguk dan sorot matanya kosong.Saat ini, Noah juga sama-sama hancur tapi satu hal yang dia pegang yaitu kalimat Ben yang menitipkan Aliesha se
"Aku tidak mau tahu, suruh perempuan itu pergi dari ini!" Suara kakek menggelegar sehari setelah Ben dimakamkan.Tangannya sampai gemetaran saat mengucapkan hal itu pada pengawal dan beberapa orang pembantunya."Tapi, Tuan..." Itu kalimat yang ingin disampaikan oleh pembantu, tapi tetap saja dia tak berani berkata apa-apa karena majikannya lah yang menggaji setiap bulan.Untuk sementara dia harus berdiam diri dan tidak menyanggah apapun yang diperintahkan oleh sang majikan."Cepat kemasi barang-barangnya dan aku tidak mau melihatnya keluyuran di sini lagi!" Kakek semakin membabi buta dan marah sejadi-jadinya."Ba-baik Tuan, kami akan membawanya pergi dari sini.""Jangan sampai ada satu barangnya yang tertinggal. Aku tidak mau di rumahku bau keringat dan jejaknya tersisa di sini. Cepat lakukan!" Kakek bertitah dan kemudian masuk kembali ke ruang kerjanya untuk menyendiri.Baginya kehilangan Ben seperti kehilangan nyawanya sendiri. Seumur hidupnya, cucu yang satu ini teramat menurut dan